Apakah
Allah Mengasihi?
Pertanyaan bodoh bukan? Kita
tidak perlu mempertanyakan hal itu bukan?
Sangat mudah menjawab YA ketika
kehidupan kita “baik-baik” saja di dalam perjalanannya, tetapi akan sangat
sukar dan perlu perenungan yang begitu mendalam manakala ternyata begitu banyak
hal yang kita kerjakan menemui berbagai hambatan. Ketika hidup di dalam segala
kebaikan Tuhan, kita bisa saja berkata Tuhan itu baik. Tetapi ketika kita
mendapati bahwa kehidupan itu sangat bertentangan dengan sifat Allah, apakah
kita masih bisa memuji Dia?
Temuilah sahabat saya, seorang
pria yang akan segera menikah di dalam usianya 26 tahun. Pasangan hidupnya juga
merupakan seorang Kristen yang begitu taat. Mereka berdua melayani, 1 orang
sebagai pemandu pujian, dan satu lagi sebagai seorang pianis gereja yang begitu
menawan. Karier mereka pun begitu luar biasa, dimana sang pria ini adalah
seorang manager di salah satu perusahaan swasta (bayangkan, di usia 26 tahun
sudah menjadi manager!). Pasangannya? Dia adalah seorang wanita karier dengan
karir yang begitu mengesankan. Bekerja di sebuah consulting company, dia meraih berbagai penghargaan di usianya yang
ke-24 tahun.
Sepertinya kehidupan begitu
tenang, dan menyenangkan bagi kedua pasangan ini. Persiapan pernikahan mereka
pun dimulai di dalam waktu 1 tahun lebih. Mereka mempersiapkan segalanya.
Mereka sudah memesan tempat, mereka sudah memesan catering. Bahkan cincin yang
mereka gunakan nantinya sudah mereka pesan dari Jerman. Mereka berdua sungguh
merupakan calon keluarga Kristen yang begitu indah.
Semuanya tampak begitu indah bagi
kedua pasangan ini, sampai satu kali si pria mendapatkan suatu kabar yang
membuat dia shock. Seminggu sebelum
mereka menikah, sang wanita mengalami kecelakaan. Kecelakaan yang begitu hebat,
yang membuat wanita ini koma. Kejadian ini membuat sang pria ini terpukul. Uang
memang bisa dicari, tetapi momen berharga bersama kekasihnya? Wow itu sungguh
merupakan malapetaka yang begitu mengguncang hatinya.
Setelah seminggu, bukannya
membaik, ternyata kondisi sang wanita semakin parah. Ada pembekuan darah di
otaknya, dan dokter memvonis bahwa waktu hidup sang wanita ini tidak lebih dari
10 hari…
Hancur hati, itulah perasaan sang
pria. Dia pun mencoba untuk berusaha tabah. Tiap hari dia berdoa bagi calon
istrinya ini, berharap bahwa Allah turut bekerja di dalam tubuh istrinya.
Bahkan ia pun sampai memohon kalau boleh nyawanya saja yang dicabut, dan sang
istri diselamatkan dari penyakitnya. Ironisnya hal tersebut tidak terjadi.
Dua hari menjelang waktu yang
sudah ditetapkan oleh dokter, sang wanita terbangun dari komanya. Sang pria
langsung bergegas ke rumah sakit saat itu, dan dokter mengijinkan sang wanita
ini untuk pulang. Bukan karena dia mendapatkan kesembuhan, tetapi mengijinkan
dua hari yang tersisa ini setidaknya menjadi hari terindah yang dimiliki oleh
sepasang kekasih ini.
Tidak menyia-nyiakan waktu,
mereka berdua pergi ke rumah mereka, dan kedua pasang kekasih ini kemudian
berbagi kisah, dan mulai berbagi kisah hidup. Mereka berdua kemudian berdoa
bersama, dengan sebuah pengharapan bahwa Tuhan akan menyembuhkan sang wanita.
Tetapi hasilnya masih nihil. Sampai di hari terakhirnya pun doa itu tidak
terjawab. Akhirnya sang wanita pun meninggal di pelukan sang pria, dengan
sebuah surat yang ia tuliskan kepadanya “Tuhan itu baik…”
Sahabat, mari kita coba melihat
kisah tersebut. Coba bayangkan anda berada di posisi sang pria. Apa yang akan
anda lakukan setelah anda mendapatkan realitas seperti itu? Apakah anda masih
bisa berkata bahwa Tuhan itu baik ketika segala hal yang Ia rencanakan ternyata
sama sekali berbeda dengan apa yang kita bayangkan?
Sang pria pun menjalani
kehidupannya selanjutnya dengan suatu kesedihan yang begitu mendalam. Terlarut
dalam kesedihan itu, ia memutuskan untuk mencari ketenangan. Ia mengambil cuti
yang cukup panjang untuk mencoba merenungkan kehidupannya selama ini. Ia ingin
menenangkan dirinya, tetapi manakala ia mencoba melihat smartphone nya, ia kemudian membuka album foto dan ia melihat
senyuman calon istri, tangisan langsung keluar dari matanya. Air mata itu
menetes tanpa henti, dan ia hanya membayangkan bagaimana kalau ternyata pada
saat itu, sang wanita tidak mengalami kecelakaan.
Pergumulan yang begitu dahsyat
ditemui oleh pria ini. Kecewa, marah, dan merasa bahwa dirinya paling
mengetahui segalanya pun akhirnya mencuat. Ia kemudian mencoba mengambil sebuah
catatannya, sebuah buku harian, yang mana di sana ada tulisan
Hanya pada Allah saja kiranya aku
tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.
Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku,
kota bentengku, aku tidak akan goyah.
Pada Allah ada keselamatanku dan
kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah.
(Mazmur 62:6-8)
Benarkah? Keraguan mulai
menyelimuti hatinya. Berhari-hari ia belum bisa melupakan sang wanita.
Berhari-hari ia menutup diri. Ia hanyut di dalam kesedihannya. Ia tetap
melayani di gereja dan kualitas suaranya pun tidak berubah. Ia tetaplah
melayani Tuhan dan terus belajar untuk berkarya di tengah keraguannya. Ayat-ayat
di dalam Mzm 62 itu terus membayangi dirinya. Di dalam hati kecilnya mulai
mempertanyakan kebenaran dari ayat-ayat itu.
Kemudian di dalam sebuah
persekutuan, setahun setelah kematian calon istrinya, ia diminta untuk
menceritakan bagaimana perasaannya. Teman-teman sekitarnya menghibur dia.
Mereka bersama pergi ke tempat pemakaman istrinya. Setidaknya ada 40 orang
bersamanya, dan pemakaman itu menjadi begitu ramai. Sekali lagi ia membuka buku
hariannya, dan mencoba membacakan ayat-ayat di Mazmur 62:6-8.
Saat itulah dia mulai menyadari
betapa kemuliaan Allah ada di dalam kehidupannya. Ia kemudian mendapatkan suatu
insight yang berbeda. Ia pun pulang
ke rumah, mengambil alkitabnya dan mencoba membaca kitab Wahyu, tentang
gambaran pernikahan Anak Domba. Saat itulah ia menyadari bahwa calon istrinya
sudah sampai di tempat baru. Sebuah tempat yang begitu indah, tempat yang penuh
dengan sukacita bersama Kristus.
Hal itu tidak akan terjadi
padaku. Mungkin itulah yang rekan-rekan pikirkan manakala membaca kisah ini.
Apakah begitu tragisnya kehidupan seseorang? Mungkinkah hal itu terjadi? Kisah
yang lebih menyedihkan mungkin berada di sekitar kita, yang mana kita tidak
pernah mengetahui bagaimana akhirnya. Tengok saja prostitusi anak-anak di
Kamboja. Tengoklah orang-orang kelaparan di Ethiopia. Tengoklah sahabat-sahabat
di NTT yang kekurangan air. Begitu banyak orang yang di dalam hidupnya mungkin
bertanya-tanya, benarkah Tuhan itu ada? Kalau Dia ada, mengapa begitu banyak
hal yang menyedihkan terjadi dalam kehidupan kita?
Seakan Tuhan tidak mahakuasa,
ataukah ada alasan lain?
Mungkin itulah yang perlu kita
renungkan bersama. Manakala gereja Tuhan, atau bisa dikatakan tubuh Kristus ada
di dalam dunia ini, ada tanggung jawab yang kita emban sebagai bagian tubuh
Kristus. Ketika Allah sudah mempercayakan begitu banyak hal di dalam kehidupan
kita, maka kita dituntut untuk menghadirkan kuasa dan kasihNya di dunia ini.
Menarik untuk kita renungkan
sebagai orang-orang yang aktif ataupun orang-orang Kristen, kita perlu
menyadari bahwa kita punya peran di dalam hidup kita sebagai orang percaya. Kita
perlu terus-menerus belajar memancarkan kasih Kristus di dunia ini. Bukannya
nyaman di menara gading, tetapi kita perlu “kenosis”. Kita perlu belajar untuk “keluar”,
belajar untuk melakukan karya nyata di dalam kehidupan keseharian kita. Bukan
hanya nyaman berada di dalam tembok gereja, sementara gereja terus-menerus
memperlebar gedung tetapi tidak memperlebar karya nyata di masyarakat.
Apakah itu berarti pelebaran
gedung gereja, renovasi, dan sebagainya tidak penting? Bukan begitu juga.
Tetapi sebagai jemaat Tuhan, sebagai gereja Tuhan mari kita lihat seberapa
banyak di alkitab dimana Tuhan Yesus berada di sinagoga? Bandingkan dengan
pelayanan yang Ia kerjakan. Alkitab mencatat bahwa Yesus mengerjakan pelayanan
jauh lebih banyak daripada Ia berada di dalam gedung ibadah. Ia memperlihatkan
sosok manusia yang lebih tertarik untuk mengerjakan segala sesuatu yang Allah
kerjakan di dunia ini.
Kita mengaku bahwa kita adalah
orang Kristen bukan? Kalau begitu kita kembali lagi, apa sih arti “Kristen”?
Kekristenan berasal dari kata “Christ” dan “Ian”, dimana tanpa Kristus, kita
bukanlah apa-apa.
Kalau dari kisah tadi kita
melihat karya Allah, salah satunya adalah bagaimana cara Dia mengejar sang
pria. Di tengah putusnya pengharapannya untuk meneruskan hidupnya tanpa sang
kekasih, bukan kebetulan bahwa ia menemukan ayat di Mazmur 62. Bukan sebuah
kebetulan bahwa dia punya keinginan untuk membuka alkitabnya, membuka kitab
Wahyu. Bukan sebuah kebetulan bahkan, bahwa sang calon istri akhirnya meninggal
sambil meninggalkan sebuah pesan “Tuhan itu baik”
Allah yang tidak pernah lelah
mengejar “yang terhilang” menjadi sebuah gambaran Allah yang begitu
menginginkan kita untuk menjadi umatNya. Ketika kita mengaku sebagai orang
Kristen bahwa kita adalah murid Kristus, itu berarti kita perlu belajar untuk
meneladani karyaNya. Apa itu? sama! Mengejar yang terhilang. Memberitakan
kebaikan Tuhan, memberitakan kasihNya. Ketika kita berdoa “datanglah
kerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga” adalah suatu pernyataan
iman dan pengharapan, sekaligus juga sebuah janji – sebuah komitmen bagi kita
untuk kita dapat mengerjakan tanggung jawab penatalayanan kita bagi dunia ini.
Dunia ini membutuhkan orang-orang
yang mau belajar merendahkan diri di hadapan salib, menyerahkan hidupnya di
hadapan kebesaran namaNya. Dunia ini membutuhkan orang-orang yang mau
mengerjakan yang terbaik bagi Allah untuk kemuliaanNya. Sebagaimana sang pria
di dalam kisah itu menemukan sebuah catatan dari Mazmur 62, adakah pribadi kita
menjadi orang-orang yang dapat menjadi sumber penghiburan bagi dunia ini? Tidak
perlu muluk-muluk harus keluar negeri, harus menjadi misionaris, dan sebagainya.
Mulai dari orang-orang sekitar kita, apakah mereka merasakan kehadiran Kristus
melalui kehidupan kita? Apakah mereka merasakan kasih Kristus di dalam pribadi
setiap kita?
Selamat berkarya, Soli Deo
Gloria!
No comments:
Post a Comment