Total Pageviews

Sunday, July 21, 2013

Bulan Penuh Kemenangan

Memasuki bulan Juli, saudara-saudara sebangsa dan setanah air memasuki bulan suci menyambut bulan ramadhan. Ya, bulan Juli hingga awal Agustus nanti, rekan-rekan dari agama Islam akan menikmati indahnya ibadah puasa. Indonesia, sebagai salah satu negara Islam terbesar di dunia, tentu juga menikmati ibadah puasa pula. Kaum muslim di Indonesia tentu perlu bersyukur bahwa di Indonesia, rasa toleransi masih sangat terjaga.

Ada beberapa realita yang unik, dan menarik di Indonesia menyambut bulan ramadhan dan masa puasa. Tulisan ini bertujuan untuk setidaknya “rethinking” tentang sebenarnya apa makna puasa itu?

1.       Setiap pagi sekitar pukul 2.30, ada beberapa orang, mulai berteriak-teriak di kompleks rumah saya. Teriakan itu sungguh merdu dan penuh berkah. Ya, apalagi kalau bukan “bangun! Bangun, waktunya sahur!” Entahlah apakah sebenarnya teriakan-teriakan itu perlu? Mari berpikir ulang, bahwa kalau kita perlu dan kita ingin benar-benar “submit to God”, yang menjadi arti dari Islam sendiri, apakah untuk mendekat kepada Allah kita perlu dibangunkan? Apakah arti ibadah itu manakala kita bangun pagi dengan terpaksa? Kalau kita memang belajar untuk mengasihi Allah, bukankah kita akan mempersiapkan segala cara untuk kita dapat bangun pagi? Diantaranya adalah kita pasang alarm, memberitahu keluarga kita, dan sebagainya. Artinya ritual membangunkan ini justru bisa jadi bagi rekan-rekan yang non-muslim menjadi sesuatu yang “ganjil”. Mengapa? Akhirnya Islam dipandang sebagai agama yang penuh dengan keterpaksaan untuk bangun pagi dan hanya mbelani untuk makan.

2.       Di sekitar kompleks rumah saya, ada banyak sekali warung tegal yang biasanya buka dari jam 07:00 hingga 21:00. Bisa dibayangkan betapa ramainya warung tersebut dan begitu berkembang. Namun di tengah bulan puasa, semuanya menutup diri. Semuanya akhirnya buka mulai jam 17:00, menghidangkan menu-menu lezat bagi rekan-rekan beragama Muslim untuk mulai berbuka puasa. Wah nikmatnya! Namun kalau kita amati lagi lebih jauh, sebenarnya pentingkah bagi warung-warung itu untuk menutup diri? Apakah perlu warung-warung itu akhirnya menutup seluruh warungnya dengan kain-kain agar makanan itu menjadi tidak nampak dari luar? Saya hanya membayangkan, “Wah enak sekali kita sangat didukung di dalam puasa!”. Apakah benar? Bukankah inti dari puasa adalah menahan godaan dari luar untuk kita menahan nafsu makan kita, agar kita tidak marah-marah, dan seterusnya. Apakah dengan seluruh makanan tertutup seperti itu, lalu nafsu apa yang harus kita tahan?

3.       Tempat-tempat hiburan tutup pada bulan puasa. Karaoke, pijat plus-plus, diskotik, dan sebagainya ternyata tidak boleh buka. Ada satu berita pula kalau setiap hari selama bulan puasa, aparat rajin melakukan razia terkait dengan tempat-tempat seperti itu. Wow! Apabila saya sebagai orang non-muslim hanya bertanya: “Kalau begitu, apakah selama bukan hari puasa, apabila saya seorang muslim, saya boleh melakukan hal-hal tersebut?” ah sungguh menarik bukan? Pertanyaan yang sama sebenarnya dengan nomor dua tadi, jadi sebenarnya apakah hanya saat bulan puasa saja tempat seperti itu harus ditutup? Ada inkonsistensi disini apabila orang-orang muslim mengatakan bahwa mereka adalah agama yang cinta damai dan toleransi. Apabila seorang muslim mengatakan bahwa mereka adalah agama yang toleran, maka sebenarnya tempat-tempat maksiat seperti itu tidak perlu ditutup. Ingat, ada banyak orang yang memang menjadi penikmat tempat itu, namun sebagai orang Islam yang taat, bukankah kita akan menjadi punya dorongan yang kuat untuk menahan godaan itu? Konsisten melakukan sholat dan dzikir, maka sebenarnya bisa kok hal-hal tersebut dilalui. Jadi bukan hanya pada saat puasa, lalu setelah puasa kita jadi salah satu dari penikmat-penikmat tempat-tempat seperti itu, bukankah itu tidak konsisten? Ayo belajar pelihara konsistensi kita. Bukankah internal hati kita itu jauh lebih penting daripada kondisi di sekitar kita?
Saya percaya bahwa puasa memang tidak dapat menghalangi kita untuk melakukan hal-hal yang buruk, tetapi bayangkan saja, kita bisa jadi orang-orang yang justru membohongi diri kita sendiri dengan inkonsistensi dalam tindakan kita. Kita bilang bahwa kita puasa, tapi realitanya mungkin kita sedih juga kalau tidak bisa karaoke, dan sebagainya.

Saat ini cukup saya memaparkan 3 realita tersebut, dan saya mencoba mengkaji kembali, apa sebenarnya arti toleransi? Toleransi itu seperti semboyan negara kita yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, yaitu justru di dalam suatu perbedaan suku, agama, dan ras, kita boleh semakin hari makin bertumbuh di dalam kecintaan kita terhadap tanah air. Artinya apa? Sebagai bangsa Indonesia, kita sering dengar istilah “Hormatilah orang yang berpuasa”, dan saya mau menawarkan kepada rekan-rekan sebangsa dan setanah air, bagaimana jika semboyan itu menjadi “Hormatilah orang yang tidak berpuasa”? bagaimana menurut rekan-rekan? Menurut saya itu jauh lebih menunjukkan indahnya Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki toleransi.


Saya hidup di Bogor, dan saya tak tahu apa yang dialami di daerah-daerah sekitar Indonesia. Saya sedih melihat realita bangsa yang “bhinneka tunggal ika” ini saat ini ingin dihancurkan oleh beberapa oknum yang menamakan dirinya “Islam”, namun sama sekali tidak mencerminkan sifat-sifat atau atribut yang dimiliki seorang Islam. Saya percaya bahwa realita ini tentu perlu dikaji ulang, serta kita sebagai bangsa perlu berpikir tentang hal-hal seperti ini, bahwa ternyata realita bangsa Indonesia adalah bangsa yang penuh dengan diversity. Jangan sampai diversity menjadi sesuatu yang menghancurkan, namun justru jadi satu kesempatan untuk belajar saling menopang sebagai orang-orang Indonesia. Warga negara Indonesia! Salam!