Total Pageviews

Sunday, August 23, 2015

Kita Harus Membawa Berita

Apakah Allah Mengasihi?

Pertanyaan bodoh bukan? Kita tidak perlu mempertanyakan hal itu bukan?

Sangat mudah menjawab YA ketika kehidupan kita “baik-baik” saja di dalam perjalanannya, tetapi akan sangat sukar dan perlu perenungan yang begitu mendalam manakala ternyata begitu banyak hal yang kita kerjakan menemui berbagai hambatan. Ketika hidup di dalam segala kebaikan Tuhan, kita bisa saja berkata Tuhan itu baik. Tetapi ketika kita mendapati bahwa kehidupan itu sangat bertentangan dengan sifat Allah, apakah kita masih bisa memuji Dia?

Temuilah sahabat saya, seorang pria yang akan segera menikah di dalam usianya 26 tahun. Pasangan hidupnya juga merupakan seorang Kristen yang begitu taat. Mereka berdua melayani, 1 orang sebagai pemandu pujian, dan satu lagi sebagai seorang pianis gereja yang begitu menawan. Karier mereka pun begitu luar biasa, dimana sang pria ini adalah seorang manager di salah satu perusahaan swasta (bayangkan, di usia 26 tahun sudah menjadi manager!). Pasangannya? Dia adalah seorang wanita karier dengan karir yang begitu mengesankan. Bekerja di sebuah consulting company, dia meraih berbagai penghargaan di usianya yang ke-24 tahun.

Sepertinya kehidupan begitu tenang, dan menyenangkan bagi kedua pasangan ini. Persiapan pernikahan mereka pun dimulai di dalam waktu 1 tahun lebih. Mereka mempersiapkan segalanya. Mereka sudah memesan tempat, mereka sudah memesan catering. Bahkan cincin yang mereka gunakan nantinya sudah mereka pesan dari Jerman. Mereka berdua sungguh merupakan calon keluarga Kristen yang begitu indah.

Semuanya tampak begitu indah bagi kedua pasangan ini, sampai satu kali si pria mendapatkan suatu kabar yang membuat dia shock. Seminggu sebelum mereka menikah, sang wanita mengalami kecelakaan. Kecelakaan yang begitu hebat, yang membuat wanita ini koma. Kejadian ini membuat sang pria ini terpukul. Uang memang bisa dicari, tetapi momen berharga bersama kekasihnya? Wow itu sungguh merupakan malapetaka yang begitu mengguncang hatinya.

Setelah seminggu, bukannya membaik, ternyata kondisi sang wanita semakin parah. Ada pembekuan darah di otaknya, dan dokter memvonis bahwa waktu hidup sang wanita ini tidak lebih dari 10 hari…

Hancur hati, itulah perasaan sang pria. Dia pun mencoba untuk berusaha tabah. Tiap hari dia berdoa bagi calon istrinya ini, berharap bahwa Allah turut bekerja di dalam tubuh istrinya. Bahkan ia pun sampai memohon kalau boleh nyawanya saja yang dicabut, dan sang istri diselamatkan dari penyakitnya. Ironisnya hal tersebut tidak terjadi.

Dua hari menjelang waktu yang sudah ditetapkan oleh dokter, sang wanita terbangun dari komanya. Sang pria langsung bergegas ke rumah sakit saat itu, dan dokter mengijinkan sang wanita ini untuk pulang. Bukan karena dia mendapatkan kesembuhan, tetapi mengijinkan dua hari yang tersisa ini setidaknya menjadi hari terindah yang dimiliki oleh sepasang kekasih ini.

Tidak menyia-nyiakan waktu, mereka berdua pergi ke rumah mereka, dan kedua pasang kekasih ini kemudian berbagi kisah, dan mulai berbagi kisah hidup. Mereka berdua kemudian berdoa bersama, dengan sebuah pengharapan bahwa Tuhan akan menyembuhkan sang wanita. Tetapi hasilnya masih nihil. Sampai di hari terakhirnya pun doa itu tidak terjawab. Akhirnya sang wanita pun meninggal di pelukan sang pria, dengan sebuah surat yang ia tuliskan kepadanya “Tuhan itu baik…”

Sahabat, mari kita coba melihat kisah tersebut. Coba bayangkan anda berada di posisi sang pria. Apa yang akan anda lakukan setelah anda mendapatkan realitas seperti itu? Apakah anda masih bisa berkata bahwa Tuhan itu baik ketika segala hal yang Ia rencanakan ternyata sama sekali berbeda dengan apa yang kita bayangkan?

Sang pria pun menjalani kehidupannya selanjutnya dengan suatu kesedihan yang begitu mendalam. Terlarut dalam kesedihan itu, ia memutuskan untuk mencari ketenangan. Ia mengambil cuti yang cukup panjang untuk mencoba merenungkan kehidupannya selama ini. Ia ingin menenangkan dirinya, tetapi manakala ia mencoba melihat smartphone nya, ia kemudian membuka album foto dan ia melihat senyuman calon istri, tangisan langsung keluar dari matanya. Air mata itu menetes tanpa henti, dan ia hanya membayangkan bagaimana kalau ternyata pada saat itu, sang wanita tidak mengalami kecelakaan.

Pergumulan yang begitu dahsyat ditemui oleh pria ini. Kecewa, marah, dan merasa bahwa dirinya paling mengetahui segalanya pun akhirnya mencuat. Ia kemudian mencoba mengambil sebuah catatannya, sebuah buku harian, yang mana di sana ada tulisan

Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.
Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah.
Pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah.

(Mazmur 62:6-8)

Benarkah? Keraguan mulai menyelimuti hatinya. Berhari-hari ia belum bisa melupakan sang wanita. Berhari-hari ia menutup diri. Ia hanyut di dalam kesedihannya. Ia tetap melayani di gereja dan kualitas suaranya pun tidak berubah. Ia tetaplah melayani Tuhan dan terus belajar untuk berkarya di tengah keraguannya. Ayat-ayat di dalam Mzm 62 itu terus membayangi dirinya. Di dalam hati kecilnya mulai mempertanyakan kebenaran dari ayat-ayat itu.

Kemudian di dalam sebuah persekutuan, setahun setelah kematian calon istrinya, ia diminta untuk menceritakan bagaimana perasaannya. Teman-teman sekitarnya menghibur dia. Mereka bersama pergi ke tempat pemakaman istrinya. Setidaknya ada 40 orang bersamanya, dan pemakaman itu menjadi begitu ramai. Sekali lagi ia membuka buku hariannya, dan mencoba membacakan ayat-ayat di Mazmur 62:6-8.

Saat itulah dia mulai menyadari betapa kemuliaan Allah ada di dalam kehidupannya. Ia kemudian mendapatkan suatu insight yang berbeda. Ia pun pulang ke rumah, mengambil alkitabnya dan mencoba membaca kitab Wahyu, tentang gambaran pernikahan Anak Domba. Saat itulah ia menyadari bahwa calon istrinya sudah sampai di tempat baru. Sebuah tempat yang begitu indah, tempat yang penuh dengan sukacita bersama Kristus.

Hal itu tidak akan terjadi padaku. Mungkin itulah yang rekan-rekan pikirkan manakala membaca kisah ini. Apakah begitu tragisnya kehidupan seseorang? Mungkinkah hal itu terjadi? Kisah yang lebih menyedihkan mungkin berada di sekitar kita, yang mana kita tidak pernah mengetahui bagaimana akhirnya. Tengok saja prostitusi anak-anak di Kamboja. Tengoklah orang-orang kelaparan di Ethiopia. Tengoklah sahabat-sahabat di NTT yang kekurangan air. Begitu banyak orang yang di dalam hidupnya mungkin bertanya-tanya, benarkah Tuhan itu ada? Kalau Dia ada, mengapa begitu banyak hal yang menyedihkan terjadi dalam kehidupan kita?

Seakan Tuhan tidak mahakuasa, ataukah ada alasan lain?

Mungkin itulah yang perlu kita renungkan bersama. Manakala gereja Tuhan, atau bisa dikatakan tubuh Kristus ada di dalam dunia ini, ada tanggung jawab yang kita emban sebagai bagian tubuh Kristus. Ketika Allah sudah mempercayakan begitu banyak hal di dalam kehidupan kita, maka kita dituntut untuk menghadirkan kuasa dan kasihNya di dunia ini.

Menarik untuk kita renungkan sebagai orang-orang yang aktif ataupun orang-orang Kristen, kita perlu menyadari bahwa kita punya peran di dalam hidup kita sebagai orang percaya. Kita perlu terus-menerus belajar memancarkan kasih Kristus di dunia ini. Bukannya nyaman di menara gading, tetapi kita perlu “kenosis”. Kita perlu belajar untuk “keluar”, belajar untuk melakukan karya nyata di dalam kehidupan keseharian kita. Bukan hanya nyaman berada di dalam tembok gereja, sementara gereja terus-menerus memperlebar gedung tetapi tidak memperlebar karya nyata di masyarakat.

Apakah itu berarti pelebaran gedung gereja, renovasi, dan sebagainya tidak penting? Bukan begitu juga. Tetapi sebagai jemaat Tuhan, sebagai gereja Tuhan mari kita lihat seberapa banyak di alkitab dimana Tuhan Yesus berada di sinagoga? Bandingkan dengan pelayanan yang Ia kerjakan. Alkitab mencatat bahwa Yesus mengerjakan pelayanan jauh lebih banyak daripada Ia berada di dalam gedung ibadah. Ia memperlihatkan sosok manusia yang lebih tertarik untuk mengerjakan segala sesuatu yang Allah kerjakan di dunia ini.

Kita mengaku bahwa kita adalah orang Kristen bukan? Kalau begitu kita kembali lagi, apa sih arti “Kristen”? Kekristenan berasal dari kata “Christ” dan “Ian”, dimana tanpa Kristus, kita bukanlah apa-apa.

Kalau dari kisah tadi kita melihat karya Allah, salah satunya adalah bagaimana cara Dia mengejar sang pria. Di tengah putusnya pengharapannya untuk meneruskan hidupnya tanpa sang kekasih, bukan kebetulan bahwa ia menemukan ayat di Mazmur 62. Bukan sebuah kebetulan bahwa dia punya keinginan untuk membuka alkitabnya, membuka kitab Wahyu. Bukan sebuah kebetulan bahkan, bahwa sang calon istri akhirnya meninggal sambil meninggalkan sebuah pesan “Tuhan itu baik”

Allah yang tidak pernah lelah mengejar “yang terhilang” menjadi sebuah gambaran Allah yang begitu menginginkan kita untuk menjadi umatNya. Ketika kita mengaku sebagai orang Kristen bahwa kita adalah murid Kristus, itu berarti kita perlu belajar untuk meneladani karyaNya. Apa itu? sama! Mengejar yang terhilang. Memberitakan kebaikan Tuhan, memberitakan kasihNya. Ketika kita berdoa “datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga” adalah suatu pernyataan iman dan pengharapan, sekaligus juga sebuah janji – sebuah komitmen bagi kita untuk kita dapat mengerjakan tanggung jawab penatalayanan kita bagi dunia ini.

Dunia ini membutuhkan orang-orang yang mau belajar merendahkan diri di hadapan salib, menyerahkan hidupnya di hadapan kebesaran namaNya. Dunia ini membutuhkan orang-orang yang mau mengerjakan yang terbaik bagi Allah untuk kemuliaanNya. Sebagaimana sang pria di dalam kisah itu menemukan sebuah catatan dari Mazmur 62, adakah pribadi kita menjadi orang-orang yang dapat menjadi sumber penghiburan bagi dunia ini? Tidak perlu muluk-muluk harus keluar negeri, harus menjadi misionaris, dan sebagainya. Mulai dari orang-orang sekitar kita, apakah mereka merasakan kehadiran Kristus melalui kehidupan kita? Apakah mereka merasakan kasih Kristus di dalam pribadi setiap kita?


Selamat berkarya, Soli Deo Gloria!

No comments:

Post a Comment