Pendahuluan
Sebagai
orang Kristen ada satu pertanyaan yang harus kita jawab manakala kita mengakui
bahwa Kristus sudah menyelamatkan kita. Apakah itu? Pertanyaan itu adalah “so what?”. Maksudnya adalah ketika kita
sudah mengakui bahwa Kristus adalah satu-satunya juruselamat, lalu apa? Hal ini
menjadi terus relevan manakala kita melihat bahwa di tengah realitas dunia ini,
kita tidak jarang untuk lost contact
dengan Allah. Relasi kita dengan Allah menjadi sebuah relasi yang jauh, sama
sekali tidak terkoneksi
Keagungan Karya Salib
Perenungan
ini juga relevan ketika kita mencoba mencari jawaban atas pertanyaan “mengapa
aku diselamatkan oleh darah Kristus”. Ada begitu banyak hal yang bisa menjadi
jawaban atas pertanyaan ini. Misalkan: kita diselamatkan agar kita dapat
melayani Allah. Benarkah? Kalau kita renungkan, siapa sih diri kita ketika kita
berani mengatakan bahwa kita adalah pelayanNya? Bandingkan hidup kita dengan
Paulus, Daud, Musa, Yeremia dan lain-lain. Refleksikan saja bagaimana hidup
kita dibandingkan dengan hidup mereka. Masihkah kita berani menyatakan bahwa
kita diselamatkan untuk melayani Dia?
Ada
juga yang mengatakan agar kita bisa menjadi orang-orang yang terlibat
penginjilan yang efektif. Kita punya tugas penginjilan. Tetapi kalau kita lihat
realitasnya, kurang efektif apa sih Allah ketika Dia mengerjakan penginjilan?
Bukankah lebih mudah bagi Allah untuk kemudian menampakkan diriNya di depan
orang-orang yang tidak percaya dan kemudian mereka bertobat?
Kekristenan Adalah Relasi
Pemulihan
relasi kita dengan Allah adalah satu-satunya alasan utama manakala kita
menyadari bahwa hidup kita adalah hidup yang kotor. Kita perlu sadar bahwa
tidak ada hal yang mungkin kita kerjakan tanpa keagungan karya salib atas
kehidupan kita. Kita perlu sadar bahwa tanpa adanya pendamaian dengan Allah
melalui Kristus, kita akan terjebak pada hidup keagamaan yang penuh dengan
ritual-ritual.
Kalau
kita lihat sepanjang kitab Imamat, kita bisa melihat betapa rumitnya saat
seseorang ingin bertemu dengan Allah. Ada berbagai macam korban yang intinya
satu: untuk menebus sesuatu. Ketika seseorang penuh dengan dosa, Ia tidak boleh
/ tidak memiliki akses untuk dapat datang berdoa dan memohon kepada Allah. Bukankah
ini adalah satu hal yang begitu mengerikan? Ada banyak hal yang harus dilakukan
untuk kita dapat punya akses kepadaNya.
Ironisnya
hal ini membuat kita menjadi pribadi yang sama sekali berbeda dengan kemauan
orang-orang jaman dahulu. Kalau kita bandingkan bagaimana niatan orang-orang
jaman Perjanjian Lama, untuk mereka dapat datang ke Yerusalem pun adalah
sesuatu yang begitu berat. Saat itu belum ada Go-Jek, belum ada taksi. Kalau
seseorang cukup kaya, dia akan naik unta. Kalau tidak? Ya tentu saja dia harus
berjalan kaki. Apalagi mereka harus membawa korban persembahan. Korban persembahan
itupun juga tidak boleh cacat, artinya ini adalah suatu aturan yang sangat
berat.
Menarik
bahwa kalau kita melihat realitas jaman ini. Kalau acara di gereja tidak
menarik ya tidak akan datang. “Eh, yang kotbah Pdt. X, pasti bikin ngantuk,
kita ke gereja lain deh.” “kalau ke gereja itu ada makanannya lho!”,”nanti aja
kalau mau nikah, aku akan rajin ke gereja”. Kalimat-kalimat inilah yang
mewarnai kehidupan jaman ini. Jaman dimana anak-anak muda punya kehidupan yang
jauh lebih mudah dibandingkan dengan masa lalu. Jaman dimana semua hal tersedia
untuk kita dapat datang beribadah kepadaNya, tetapi ironisnya justru ada satu
hal yang tidak dipunyai. Apa itu? Relasi yang intim dengan Allah.
Pemulihan
relasi itulah yang dikerjakan oleh Kristus di atas kayu salib. Relasi dimana
sebelum korban Kristus, manusia memiliki jarak yang begitu jauh dengan Allah,
berbeda dengan ketika karya penebusan itu sudah dilakukan oleh Kristus. Kita
tidak perlu lagi mempersiapkan korban pengganti bagi dosa-dosa kita. Kristus
telah membayar segalanya.
Sikap Hidup Orang Percaya
Kesadaran
kita akan keintiman relasi dengan Allah membuat kita menjadi pribadi yang
berbeda. Analoginya adalah ketika kita memiliki seorang kekasih. Bisa
dibayangkan ketika kita berjalan dengan kekasih kita, mungkin sikap kita akan
begitu berbeda dibandingkan kita berjalan bersama anggota geng kita. Sikap kita
akan menjadi pribadi yang lebih “manis”. Kalau kita menyadari bahwa Allah itu
selalu ada bersama kita, dan kita adalah kekasih hatiNya, bukankah kita juga
akan selalu memiliki perbedaan sikap dan pandangan?
Kesadaran
inilah yang perlu dimiliki oleh orang percaya. Kesadaran bahwa kita tidak
ditebus dengan darah yang murahan. Kesadaran bahwa kita sudah ditebus. Ini
seharusnya menjadi suatu titik balik dimana kita akan punya sebuah kerinduan
untuk dapat memiliki suatu relasi vertikal dan horizontal yang baik. Itulah
yang dinyatakan Yesus manakala diberikan pertanyaan mengenai hukum terutama: "Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri."
Arti
dari hukum ini begitu clear, bahwa
perubahan yang paling nyata adalah masalah bagaimana kita bisa memaknai
kehidupan yang sudah Allah berikan. Ayat ini mengajak kita untuk punya sebuah
persekutuan yang erat dengan Allah sekaligus juga persekutuan dengan sesama kita.
Implikasinya
adalah ketika kita akan ke gereja, motivasi utama kita apa sih? Apakah karena
di gereja ada cowok yang cakep, atau cewek yang cantik? Ataukah kita punya
sebuah kerinduan untuk datang kepada Kristus, mengakui dan mensyukuri setiap anugrahNya
atas kehidupan kita? Perubahan hidup inilah yang seharusnya membuat kita
menjadi seseorang yang tidak perlu dipaksa untuk kita bisa pergi ke gereja.
Kita tidak perlu dipaksa untuk melayani, karena kita tahu bahwa segala yang
kita punya adalah milik Allah.
Kesimpulan
Ketika
Allah sudah memberikan segalanya atas kehidupan kita, pertanyaannya adalah
bagaimana kita menyikapi pemberian Allah itu? Apakah kita punya satu kerinduan
kepada Allah sama seperti kerinduanNya untuk kita dapat datang kepadaNya?
Apakah kita sudah mencintai Allah sama seperti Allah sudah mencintai kita?
Biarlah
kita belajar dari hari ke hari punya relasi yang semakin intim kepadaNya,
sehingga kita tahu bahwa ada satu tujuan yang Tuhan ingin kita kerjakan untuk
kemuliaanNya.
Soli
Deo Gloria