Total Pageviews

Sunday, November 1, 2015

Menapaki Hari Bersama Kristus

Pendahuluan

Sebagai orang Kristen ada satu pertanyaan yang harus kita jawab manakala kita mengakui bahwa Kristus sudah menyelamatkan kita. Apakah itu? Pertanyaan itu adalah “so what?”. Maksudnya adalah ketika kita sudah mengakui bahwa Kristus adalah satu-satunya juruselamat, lalu apa? Hal ini menjadi terus relevan manakala kita melihat bahwa di tengah realitas dunia ini, kita tidak jarang untuk lost contact dengan Allah. Relasi kita dengan Allah menjadi sebuah relasi yang jauh, sama sekali tidak terkoneksi

Keagungan Karya Salib

Perenungan ini juga relevan ketika kita mencoba mencari jawaban atas pertanyaan “mengapa aku diselamatkan oleh darah Kristus”. Ada begitu banyak hal yang bisa menjadi jawaban atas pertanyaan ini. Misalkan: kita diselamatkan agar kita dapat melayani Allah. Benarkah? Kalau kita renungkan, siapa sih diri kita ketika kita berani mengatakan bahwa kita adalah pelayanNya? Bandingkan hidup kita dengan Paulus, Daud, Musa, Yeremia dan lain-lain. Refleksikan saja bagaimana hidup kita dibandingkan dengan hidup mereka. Masihkah kita berani menyatakan bahwa kita diselamatkan untuk melayani Dia?

Ada juga yang mengatakan agar kita bisa menjadi orang-orang yang terlibat penginjilan yang efektif. Kita punya tugas penginjilan. Tetapi kalau kita lihat realitasnya, kurang efektif apa sih Allah ketika Dia mengerjakan penginjilan? Bukankah lebih mudah bagi Allah untuk kemudian menampakkan diriNya di depan orang-orang yang tidak percaya dan kemudian mereka bertobat?

Kekristenan Adalah Relasi

Pemulihan relasi kita dengan Allah adalah satu-satunya alasan utama manakala kita menyadari bahwa hidup kita adalah hidup yang kotor. Kita perlu sadar bahwa tidak ada hal yang mungkin kita kerjakan tanpa keagungan karya salib atas kehidupan kita. Kita perlu sadar bahwa tanpa adanya pendamaian dengan Allah melalui Kristus, kita akan terjebak pada hidup keagamaan yang penuh dengan ritual-ritual.

Kalau kita lihat sepanjang kitab Imamat, kita bisa melihat betapa rumitnya saat seseorang ingin bertemu dengan Allah. Ada berbagai macam korban yang intinya satu: untuk menebus sesuatu. Ketika seseorang penuh dengan dosa, Ia tidak boleh / tidak memiliki akses untuk dapat datang berdoa dan memohon kepada Allah. Bukankah ini adalah satu hal yang begitu mengerikan? Ada banyak hal yang harus dilakukan untuk kita dapat punya akses kepadaNya.

Ironisnya hal ini membuat kita menjadi pribadi yang sama sekali berbeda dengan kemauan orang-orang jaman dahulu. Kalau kita bandingkan bagaimana niatan orang-orang jaman Perjanjian Lama, untuk mereka dapat datang ke Yerusalem pun adalah sesuatu yang begitu berat. Saat itu belum ada Go-Jek, belum ada taksi. Kalau seseorang cukup kaya, dia akan naik unta. Kalau tidak? Ya tentu saja dia harus berjalan kaki. Apalagi mereka harus membawa korban persembahan. Korban persembahan itupun juga tidak boleh cacat, artinya ini adalah suatu aturan yang sangat berat.

Menarik bahwa kalau kita melihat realitas jaman ini. Kalau acara di gereja tidak menarik ya tidak akan datang. “Eh, yang kotbah Pdt. X, pasti bikin ngantuk, kita ke gereja lain deh.” “kalau ke gereja itu ada makanannya lho!”,”nanti aja kalau mau nikah, aku akan rajin ke gereja”. Kalimat-kalimat inilah yang mewarnai kehidupan jaman ini. Jaman dimana anak-anak muda punya kehidupan yang jauh lebih mudah dibandingkan dengan masa lalu. Jaman dimana semua hal tersedia untuk kita dapat datang beribadah kepadaNya, tetapi ironisnya justru ada satu hal yang tidak dipunyai. Apa itu? Relasi yang intim dengan Allah.

Pemulihan relasi itulah yang dikerjakan oleh Kristus di atas kayu salib. Relasi dimana sebelum korban Kristus, manusia memiliki jarak yang begitu jauh dengan Allah, berbeda dengan ketika karya penebusan itu sudah dilakukan oleh Kristus. Kita tidak perlu lagi mempersiapkan korban pengganti bagi dosa-dosa kita. Kristus telah membayar segalanya.

Sikap Hidup Orang Percaya

Kesadaran kita akan keintiman relasi dengan Allah membuat kita menjadi pribadi yang berbeda. Analoginya adalah ketika kita memiliki seorang kekasih. Bisa dibayangkan ketika kita berjalan dengan kekasih kita, mungkin sikap kita akan begitu berbeda dibandingkan kita berjalan bersama anggota geng kita. Sikap kita akan menjadi pribadi yang lebih “manis”. Kalau kita menyadari bahwa Allah itu selalu ada bersama kita, dan kita adalah kekasih hatiNya, bukankah kita juga akan selalu memiliki perbedaan sikap dan pandangan?

Kesadaran inilah yang perlu dimiliki oleh orang percaya. Kesadaran bahwa kita tidak ditebus dengan darah yang murahan. Kesadaran bahwa kita sudah ditebus. Ini seharusnya menjadi suatu titik balik dimana kita akan punya sebuah kerinduan untuk dapat memiliki suatu relasi vertikal dan horizontal yang baik. Itulah yang dinyatakan Yesus manakala diberikan pertanyaan mengenai hukum terutama: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."

Arti dari hukum ini begitu clear, bahwa perubahan yang paling nyata adalah masalah bagaimana kita bisa memaknai kehidupan yang sudah Allah berikan. Ayat ini mengajak kita untuk punya sebuah persekutuan yang erat dengan Allah sekaligus juga persekutuan dengan sesama kita.

Implikasinya adalah ketika kita akan ke gereja, motivasi utama kita apa sih? Apakah karena di gereja ada cowok yang cakep, atau cewek yang cantik? Ataukah kita punya sebuah kerinduan untuk datang kepada Kristus, mengakui dan mensyukuri setiap anugrahNya atas kehidupan kita? Perubahan hidup inilah yang seharusnya membuat kita menjadi seseorang yang tidak perlu dipaksa untuk kita bisa pergi ke gereja. Kita tidak perlu dipaksa untuk melayani, karena kita tahu bahwa segala yang kita punya adalah milik Allah.

Kesimpulan

Ketika Allah sudah memberikan segalanya atas kehidupan kita, pertanyaannya adalah bagaimana kita menyikapi pemberian Allah itu? Apakah kita punya satu kerinduan kepada Allah sama seperti kerinduanNya untuk kita dapat datang kepadaNya? Apakah kita sudah mencintai Allah sama seperti Allah sudah mencintai kita?

Biarlah kita belajar dari hari ke hari punya relasi yang semakin intim kepadaNya, sehingga kita tahu bahwa ada satu tujuan yang Tuhan ingin kita kerjakan untuk kemuliaanNya.


Soli Deo Gloria