Total Pageviews

Sunday, March 29, 2020

WFH : Work From Heaven


Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.
(Mat 6:32)

Isolasi Mandiri
Terasa lama banget lho dua minggu setelah merebaknya wabah COVID-19, apalagi ketika dua minggu harus diam di kamar kost. Biasanya bisa jalan-jalan, setidaknya menikmati kuliner sambil berkeliling, kali ini kalau mau makan harus masak sendiri. Misalkan pakai layanan online pun, pasti ada treatment khusus dulu, misalkan di microwave.

Kebosanan dan kegundahan makin terasa ketika melihat media sosial, dimana di sana banyak sekali berita tentang betapa berbahayanya virus ini. Belum lagi berbagai berita tentang penimbunan alat pelindung diri, masker, begitu pula orang-orang yang mulai melakukan panic buying. Ditambah lagi banyaknya berita hoax yang kalau kita gak bisa verifikasi, membuat kita juga panik.

Ditengah berbagai kepanikan itulah aku merenungkan, kira-kira seperti apa ya kondisi bangsa Israel ketika mereka akan keluar dari Mesir? Kemudian ketika Tuhan memberikan penghukuman bagi bangsa itu, ataukah ketika ada wabah penyakit menyerang, apa sih yang mereka rasakan?

Penyertaan Sepanjang Jaman
Sepanjang kita membaca kitab Kejadian sampai dengan Wahyu, umat Tuhan diperhadapkan dengan berbagai tantangan hidup. Mereka dipimpin keluar dari Mesir melewati berbagai bahaya, belum lagi ketika akan masuk ke tanah Kanaan mereka harus menghadapi perlawanan dari berbagai bangsa. Ketika bangsa itu mulai settle, mereka merasakan peperangan di jaman Hakim-Hakim, maupun jaman Raja-Raja.

Bagaimana dengan jaman Perjanjian Baru? Tidak jauh berbeda, mereka harus menghadapi kekejaman orang Romawi. Kemudian berbagai tantangan juga datang silih berganti. Tetapi di dalamnya kita dapat melihat juga bahwa Tuhan bekerja. Ia bekerja di tengah berbagai tantangan hidup, dan perkataan Tuhan Yesus begitu relevan pada injil Matius 6:25-34.

Yesus mengingatkan kita bahwa penyertaanNya itu tetap nyata di dalam setiap musim kehidupan kita. Pada setiap kejadian luar biasa, maupun biasa, Ia tetap bekerja dan tetap memberikan yang terbaik. Bukan berarti bahwa ketika kita ikut Tuhan kemudian kita kebal. Kita akhirnya menjadi pribadi yang tidak bisa kena sakit penyakit, tetapi kita pun dituntut untuk ambil peran, menampilkan pribadi kita sebagai orang yang sudah mengenal Tuhan.

Ambil Sikap Untuk Jadi Berkat
Ketika kita diminta untuk WFH, percayalah bahwa Bapa kita di sorga juga sedang mengerjakan sesuatu. Ia work from heaven tapi melalui WFH kita, dan itu berarti kita punya tanggung jawab untuk tetap menjadi berkat di tengah berbagai keterbatasan kita. Isolasi diri berarti kita diberikan kesempatan setidaknya untuk melihat lebih teliti, lebih lambat lagi, betapa karyaNya senantiasa nyata di dalam kehidupan kita.

Mari jadikan WFH kita berarti, dan tetap tenang. Kita tetap waspada, tetapi tidak larut dalam berbagai isu dan hoax. Kita tetap mengerjakan bagian kita, dan terus menjadi berkat melalui WFH kita. Bahwasanya melalui setiap tindakan kita, setiap hal yang kita bagikan di media sosial, kiranya itu memberikan suatu pengharapan dalam kehidupan orang lain, sehingga orang lain pun dapat merasakan damai sejahtera yang Tuhan berikan. Mereka dapat merasakan bahwa di dalam WFH kita, Allah Bapa senantiasa juga WFH melalui kita.

Tuhan yang senantiasa memampukan!

Wednesday, March 25, 2020

Kangennya Beda


Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti, dan aku mengharapkan firman-Nya. Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi.
(Mzm 130:5-6)


Feels Different
“Iya nih say, kangennya emang beda”. Ujar istriku manakala kami berdua berkomunikasi lewat video call lewat gawai kami masing-masing.

Sudah hampir 2 minggu aku dan istri menjalani work from home atau mengisolasi diri dari kediaman kami masing-masing. Kami terpisah jarak sekitar 20 km, dan memang belum punya tempat tinggal bersama. Kalau sebelum kami menikah dan sebelum virus corona menyerang, kami senantiasa meluangkan waktu setidaknya seminggu sekali atau dua kali, tetapi karena ada pandemi ini, maka kami menahan diri dan memutuskan melakukan social distancing.

Berat? Of course! Ternyata feel-nya berbeda, dan pada saat video call itu kami saling melepas kangen kami, menatap satu sama lain dan berujar “semoga sampai seterusnya kalau ngeliat satu sama lain, rindunya kayak gini ya.

Sampai Seterusnya
Percakapan itu menjadi suatu perenungan tiba-tiba, ketika pertama kali kita kenal Tuhan Yesus dan bagaimana sih kondisi kita saat ini? Kalau pertanyaan “masih rindu sama Aku nggak?” diajukan oleh Tuhan Yesus, apa ya jawaban kita? Apakah kerinduan itu masih sama atau justru makin rindu sama seperti ketika kita pertama kali mengalami perjumpaan dengan Tuhan? Ataukah rasa rindu itu terkikis oleh waktu, digantikan rasa bosan karena alkitab kita nggak ada “sekuel”-nya? (boro-boro sekuel, lah baca Kejadian sampai Wahyu aja ngos-ngos-an, paham juga enggak)

Aku rasa kerinduan kita terhadap Tuhan kita seharusnya seperti yang disampaikan oleh pemazmur dalam Mazmur 130:5-6. Pemazmur menantikan Tuhan lebih dari seorang pengawal yang mengharapkan pagi. Pengharapan atas firman-Nya seharusnya menyadarkan kita bahwa Tuhan pun senantiasa rindu, dan pertanyaannya adalah apakah kita punya kerinduan yang sama terhadap firman-Nya?

Kembali Pada Kasih Mula-Mula
Ingatlah kembali momen ketika awal kita percaya dan mengikut Tuhan, dan coba lihat kembali bagaimana begitu hancurnya hidup kita sebelum kita kenal Tuhan. Betapa momen itu seharusnya mengingatkan kita bahwa ketika Bapa rindu agar kita kembali. Kalau saat ini ditengah berbagai masalah, entah itu virus corona, atau issue lockdown, kerja dari rumah, dan sebagainya yang membuat kita kalut dan bosan, aku rasa ini waktu yang tepat untuk merefleksikan kembali bagaimana rentannya hidup kita. Tentu dengan satu pengharapan dan keyakinan bahwa semua ini pun akan berakhir.

Mari di tengah berbagai pembatasan yang saat ini sedang terjadi, jadikan ini sebagai kesempatan untuk melepas rindu kepada Bapa di sorga yang senantiasa menjaga, memelihara dan merawat hidup kita.
 


Friday, November 16, 2018

Facing Crossroad


“Setiap titik hidupmu ini adalah anugrah, termasuk ketika kamu memilih jalan yang harus kamu ambil. Hati-hatilah dalam memilih, tetapi jangan ragu. Karena dalam setiap pilihan yang kamu ambil, anugrahNya tidak akan pernah berubah!”

Kalimat di atas mudah terucap, tetapi susah untuk dimaknai dan dilaksanakan. Mudah ditulis ulang, tetapi sulit untuk diresapi dan dilakukan. Mudah dihayati ketika kita merasa dalam suatu sukacita atas pilihan yang kita ambil, tetapi sulit dinikmati manakala ada dalam suatu duka akibat timbulnya berbagai masalah hidup.

WHEN GOD WRITES YOUR LIFE STORY
Aku yakin dan percaya bahwa Tuhan telah menuliskan suatu kisah dalam hidupku. Seyakin ketika aku dipanggil buat melayani Tuhan dan seyakin aku menjalani hidup ini dengan penuh sukacita dan damai sejahtera dari Dia. Ada satu momen dimana aku merasa kekosongan hidup namun akhirnya terisi dengan kehadiranNya dalam kehidupanku. Semuanya dimulai ketika aku menerima Yesus sebagai juruselamat pribadiku.

Tidak berhenti di situ, mendekati usiaku yang ke 29 tahun ini (ehm, udah tua juga nih…) ternyata ada satu pergumulan lagi yang Tuhan sediakan. Bukan masalah pasangan hidup dan pernikahan (meskipun ini salah satunya) tetapi diperhadapkan pada suatu pilihan tentang pekerjaan dan pelayanan. Selain itu tentu saja sebagai manusia normal, ada begitu banyak ketakutan dalam menghadapi dan menjalani masa depan.

Satu keyakinan yang kumiliki adalah ketika Tuhan sudah menuliskan kisah hidup ini, hal yang paling utama (dan tentunya paling sulit) adalah bagaimana aku dapat menyerahkan keyboard ini kepadaNya. (kalau dulu pakai bolpen, jaman now pakai keyboard). Dan menarik banget ketika di dalam pergumulan ini aku sadar bahwa menjalani hal ini bukan perkara yang mudah. Ternyata bahkan di tengah penyertaanNya pun ada begitu banyak hal yang membuat aku jatuh, aku galau, bahkan terkadang secara tidak sengaja menghujat Dia melalui setiap keraguanku dalam menjalani kehidupanku.

BE GRATEFUL IN ALL OPPORTUNITIES
Rasa syukur dan sukacita adalah kuncinya. Ditengah berbagai pilihan hidup, hal yang paling dapat diandalkan untuk dapat menghadapinya adalah dengan ucapan syukur. Itulah yang dinasihatkan pula oleh Paulus kepada jemaat di Tesalonika dalam 1 Tesalonika 5:8. Hal ini pernah aku bahas di artikel sebelumnya, dan kalau memaknai hal ini, sudah nggak layak buat kita merasa stress dan kecewa atas pilihan hidup ini. Kita akan dapat selalu melihat bahwa ada hal yang dapat kita syukuri senantiasa dalam menjalani hidup ini.

Titik dimana kamu berhenti bersyukur adalah titik dimana kamu mengabaikan Tuhan dalam hidupmu. Inilah yang aku temukan di dalam kisah hidup 28 tahun (yang hampir 29 tahun saat tulisan ini dibuat) dan penyertaan Tuhan sama sekali tidak berubah. Meskipun kasih setiaNya tidak pernah berubah, tetapi ada titik demi titik kejadian hidup dimana aku berhenti buat bersyukur dan memandang kea rah salibNya. Saat itulah aku sadar bahwa ternyata rasa syukur atas setiap kejadian yang Tuhan berikan adalah titik awal untuk kita memaknai penyertaan Tuhan dalam kehidupan ini.

DECISION
Memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan masa depan juga bukanlah hal yang mudah. Ada titik dimana ketakutan dan kekuatiran melanda. Ketika kedua hal tersebut mulai menggoyahkan hidup, satu hal yang aku belajar buat maknai adalah rasa syukur atas penyertaanNya. Begitu banyak anugrah yang sudah Tuhan sediakan, dan hal itu merupakan bukti bahwa tidak ada hal apapun yang lepas dari anugrah Tuhan.

Saat ada di persimpangan jalan, tidak ada jalan lain selain belajar buat merasakan betapa kasih Allah luar biasa dalam kehidupan kita. Satu-satunya alasan yang menyebabkan kita kehilangan makna hidup adalah karena kita menjauhkan diri dari Kristus. Ketika melalui persimpangan jalan yang mana kita harus memilih, jauhnya hubungan kita dengan Bapa akan membuat kita menjadi semakin bimbang. Memang benar tentu Allah dalam kedaulatan dan kasihNya akan senantiasa mendampingi, pertanyaannya adalah seberapa jauh kita memaknaiNya?

THE GREATEST GIFT
Persimpangan jalan adalah suatu hal yang lumrah, dan yakinlah bahwa di dalam persimpangan itu pun, Tuhan telah memberikan teladan. Hal yang dapat kita pelajari adalah bagaimana Yesus bergumul ketika Ia akan disalib. Diperhadapkan ditengah dua pilihan, Ia menyadari bahwa hal terpenting dalam hidupNya adalah mematuhi kehendak Bapa.

Kalau kita memaknai hal ini, berarti sebenarnya kita pun tak lepas dari pilihan hidup – dan pilihannya sudah jelas, mana hal yang membuat Tuhan dipermuliakan dalam kehidupan kita. Hidup ini bukan tentang kita. Hidup ini adalah tentang bagaimana kita dapat memaknaiNya dalam terang kasih karunia Allah – yang akan memampukan kita untuk senantiasa hidup seturut dengan kehendakNya. Melangkah dalam anugrahNya hari lepas hari, dan semuanya dimungkinkan karena Tuhan Yesus yang begitu mengasihi kita.

Sudah siapkah kita menjalani kisah hidup yang sedang Dia tuliskan?
Sudah siapkah kita menghadapi berbagai pilihan hidup dengan senantiasa berserah kepadaNya?

Soli Deo Gloria!

Sunday, September 30, 2018

Melayani Sebagai Gaya Hidup

SPIRITUAL CHECKUP
Mzm 139

Sebuah mazmur dari Daud ini akan mengantarkan kita pada sebuah renungan tentang pelayanan. Rasa-rasanya sih sudah nggak asing lagi ya ketika menjadi seorang Kristen maka salah satu hal yang dapat kita lakukan (atau harus kita lakukan) adalah melayani. Tetapi pertanyaannya adalah ketika kita melayani Tuhan, benarkah kita melayani? Ataukah sebenarnya kita sedang memuaskan diri kita dengan kedok pelayanan?

PERIKSA MOTIVASI DALAM MELAYANI
Kalau kita mau melayani, pertama yang harus kita lakukan dan kita camkan baik-baik adalah tentang motivasi kita dalam melayani Tuhan. Begitu banyak orang ingin melayani bukan karena kesadaran karena menerima anugrah Allah, tetapi semata-mata karena ingin tampil di depan dan pada akhirnya mendapat sanjungan dan pujian dari orang-orang yang ia layani.

Waspadalah akan jebakan ketenaran dalam melayani Tuhan. Begitu mudah bagi kita terjebak dalam keinginan untuk ingin terkenal, setidaknya di gereja J

BAHAN BAKAR PELAYANAN
Kasih karunia adalah dasar dari pelayanan – dan inilah yang sering dilupakan oleh para pelayan Tuhan. Pelayanan sepenuhnya bukanlah ajang show off kita, tetapi disanalah kita bisa melihat karunia Tuhan di dalam diri kita. Berapa kali kita menghina seorang pelayan dan menyatakan bahwa ia tidak layak untuk melayani Tuhan? Ketika seseorang ternyata terlihat begitu brengsek tapi kok bisa dia berdiri di atas mimbar dan memberitakan Firman?

Ketika muncul pertanyaan tersebut, bukankah lebih baik bertanya: “kok bisa ya saya sendiri dipakai Tuhan padahal hidup saya masih aja menghakimi orang lain”. Standar yang kita kenakan kepada orang lain juga menjadi standar yang harusnya menjadi bahan bercermin kita bukan? Kasih karunia itu merupakan bahan bakar pelayanan yang takkan pernah habis. Kasih karunia yang tidak terbatas.

KEINDAHAN KASIH KARUNIA
Paulus menuliskan dalam 1Kor 2:1-5 bahwa ketika ia menyampaikan firman, yang ia andalkan hanyalah bagaimana Allah dinyatakan dalam pemberitaan yang ia sampaikan. Bukan masalah kemampuan berkotbah Paulus. Kalau kita tahu Paulus punya kemampuan yang luar biasa dalam berkotbah. Ia mempelajari agama Yudaisme, filsafat Yunani, dan berbagai ilmu yang dapat dia gunakan untuk berkotbah dengan baik dan menarik minat dari pendengarnya.

Tetapi apa yang ia beritakan bukanlah kehebatannya. Justru yang ia beritakan adalah hal-hal yang fokusnya hanya kepada Tuhan. Implikasinya pun masih relevan bukan hanya buat penginjil atau hamba Tuhan yang melayani di gereja. Ketika kita di marketplace pun prinsip yang sama juga berlaku. Apa atau siapa yang menjadi fokus pembicaraan atau pekerjaan kita? Apakah kehebatan kita ataukah melaluinya nama Tuhan yang dikenal dan ditinggikan?

Tentu bukan berarti ketika kita ada di kantor kemudian kita menyanyi lagu rohani ataupun tiba-tiba kita melakukan penginjilan dan menanyakan tentang jaminan keselamatan. Melalui tindakan kita, maka orang lain dapat melihat dan tertarik dengan hidup kita. Ketertarikan itu akan muncul menjadi hasrat untuk mengenal dasar hidup kita, dan disaat itulah kita dapat memberitakan Tuhan yang berkuasa dalam kehidupan kita.

MELAYANI SEBAGAI SUATU LIFESTYLE
Kita sudah tahu nih bahwa yang memampukan kita untuk dapat melayani dengan maksimal semata-mata adalah karena kasih karunia yang Tuhan berikan. Kalau kita sudah memahaminya, tentu kita saat ini punya pemahaman baru tentang kasih karunia. Bukan apa yang nampak, tetapi justru hal yang tidak nampaklah sebenarnya yang mendasari pelayanan kita. Tuhan melihat hati kita, Tuhan memeriksa hati kita. Jadi bukan karena kita dapat berkata-kata manis dan indah maka kita dapat melayani Tuhan, tetapi semata-mata karena Tuhan melayakkan.

Apa dasar kasih karunia? Pelayanan Tuhan Yesus sendiri. Menjadi orang Kristen berarti kita meneladani Yesus Kristus yang sudah melayani kita dan memberikan kasih karunia pada kita. Ketika gaya hidup Tuhan Yesus adalah gaya hidup melayani, kita pun sebagai muridNya diajak untuk menjadikan pelayanan sebagai gaya hidup kita.

Soli Deo Gloria!