Seorang rekan bertemu denganku, dan ia adalah seorang
Muslim. Ia bertanya: “apa sih yang menarik di dalam kekristenan?”. Ketika
merenungkan pertanyaan itu, apa yang akan teman-teman jawab? Bukankah ini satu
kesempatan penginjilan yang bagus bukan? Bukan kebetulan pastinya manakala kita
diberikan sebuah pertanyaan yang membuat kita dapat menceritakan mengenai
Kristus.
Balik lagi, apa yang akan teman-teman jawab? Mungkin
sebagian dari kita akan menjawab Yohanes 3:16, atau Yohanes 14:6, kemudian
Efesus 2:8-9, dan sebagainya. Tetapi ada satu hal yang kita tangkap di dalam
alkitab kita, mulai dari awal hingga akhir. Apakah itu? Bahwa kekristenan
ternyata bukanlah sekadar agama. Kekristenan adalah relasi, sebuah hubungan
intim antara Tuhan Yesus yang turun sebagai manusia, memenuhi kehendak BapaNya
untuk menebus dosa umat manusia. Ada sebuah kasih yang satu arah, dan itulah
kasih yang sejati.
Mengapa kekristenan dapat dikatakan sebuah relasi? Karena di
dalam kekristenan kita tidak punya ikatan apapun untuk menyembah Tuhan secara
formal. Jangan salah sangka, bukan berarti bahwa ibadah yang kita lakukan setiap
hari minggu menjadi sesuatu yang tidak penting. Salah besar, teman, karena
justru itu adalah suatu kesempatan bersekutu dengan saudara seiman kita untuk
sama-sama memuji dan memuliakan Tuhan.
Kembali lagi, bukan berarti bahwa ritual-ritual yang kita lakukan
di gereja tidak penting. Tetap bahwa di dalam sebuah komunitas gereja kita
perlu belajar untuk tidak hanya aktif tetapi bekerja tanpa arah dan tujuan yang
jelas. Kembali kepada hal yang paling dasar bahwa kehidupan sebagai manusia
memiliki tujuan untuk “memuliakan Tuhan dan menikmati Dia sepanjang waktu”.
Bahwasanya dalam menikmati Dia itulah kita memuliakan Tuhan, dan juga
sebaliknya.
Maknanya? Kita melihat ada banyak orang yang memiliki sebuah
worship style yang indah, kita
melihat banyak orang yang melayani tanpa lelah dan terus menerus konsisten.
Kita mungkin bisa menyebutnya “Mr. / Ms. Everywhere”, yakni seseorang yang ada
dimanapun dan kapanpun manakala kita berada di gereja. Beliau mungkin aktif di
Paduan Suara, ataupun di pemusik. Dia juga punya kemampuan MC dan aktifis yang
baik, tetapi bekerja tanpa satu dasar relasi yang intim dengan Tuhan. Dalam hal
ini dia mungkin menganggap bahwa Tuhan senang manakala kita punya banyak
aktivitas di gereja.
Tetapi kita melihat siapa sebenarnya di alkitab orang-orang
seperti itu. Ya, mereka adalah orang-orang yang suka sekali menampilkan
ketaatan mereka kepada Allah dengan tampil sebagai orang yang begitu rohani.
Mereka adalah orang-orang Farisi, orang-orang yang memiliki “iman” yang begitu
besar, mereka memiliki ketaatan rohani yang begitu hebat. Mereka terlihat
seperti orang-orang yang begitu suci. Mereka adalah tipikal orang yang bisa
menghakimi orang lain manakala orang lain tidak memiliki kualitas kerohanian
yang sama dengan mereka.
Kerohanian farisi adalah kerohanian yang begitu mengerikan.
Kerohanian ini memaksa seseorang untuk tampil perfect, menjadi seseorang yang
munafik, dan menjadi orang-orang yang begitu memiliki idealisme tinggi tanpa
adanya suatu kasih karunia. Artinya bahwa orang-orang seperti ini terkadang
malah membenci kasih karunia yang Tuhan berikan di dalam hidupnya. Orang-orang
ini bahkan melihat bahwa tidak ada orang yang lebih baik dari dirinya. Manakala
ia melihat orang jahat tapi tiba-tiba mendapatkan sebuah kasih karunia, ia bisa
saja protes kepada Tuhan.
Masih ingat kan dengan cerita “Perumpamaan Tentang Anak Yang
Hilang”? Kita melihat ada 2 pribadi disana. Ada seorang sulung yang hidupnya
tampil baik-baik saja, tetapi ada si bungsu yang kita bisa melihat adalah
pribadi yang “menjijikkan”. Sang sulung secara tidak langsung menunjukkan
sebuah kerohanian orang Farisi, yang menyangkal kasih Allah yang ada di dalam
kehidupan setiap orang, termasuk orang yang brengsek sekalipun.
Kita melihat bukan dari kisah ini bahwa ternyata kekristenan
bukan hanya tentang kita dapat melakukan sesuatu yang baik. Cornelius Van Til
menyampaikan idenya di dalam buku Christian Theistic Ethics, bahwa di dalam
etika kekristenan, kita perlu belajar mengenai 3 hal: motivasi, tujuan, dan
cara. Semuanya harus sinkron dan itulah yang bisa disebut sebagai integritas.
Ketika kita melakukan sesuatu yang benar namun motivasinya tidak dikembalikan
untuk kemuliaan Allah, maka semuanya sia-sia.
Kita melihat bukan bahwa relasi dengan Tuhan menjadi begitu
penting. Kehidupan keseharian kita menuntut kita menjadi pribadi yang memiliki
relasi itu. Relasi yang sebenarnya harus menjadi hal yang terutama dibandingkan
dengan relasi kita dengan hal lain. Itu seringkali hilang di dalam kehidupan
modern kita. Cara paling mudah mengecek relasi kita dengan Tuhan adalah apa
yang kita lakukan manakala kita memiliki waktu dimana kita cenderung “kosong”.
Apakah kita punya satu keinginan kuat untuk duduk diam dan mendengar suaraNya,
ataukah kita lebih menyukai bermain Hay Day atau Clash of Clans dari gadget
kita?
Kembali lagi kita diingatkan bahwa relasi kita dengan Tuhan
bukanlah sebuah relasi yang dapat kita mainkan dengan seenaknya. Relasi itu
sebenarnya menjadi dasar kehidupan kita, dan kita perlu terus-menerus menjaga
keintiman kita dengan Tuhan di dalam menjalani kehidupan ini. Kita perlu
belajar dan terus bertanya “kalau aku masih hidup hingga saat ini, apa sih
sebenarnya yang Tuhan mau kerjakan di dalam kehidupan kita?”.
Relasi itu sebenarnya adalah relasi kasih satu arah. Kasih yang
sebenarnya nggak pernah layak untuk kita dapatkan, tetapi melalui salib di
kalvari, relasi itu dipulihkan. Salib
itu akhirnya kembali mengembalikan hancurnya relasi manusia dengan Tuhan yang
diakibatkan oleh dosa. Pertanyaan yang harus kita renungkan terus menerus
adalah sudahkah kita memaknai relasi yang begitu indah ini? Relasi yang
diberikan Allah di dalam kehidupan kita untuk kita dapat menikmati Dia. Dia
selalu available 24 jam. Dia menginginkan kita untuk datang di hadapanNya,
menikmati Dia sehingga kehidupan kita dapat memuliakan Dia.
Bagaimana relasi kita dengan Tuhan saat ini? Bagaimana
kondisi kekristenan kita saat ini? Apakah kita hanya sekadar datang ke gereja
dan menikmati kotbah, kemudian kita pulang? Apakah kita melayani Tuhan namun belum
menyadari bahwa pelayanan itu sebenarnya adalah anugrah yang Tuhan berikan,
bukan kuat gagah kita? Apakah kita memiliki suatu keterikatan tertentu terhadap
sesuatu yang mana menghancurkan relasi kita denganNya? Dia adalah Allah yang
setia di dalam hidup kita. Ia adalah Allah yang ingin kita datang seperti anak
bungsu yang mau datang kembali. Implikasinya juga dapat kita lihat di kitab
awal alkitab kita. Ia bertanya kepada Adam, “dimanakah engkau?”. Allah bukan
tidak tahu Adam ada di mana. Ia ingin Adam datang kepadaNya dan mengakui bahwa
tanpa Dia, Adam bukanlah apa-apa.
Sudahkah kita datang kepadaNya dan mengakui setiap kelemahan
kita di dalam hidup ini? Sudahkah pusat hidup kita ialah Dia, yang membuat
tindakan kita, perkataan kita, kehidupan kita adalah bagi Dia?
Soli Deo Gloria!
(ASW)