Kejadian 50:15-21
Kisah Yusuf pada bagian ini berbicara mengenai bagaimana
kita belajar untuk memaafkan setiap hal buruk yang sudah direncanakan orang
lain. Tetapi kalau kita pelajari lebih dalam, kisah ini juga mengajarkan begitu
banyak hal lain, yakni tentang bagaimana kita bersyukur dan bagaimana kita
menjawab serta memaknai panggilan dan rencana Tuhan di dalam kehidupan kita.
Garis Besar Kehidupan Yusuf
Kita tahu bahwa semuanya dimulai dari sebuah mimpi. Mimpi
Yusuf yang mengakibatkan dia dijual oleh saudara-saudaranya dengan harga yang
jauh lebih murah dibandingkan dengan harga budak normal. Perjalanan ini adalah
perjalanan yang jauh, dari Dotan menuju ke Mesir, dan bisa dibayangkan – tanpa
onta (karena dia adalah orang yang dibeli), kemudian tentu saja tidak ada jalan
raya di jaman itu. Jadi ini adalah perjalanan yang begitu jauh dan berbahaya.
Normalkah ketika seseorang ngambek di dalam perjalanan seperti sampai menumpuk dendam kepada
orang-orang yang menyebabkan dia menjadi seperti ini? Yusuf di dalam menempuh
perjalanan yang jauh itu tentu ada kondisi dimana dia lelah, dia kehausan, dan
dia bisa saja emosi terhadap saudara-saudaranya.
Sesampainya di Mesir, kondisipun tidak jauh lebih baik.
Ia telah bekerja dengan sebaik-baiknya ketika berada di rumah Potifar. Suatu
hari pun istri Potifar menyebabkan dia masuk ke penjara. Ia difitnah di dalam
usahanya untuk bekerja secara baik-baik. Dia sudah melakukan yang terbaik lho,
tetapi ia berhak bertanya: mengapa Tuhan menempatkan dia di posisi seperti ini.
Bagaimana dengan kehidupan di penjara? Yusuf pun
melakukan sesuatu yang terbaik. Ia menegaskan mimpi dari juru minuman raja dan
juru roti. Mimpi keduanya ia sampaikan dan tafsirkan dengan begitu tepat.
Tetapi balasan apa yang ia dapat? Juru minuman raja pun juga sama sekali lupa
mengenai karya Yusuf. Akhirnya tetap saja, Yusuf harus terus menjalani hukuman
penjaranya.
Sampai pada satu kali ketika Firaun bermimpi, dan saat
itulah juru minuman raja baru mengingat bagaimana pada akhirnya ia dapat
kembali ke istana. Ia akhirnya ingat tentang Yusuf, dan benar saja, Yusuf bisa
menafsirkan mimpi itu dengan tepat. Melalui jasanya itulah ia menjadi orang
nomor 2 di kerajaan Mesir pada waktu itu. Hal itu membuat Yusuf memiliki kuasa
yang begitu besar pada jaman itu.
Rekonsiliasi bukan Balas Dendam
Mengapa Yusuf bisa bersabar di dalam menghadapi berbagai
tantangan hidup? Dia bisa aja menjadi marah kepada Tuhan dan juga kepada
saudaranya. Kalau dia hanya berhenti melihat hidupnya sampai kepada momen
dimana dia dijual oleh saudara-saudaranya, maka dia akan mengalami kepahitan
yang begitu dalam. Kalau dia berhenti pada momen dimana dia dipenjara, maka dia
akan mengalami kepahitan kepada istri Potifar dan Potifar, yang mungkin ending
dari berita alkitab ini bukanlah sebuah rekonsiliasi keluarga, tetapi
pembantaian.
Menarik kalau kita melihat berita alkitab ini, Yusuf
mengampuni saudara-saudaranya secara tersurat, dan secara tersirat kalau dia
mau, dia punya kuasa buat menghukum Potifar dan istrinya. Dia punya kuasa untuk
menghancurkan hidup dari juru minuman raja yang melupakannya. Bahkan dia punya
kesempatan buat mencari pedagang-pedagang budak yang membeli dia untuk membalas
dendam.
Tetapi Yusuf tidak melakukan semuanya itu, bahkan di
dalam kebohongan yang diutarakan oleh saudara-saudaranya ketika bertemu muka
dengan muka dengan Yusuf.
Melihat Gambaran Besar Allah
Ketika diberikan janji oleh Tuhan melalui mimpi bahwa
Yusuf akan menjadi seseorang yang jauh lebih besar daripada saudara-saudaranya
– bahkan ayahnya – maka dia berpegang teguh pada janji Allah. Tentu saja hal
ini tidak mudah ketika kita belum mengetahui apa rencana Tuhan di dalam
kehidupan kita. Apalagi akan sangat jarang terjadi dalam hidup kita bahwa kita
akan diberikan sebuah mimpi tertentu oleh Tuhan.
Maka dari itu penting bagi kita buat memahami rencana
besar atau gambaran besar Allah. Kita mengetahui dengan jelas sekali bahwa:
1.
Sebab rancangan-Ku bukanlah
rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti
tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan
rancangan-Ku dari rancanganmu.
(Yes 55:8-9)
2.
Aku bersyukur kepada-Mu oleh
karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku
benar-benar menyadarinya.
(Mzm 139:14)
3.
Kita tahu sekarang, bahwa Allah
turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang
mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.
(Rom 8:28)
Ketika Allah berfirman demikian, bukankah itu menjadi
jaminan bagi setiap kita bahwa ada gambaran besar yang Tuhan sediakan dalam
kehidupan kita. Oke maybe untuk saat ini kita belum memahami rencana tersebut
dalam kehidupan kita, tetapi satu hal yang kita tahu bahwa masa lalu kita, masa
kini, dan masa depan kita semuanya sudah dirancangkan dengan sungguh amat baik.
Hal inilah yang membuat Yusuf ‘kebal’ dan fokus terhadap
tujuan itu. Ia telah mengetahui tujuan akhir dari gambaran besar yang Allah
sediakan. Jadi apapun yang ia alami, ia senantiasa belajar buat mengingat
tujuan akhir itu. Hal tersebut akan membuat kita menjadi sadar akan bahwa tidak
ada satu hal pun di dalam dunia ini yang lepas dari kontrol Tuhan.
Move On!
Pembelajaran yang perlu kita pahami adalah kalau Tuhan
telah merancangkan bahwa setiap hal yang terjadi dalam hidup kita merupakan
kebaikan, nyatanya hidup kita dipenuhi dengan berbagai hal yang justru membuat
kita tidak dapat memandang kebaikan Tuhan. Contohnya kita mengalami berbagai
macam kegagalan dalam hidup. Kita sudah mencoba dengan berbagai effort kita
tetapi ternyata gagal. Padahal itupun juga ternyata untuk mengerjakan sesuatu
yang baik, yang “sesuai dengan kehendak Tuhan”.
Balik lagi bahwa kita akan menjadi gagal paham kalau kita
tidak memaknai setiap kegagalan dalam hidup kita merupakan sebuah kesempatan
bagi kita untuk bertumbuh dan berbuah. Sadarkah Yusuf bahwa ternyata di dalam
proses kehidupannya, Allah mengajarkan dia untuk menjadi seseorang yang lebih
bijak, lebih tahan uji, bahkan di tengah berbagai kejadian tidak enak yang ia
alami.
Apa yang membuat kita gagal paham seperti ini? Karena kita
gagal buat move on dari setiap perkara yang ada di dalam hidup kita. Kita tidak
peka dan akhirnya menggunakan kekuatan kita sendiri dalam menghadapi hidup.
Padahal, Tuhan sendiri yang menyatakan:
Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan
memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku,
karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.
Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan."
(Mat 11:28-30)
Jadi,
ketika ada berbagai persoalan hidup yang kita anggap bahwa itu diluar kemampuan
kita, itu tidak sepenuhnya salah. Yap, ketika kita hanya seorang diri dalam
memahami kejadian itu, kembali lagi: kita gagal paham. Kita gagal melihat karya
Allah. Pendek kata, kita gagal untuk bertanya dan menjawab: “Apa yang mau Tuhan
kerjakan dalam hidupku?”
Ketika
kita belajar bertanya kepada diri sendiri dan kepada Tuhan, maka kita akan
mendapati bahwa ada rancangan-rancangan indah yang Tuhan sediakan. Itulah yang
membuat senantiasa kita bisa bersyukur atas kasih karunia yang Tuhan rancangkan
dalam kehidupan kita.
Menyadari Kasih Allah
Allah
mengasihi Yusuf, dan tidak berhenti disana. Allah mengasihi Yusuf dan terutama
Dia juga mengasihi Israel. Ia merawat sebuah bangsa dengan cara yang luar
biasa. Satu orang yang dijadikan ‘korban’ (ya, Yusuf bisa saja melihat bahwa
dirinya adalah korban) demi menyelamatkan seluruh bangsa. Saat ini pun ada
tawaran di dalam diri setiap kita pribadi lepas pribadi.
Ketika
Allah sudah menyerahkan segalanya melalui karya salib Kristus dalam kehidupan
kita, bagaimana respons kita? Ketika Allah sudah sedemikian mengasihi kita,
bagaimana sikap kita kepadaNya? Atau malah bagaimana sikap kita terhadap diri
kita sendiri – yang merupakan karya terbesar Allah? Apakah kita mau belajar
mengasihi diri kita, dan mengasihi orang lain sebagaimana Allah telah mengasihi
setiap kita?
Mari kita
merenungkannya. Tidak mudah untuk memahami gambaran besar Allah. Apalagi ketika
kita ada di dalam berbagai kegagalan yang melanda kita. Kita gagal dalam satu
dan lain hal. Kita gagal mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan. Kita gagal
dalam relasi kita. Kita gagal dalam pekerjaan kita. Ada berbagai kegagalan di
dalam hidup kita.
Kita
bandingkan dengan bagaimana nabi-nabi yang melayani bangsa Israel dan Yehuda di
jaman dahulu. Yeremia, di tengah tangisannya, ia sempat jatuh pada kegagalan
untuk melihat gambaran besar Allah itu dengan sebuah pernyataan: sungguh,
Engkau seperti sungai yang curang bagiku!
Ketika ada
kekecewaan dalam diri kita, mau nggak kita kembali menyadari akan kasih Allah
selama ini? Saat kita menyadari bahwa Tuhan ternyata sudah sedemikian jauh
menghantarkan hidup kita sampai dengan saat ini, apakah kita melupakan seluruh
masa hidup yang lampau itu dimana kita masih bisa hidup itupun karena karya
Allah? Ataukah kita mau belajar untuk berpikir bahwa ketika Tuhan sudah membawa
hidup kita sampai pada titik ini, dengan keyakinan penuh bahwa rancanganNya
adalah damai sejahtera, maka kita dapat menikmati hidup ini dalam kasih
karunia.
Bukan
berarti bahwa kita tidak peduli atas kehidupan kita. Bukan berarti bahwa kita
berkata “ya wes lah Tuhan aku pasrah”, kemudian akhirnya kita tidak memikirkan
sesuatu rencana masa depan kita. Tetapi ketika kita merancangkan masa depan
kita kedepan, marilah kita melibatkan Dia di dalam setiap hal yang kita
pikirkan, kita kerjakan. Ketika kita melibatkan Tuhan, maka hidup kita akan
berubah, sampai pada satu titik bahwa ketika kita gagal, kita bisa bersyukur
pada Tuhan. Ketika kita mendapatkan sesuatu, kita pun bertanya: “apa yang mau
Tuhan kerjakan melalui hal yang aku dapatkan ini?”
Mari
belajar peka dan punya respons yang benar. Seperti Yusuf yang senantiasa siap
diproses dan dipersiapkan menjadi pribadi yang jauh lebih indah, dan mau
menerima segala hal di dalam hidupnya, marilah kitapun belajar untuk peka dan
menikmati anugrah Allah yang sudah Ia sediakan melalui setiap kejadian dalam
hidup kita.
Soli Deo Gloria!