Memasuki
bulan Juli, saudara-saudara sebangsa dan setanah air memasuki bulan suci
menyambut bulan ramadhan. Ya, bulan Juli hingga awal Agustus nanti, rekan-rekan
dari agama Islam akan menikmati indahnya ibadah puasa. Indonesia, sebagai salah
satu negara Islam terbesar di dunia, tentu juga menikmati ibadah puasa pula.
Kaum muslim di Indonesia tentu perlu bersyukur bahwa di Indonesia, rasa
toleransi masih sangat terjaga.
Ada
beberapa realita yang unik, dan menarik di Indonesia menyambut bulan ramadhan
dan masa puasa. Tulisan ini bertujuan untuk setidaknya “rethinking” tentang
sebenarnya apa makna puasa itu?
1.
Setiap pagi sekitar pukul
2.30, ada beberapa orang, mulai berteriak-teriak di kompleks rumah saya.
Teriakan itu sungguh merdu dan penuh berkah. Ya, apalagi kalau bukan “bangun! Bangun,
waktunya sahur!” Entahlah apakah sebenarnya teriakan-teriakan itu perlu? Mari
berpikir ulang, bahwa kalau kita perlu dan kita ingin benar-benar “submit to
God”, yang menjadi arti dari Islam sendiri, apakah untuk mendekat kepada Allah
kita perlu dibangunkan? Apakah arti ibadah itu manakala kita bangun pagi dengan
terpaksa? Kalau kita memang belajar untuk mengasihi Allah, bukankah kita akan
mempersiapkan segala cara untuk kita dapat bangun pagi? Diantaranya adalah kita
pasang alarm, memberitahu keluarga kita, dan sebagainya. Artinya ritual
membangunkan ini justru bisa jadi bagi rekan-rekan yang non-muslim menjadi
sesuatu yang “ganjil”. Mengapa? Akhirnya Islam dipandang sebagai agama yang
penuh dengan keterpaksaan untuk bangun pagi dan hanya mbelani untuk makan.
2.
Di sekitar kompleks rumah
saya, ada banyak sekali warung tegal yang biasanya buka dari jam 07:00 hingga
21:00. Bisa dibayangkan betapa ramainya warung tersebut dan begitu berkembang. Namun
di tengah bulan puasa, semuanya menutup diri. Semuanya akhirnya buka mulai jam
17:00, menghidangkan menu-menu lezat bagi rekan-rekan beragama Muslim untuk
mulai berbuka puasa. Wah nikmatnya! Namun kalau kita amati lagi lebih jauh,
sebenarnya pentingkah bagi warung-warung itu untuk menutup diri? Apakah perlu
warung-warung itu akhirnya menutup seluruh warungnya dengan kain-kain agar
makanan itu menjadi tidak nampak dari luar? Saya hanya membayangkan, “Wah enak
sekali kita sangat didukung di dalam puasa!”. Apakah benar? Bukankah inti dari
puasa adalah menahan godaan dari luar untuk kita menahan nafsu makan kita, agar
kita tidak marah-marah, dan seterusnya. Apakah dengan seluruh makanan tertutup
seperti itu, lalu nafsu apa yang harus kita tahan?
3.
Tempat-tempat hiburan tutup
pada bulan puasa. Karaoke, pijat plus-plus, diskotik, dan sebagainya ternyata
tidak boleh buka. Ada satu berita pula kalau setiap hari selama bulan puasa,
aparat rajin melakukan razia terkait dengan tempat-tempat seperti itu. Wow! Apabila
saya sebagai orang non-muslim hanya bertanya: “Kalau begitu, apakah selama
bukan hari puasa, apabila saya seorang muslim, saya boleh melakukan hal-hal
tersebut?” ah sungguh menarik bukan? Pertanyaan yang sama sebenarnya dengan
nomor dua tadi, jadi sebenarnya apakah hanya saat bulan puasa saja tempat
seperti itu harus ditutup? Ada inkonsistensi disini apabila orang-orang muslim
mengatakan bahwa mereka adalah agama yang cinta damai dan toleransi. Apabila
seorang muslim mengatakan bahwa mereka adalah agama yang toleran, maka
sebenarnya tempat-tempat maksiat seperti itu tidak perlu ditutup. Ingat, ada
banyak orang yang memang menjadi penikmat tempat itu, namun sebagai orang Islam
yang taat, bukankah kita akan menjadi punya dorongan yang kuat untuk menahan
godaan itu? Konsisten melakukan sholat dan dzikir, maka sebenarnya bisa kok
hal-hal tersebut dilalui. Jadi bukan hanya pada saat puasa, lalu setelah puasa
kita jadi salah satu dari penikmat-penikmat tempat-tempat seperti itu, bukankah
itu tidak konsisten? Ayo belajar pelihara konsistensi kita. Bukankah internal
hati kita itu jauh lebih penting daripada kondisi di sekitar kita?
Saya percaya bahwa puasa memang
tidak dapat menghalangi kita untuk melakukan hal-hal yang buruk, tetapi
bayangkan saja, kita bisa jadi orang-orang yang justru membohongi diri kita
sendiri dengan inkonsistensi dalam tindakan kita. Kita bilang bahwa kita puasa,
tapi realitanya mungkin kita sedih juga kalau tidak bisa karaoke, dan
sebagainya.
Saat
ini cukup saya memaparkan 3 realita tersebut, dan saya mencoba mengkaji
kembali, apa sebenarnya arti toleransi? Toleransi itu seperti semboyan negara
kita yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, yaitu justru di dalam suatu perbedaan suku,
agama, dan ras, kita boleh semakin hari makin bertumbuh di dalam kecintaan kita
terhadap tanah air. Artinya apa? Sebagai bangsa Indonesia, kita sering dengar
istilah “Hormatilah orang yang berpuasa”, dan saya mau menawarkan kepada
rekan-rekan sebangsa dan setanah air, bagaimana jika semboyan itu menjadi “Hormatilah
orang yang tidak berpuasa”? bagaimana menurut rekan-rekan? Menurut saya itu
jauh lebih menunjukkan indahnya Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki
toleransi.
Saya
hidup di Bogor, dan saya tak tahu apa yang dialami di daerah-daerah sekitar
Indonesia. Saya sedih melihat realita bangsa yang “bhinneka tunggal ika” ini
saat ini ingin dihancurkan oleh beberapa oknum yang menamakan dirinya “Islam”,
namun sama sekali tidak mencerminkan sifat-sifat atau atribut yang dimiliki seorang
Islam. Saya percaya bahwa realita ini tentu perlu dikaji ulang, serta kita
sebagai bangsa perlu berpikir tentang hal-hal seperti ini, bahwa ternyata
realita bangsa Indonesia adalah bangsa yang penuh dengan diversity. Jangan
sampai diversity menjadi sesuatu yang menghancurkan, namun justru jadi satu
kesempatan untuk belajar saling menopang sebagai orang-orang Indonesia. Warga
negara Indonesia! Salam!