Total Pageviews

Tuesday, June 19, 2018

(Un)Divided Attention



“Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat” begitulah tagline yang selama ini diyakini oleh begitu banyak orang tentang Social Media di dalam kehidupan kita. Mulai dari remaja-remaja SMP, sampai SMA bahkan hingga orang tua sekalipun menemui bahwa Social Media bukanlah hal yang baru. Mulai dari fungsinya sebagai suatu media untuk chatting, berbagai kehidupan pribadi, bahkan sekedar untuk membagikan informasi-informasi bagi teman-temannya.

Tentu ada begitu banyak dampak positif yang dapat ditimbulkan oleh social media. Saat ini begitu banyak informasi yang dapat diakses secara begitu cepat. Bahkan ada kisah-kisah inspiratif yang dibagikan melalui berbagai social media.

Menggantikan Keintiman Suatu Relasi
Tetapi ditengah banyaknya manfaat social media yang kita rasakan, tetap saja ada hal-hal yang ternyata tak tergantikan. Begitu banyak saat ini keluarga yang kehilangan komunikasi yang riil antar anggota keluarganya, menggantikan waktu ngobrol saat makan malam dengan bermain game atau sibuk menikmati percakapan whatsapp ataupun berbagi foto makanan mereka lewat Instagram. Melupakan doa sebelum makan, menggantikannya dengan sesi menangkap gambar dan membuat caption yang menarik agar orang-orang bisa mengetahui apa yang dimakan.

Serasa kita kehilangan empati bagi orang-orang yang ada di sekitar kita, dan ini bukan hanya terjadi pada keluarga. Ini juga terjadi baik ketika kita sendirian, ketika pacaran, dan sebagainya. Bahkan budaya ini begitu menguasai kehidupan kita, dan menggantikan komunikasi yang penuh keintiman dengan komunikasi yang penuh keterbukaan bagi orang lain, tetapi tertutup bagi orang-orang yang merupakan inner circle kita.

Generasi Pecinta Like
Apa tujuan kita dalam posting sesuatu di media sosial kita? Kalau diamati, sebagian adalah kisah tentang kehidupan kita sendiri yang kita rasa menarik buat orang lain tahu (atau kita lagi pengen dikepoin oleh orang yang kita cintai?... hmmmm), kemudian berbagai curhatan-curhatan seolah kita adalah pribadi yang paling menderita di dunia ini, kemudian sharing tentang masa liburan sehingga instastory kita bukan berbentuk garis, tetapi titik-titik yang sangat panjang, dan sebagainya.

Salahkah itu? Tidak kalau tujuan kita adalah untuk membagikan hal tersebut sehingga orang terinspirasi melalui kehidupan kita. Namun kalau tujuannya adalah sekedar ingin pamer dan membuktikan kalau kita bisa lebih baik daripada orang lain, mari cek kembali seberapa jauh rasa empati kita kepada orang lain? Ataukah kita sedang membangun kerajaan account kita sehingga kita punya berjuta-juta followers, namun gagal untuk membagikan kisah hidup yang bermakna bagi orang lain, dan orang lain malah belajar hal-hal yang negatif dari kehidupan kita?

Obsesi
Karena kita ingin dicintai, maka hal yang kita kejar adalah “like” dan “love”, dan kita terobsesi dengan gadget kita. Kita lupa bahwa ada orang-orang disekitar kita yang juga mencintai kita, bahkan lebih daripada follower-follower kita di media sosial yang terpasang di smartphone kita. Kita begitu terobsesi buat membagikan hidup, melihat layar smartphone kita dengan berbagai hiburan di dalamnya dan kita terperosok jatuh ke dalam suatu kebiasaan “mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat”.

Bukan hanya media sosial, tetapi juga banyak hal yang membuat kita terobsesi dengan gadget kita. Berbagai permainan, tayangan drama korea, dan sebagainya. Intinya adalah hal-hal yang membuat kita mengurung diri di kamar dan di dalam keasyikan kita tanpa mempedulikan orang disekitar kita. Kita lebih merasa intim untuk melihat smartphone kita dibandingkan dengan berkomunikasi dengan orang yang kita cintai atau mencintai kita.

Bertanggung Jawab Terhadap Anugrah Tuhan
Mari kita belajar untuk mengembalikan anugrah Tuhan yang ada di dalam kehidupan kita kepada fungsinya secara bertanggungjawab. Smartphone adalah salah satu anugrah yang Tuhan sediakan dalam hidup kita, dan perannya bukanlah untuk menggantikan kehadiranNya di dalam kehidupan kita. Smartphone juga bukan suatu alat untuk mengalihkan perhatian kita dan menjadikan kita menjadi pribadi yang menikmati swafoto dibandingkan dengan menikmati kehadiran orang-orang yang Tuhan hadirkan di sekitar kita.

Mari belajar membatasi diri kita untuk tidak dikuasai oleh gadget kita, dan sediakan waktu buat orang lain, buat Tuhan, dan buat orang-orang yang mengasihi kita.

Mari belajar senantiasa punya empati bagi orang lain, punya cinta bagi orang lain, bukan hanya melalui media sosial kita, tetapi melalui aksi nyata dalam setiap kehidupan kita.

Soli Deo Gloria

No comments:

Post a Comment