Total Pageviews

Wednesday, November 30, 2016

Mensyukuri Hidup Dalam AnugrahNya



“Banyak orang takut untuk mati, tetapi mereka tidak takut dalam menjalani hidup”

Aku lupa banget siapa yang nulis ungkapan ini, tapi sampai sekarang maknanya masih menancap banget di dalam hatiku. Melihat orang-orang disekitarku dengan berbagai problematika mereka dan mereka terus menerus hidup di dalam keluhan dan kekosongan hidup, aku jadi makin memaknai kalimat ini. Akupun sama dulu menganggap bahwa kalimat ini agak nonsense, tetapi setelah aku merenungkannya, bener juga sih.

Dunia yang Penuh Masalah
Tidak mudah bagi kita untuk hidup di dalam dunia sekarang ini. Tengok aja sekitar kita, berbagai problematika terjadi baik itu menyangkut internal diri kita maupun eksternal. Internal adalah contohnya kita tidak bebas melakukan sesuatu yang kita suka. Kita pengen kerja jadi guru, tapi kita takut gajinya kecil. Kita pengen mencapai cita-cita, tapi kita males buat melakukan effort. Kita sedang LDR-an, dan ketika ada masalah kita malah milih untuk diem karena kita males untuk ngobrol ama cowok/cewek yang nun jauh disana, menganggap bahwa apa yang kita critain gak bakal dipahamin.

Bagaimana dengan faktor eksternal? Nggak sedikit juga loh. Setiap hari kita berhadapan dengan bos kita. Kita berhadapan dengan pekerjaan yang gak selesai-selesai. Kita berhadapan dengan orang lain yang unik. Kita ketemu customer yang mungkin mengajak kita untuk makan-makan manakala kita harus pakai uang kita dulu buat bayarin mereka.

Ada begitu banyak masalah yang kita hadapi, dan tanpa adanya suatu cara pandang yang bener terhadap masalah ini, maka semuanya akan menumpuk jadi satu – yang akhirnya berujung pada stress. Tingkat stress yang meningkat mengakibatkan kita lost direction. Kita akhirnya larut di dalam problematika itu dan menganggap bahwa kita adalah makhluk (ups, manusia maksudnya) yang paling sengsara. Kita menjadi pribadi yang memandang bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan berujung pada kesia-siaan.

Check Our Relationship with God
“Gimana hubunganmu sama si ‘anu’?” pertanyaan itu sering kita dengarkan manakala kita jarang melihat seseorang berjalan sendiri padahal status nya udah in a relationship. Kita jadi kepo dengan kehidupan orang tersebut. Apalagi ketika dia jalan sendirian (eh teman-teman yang LDR harus mulai terbiasa nyiapin jawaban lho hehehehe). Belum lagi kalau dia jalan ama seseorang yang ‘lain’ yang mana biasanya bakal jadi gossip.

Nggak jauh beda dengan hal tersebut, aku melihat kecenderungan seseorang yang ada di ciri-ciri bahwa dia tidak bisa memandang sesuatu dari sudut pandang Allah, kemungkinan besar dia pun juga tidak punya sebuah relasi yang intim dengan Tuhan. Hubungan pribadi yang baik dengan Tuhan juga harus di checkup dari waktu ke waktu. Ya anggep aja seperti hubungan kita dengan pasangan hidup kita pun, bukankah kita juga selalu punya momen-momen untuk kita checkup kehidupan kita masing-masing, dan juga kondisi relasi kita?

Nonsense Meaninglessness
Ketidakberartian hidup – atau ketidakberartian tindakan kita menurutku adalah suatu kesimpulan yang kita tidak akan dapat tarik manakala kita punya sebuah hubungan yang intim dengan Allah. Tuhan menciptakan setiap kita dengan berbagai tujuan yang unik dan spesifik. Ini yang ditangkap oleh pemazmur manakala ia melihat kehidupannya, dan ia menuliskan di dalam Mzm 139, khususnya di ayat ke 13. Kemudian ia melanjutkan mazmur tersebut bahwa dia tercengang atas keberadaannya yang dahsyat

Tuhan membentuk setiap kita dengan setiap keunikan dan kemampuan yang berbeda. Tetapi terlebih dari itu, kita diciptakan untuk membuat suatu perubahan bagi dunia kita – bagi masyarakat kita. Sadar atau tidak, bukankah kita lebih menyukai arus dunia ini? Kita lebih suka play safe, kita lebih menikmati zona nyaman kita. Zona nyaman itu sebenarnya justru akan menarik kita secara perlahan namun pasti menuju ketidakberartian hidup.

Manusia diciptakan untuk menghadapi sebuah challenge, sebuah tantangan hidup. Tanpa tantangan hidup maka manusia akan hidup seperti robot. Maksudnya? Ya dia hanya akan bekerja kalau switch nya ada pada posisi ON. Dia gak akan peduli hasil kerjaannya. Dia akan sulit untuk melakukan sesuatu yang terbaik, karena dia nyaman dengan pola kerjanya yang sekarang. Ia terbiasa hidup terpola dan ketika pola itu dilanggar sedikit saja, dia akan stress sampai berhari-hari terhanyut dalam lautan perenungan yang justru sebenarnya merupakan suatu kesia-siaan.

Tidak Mengetahui dan Menyadari Masalah Hidup
Manusia yang tidak memiliki arah tujuan tentu saja dia merasa tidak ada masalah di dalam dirinya. Dia malah kebingungan terhadap hidupnya sendiri. Bahkan ketika ada orang lain bertanya mengenai apa masalah yang ia hadapi, ia akan kebingungan dan pada akhirnya ia mengatakan bahwa ia baik-baik saja – karena ia tidak mengenali masalah yang ada di dalam kehidupannya.

Hal ini sering terjadi kepada orang-orang yang berada di dalam fasa pencarian jati diri. Menariknya bahkan di tengah pencariannya pun, dia punya pilihan: (1) dia terlarut dalam masalah itu, atau (2) dia berusaha mencari jati dirinya dengan cara bertanya kepada orang-orang disekitarnya, dan (3) dia berusaha mencari jawaban atas pertanyaan hidupnya kepada sang Empunya hidup.

Key to Meaningful Life
Kalau kita belajar melihat segala sesuatu dari sudut pandang anugrah, maka sehancur apapun hal yang kamu kerjakan, selalu ada manfaatnya baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain yang berada di sekitar kita. Bagaimana ciri orang-orang yang belajar melihat hidup dalam anugrah? Satu ciri yang khas adalah dia gak akan pernah mengeluh mengenai hidupnya. Dia sesekali akan menggerutu tetapi hal itu akhirnya tidak ia anggap sebagai gerutuan, tetapi justru menjadi suatu batu lompatan untuk meloncat lebih tinggi lagi.

Ciri khas lain adalah dia tidak akan nyaman dengan comfort zone nya. Dia akan punya inisiatif untuk mengembangkan dirinya.

Ciri terakhir, namun yang paling penting adalah dia punya sebuah relasi yang deket banget sama Bapa di Sorga. Dia punya kerinduan buat kenal Tuhan – melalui pembacaan alkitab, melalui pendengaran akan Firman, dan melalui komunitas-komunitas yang membangun. Memang kita harus akui bahwa ada satu lobang di dalam hati manusia. Lobang tersebut tidak akan pernah bisa tertambal manakala tiada Tuhan di dalam kehidupan orang itu.

Are You Ready to Make Your Commitment with God
Pernikahan adalah suatu ikatan di hadapan Allah. Sebuah ikatan yang begitu suci, ikatan yang merupakan cerminan dari bagaimana kasih Allah terhadap gereja-Nya. Kalau pernikahan itu begitu suci dan untuk menceraikannya bukan sesuatu yang gampang… (hum, iya lho. Tapi ga tau juga sih karena penulis belom nikah :p) maka seharusnya ketika dua pribadi telah menjadi satu, jika salah satu memutuskan untuk berpisah – akan ada lobang yang besar yang tidak dapat pulih secara cepat.

Maka dari itulah sebenarnya kita perlu belajar untuk melihat Allah sebagai kekasih jiwa kita. Bagaimana sih cirinya? Coba deh, kalau misal kita bangun pagi, apakah kita inget Allah, atau kita inget tukang bubur di depan kantor karena kita lapar? Apakah ketika bangun pagi kita menyadari bahwa ada suatu hal yang harus kita kerjakan di hari itu, dan semuanya itu terjadi cuman karena kasih Allah di dalam hidup kita.

Komitmen Allah terhadap manusia itu sudah jelas banget lho. Salib itu sudah menunjukkan bahwa cinta-Nya pada kita bukanlah sesuatu yang main-main. Cinta yang murni, cinta yang tanpa menuntut balas, cinta yang seharusnya menjadi dasar kita untuk bergerak dan bekerja seturut dengan kehendak-Nya.

Siapkah kita belajar mencintai Allah sama seperti Dia sudah mencintai kita?


Soli Deo Gloria