Total Pageviews

Sunday, August 30, 2015

Menantikan Janji Tuhan

Percakapan ini adalah percakapan Jessica, keluar dari mulutnya manakala kami berdua bercakap-cakap sembari menanti keberangkatanku ke Jakarta hari ini.

“Nggak sedih kan ko, nggak sesedih biasanya kan?” tanya dia
“hmmm.. gimana ya… “ jawabku
“Ya kan pasti balik, pasti ketemu lagi…” kata Jessica.

Kami menjalani hubungan LDR ini selama 2 tahun – setidaknya semenjak aku mengajak dia untuk bergumul mengenai hubungan kami. Tetapi menarik bahwa ketika kami berdua bertemu, selalu ada hal yang “harus” kami pelajari, sekalipun itu berasal dari kalimat-kalimat yang kami ucapkan. Ataupun juga tindakan-tindakan yang kami berdua lakukan bersama.

Siang itu, kami berdua duduk di ruang tamu. Seperti biasa sepulang dari gereja sembari menanti jam keberangkatanku kembali ke Surabaya, kami berdua bercakap-cakap. Menarik untuk direnungkan saat ini adalah ada suatu keyakinan di dalam diri Jessica bahwa aku akan kembali lagi. Jadi dia menganggap bahwa sebenarnya kita berdua nggak perlu terlalu sedih, karena masing-masing kami tahu toh kami juga akan ketemu lagi suatu saat.

Awalnya aku merasa agak aneh juga sih. Tetapi ketika aku renungkan saat terbang, aku menemukan ada sesuatu yang unik di dalam pernyataan itu. Apakah itu? Bukankah itu juga yang dikatakan Tuhan di dalam kehidupan kita? Bahwa ada janji Tuhan manakala Ia akan datang kembali untuk kedua kalinya?

Tertegun juga sebenarnya. Dalam rangka merayakan wisuda kemarin, aku tidak pernah berharap bahwa akan belajar mengenai hal ini dari ucapannya. Menarik bahwa sama sekali tidak tersurat rasa sedih, ataupun rasa penantian manakala aku akan meninggalkannya. Justru yang ada adalah senyuman penuh sukacita dan memberi semangat, di dalam perkataan-perkataan yang kelihatannya memojokkan tetapi ternyata kalau direnungkan dari sisi yang lain sangat indah.

Allah akan datang kembali. Paling tidak itulah yang kita yakini sebagai janji Tuhan manakala Ia datang ke dunia ini, di dalam diri Yesus Kristus. Murid-murid pun bukanlah pribadi yang meyakinkan manakala mereka bersekutu bersama guru mereka sebelum perjamuan malam terakhir diadakan. Artinya bahwa mereka sangat jauh dari harapan. Lihat saja bahwa apa yang mereka lakukan adalah mereka mementingkan diri sendiri.

Begitu pula dengan kita bukan? Alih-alih kita inget untuk datang kepada Tuhan di dalam setiap tindak-tanduk kita sebagai orang percaya, kita justru “menikmati” hal-hal lain yang membuat kita makin jauh dengan Dia. Baru kita datang kepadaNya manakala ada berbagai masalah yang menimpa hidup kita, serasa tidak ada jawaban, dan akhirnya juga kita ngambek ketika Tuhan juga pada akhirnya tidak memberikan sebuah jawaban yang jelas.

Kerinduan kepada Tuhan, kerinduan untuk datang kepada Dia. Mengingat kembali karya salib yang sudah Ia kerjakan 2000 tahun yang lalu, seharusnya membuat kita terkagum-kagum atas kuasa kasihNya. Tetapi apa yang kita lakukan manakala berbagai masalah hidup menghimpit kehidupan kita? Seringkali kita mengeluh dan mengeluh, melupakan berbagai karya yang indah yang sudah Ia kerjakan. Seakan-akan ketika kita hidup, kita tidak pernah menerima berkat dariNya.

Ketika begitu banyak proses hidup yang kita alami menghimpit kita, itu merupakan sarana yang Tuhan gunakan agar kita semakin lama semakin belajar untuk tidak mengandalkan diri kita sendiri. Ia ingin kita rindu untuk terus-menerus menikmati Dia. Ia rindu untuk kita datang kepadaNya, sampai-sampai kita harus merendahkan diri kita di hadapanNya. Mengapa? Ya karena kita ini memang lemah kok. Kita ini bukanlah pribadi yang bisa berjalan sendiri.

Akhirnya ketika kita mengalami berbagai proses hidup, ada kalanya kita perlu punya kerinduan kepadaNya, sekaligus suatu keyakinan seperti Jessica yang merindukan seseorang yang ia sayangi untuk kembali. Ia yakin bahwa suatu saat aku akan kembali dan belajar lagi bersamanya, belajar hidup di step yang lebih lanjut. Bagaimana kita rindu untuk menghadap Tuhan? Bagaimana kita rindu untuk bertemu kembali dengan Kristus – berusaha untuk mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini – di dalam anugrahNya yang sudah memampukan kita untuk melakukan kehendakNya?

Soli Deo Gloria J

Sunday, August 23, 2015

Kita Harus Membawa Berita

Apakah Allah Mengasihi?

Pertanyaan bodoh bukan? Kita tidak perlu mempertanyakan hal itu bukan?

Sangat mudah menjawab YA ketika kehidupan kita “baik-baik” saja di dalam perjalanannya, tetapi akan sangat sukar dan perlu perenungan yang begitu mendalam manakala ternyata begitu banyak hal yang kita kerjakan menemui berbagai hambatan. Ketika hidup di dalam segala kebaikan Tuhan, kita bisa saja berkata Tuhan itu baik. Tetapi ketika kita mendapati bahwa kehidupan itu sangat bertentangan dengan sifat Allah, apakah kita masih bisa memuji Dia?

Temuilah sahabat saya, seorang pria yang akan segera menikah di dalam usianya 26 tahun. Pasangan hidupnya juga merupakan seorang Kristen yang begitu taat. Mereka berdua melayani, 1 orang sebagai pemandu pujian, dan satu lagi sebagai seorang pianis gereja yang begitu menawan. Karier mereka pun begitu luar biasa, dimana sang pria ini adalah seorang manager di salah satu perusahaan swasta (bayangkan, di usia 26 tahun sudah menjadi manager!). Pasangannya? Dia adalah seorang wanita karier dengan karir yang begitu mengesankan. Bekerja di sebuah consulting company, dia meraih berbagai penghargaan di usianya yang ke-24 tahun.

Sepertinya kehidupan begitu tenang, dan menyenangkan bagi kedua pasangan ini. Persiapan pernikahan mereka pun dimulai di dalam waktu 1 tahun lebih. Mereka mempersiapkan segalanya. Mereka sudah memesan tempat, mereka sudah memesan catering. Bahkan cincin yang mereka gunakan nantinya sudah mereka pesan dari Jerman. Mereka berdua sungguh merupakan calon keluarga Kristen yang begitu indah.

Semuanya tampak begitu indah bagi kedua pasangan ini, sampai satu kali si pria mendapatkan suatu kabar yang membuat dia shock. Seminggu sebelum mereka menikah, sang wanita mengalami kecelakaan. Kecelakaan yang begitu hebat, yang membuat wanita ini koma. Kejadian ini membuat sang pria ini terpukul. Uang memang bisa dicari, tetapi momen berharga bersama kekasihnya? Wow itu sungguh merupakan malapetaka yang begitu mengguncang hatinya.

Setelah seminggu, bukannya membaik, ternyata kondisi sang wanita semakin parah. Ada pembekuan darah di otaknya, dan dokter memvonis bahwa waktu hidup sang wanita ini tidak lebih dari 10 hari…

Hancur hati, itulah perasaan sang pria. Dia pun mencoba untuk berusaha tabah. Tiap hari dia berdoa bagi calon istrinya ini, berharap bahwa Allah turut bekerja di dalam tubuh istrinya. Bahkan ia pun sampai memohon kalau boleh nyawanya saja yang dicabut, dan sang istri diselamatkan dari penyakitnya. Ironisnya hal tersebut tidak terjadi.

Dua hari menjelang waktu yang sudah ditetapkan oleh dokter, sang wanita terbangun dari komanya. Sang pria langsung bergegas ke rumah sakit saat itu, dan dokter mengijinkan sang wanita ini untuk pulang. Bukan karena dia mendapatkan kesembuhan, tetapi mengijinkan dua hari yang tersisa ini setidaknya menjadi hari terindah yang dimiliki oleh sepasang kekasih ini.

Tidak menyia-nyiakan waktu, mereka berdua pergi ke rumah mereka, dan kedua pasang kekasih ini kemudian berbagi kisah, dan mulai berbagi kisah hidup. Mereka berdua kemudian berdoa bersama, dengan sebuah pengharapan bahwa Tuhan akan menyembuhkan sang wanita. Tetapi hasilnya masih nihil. Sampai di hari terakhirnya pun doa itu tidak terjawab. Akhirnya sang wanita pun meninggal di pelukan sang pria, dengan sebuah surat yang ia tuliskan kepadanya “Tuhan itu baik…”

Sahabat, mari kita coba melihat kisah tersebut. Coba bayangkan anda berada di posisi sang pria. Apa yang akan anda lakukan setelah anda mendapatkan realitas seperti itu? Apakah anda masih bisa berkata bahwa Tuhan itu baik ketika segala hal yang Ia rencanakan ternyata sama sekali berbeda dengan apa yang kita bayangkan?

Sang pria pun menjalani kehidupannya selanjutnya dengan suatu kesedihan yang begitu mendalam. Terlarut dalam kesedihan itu, ia memutuskan untuk mencari ketenangan. Ia mengambil cuti yang cukup panjang untuk mencoba merenungkan kehidupannya selama ini. Ia ingin menenangkan dirinya, tetapi manakala ia mencoba melihat smartphone nya, ia kemudian membuka album foto dan ia melihat senyuman calon istri, tangisan langsung keluar dari matanya. Air mata itu menetes tanpa henti, dan ia hanya membayangkan bagaimana kalau ternyata pada saat itu, sang wanita tidak mengalami kecelakaan.

Pergumulan yang begitu dahsyat ditemui oleh pria ini. Kecewa, marah, dan merasa bahwa dirinya paling mengetahui segalanya pun akhirnya mencuat. Ia kemudian mencoba mengambil sebuah catatannya, sebuah buku harian, yang mana di sana ada tulisan

Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.
Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah.
Pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah.

(Mazmur 62:6-8)

Benarkah? Keraguan mulai menyelimuti hatinya. Berhari-hari ia belum bisa melupakan sang wanita. Berhari-hari ia menutup diri. Ia hanyut di dalam kesedihannya. Ia tetap melayani di gereja dan kualitas suaranya pun tidak berubah. Ia tetaplah melayani Tuhan dan terus belajar untuk berkarya di tengah keraguannya. Ayat-ayat di dalam Mzm 62 itu terus membayangi dirinya. Di dalam hati kecilnya mulai mempertanyakan kebenaran dari ayat-ayat itu.

Kemudian di dalam sebuah persekutuan, setahun setelah kematian calon istrinya, ia diminta untuk menceritakan bagaimana perasaannya. Teman-teman sekitarnya menghibur dia. Mereka bersama pergi ke tempat pemakaman istrinya. Setidaknya ada 40 orang bersamanya, dan pemakaman itu menjadi begitu ramai. Sekali lagi ia membuka buku hariannya, dan mencoba membacakan ayat-ayat di Mazmur 62:6-8.

Saat itulah dia mulai menyadari betapa kemuliaan Allah ada di dalam kehidupannya. Ia kemudian mendapatkan suatu insight yang berbeda. Ia pun pulang ke rumah, mengambil alkitabnya dan mencoba membaca kitab Wahyu, tentang gambaran pernikahan Anak Domba. Saat itulah ia menyadari bahwa calon istrinya sudah sampai di tempat baru. Sebuah tempat yang begitu indah, tempat yang penuh dengan sukacita bersama Kristus.

Hal itu tidak akan terjadi padaku. Mungkin itulah yang rekan-rekan pikirkan manakala membaca kisah ini. Apakah begitu tragisnya kehidupan seseorang? Mungkinkah hal itu terjadi? Kisah yang lebih menyedihkan mungkin berada di sekitar kita, yang mana kita tidak pernah mengetahui bagaimana akhirnya. Tengok saja prostitusi anak-anak di Kamboja. Tengoklah orang-orang kelaparan di Ethiopia. Tengoklah sahabat-sahabat di NTT yang kekurangan air. Begitu banyak orang yang di dalam hidupnya mungkin bertanya-tanya, benarkah Tuhan itu ada? Kalau Dia ada, mengapa begitu banyak hal yang menyedihkan terjadi dalam kehidupan kita?

Seakan Tuhan tidak mahakuasa, ataukah ada alasan lain?

Mungkin itulah yang perlu kita renungkan bersama. Manakala gereja Tuhan, atau bisa dikatakan tubuh Kristus ada di dalam dunia ini, ada tanggung jawab yang kita emban sebagai bagian tubuh Kristus. Ketika Allah sudah mempercayakan begitu banyak hal di dalam kehidupan kita, maka kita dituntut untuk menghadirkan kuasa dan kasihNya di dunia ini.

Menarik untuk kita renungkan sebagai orang-orang yang aktif ataupun orang-orang Kristen, kita perlu menyadari bahwa kita punya peran di dalam hidup kita sebagai orang percaya. Kita perlu terus-menerus belajar memancarkan kasih Kristus di dunia ini. Bukannya nyaman di menara gading, tetapi kita perlu “kenosis”. Kita perlu belajar untuk “keluar”, belajar untuk melakukan karya nyata di dalam kehidupan keseharian kita. Bukan hanya nyaman berada di dalam tembok gereja, sementara gereja terus-menerus memperlebar gedung tetapi tidak memperlebar karya nyata di masyarakat.

Apakah itu berarti pelebaran gedung gereja, renovasi, dan sebagainya tidak penting? Bukan begitu juga. Tetapi sebagai jemaat Tuhan, sebagai gereja Tuhan mari kita lihat seberapa banyak di alkitab dimana Tuhan Yesus berada di sinagoga? Bandingkan dengan pelayanan yang Ia kerjakan. Alkitab mencatat bahwa Yesus mengerjakan pelayanan jauh lebih banyak daripada Ia berada di dalam gedung ibadah. Ia memperlihatkan sosok manusia yang lebih tertarik untuk mengerjakan segala sesuatu yang Allah kerjakan di dunia ini.

Kita mengaku bahwa kita adalah orang Kristen bukan? Kalau begitu kita kembali lagi, apa sih arti “Kristen”? Kekristenan berasal dari kata “Christ” dan “Ian”, dimana tanpa Kristus, kita bukanlah apa-apa.

Kalau dari kisah tadi kita melihat karya Allah, salah satunya adalah bagaimana cara Dia mengejar sang pria. Di tengah putusnya pengharapannya untuk meneruskan hidupnya tanpa sang kekasih, bukan kebetulan bahwa ia menemukan ayat di Mazmur 62. Bukan sebuah kebetulan bahwa dia punya keinginan untuk membuka alkitabnya, membuka kitab Wahyu. Bukan sebuah kebetulan bahkan, bahwa sang calon istri akhirnya meninggal sambil meninggalkan sebuah pesan “Tuhan itu baik”

Allah yang tidak pernah lelah mengejar “yang terhilang” menjadi sebuah gambaran Allah yang begitu menginginkan kita untuk menjadi umatNya. Ketika kita mengaku sebagai orang Kristen bahwa kita adalah murid Kristus, itu berarti kita perlu belajar untuk meneladani karyaNya. Apa itu? sama! Mengejar yang terhilang. Memberitakan kebaikan Tuhan, memberitakan kasihNya. Ketika kita berdoa “datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga” adalah suatu pernyataan iman dan pengharapan, sekaligus juga sebuah janji – sebuah komitmen bagi kita untuk kita dapat mengerjakan tanggung jawab penatalayanan kita bagi dunia ini.

Dunia ini membutuhkan orang-orang yang mau belajar merendahkan diri di hadapan salib, menyerahkan hidupnya di hadapan kebesaran namaNya. Dunia ini membutuhkan orang-orang yang mau mengerjakan yang terbaik bagi Allah untuk kemuliaanNya. Sebagaimana sang pria di dalam kisah itu menemukan sebuah catatan dari Mazmur 62, adakah pribadi kita menjadi orang-orang yang dapat menjadi sumber penghiburan bagi dunia ini? Tidak perlu muluk-muluk harus keluar negeri, harus menjadi misionaris, dan sebagainya. Mulai dari orang-orang sekitar kita, apakah mereka merasakan kehadiran Kristus melalui kehidupan kita? Apakah mereka merasakan kasih Kristus di dalam pribadi setiap kita?


Selamat berkarya, Soli Deo Gloria!

Saturday, August 8, 2015

Allah yang Tidak Pernah Meninggalkan Kita

Pernahkah saudara berpikir mengenai jalannya hidup ini? Sebagian besar dari kita berpikir mengenai hidup yang benar-benar ruwet. Di satu sisi ada begitu banyak hal baik terjadi atas kehidupan kita, tetapi tidak melulu hal baik bukan? Bahwasanya dalam menjalani hidup ini ternyata ada banyak hal yang buruk yang menimpa hidup kita sampai kita mungkin bertanya “mengapa hal ini terjadi di dalam kehidupanku?”

Cerita 1
Ada sebuah keluarga kecil, mereka adalah orang-orang yang begitu rajin di dalam melakukan suatu pelayanan bagi Tuhan. Keluarga ini dikaruniai oleh 3 orang anak, dan pada saat anak keempat akan lahir, sang ibu menderita penyakit di rahimnya. Diantara 2 pilihan, apakah anak keempat atau sang ibu yang selamat, ibu ini akhirnya pasrah terhadap nasibnya. Sedangkan sang ayah pun akhirnya give up. Akhirnya mereka memutuskan untuk menyelamatkan si anak. Konsekuensinya adalah sang ibu akan meninggal. Tetapi cerita ini berakhir tidak seperti yang anda bayangkan.

Si ibu akhirnya menyelamatkan sang anak. Tetapi karena ada abnormalitas di dalam tubuh si anak, si anak diberikan lifetime oleh dokter selama 10 tahun. 10 tahun kemudian, kejadian itu benar-benar terjadi. Sang anak akhirnya meninggal.

Sang bapak dengan segala daya upayanya berusaha untuk menyelamatkan anak ini. Segala cara pengobatan dicoba, tetapi tidak berhasil. Sang ayah yang mulai kehabisan tabungannya mendapatkan pertanyaan dari ketiga anaknya yang masih hidup

“Ayah, selama ini ayah rajin pelayanan di gereja, tapi kenapa ya kok Tuhan mengijinkan mama dan si Jemmy meninggal?”

Cerita 2
Cerita kedua datang dari seorang wanita berusia 20 tahun yang berkuliah di Jakarta. Selama 20 tahun ia hidup, ia adalah orang yang begitu rajin. Ia memiliki 3 orang saudara pria yang berbeda agama dengan dia. Begitu pula ibunya juga berbeda agama dengan dia. Memasuki tahun akhirnya di perkuliahan, wanita ini (sebut saja namanya Mawar) mengalami penyakit yang menyerang tulang belakangnya. Ketakutan menaungi si Mawar dan akhirnya dokter memvonis kalau ia harus dioperasi.

Mawar di dalam kesehariannya berdoa dan berdoa, dan akhirnya doanya itu terkabul. Dia akhirnya sembuh dari penyakit itu. Ia menjadi seseorang Kristen yang begitu tangguh, orang Kristen yang begitu berapi-api di dalam pelayanannya. Ketika saudaranya melihat dia, 2 orang dari mereka memutuskan untuk bergabung. Akhirnya 1 orang mengikuti katekisasi, 1 orang lagi dibaptis dewasa.

Waktu berlalu sampai akhirnya seseorang dari 2 orang saudaranya ini memilih jalan lain. Sang adik pertama, yang mengikuti katekisasi, akhirnya memutuskan untuk memilih agama lain. Ia tidak tahan melihat sang ibu yang selalu berharap kepadanya untuk mengikuti ibunya. Berbeda lagi dengan kakaknya. Kakaknya yang sudah menjadi Kristen sejak lama, memutuskan untuk menikah dengan seorang yang berbeda agama dari dia.

Mawar pun terguncang. Ia merasa perlu belajar untuk menceritakan hal ini kepada Tuhan. Ia berharap bahwa ada hal-hal luar biasa yang terjadi tetapi ternyata semuanya berbeda daripada ia bayangkan. Ditengah pergumulan seperti inilah kemudian Mawar berpikir, sembari dengan jujur menghadap Tuhan sambil bertanya:

“Dimanakah Tuhan saat semua hal ini terjadi? Mengapa hal ini harus terjadi, Tuhan?”

Tiga Jenis Penderitaan
Mari kita coba simpulkan, dari dua kisah di atas ada beberapa jenis penderitaan yang dialami oleh manusia. Jenis pertama adalah penderitaan fisik, kedua adalah penderitaan emosi, dan yang ketiga adalah penderitaan spiritual.

Saya tidak memberikan contoh penderitaan fisik dari kisah di atas, tetapi saya akan coba berikan saat ini. Penderitaan fisik adalah penderitaan seperti sakit penyakit, mungkin dari kisah di atas adalah penderitaan sang ibu yang sakit saat melahirkan anak. Ia mengalami kesakitan yang begitu luar biasa.

Kedua adalah penderitaan emosi, adalah penderitaan yang terkait dengan emosi kita. Contohnya adalah ketika kita dipermalukan di depan publik mungkin karena kita salah bicara, atau kita dihina-hina.

Penderitaan jenis ketiga adalah penderitaan yang saya bisa sebut sebagai puncak dari keduanya. Penderitaan spiritual adalah sebuah momen dimana seseorang merasakan kesakitan yang begitu luar biasa sampai pada satu pertanyaan: “dimanakah Tuhan” dan “kalau ada Tuhan, mengapa semua ini bisa terjadi?”.

Charles Templeton mengalami penderitaan jenis ketiga ini ketika ia melihat di televisi mengenai kehidupan orang-orang Afrika yang hidup di dalam kemiskinan. Hal ini membuat Templeton menanyakan sebuah pertanyaan yang akhirnya membuat imannya rontok. Seorang partner dari Billy Graham di dalam penginjilan yang akhirnya meninggalkan imannya karena bergumul dalam memahami apa rencana Allah di balik penderitaan dan kemiskinan.

Allah Yang Solider Melalui Yesus Kristus
Mari kita melihat bagaimana ketiga penderitaan itu ternyata bukanlah suatu hal yang baru. 2000 tahun yang lalu di bukit Golgota, Allah merasakan ketiga penderitaan itu secara langsung di atas salib. Anda bisa menebak bukan?

Penderitaan fisik yang dialami oleh Yesus terjadi saat Ia harus dipaku di atas kayu salib. Lee Strobel di dalam bukunya Case for Christ menggambarkan bagaimana penderitaan yang dialami Yesus ini begitu mengerikan, dan bahwasanya tidak akan ada seorang pun yang akan tahan di dalam menghadapi siksaan salib. Bahkan untuk bernafas, karena sebelumnya punggungNya sudah sobek akibat dari penyesahan yang dialamiNya, maka ketika bernafas akan timbul rasa sakit yang begitu mendalam.

Penderitaan emosi dialami Yesus saat dengan telanjang, di depan banyak orang, Ia disalib dalam kondisi telanjang. Saya tidak bisa membayangkan apakah anda mau ditelanjangi di depan umum, dan kemudian orang-orang yang melihat anda menghina anda, mencerca anda, dan menusukkan luka hati yang begitu dalam di dalam hati anda. Apalagi seorang murid anda mengkhianati anda, secara riil, maupun secara perkataan menyangkal anda.

Penderitaan spiritual pun dialami Yesus, sampai ultimatnya dia berteriak “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Yesus mengutip dari Mazmur 22, dan menunjukkan bahwa inilah puncak pergumulanNya.

Ketiga penderitaan itu sudah dialami Yesus juga di kayu salib. Ia terlebih dahulu memberikan sebuah teladan bagi kita, sebuah kisah yang menunjukkan bahwa memang hidup kita sebagai orang Kristen (Christian – murid Kristus) bukanlah sebuah kehidupan yang mudah. Seluruh pergumulan yang kita alami dalam hidup adalah sesuatu yang natural, sesuatu yang terjadi karena memang dampak dari dosa awal yang begitu mengerikan itu.

Jadi kalau kita melihat, Allah kita bisa disebut sebagai Allah yang solider. Ketika kita saat ini mengalami ketiga jenis penderitaan itu maka kita dapat memakluminya. Mengapa? Ya karena Allah pun sudah merasakannya, dan di saat akhir itulah saat / momen puncak dimana Dia menjadi sempurna.

Masa Depan Yang Tak Pernah Kita Mengerti
Nah kalau kita melihat masa lalu kita, atau hal yang saat ini kita alami, kita perlu belajar memaknai sebenarnya apa yang dipersiapkan Allah di dalam kehidupan kita. Kita bisa saja terjebak di dalam pola pikir masa kini, bahwa hidupku susah dan tidak ada gunanya lagi aku percaya kepada Allah. Itu pilihan pertama. Nah tapi ada satu penawaran yang Tuhan berikan mengenai masa depan.

Ams 23:18
Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.

Yesaya 41:10
janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.

Ayat-ayat ini terasa begitu menyenangkan. Tetapi mengapa realitas hidup kita sama sekali tidak mencerminkan itu? Mungkin kita perlu mengevaluasi secara lebih jauh dan lebih mendalam lagi, sebenarnya bagaimana kita harus memandang hidup kita menurut kacamataNya. Nah inilah yang sebenarnya jauh lebih penting, jauh lebih esensial.

Masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang, demikian pesan yang dituliskan oleh penulis Amsal. Artinya apa? Kalau kita baca ayat-ayat sebelumnya, penulis ingin mengajak pembacanya bahwa segala kejadian yang terjadi dalam kehidupan kita ada di dalam grand design yang sedang Allah persiapkan. Boleh saja kita menjadi “sok bijak” dan mengatakan bahwa kita tahu yang terbaik dalam hidup kita, tetapi kita tidak akan pernah dapat menyelami apa yang mau Allah kerjakan di dalam kehidupan kita.

Demikian juga dengan tulisan nabi Yesaya. Yesaya di dalam keadaannya sebagai nabi yang melihat bagaimana kota-kota di Kerajaan Utara (Israel) masih bisa menuliskan janji Tuhan kepada bangsa itu. Ada satu pengharapan yang pasti di dalam Dia. Ada satu pengharapan mengenai bagaimana Allah akan menuntun kita.

Kita tidak pernah akan dapat mengerti masa depan kita seperti apa. Tetapi kalau kita belajar untuk memahami lebih jauh, maka kita menyadari bahwa kehidupan di dunia ini jauh lebih temporer dibandingkan dengan kehidupan kita nanti di surga. Kemuliaan surga perlu kita maknai sebagai sebuah janji, bahwa itulah yang seharusnya menjadi fokus hidup kita.

Memandang ke Arah Kekekalan
Kehidupan di dunia artinya hanya akan berlangsung dengan begitu singkat, dan justru kehidupan yang sebenarnya baru dimulai di dalam terang kekekalan Allah di surga mulia. Ketika kita menyadari bahwa fokus hidup kita ada di dalam kerangka kekekalan dan rencana Allah, kita akan dapat menjadi pribadi-pribadi yang berani berkata “Suka-SukaMu Tuhan”. Artinya apa? Kita berserah penuh kepada Allah yang sudah mengatur hidup kita.
Okey sekarang akan saya tampilkan jawaban dari si bapak dari cerita pertama:

“Dik, pasti kamu pernah dijelaskan bukan di sekolah minggu mengenai kemuliaan surga? Mamamu pergi kesana, begitu juga adikmu. Allah itu baik, mungkin itu yang bisa papa katakan buat kamu. Mungkin kamu nggak bisa sepenuhnya paham, dik. Tetapi kalau di sekolah minggu, kamu pernah diajarkan tentang bagaimana Yesus sudah memberikan jaminan itu, mengapa papa harus kecewa? Mengapa papa nggak mau belajar untuk terus menjalani hidup ini di dalam terang kasihNya?”

Dan hasil perenungan dari Mawar, wanita yang tangguh itu dari cerita kedua:

“Aku percaya bahwa Allah telah mempersiapkan segala sesuatunya. Mungkin inilah hal yang mau Tuhan ajarkan: bahwa aku belum mampu menjadi terang bagi orang di sekitarku. Itu berarti aku harus terus belajar untuk memahami segala hal yang Ia kerjakan. Tetapi semakin aku ingin tahu, aku semakin sadar bahwa aku harus menjadi semakin bodoh di hadapanNya, sehingga melalui kekuatan yang Ia berikan itulah aku dapat memaknai kemahakuasaanNya dan kasih setiaNya.”

Bagaimana kedua orang ini bisa memiliki pemahaman seperti itu? Tidak yakin tidak bukan karena mereka punya fokus yang berbeda. Mereka berdua punya keyakinan:

Roma 8:28
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.

Kesimpulan
Dunia menawarkan begitu banyak hal mengenai penderitaan, kematian, kepedihan, dan sebagainya. Namun sebagai seorang percaya yang memiliki paradigma kekekalan, kita diajak untuk belajar di dalam iman percaya kita. Kesulitan yang kita hadapi, problematika yang begitu luar biasa, semuanya disediakan Tuhan untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ia tidak pernah meninggalkan kita. Setiap langkah kita sudah dipersiapkan oleh Tuhan. Sebagai penutup, yuk bersama kita menyanyikan sebuah lagu, lagu yang menyatakan langkah iman kita bahwa setiap langkah hidup kita ada di dalam pimpinan dan penyertaan Tuhan.

Tiap Langkahku
By: W. Elmo Mercer

1.  Tiap langkahku diatur oleh Tuhan
dan tangan kasihNya memimpinku.
Di tengah badai dunia menakutkan,
hatiku tetap tenang teduh.

Reff:
Tiap langkahku ‘ku tahu yang Tuhan pimpin
ke tempat tinggi ‘ku dihantarnNya,
hingga sekali nanti aku tiba
di rumah Bapa sorga yang baka.

2.  Di waktu imanku mulai goyah
dan bila jalanku hampir sesat,
‘ku pandang Tuhanku, Penebus dosa,
‘ku teguh sebab Dia dekat.

Reff:
Tiap langkahku ‘ku tahu yang Tuhan pimpin
ke tempat tinggi ‘ku dihantarnNya,
hingga sekali nanti aku tiba
di rumah Bapa sorga yang baka.

3.  Di dalam Tuhan saja harapanku,
sebab di tanganNya sejahtera;
DibukaNya Yerusalem yang baru,
kota Allah suci mulia.

Reff:
Tiap langkahku ‘ku tahu yang Tuhan pimpin
ke tempat tinggi ‘ku dihantarnNya,
hingga sekali nanti aku tiba

di rumah Bapa sorga yang baka.