“Banyak
orang takut untuk mati, tetapi mereka tidak takut dalam menjalani hidup”
Aku
lupa banget siapa yang nulis ungkapan ini, tapi sampai sekarang maknanya masih
menancap banget di dalam hatiku. Melihat orang-orang disekitarku dengan
berbagai problematika mereka dan mereka terus menerus hidup di dalam keluhan
dan kekosongan hidup, aku jadi makin memaknai kalimat ini. Akupun sama dulu
menganggap bahwa kalimat ini agak nonsense, tetapi setelah aku merenungkannya,
bener juga sih.
Dunia yang Penuh
Masalah
Tidak
mudah bagi kita untuk hidup di dalam dunia sekarang ini. Tengok aja sekitar
kita, berbagai problematika terjadi baik itu menyangkut internal diri kita
maupun eksternal. Internal adalah contohnya kita tidak bebas melakukan sesuatu
yang kita suka. Kita pengen kerja jadi guru, tapi kita takut gajinya kecil. Kita
pengen mencapai cita-cita, tapi kita males buat melakukan effort. Kita sedang
LDR-an, dan ketika ada masalah kita malah milih untuk diem karena kita males untuk ngobrol ama cowok/cewek yang nun jauh
disana, menganggap bahwa apa yang kita critain gak bakal dipahamin.
Bagaimana
dengan faktor eksternal? Nggak sedikit juga loh. Setiap hari kita berhadapan
dengan bos kita. Kita berhadapan dengan pekerjaan yang gak selesai-selesai. Kita
berhadapan dengan orang lain yang unik. Kita ketemu customer yang mungkin
mengajak kita untuk makan-makan manakala kita harus pakai uang kita dulu buat
bayarin mereka.
Ada
begitu banyak masalah yang kita hadapi, dan tanpa adanya suatu cara pandang
yang bener terhadap masalah ini, maka semuanya akan menumpuk jadi satu – yang akhirnya
berujung pada stress. Tingkat stress yang meningkat mengakibatkan kita lost
direction. Kita akhirnya larut di dalam problematika itu dan menganggap bahwa
kita adalah makhluk (ups, manusia maksudnya) yang paling sengsara. Kita menjadi
pribadi yang memandang bahwa segala sesuatu yang kita kerjakan berujung pada
kesia-siaan.
Check Our Relationship
with God
“Gimana
hubunganmu sama si ‘anu’?” pertanyaan itu sering kita dengarkan manakala kita
jarang melihat seseorang berjalan sendiri padahal status nya udah in a relationship. Kita jadi kepo dengan kehidupan orang tersebut. Apalagi
ketika dia jalan sendirian (eh teman-teman yang LDR harus mulai terbiasa
nyiapin jawaban lho hehehehe). Belum lagi kalau dia jalan ama seseorang yang ‘lain’
yang mana biasanya bakal jadi gossip.
Nggak
jauh beda dengan hal tersebut, aku melihat kecenderungan seseorang yang ada di
ciri-ciri bahwa dia tidak bisa memandang sesuatu dari sudut pandang Allah,
kemungkinan besar dia pun juga tidak punya sebuah relasi yang intim dengan
Tuhan. Hubungan pribadi yang baik dengan Tuhan juga harus di checkup dari waktu
ke waktu. Ya anggep aja seperti hubungan kita dengan pasangan hidup kita pun,
bukankah kita juga selalu punya momen-momen untuk kita checkup kehidupan kita
masing-masing, dan juga kondisi relasi kita?
Nonsense
Meaninglessness
Ketidakberartian
hidup – atau ketidakberartian tindakan kita menurutku adalah suatu kesimpulan
yang kita tidak akan dapat tarik manakala kita punya sebuah hubungan yang intim
dengan Allah. Tuhan menciptakan setiap kita dengan berbagai tujuan yang unik
dan spesifik. Ini yang ditangkap oleh pemazmur manakala ia melihat
kehidupannya, dan ia menuliskan di dalam Mzm 139, khususnya di ayat ke 13. Kemudian
ia melanjutkan mazmur tersebut bahwa dia tercengang atas keberadaannya yang
dahsyat
Tuhan
membentuk setiap kita dengan setiap keunikan dan kemampuan yang berbeda. Tetapi
terlebih dari itu, kita diciptakan untuk membuat suatu perubahan bagi dunia
kita – bagi masyarakat kita. Sadar atau tidak, bukankah kita lebih menyukai
arus dunia ini? Kita lebih suka play safe, kita lebih menikmati zona nyaman
kita. Zona nyaman itu sebenarnya justru akan menarik kita secara perlahan namun
pasti menuju ketidakberartian hidup.
Manusia
diciptakan untuk menghadapi sebuah challenge, sebuah tantangan hidup. Tanpa tantangan
hidup maka manusia akan hidup seperti robot. Maksudnya? Ya dia hanya akan
bekerja kalau switch nya ada pada
posisi ON. Dia gak akan peduli hasil kerjaannya. Dia akan sulit untuk melakukan
sesuatu yang terbaik, karena dia nyaman dengan pola kerjanya yang sekarang. Ia terbiasa
hidup terpola dan ketika pola itu dilanggar sedikit saja, dia akan stress
sampai berhari-hari terhanyut dalam lautan perenungan yang justru sebenarnya
merupakan suatu kesia-siaan.
Tidak Mengetahui dan
Menyadari Masalah Hidup
Manusia
yang tidak memiliki arah tujuan tentu saja dia merasa tidak ada masalah di
dalam dirinya. Dia malah kebingungan terhadap hidupnya sendiri. Bahkan ketika
ada orang lain bertanya mengenai apa masalah yang ia hadapi, ia akan
kebingungan dan pada akhirnya ia mengatakan bahwa ia baik-baik saja – karena ia
tidak mengenali masalah yang ada di dalam kehidupannya.
Hal
ini sering terjadi kepada orang-orang yang berada di dalam fasa pencarian jati
diri. Menariknya bahkan di tengah pencariannya pun, dia punya pilihan: (1) dia
terlarut dalam masalah itu, atau (2) dia berusaha mencari jati dirinya dengan
cara bertanya kepada orang-orang disekitarnya, dan (3) dia berusaha mencari
jawaban atas pertanyaan hidupnya kepada sang Empunya hidup.
Key to Meaningful Life
Kalau
kita belajar melihat segala sesuatu dari sudut pandang anugrah, maka sehancur
apapun hal yang kamu kerjakan, selalu ada manfaatnya baik bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain yang berada di sekitar kita. Bagaimana ciri orang-orang
yang belajar melihat hidup dalam anugrah? Satu ciri yang khas adalah dia gak
akan pernah mengeluh mengenai hidupnya. Dia sesekali akan menggerutu tetapi hal
itu akhirnya tidak ia anggap sebagai gerutuan, tetapi justru menjadi suatu batu
lompatan untuk meloncat lebih tinggi lagi.
Ciri
khas lain adalah dia tidak akan nyaman dengan comfort zone nya. Dia akan punya inisiatif untuk mengembangkan
dirinya.
Ciri
terakhir, namun yang paling penting adalah dia punya sebuah relasi yang deket
banget sama Bapa di Sorga. Dia punya kerinduan buat kenal Tuhan – melalui pembacaan
alkitab, melalui pendengaran akan Firman, dan melalui komunitas-komunitas yang
membangun. Memang kita harus akui bahwa ada satu lobang di dalam hati manusia. Lobang
tersebut tidak akan pernah bisa tertambal manakala tiada Tuhan di dalam
kehidupan orang itu.
Are You Ready to Make
Your Commitment with God
Pernikahan
adalah suatu ikatan di hadapan Allah. Sebuah ikatan yang begitu suci, ikatan
yang merupakan cerminan dari bagaimana kasih Allah terhadap gereja-Nya. Kalau pernikahan
itu begitu suci dan untuk menceraikannya bukan sesuatu yang gampang… (hum, iya
lho. Tapi ga tau juga sih karena penulis belom nikah :p) maka seharusnya ketika
dua pribadi telah menjadi satu, jika salah satu memutuskan untuk berpisah –
akan ada lobang yang besar yang tidak dapat pulih secara cepat.
Maka
dari itulah sebenarnya kita perlu belajar untuk melihat Allah sebagai kekasih
jiwa kita. Bagaimana sih cirinya? Coba deh, kalau misal kita bangun pagi,
apakah kita inget Allah, atau kita inget tukang bubur di depan kantor karena
kita lapar? Apakah ketika bangun pagi kita menyadari bahwa ada suatu hal yang
harus kita kerjakan di hari itu, dan semuanya itu terjadi cuman karena kasih
Allah di dalam hidup kita.
Komitmen
Allah terhadap manusia itu sudah jelas banget lho. Salib itu sudah menunjukkan
bahwa cinta-Nya pada kita bukanlah sesuatu yang main-main. Cinta yang murni,
cinta yang tanpa menuntut balas, cinta yang seharusnya menjadi dasar kita untuk
bergerak dan bekerja seturut dengan kehendak-Nya.
Siapkah
kita belajar mencintai Allah sama seperti Dia sudah mencintai kita?
Soli Deo Gloria