“Mendekatkan
yang jauh, menjauhkan yang dekat” begitulah tagline yang selama ini diyakini
oleh begitu banyak orang tentang Social Media di dalam kehidupan kita. Mulai
dari remaja-remaja SMP, sampai SMA bahkan hingga orang tua sekalipun menemui
bahwa Social Media bukanlah hal yang baru. Mulai dari fungsinya sebagai suatu
media untuk chatting, berbagai kehidupan pribadi, bahkan sekedar untuk
membagikan informasi-informasi bagi teman-temannya.
Tentu
ada begitu banyak dampak positif yang dapat ditimbulkan oleh social media. Saat
ini begitu banyak informasi yang dapat diakses secara begitu cepat. Bahkan ada
kisah-kisah inspiratif yang dibagikan melalui berbagai social media.
Menggantikan Keintiman Suatu Relasi
Tetapi
ditengah banyaknya manfaat social media yang kita rasakan, tetap saja ada
hal-hal yang ternyata tak tergantikan. Begitu banyak saat ini keluarga yang
kehilangan komunikasi yang riil antar anggota keluarganya, menggantikan waktu
ngobrol saat makan malam dengan bermain game atau sibuk menikmati percakapan
whatsapp ataupun berbagi foto makanan mereka lewat Instagram. Melupakan doa
sebelum makan, menggantikannya dengan sesi menangkap gambar dan membuat caption
yang menarik agar orang-orang bisa mengetahui apa yang dimakan.
Serasa
kita kehilangan empati bagi orang-orang yang ada di sekitar kita, dan ini bukan
hanya terjadi pada keluarga. Ini juga terjadi baik ketika kita sendirian,
ketika pacaran, dan sebagainya. Bahkan budaya ini begitu menguasai kehidupan
kita, dan menggantikan komunikasi yang penuh keintiman dengan komunikasi yang
penuh keterbukaan bagi orang lain, tetapi tertutup bagi orang-orang yang
merupakan inner circle kita.
Generasi Pecinta Like
Apa
tujuan kita dalam posting sesuatu di media sosial kita? Kalau diamati, sebagian
adalah kisah tentang kehidupan kita sendiri yang kita rasa menarik buat orang
lain tahu (atau kita lagi pengen dikepoin oleh orang yang kita cintai?...
hmmmm), kemudian berbagai curhatan-curhatan seolah kita adalah pribadi yang
paling menderita di dunia ini, kemudian sharing tentang masa liburan sehingga
instastory kita bukan berbentuk garis, tetapi titik-titik yang sangat panjang,
dan sebagainya.
Salahkah
itu? Tidak kalau tujuan kita adalah untuk membagikan hal tersebut sehingga
orang terinspirasi melalui kehidupan kita. Namun kalau tujuannya adalah sekedar
ingin pamer dan membuktikan kalau kita bisa lebih baik daripada orang lain,
mari cek kembali seberapa jauh rasa empati kita kepada orang lain? Ataukah kita
sedang membangun kerajaan account kita sehingga kita punya berjuta-juta
followers, namun gagal untuk membagikan kisah hidup yang bermakna bagi orang
lain, dan orang lain malah belajar hal-hal yang negatif dari kehidupan kita?
Obsesi
Karena
kita ingin dicintai, maka hal yang kita kejar adalah “like” dan “love”, dan
kita terobsesi dengan gadget kita. Kita lupa bahwa ada orang-orang disekitar
kita yang juga mencintai kita, bahkan lebih daripada follower-follower kita di
media sosial yang terpasang di smartphone kita. Kita begitu terobsesi buat
membagikan hidup, melihat layar smartphone kita dengan berbagai hiburan di
dalamnya dan kita terperosok jatuh ke dalam suatu kebiasaan “mendekatkan yang
jauh, menjauhkan yang dekat”.
Bukan
hanya media sosial, tetapi juga banyak hal yang membuat kita terobsesi dengan gadget
kita. Berbagai permainan, tayangan drama korea, dan sebagainya. Intinya adalah
hal-hal yang membuat kita mengurung diri di kamar dan di dalam keasyikan kita
tanpa mempedulikan orang disekitar kita. Kita lebih merasa intim untuk melihat
smartphone kita dibandingkan dengan berkomunikasi dengan orang yang kita cintai
atau mencintai kita.
Bertanggung Jawab Terhadap Anugrah Tuhan
Mari
kita belajar untuk mengembalikan anugrah Tuhan yang ada di dalam kehidupan kita
kepada fungsinya secara bertanggungjawab. Smartphone adalah salah satu anugrah
yang Tuhan sediakan dalam hidup kita, dan perannya bukanlah untuk menggantikan
kehadiranNya di dalam kehidupan kita. Smartphone juga bukan suatu alat untuk
mengalihkan perhatian kita dan menjadikan kita menjadi pribadi yang menikmati
swafoto dibandingkan dengan menikmati kehadiran orang-orang yang Tuhan hadirkan
di sekitar kita.
Mari
belajar membatasi diri kita untuk tidak dikuasai oleh gadget kita, dan sediakan waktu buat orang lain, buat Tuhan, dan
buat orang-orang yang mengasihi kita.
Mari
belajar senantiasa punya empati bagi orang lain, punya cinta bagi orang lain,
bukan hanya melalui media sosial kita, tetapi melalui aksi nyata dalam setiap
kehidupan kita.
Soli
Deo Gloria
No comments:
Post a Comment