Total Pageviews

Thursday, November 28, 2013

Menjadi MilikNya!

… Mereka itu milik-Mu dan Engkau telah memberikan mereka kepada-Ku dan mereka telah menuruti firman-Mu.
(Yohanes 17:6B)

Pernahkah kita membayangkan saat kita membeli sebuah barang yang sangat berharga? Misalnya kita membeli jam tangan atau gadget baru yang sangat kita impikan. Apa yang akan kita lakukan terhadap jam tangan atau gadget baru itu? Kalau itu memang barang yang sangat ingin kita miliki maka kita akan menjaganya dengan sepenuh hati kita. Kita akan sangat berhati-hati dan bahkan kalau boleh bilang – kita akan menjaganya dengan segenap hati kita. Ah kelihatannya sangat berlebihan bukan? Tetapi itu realitas hidup!

Saat kita membeli suatu hal yang menurut kita baru dan itu menjadi impian kita, maka kita akan menjaganya dengan segenap hati kita. Bahkan kita tidak rela kalau sesuatu itu kadang dipinjamkan. Kita akan merawatnya, akan membersihkannya setiap hari, bahkan kita tidak akan berhenti untuk mengutik-utik barang tersebut. Kita ingin agar “barang tersebut merasa nyaman”. Atau biasanya kalau kita memiliki hewan peliharaan, kita akan merawat dia sebaik mungkin.

Nah, sekilas ketika kita merasa ada barang yang berharga, kita akan menjaganya seperti itu. Coba bayangkan apa yang Tuhan kerjakan di dalam hidup kita saat kita menjadi milikNya! Tunggu dulu! Apakah benar kita adalah milik Tuhan? Eitz, bukankah tubuh kita yang memiliki adalah diri kita sendiri? Itu berarti dengan semena-mena kita bia mengerjakan apapun yang kita suka donk? Boleh lah!

Namun apakah benar bahwa kita adalah milik Tuhan? Itu adalah sesuatu yang perlu kita pergumulkan setiap hari. Ketika kita menjadi milik Kristus, bukan dengan harga yang murah Tuhan sudah menebus kita. Penebusan semata-mata hanyalah anugrah yang sebenarnya tidak layak untuk kita terima. Sama juga dengan ketika kita melihat seorang yang sudah mengkhianati kita, kemudian menjadi seorang budak belian, dan akhirnya kita membeli budak itu dan akhirnya kita diberikan suatu hidup baru. Seperti itulah apa yang terjadi di dalam hidup kita!

Nah, kalau kita adalah milik Tuhan, pasti ada konsekuensinya. Yap, mau tidak mau, seperti kita memiliki suatu barang, Tuhan pun juga dengan sangat bebas memperlakukan kita. Nah, ini tentu menarik bukan? Waktu kita bilang bahwa “aku menentukan tujuan hidupku sendiri” atau “aku pasti bisa tanpa orang lain”, sadarkah kita bahwa ternyata pandangan-pandangan tersebut terasa aneh? Mengapa aneh? Coba bayangkan kalau kita punya ponsel yang tiba-tiba bisa bergerak sendiri. Ataupun ternyata anjing atau hewan peliharaan kita tiba-tiba menggigit kita, menyakiti kita. Apa artinya? Bahwa ternyata kita SAMA SEKALI TIDAK PUNYA HAK ATAS HIDUP KITA SENDIRI!

Menjadi milik Kristus bukanlah suatu hal yang menyenangkan – paling tidak itulah anggapan sebagian besar orang. Mengapa? Karena kita menjadi seorang manusia yang sangat terbatas! Apa-apa harus diatur, dan inilah natur dosa. Kita ingin bebas dari suatu otoritas yang mengekang kita untuk melakukan sesuatu. Pandangan sebagian orang adalah: “Kristus yang membatasi aku”. Padahal kalau kita mulai membuka alkitab kita, apa yang dilakukan oleh Kristus adalah Ia membeli kita dan harganya sudah lunas. (1 Korintus 6:19). Pemahaman tentang hal ini tentunya membantu kita untuk sadar, siapa kita di hadapan Allah.

Konsekuensi dari penebusan Allah atas hidup kita – atas jiwa kita menjadi suatu dasar bahwa kita tidak boleh main-main di dalam hidup ini. Harus diingat bahwa apabila Kristus menguasai hidup kita, itu berarti bahwa kita memberikan SEGALANYA buat Tuhan. Apa makna dari kata SEGALANYA disini? Tentu saja: SEGALANYA YANG KITA MILIKI. Aplikasinya? Bahwa ternyata tiada waktu sedetik pun bagi kita untuk berpikir tentang hidup kita – bahwa ternyata seluruh tingkah langkah kita adalah untuk Tuhan.

Kita ini berharga! Sadarkah setiap kita akan hal itu. Kita ini adalah harta yang terpendam dan mutiara yang berharga bagi Allah. Kita ini adalah kepunyaanNya. Betapa indah realitas tersebut bukan? Tetapi apa yang mengerikan adalah di tengah keberhargaan kita ternyata seringkali kita menjadi ciptaan yang brengsek. Kita menjadi manusia yang ‘menolak’ untuk menjadi milikNya. Kita lupa akan anugrah yang sudah Tuhan berikan.

Anugrah seperti apa yang sudah diberikan Tuhan saat kita diambil menjadi milikNya? Yang pasti adalah kita bebas dari ikatan dosa. Kita sudah diselamatkan oleh anugrah. Menyadari hal ini seharusnya kita sadar bahwa kita adalah orang yang brengsek, yang tidak memiliki apapun apabila Tuhan tidak memberikannya. Hidup kita semuanya adalah di tanganNya.

Kedua pastinya kita sadar akan rencana Allah di dalam hidup kita. Hal ini dimulai dari pengenalan diri sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengenalan kita akan Tuhan Sang Empunya hidup kita yang semakin bertumbuh, akan membuat kita semakin mengenal pribadi kita sendiri. Pengenalan kita akan Tuhan akan berbanding lurus dengan pengenalan akan kita – akan visi hidup yang ditetapkan Tuhan di dalam hidup kita. Contohnya dapat kita lihat di dalam pengenalan Paulus akan dirinya. Sampai suatu momen dimana ia menyadari bahwa Tuhan tidak mencabut “duri dalam daging” dari dalam dirinya, dia tidak tahu sampai Allah memberitahukan alasannya: “cukuplah kasih karunia-Ku” (2 Korintus 12:9)

Nah, hidup kita sebenarnya adalah milik Tuhan, dan di dalam rangka kita mengenal Sang Pemilik Hidup kita, Tuhan akan menyayangi kita, yang mana seringkali kita tidak menyadarinya. Hal itu terjadi karena kita tidak mengetahui apa sebenarnya rencana Tuhan di dalam hidup kita. Kita jadi seringkali protes atas hal-hal buruk yang menimpa hidup kita. Harus diakui bahwa ternyata hidup kita adalah hidup yang bermakna, dan kebermaknaan itu hanyalah karena ANUGRAH ALLAH! Itulah yang Allah sendiri minta pada kita: “TAAT dan SETIA”. Hanya 2 kata, tapi bayangkan betapa susahnya hal tersebut untuk dapat kita lakukan.

Fanny Crosby mencoba menuliskan sebuah lagu yang sangat indah:

I am Thine, O Lord, I have heard Thy voice,
And it told Thy love to me;
But I long to rise in the arms of faith
And be closer drawn to Thee.

Reff:
Draw me nearer, nearer blessèd Lord,
To the cross where Thou hast died.
Draw me nearer, nearer, nearer blessèd Lord,
To Thy precious, bleeding side.

Consecrate me now to Thy service, Lord,
By the power of grace divine;
Let my soul look up with a steadfast hope,
And my will be lost in Thine.

O the pure delight of a single hour
That before Thy throne I spend,
When I kneel in prayer, and with Thee, my God
I commune as friend with friend!

There are depths of love that I cannot know
Till I cross the narrow sea;
There are heights of joy that I may not reach
Till I rest in peace with Thee.

Indah sekali lagu ini. Kerinduan dari Fanny Crosby adalah dia ingin menjadi milik Tuhan Yesus sendiri.

Allah yang mengasihi kita melalui PutraNya. Allah yang memberikan hidup kekal melalui salib – yang mana Ia telah membeli kita melewati lembah kekelaman dosa. Allah yang memiliki kita, yang menuntun tiap langkah kehidupan kita. Allah yang membenci dosa kita, namun tetap ingin sekali memeluk kita dengan kasihNya… Itulah pribadi Allah Tritunggal – sang pemilik hidup kita. Dialah yang layak untuk menerima hormat dan kemuliaan. Ia yang sering kita sakiti namun dengan salib itu dan dengan kata “SUDAH SELESAI”, seluruh orang yang percaya diselamatkan. Itulah Allah yang sejati – Raja di atas segala raja, yang menguasai hidup kita.

Apa yang mau kita perbuat setelah kita mengetahui bahwa realitas hidup kita semuanya adalah milik Tuhan? Tidak mudah untuk menyadari hal ini. Pengenalan akan Allah yang benar akan terus berlangsung selama proses hidup kita. Kita hanya perlu belajar untuk TAAT dan SETIA, menikmati setiap proses yang Tuhan berikan sambil memaknai bahwa tidak ada satu hal pun di dalam hidup kita yang lepas dari kontrolNya. Menanggapi hal tersebut berarti kita tidak perlu kuatir akan apapun yang terjadi dalam hidup kita. Allah yang memiliki, dan Allah yang mengatur, tinggal kita mau turut kehendakNya atau tidak.


Soli Deo Gloria!

Sunday, November 24, 2013

Kenosis - Panggilan Hidup Orang Percaya

Background
Sebuah refleksi kehidupan orang percaya adalah bagaimana kita menjadi seperti Allah, seperti seorang percaya yang selalu mau berbuah dan berubah. Sebelumnya, kita harus memahami karakter Allah. Di dalam diri Yesus Kristus, dapat dilihat bahwa Dia sendiri adalah 100% Allah, dan 100% manusia. Tuhan Yesus masih mampu mengalami kesakitan pada saat Dia disalib.

Fakta bahwa Tuhan Yesus merasakan kesakitan, ia merasa haus, dan ia pernah merasa lapar, itu menunjukkan bahwa Yesus adalah 100% manusia. Tetapi di tengah kesakitan itu, Ia memperlihatkan keilahian yang luar biasa. Yohanes 1:1 menunjukkan keilahian-Nya, Yohanes 14:6 menunjukkan kuasa memberikan hidup, Matius 28:18 menunjukkan Ke-Mahakuasaan-Nya, Markus 2:5 menunjukkan Ia memiliki kuasa pengampunan, Matius 25:31-46 menunjukkan bahwa Ia juga diperbolehkan untuk menghakimi manusia. Hal itulah yang menunjukkan bahwa Ia juga 100% Allah.

Tuhan Yesus Sebagai Raja, Nabi, dan Imam
Ada perbedaan antara Tuhan Yesus dengan manusia biasa. Tuhan Yesus sebagai raja, Ia adalah raja yang paling unik. Ia tidak dipilih oleh manusia, Ia dipilih oleh Allah, dan Ia diperkenankan oleh Allah.

Sebagai nabi, manusia tidak luput dari dosa. Sebagai nabi, seseorang dapat menyatakan Firman yang BENAR, tapi tindakan yang ia lakukan dalam kehidupan kesehariannya bisa saja tidak sesuai dengan apa yang Ia firmankan. Sebagai Nabi, Tuhan Yesus adalah firman itu sendiri. Firman yang hidup dan seluruh tindakan yang Ia lakukan adalah kehendak Allah.

Sebagai Imam, manusia bertugas untuk menjadi penghubung antara Tuhan dan manusia. Dalam artian bahwa ketika seseorang berdosa, seorang imam akan mendaftar apa saja yang harus orang berdosa tersebut lakukan. Ia akan melihat di kitab taurat apa saja yang harus orang tersebut persembahkan. Berbeda dengan Tuhan Yesus, Ia menjadikan diriNya sendiri sebagai korban persembahan tersebut.

Kenosis (Filipi 2:6-7)
Kata kenosis disebutkan 24 kali. Beberapa arti dari kenosis:
1.     Menjadikan dirinya menjadi sia-sia
2.     Menjadi tidak mempunyai pegangan apapun, atau tidak ada apapun yang bisa diandalkannya
3.     Menjadi tidak berguna atau tidak ada gunanya sama sekali.
4.     Menjadikan diri di dalam mengusahakan sesuatu menjadi tidak mencapai suatu hasil
5.     Menjadi bebal, atau sebaiknya dibuang saja.

Filipi 2:6-7  yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

Ayat ini menunjukkan apa yang dilakukan Yesus. Ia tidak memilih untuk meninggikan kita menjadi Allah, melainkan Ia mengosongkan diri, menjadi mirip seperti kita. Merasakan berbagai kesakitan dan kehancuran yang ada di dunia ini. Allah bisa saja membuat kita menjadi orang-orang yang tidak berdosa, tetapi itu tidak Ia lakukan. Sebaliknya Ia menggunakan cara yang sungguh menyakitkan Dia sendiri, memberikan Yesus Kristus sebagai penebus dosa-dosa yang telah kita perbuat.

Dosa dan Penebusan Yesus Kristus
Hal yang harus kita ingat adalah karya keselamatan di dalam diri Tuhan Yesus. Dapat dilihat pada Filipi 2:8 “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Apa yang menyebabkan salib itu? Itu adalah konsekuensi dari dosa manusia. Seluruh dosa manusia ditanggung dan keselamatan digenapi dalam diri Yesus Kristus.

Poin penting dari penebusan Yesus Kristus adalah KETAATAN-Nya pada kehendak Bapa. Kenosis disini lebih mengarah kepada ketaatan-Nya sampai Ia mati di kayu salib. Salib bukanlah tanda dari kenosis, keseluruhan kehidupan Tuhan Yesus menunjukkan Allah yang sudah merendahkan diriNya.

Kasih tidak dapat dipisahkan dengan keadilan. Dosa begitu merusak kehidupan manusia, sehingga bahkan Allah sendiri yang turun. Mana ada agama di dunia yang memperlihatkan Allahnya sebagai sampah, sebagai seorang yang harus menebus, Ia menjemput umat manusia. Ia mengejar umat manusia, seperti yang dinyatakan oleh Francis Thompson dalam puisinya: The Hound of Heaven, yang mana Tuhan digambarkan sebagai pribadi yang tanpa lelah mengejar mangsaNya.

Kenosis dalam Konteks Misi
Kalau kita sudah memahami dalam diri Tuhan Yesus, Ia merendahkan diriNya sebegitu rendah seperti manusia berdosa, begitu pula yang seharusnya kita sebagai orang Kristen lakukan. Aplikasinya adalah kita belajar untuk taat pada kehendak Bapa di dalam misi kita untuk menyebarkan injil, menjadi firman yang hidup. Apa artinya? Di tengah dunia yang jatuh dalam dosa, kita harus belajar untuk merendahkan diri kita, menjadi serupa dengan orang-orang luar sana.

Ketika kita bertemu dengan orang-orang yang kelihatannya lebih berdosa daripada kita (seringkali kita berpikir lebih bejat), kita cenderung memisahkan diri dengan mereka. Kita cenderung menghindari konfrontasi dengan orang-orang yang “hina”, dalam artian kita hanya mau melihat orang-orang sepelayanan kita. Kita melupakan apa yang telah dilakukan Tuhan Yesus.

Siapa kumpulan Tuhan Yesus? Selama hidupnya, Tuhan Yesus tidak merasa nyaman dengan orang-orang yang dianggap suci di tengah masyarakat (orang farisi dan ahli taurat), melainkan ia berkumpul dengan pemungut cukai, orang-orang yang dipandang rendah di dalam masyarakat Yahudi saat itu.

Tidak mudah untuk kita memiliki pemikiran seperti Yesus. Sangat sering kita menghindar dari komunitas orang yang sudah “hancur” tetapi kita terlalu nyaman dengan komunitas kita. Kita lupa bahwa Tuhan Yesus, di dalam pelayananNya tidak melihat itu semua. Tuhan melihat iman seseorang, bukan apa yang ia lakukan selama kehidupannya. Akhirnya peran kita sebagai garam, kita malah mengasini lautan yang sudah sangat asin, ataupun kita bersinar di tempat yang sudah penuh dengan penerangan.

Orang Kristen yang menolak sistem kasta, malah sebenarnya kita sendiri sudah membentuk kasta-kasta dalam kehidupan kita. Kita melupakan apa yang sudah dilakukan Tuhan Yesus di dalam kehidupan kita. Terlalu nyaman dalam komunitas kita sampai kita lupa peran kita sebagai orang Kristen. Akhirnya kita membentuk sebuah komunitas yang “super eksklusif”. Apa maksudnya? Kita melihat orang-orang yang masuk ke sana adalah orang-orang yang suci. Kita mendefinisikan kesucian, membentuk taurat-taurat yang baru, menjadi orang farisi modern, lupa apa yang sudah Tuhan Yesus lakukan buat kehidupan kita.

Kenosis : Panggilan Orang Percaya
Memaknai panggilan kita sebagai orang-orang yang sudah terlebih dahulu dilayani oleh Allah, jelas bahwa kita pun dipanggil untuk melakukan pelayanan seperti Yesus. Tuhan Yesus menunjukkan dengan jelas bahwa di tengah radikalnya ajarannya, ia tetap dapat membaur. Ia dapat membedakan toleransi dan kompromi. Ia dapat masuk ke masyarakat pada konteks jaman Yahudi pada waktu itu. Ia dapat merendahkan diriNya sebagai manusia, dihina, disakiti, bahkan mati di kayu salib.

Kita sebagai orang percaya tentunya memiliki kewajiban yang sama dengan apa yang sudah dilakukan Yesus. Melebur ke masyarakat, tetapi tidak larut dalam kehidupan mereka. Cara yang terbaik untuk dapat masuk ke masyarakat adalah dengan memasuki kehidupan mereka, bukan menghilangkan identitas kita sebagai orang percaya, tetapi menampilkan gaya hidup yang sama sekali berbeda meski kita menjadi seperti mereka. Merendahkan diri, menjadikan diri “kita” sama dengan “mereka”, dan tentunya menyamakan “bahasa” yang mereka pakai.

Sebuah ilustrasi yang menarik:
Seorang penginjil memiliki tugas untuk membuat anak-anak kecil yang tertangkap karena mencuri untuk sekolah. Bagaimana caranya memberikan tawaran tersebut kepada mereka?
Penginjil: saya bisa memberikan kamu kekayaan, pendapatanmu bisa sampai 30x – 50x daripada sekarang. Bagaimana? Tertarik?
Anak-anak itupun tercengang, dan mereka bertanya kepada penginjil itu: bagaimana bisa pak? Kami penasaran caranya!
Penginjil itupun mengatakan: pencurian yang kalian lakukan adalah tindakan bodoh, ada cara yang lebih smart! Kalian lihat pencuri-pencuri yang berdasi, yang ada di pemerintahan sekarang?
Anak-anak itu terbengong-bengong. Penginjil itu melanjutkan: mereka itu bisa punya penghasilan 30-50 kali lipat daripada yang kalian lakukan. Sudah begitu mereka bisa jadi tokoh masyarakat loh! Gimana? Perbedaannya sama kalian adalah: mereka SEKOLAH, mereka PINTAR, berbeda dengan kalian.

Menarik sekali ilustrasi ini. Ketika kita berbicara dengan kumpulan pencuri, maka kita juga harus berbicara dengan “bahasa” mereka. Pointnya bukan berarti kita setuju koruptor, tapi bagaimana cara kita untuk dapat mendekati orang-orang yang akan kita ajak untuk lebih mengenal Tuhan Yesus. Butuh latihan untuk hal ini, tidak semua orang pintar dapat melakukannya. Tuhan tidak mencari orang dengan kemampuan teologi yang tinggi, tapi hatinya tidak mau merendahkan diri, yang dapat berkumpul dengan pendosa-pendosa. Kita pun adalah pendosa, yang mana Kristus sudah hadir untuk kita, menjalankan misinya, Ia taat menjalankan rencana Bapa dalam kehidupan-Nya. Bagaimana dengan kita?


Soli Deo Gloria

Sunday, November 3, 2013

Belajar dari Panggilan Musa

Pada waktu itu, ketika Musa telah dewasa, ia keluar mendapatkan saudara-saudaranya untuk melihat kerja paksa mereka; lalu dilihatnyalah seorang Mesir memukul seorang Ibrani, seorang dari saudara-saudaranya itu.
(Keluaran 2:11)

Itu adalah suatu indikasi dari visi yang ditetapkan Tuhan bagi Musa – yakni pembebasan bangsa Israel dari tanah Mesir. Itu adalah suatu momen yang indah dalam kehidupan seseorang saat ia menyadari bahwa dia harus menentukan suatu jalan hidupnya. Musa “dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya” (Kisah Para Rasul 7:22, seseorang dengan latar belakang kerajaan melalui penyertaan Allah, dan ia melihat penderitaan dari umat Allah dan seluruh hati dan pikirannya terbakar dengan visi yang mana dia akan menjadi seseorang yang membebaskan mereka.

Tetapi sebelum hal tersebut terjadi, ada suatu halangan di jalannya, dan Allah mengirim Musa ke padang gurun, dan tebak apa pekerjaannya? Dia menggembelakan domba selama 40 tahun. Coba bayangkan kita ada di posisi Musa saat itu, kita tahu bahwa kita akan menjadi seseorang yang rindu untuk menghantarkan bangsa Israel menuju suatu kebbeasan; yang mana itu menjadi keyakinan kita bahwa itu adalah visi kita, dan coba bayangkan saat itu Musa pasti memikirkan apa yang sebenarnya Tuhan mau kerjakan dalam 40 tahun hidupnya menggembalakan domba.

Kemudian kita kembali membaca bahwa Allah muncul di hadapan Musa dan berkata, “Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir." (Keluaran 3:10) Empat puluh tahun telah lewat sejak dia mendapatkan visi itu dan kita melihat suatu perbedaan yang sangat besar dari diri Musa. Bukan lagi “SAYA yang besar”, tetapi “saya yang kecil”. Ketika Allah datang dengan suatu panggilan yang diperbaharui, Musa bergetar di dalam kelemahannya “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (ayat 11). “saya yang kecil” selalu merajuk saat Allah berkata “Lakukan”. Allah yang Mahakuasa itu kemudian menjawab Musa dengan penuh kemarahan: “"AKU ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu." (ayat 14). “Saya yang besar” dan “saya yang kecil” harus segera meninggalkan saya sampai tidak ada lagi “saya” tetapi Allah; Dia haruslah menguasai hidup kita.

Biarlah “saya yang kecil” semakin diciutkan, semakin dikecilkan lagi dalam kemarahan Allah. Bukankah ini hal yang menarik, yang mana Allah mengetahui setiap langkah kita, dimana kita merangkak masuk ke dalam tempat tinggal kita, tidak peduli dimana pun kita bersembunyi. Dia akan menunjukkan diriNya kepada kita seperti sebuah kilatan petir. Tiada orang lain yang mengetahui manusia seperti yang Allah tahu atas diri kita.

"Ada suatu tempat dekat-Ku, di mana engkau dapat berdiri di atas gunung batu” (Keluaran 33:21). Musa datang pada suatu realitas, yakni dimana Ia tahu bahwa Ia dikenal oleh Allah. Tempat untuk Musa dalam pikiran Allah adalah di gunung batu, dimana ia dikenal oleh Allah sebagai rekan sekerjaNya. Tiada tempat yang dapat membelokkan hidup yang ditempatkan Allah pada suatu gunung batu. Setelah dipermalukan selama 40 tahun Musa akhirnya mencapai suatu kondisi dimana ia diterima oleh Allah tanpa terlalu ditinggikan.

Tiada orang yang pernah berdiri di sebelah Allah yang mana dia tidak pernah berdiri di sebelah dirinya sendiri, dan dijatuhkan dari akal pikirannya dengan kekuatiran dan kebingungan tentang kekacauan yang mereka buat tentang banyak hal yang mereka lakukan. Itulah arti dari keyakinan atas dosa, tentang kesadaran, “Betapa aku adalah orang yang bodoh! Betapa aku adalah orang yang jahat dan kejam! Dan aku seharusnya menjadi seperti ini dan seperti itu!”

Pengalaman Musa adalah suatu pengalaman yang mana adalah suatu kepastian bahwa Allah akan membawa kita pilang dan Allah telah mempersiapkan kita untuk melakukan sesuatu, dan kita menyadari bahwa kita memiliki suatu potensi untuk melakukan apa yang Dia mau untuk kita lakukan. Kita dapat mengingat kembai suatu realita yang sempurna tentang visi, suatu pemahaman yang jelas bahwa Allah memanggil kita. Kita berkata “aku tahu bahwa Ia mengatakan hal itu, aku hampir saja melihatNya, hal itu sangat nyata. Aku tahu bahwa Allah memanggilku untuk menjadi seorang misionaris. Tetapi itu terjadi di masa laluku, dan aku kira aku salah, karena, lihat padaku sekarang, bahwa aku telah bekerja di tempat lain.” Kita harus menyadari bahwa kita tidak sedang salah. Panggilan itu adalah sesuatu yang benar, tetapi kamu belum siap untuk hal itu. Allah harus memberikan proses terlebih dahulu bagi kita. Ada suatu waktu dimana kita akan mengalami keterpurukan sebelum visi menjadi suatu realitas hidup kita. Kita harus belajar bahwa tidak hanya “betapa kita tidak berguna”, tetapi “betapa luar biasanya Allah yang mahakuasa itu”.

Pikirkan tentang betapa besar sukacita yang berasal dari Allah! Dia tidak pernah terlalu terburu-buru. Kita yang biasanya ada di dalam keterburu-buruan. Kita jatuh tersungkur di hadapan Allah dan berdoa, kemudian kita bangun dan berkata: “Semuanya ini selesai sekarang,” dan pada kemuliaan visi yang Allah berikan kita berangkat dan mengerjakan visi itu. Tetapi hal itu tidak nyata, dan Allah haeus membawa kita sampai ke lembah dan meletakkan kita pada api dan suatu kondisi yang begitu berat untuk membentuk kita, sampai kita mencapai sebuah kondisi dimana Dia dapat mempercayakan kita sebuah realitas dari pengakuanNya atas kita.


Soli Deo Gloria!