Total Pageviews

Sunday, November 2, 2014

Mengingat Kembali - Kekristenan Adalah Relasi


Seorang rekan bertemu denganku, dan ia adalah seorang Muslim. Ia bertanya: “apa sih yang menarik di dalam kekristenan?”. Ketika merenungkan pertanyaan itu, apa yang akan teman-teman jawab? Bukankah ini satu kesempatan penginjilan yang bagus bukan? Bukan kebetulan pastinya manakala kita diberikan sebuah pertanyaan yang membuat kita dapat menceritakan mengenai Kristus.

Balik lagi, apa yang akan teman-teman jawab? Mungkin sebagian dari kita akan menjawab Yohanes 3:16, atau Yohanes 14:6, kemudian Efesus 2:8-9, dan sebagainya. Tetapi ada satu hal yang kita tangkap di dalam alkitab kita, mulai dari awal hingga akhir. Apakah itu? Bahwa kekristenan ternyata bukanlah sekadar agama. Kekristenan adalah relasi, sebuah hubungan intim antara Tuhan Yesus yang turun sebagai manusia, memenuhi kehendak BapaNya untuk menebus dosa umat manusia. Ada sebuah kasih yang satu arah, dan itulah kasih yang sejati.

Mengapa kekristenan dapat dikatakan sebuah relasi? Karena di dalam kekristenan kita tidak punya ikatan apapun untuk menyembah Tuhan secara formal. Jangan salah sangka, bukan berarti bahwa ibadah yang kita lakukan setiap hari minggu menjadi sesuatu yang tidak penting. Salah besar, teman, karena justru itu adalah suatu kesempatan bersekutu dengan saudara seiman kita untuk sama-sama memuji dan memuliakan Tuhan.

Kembali lagi, bukan berarti bahwa ritual-ritual yang kita lakukan di gereja tidak penting. Tetap bahwa di dalam sebuah komunitas gereja kita perlu belajar untuk tidak hanya aktif tetapi bekerja tanpa arah dan tujuan yang jelas. Kembali kepada hal yang paling dasar bahwa kehidupan sebagai manusia memiliki tujuan untuk “memuliakan Tuhan dan menikmati Dia sepanjang waktu”. Bahwasanya dalam menikmati Dia itulah kita memuliakan Tuhan, dan juga sebaliknya.

Maknanya? Kita melihat ada banyak orang yang memiliki sebuah worship style yang indah, kita melihat banyak orang yang melayani tanpa lelah dan terus menerus konsisten. Kita mungkin bisa menyebutnya “Mr. / Ms. Everywhere”, yakni seseorang yang ada dimanapun dan kapanpun manakala kita berada di gereja. Beliau mungkin aktif di Paduan Suara, ataupun di pemusik. Dia juga punya kemampuan MC dan aktifis yang baik, tetapi bekerja tanpa satu dasar relasi yang intim dengan Tuhan. Dalam hal ini dia mungkin menganggap bahwa Tuhan senang manakala kita punya banyak aktivitas di gereja.

Tetapi kita melihat siapa sebenarnya di alkitab orang-orang seperti itu. Ya, mereka adalah orang-orang yang suka sekali menampilkan ketaatan mereka kepada Allah dengan tampil sebagai orang yang begitu rohani. Mereka adalah orang-orang Farisi, orang-orang yang memiliki “iman” yang begitu besar, mereka memiliki ketaatan rohani yang begitu hebat. Mereka terlihat seperti orang-orang yang begitu suci. Mereka adalah tipikal orang yang bisa menghakimi orang lain manakala orang lain tidak memiliki kualitas kerohanian yang sama dengan mereka.

Kerohanian farisi adalah kerohanian yang begitu mengerikan. Kerohanian ini memaksa seseorang untuk tampil perfect, menjadi seseorang yang munafik, dan menjadi orang-orang yang begitu memiliki idealisme tinggi tanpa adanya suatu kasih karunia. Artinya bahwa orang-orang seperti ini terkadang malah membenci kasih karunia yang Tuhan berikan di dalam hidupnya. Orang-orang ini bahkan melihat bahwa tidak ada orang yang lebih baik dari dirinya. Manakala ia melihat orang jahat tapi tiba-tiba mendapatkan sebuah kasih karunia, ia bisa saja protes kepada Tuhan.

Masih ingat kan dengan cerita “Perumpamaan Tentang Anak Yang Hilang”? Kita melihat ada 2 pribadi disana. Ada seorang sulung yang hidupnya tampil baik-baik saja, tetapi ada si bungsu yang kita bisa melihat adalah pribadi yang “menjijikkan”. Sang sulung secara tidak langsung menunjukkan sebuah kerohanian orang Farisi, yang menyangkal kasih Allah yang ada di dalam kehidupan setiap orang, termasuk orang yang brengsek sekalipun.

Kita melihat bukan dari kisah ini bahwa ternyata kekristenan bukan hanya tentang kita dapat melakukan sesuatu yang baik. Cornelius Van Til menyampaikan idenya di dalam buku Christian Theistic Ethics, bahwa di dalam etika kekristenan, kita perlu belajar mengenai 3 hal: motivasi, tujuan, dan cara. Semuanya harus sinkron dan itulah yang bisa disebut sebagai integritas. Ketika kita melakukan sesuatu yang benar namun motivasinya tidak dikembalikan untuk kemuliaan Allah, maka semuanya sia-sia.

Kita melihat bukan bahwa relasi dengan Tuhan menjadi begitu penting. Kehidupan keseharian kita menuntut kita menjadi pribadi yang memiliki relasi itu. Relasi yang sebenarnya harus menjadi hal yang terutama dibandingkan dengan relasi kita dengan hal lain. Itu seringkali hilang di dalam kehidupan modern kita. Cara paling mudah mengecek relasi kita dengan Tuhan adalah apa yang kita lakukan manakala kita memiliki waktu dimana kita cenderung “kosong”. Apakah kita punya satu keinginan kuat untuk duduk diam dan mendengar suaraNya, ataukah kita lebih menyukai bermain Hay Day atau Clash of Clans dari gadget kita?

Kembali lagi kita diingatkan bahwa relasi kita dengan Tuhan bukanlah sebuah relasi yang dapat kita mainkan dengan seenaknya. Relasi itu sebenarnya menjadi dasar kehidupan kita, dan kita perlu terus-menerus menjaga keintiman kita dengan Tuhan di dalam menjalani kehidupan ini. Kita perlu belajar dan terus bertanya “kalau aku masih hidup hingga saat ini, apa sih sebenarnya yang Tuhan mau kerjakan di dalam kehidupan kita?”.

Relasi itu sebenarnya adalah relasi kasih satu arah. Kasih yang sebenarnya nggak pernah layak untuk kita dapatkan, tetapi melalui salib di kalvari,  relasi itu dipulihkan. Salib itu akhirnya kembali mengembalikan hancurnya relasi manusia dengan Tuhan yang diakibatkan oleh dosa. Pertanyaan yang harus kita renungkan terus menerus adalah sudahkah kita memaknai relasi yang begitu indah ini? Relasi yang diberikan Allah di dalam kehidupan kita untuk kita dapat menikmati Dia. Dia selalu available 24 jam. Dia menginginkan kita untuk datang di hadapanNya, menikmati Dia sehingga kehidupan kita dapat memuliakan Dia.

Bagaimana relasi kita dengan Tuhan saat ini? Bagaimana kondisi kekristenan kita saat ini? Apakah kita hanya sekadar datang ke gereja dan menikmati kotbah, kemudian kita pulang? Apakah kita melayani Tuhan namun belum menyadari bahwa pelayanan itu sebenarnya adalah anugrah yang Tuhan berikan, bukan kuat gagah kita? Apakah kita memiliki suatu keterikatan tertentu terhadap sesuatu yang mana menghancurkan relasi kita denganNya? Dia adalah Allah yang setia di dalam hidup kita. Ia adalah Allah yang ingin kita datang seperti anak bungsu yang mau datang kembali. Implikasinya juga dapat kita lihat di kitab awal alkitab kita. Ia bertanya kepada Adam, “dimanakah engkau?”. Allah bukan tidak tahu Adam ada di mana. Ia ingin Adam datang kepadaNya dan mengakui bahwa tanpa Dia, Adam bukanlah apa-apa.

Sudahkah kita datang kepadaNya dan mengakui setiap kelemahan kita di dalam hidup ini? Sudahkah pusat hidup kita ialah Dia, yang membuat tindakan kita, perkataan kita, kehidupan kita adalah bagi Dia?

Soli Deo Gloria!
(ASW)