Pada waktu itu, ketika Musa
telah dewasa, ia keluar mendapatkan saudara-saudaranya untuk melihat kerja
paksa mereka; lalu dilihatnyalah seorang Mesir memukul seorang Ibrani, seorang
dari saudara-saudaranya itu.
(Keluaran 2:11)
Itu
adalah suatu indikasi dari visi yang ditetapkan Tuhan bagi Musa – yakni pembebasan
bangsa Israel dari tanah Mesir. Itu adalah suatu momen yang indah dalam
kehidupan seseorang saat ia menyadari bahwa dia harus menentukan suatu jalan
hidupnya. Musa “dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam
perkataan dan perbuatannya” (Kisah Para Rasul 7:22, seseorang dengan latar
belakang kerajaan melalui penyertaan Allah, dan ia melihat penderitaan dari
umat Allah dan seluruh hati dan pikirannya terbakar dengan visi yang mana dia
akan menjadi seseorang yang membebaskan mereka.
Tetapi
sebelum hal tersebut terjadi, ada suatu halangan di jalannya, dan Allah
mengirim Musa ke padang gurun, dan tebak apa pekerjaannya? Dia menggembelakan
domba selama 40 tahun. Coba bayangkan kita ada di posisi Musa saat itu, kita
tahu bahwa kita akan menjadi seseorang yang rindu untuk menghantarkan bangsa
Israel menuju suatu kebbeasan; yang mana itu menjadi keyakinan kita bahwa itu
adalah visi kita, dan coba bayangkan saat itu Musa pasti memikirkan apa yang
sebenarnya Tuhan mau kerjakan dalam 40 tahun hidupnya menggembalakan domba.
Kemudian
kita kembali membaca bahwa Allah muncul di hadapan Musa dan berkata, “Jadi
sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku,
orang Israel, keluar dari Mesir." (Keluaran 3:10) Empat puluh tahun telah
lewat sejak dia mendapatkan visi itu dan kita melihat suatu perbedaan yang
sangat besar dari diri Musa. Bukan lagi “SAYA yang besar”, tetapi “saya yang
kecil”. Ketika Allah datang dengan suatu panggilan yang diperbaharui, Musa
bergetar di dalam kelemahannya “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap
Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (ayat 11). “saya yang
kecil” selalu merajuk saat Allah berkata “Lakukan”. Allah yang Mahakuasa itu
kemudian menjawab Musa dengan penuh kemarahan: “"AKU ADALAH AKU."
Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU
telah mengutus aku kepadamu." (ayat 14). “Saya yang besar” dan “saya yang
kecil” harus segera meninggalkan saya sampai tidak ada lagi “saya” tetapi
Allah; Dia haruslah menguasai hidup kita.
Biarlah
“saya yang kecil” semakin diciutkan, semakin dikecilkan lagi dalam kemarahan
Allah. Bukankah ini hal yang menarik, yang mana Allah mengetahui setiap langkah
kita, dimana kita merangkak masuk ke dalam tempat tinggal kita, tidak peduli
dimana pun kita bersembunyi. Dia akan menunjukkan diriNya kepada kita seperti
sebuah kilatan petir. Tiada orang lain yang mengetahui manusia seperti yang
Allah tahu atas diri kita.
"Ada
suatu tempat dekat-Ku, di mana engkau dapat berdiri di atas gunung batu”
(Keluaran 33:21). Musa datang pada suatu realitas, yakni dimana Ia tahu bahwa
Ia dikenal oleh Allah. Tempat untuk Musa dalam pikiran Allah adalah di gunung
batu, dimana ia dikenal oleh Allah sebagai rekan sekerjaNya. Tiada tempat yang
dapat membelokkan hidup yang ditempatkan Allah pada suatu gunung batu. Setelah
dipermalukan selama 40 tahun Musa akhirnya mencapai suatu kondisi dimana ia
diterima oleh Allah tanpa terlalu ditinggikan.
Tiada
orang yang pernah berdiri di sebelah Allah yang mana dia tidak pernah berdiri
di sebelah dirinya sendiri, dan dijatuhkan dari akal pikirannya dengan
kekuatiran dan kebingungan tentang kekacauan yang mereka buat tentang banyak
hal yang mereka lakukan. Itulah arti dari keyakinan atas dosa, tentang
kesadaran, “Betapa aku adalah orang yang bodoh! Betapa aku adalah orang yang
jahat dan kejam! Dan aku seharusnya menjadi seperti ini dan seperti itu!”
Pengalaman
Musa adalah suatu pengalaman yang mana adalah suatu kepastian bahwa Allah akan
membawa kita pilang dan Allah telah mempersiapkan kita untuk melakukan sesuatu,
dan kita menyadari bahwa kita memiliki suatu potensi untuk melakukan apa yang
Dia mau untuk kita lakukan. Kita dapat mengingat kembai suatu realita yang
sempurna tentang visi, suatu pemahaman yang jelas bahwa Allah memanggil kita.
Kita berkata “aku tahu bahwa Ia mengatakan hal itu, aku hampir saja melihatNya,
hal itu sangat nyata. Aku tahu bahwa Allah memanggilku untuk menjadi seorang
misionaris. Tetapi itu terjadi di masa laluku, dan aku kira aku salah, karena,
lihat padaku sekarang, bahwa aku telah bekerja di tempat lain.” Kita harus
menyadari bahwa kita tidak sedang salah. Panggilan itu adalah sesuatu yang
benar, tetapi kamu belum siap untuk hal itu. Allah harus memberikan proses
terlebih dahulu bagi kita. Ada suatu waktu dimana kita akan mengalami
keterpurukan sebelum visi menjadi suatu realitas hidup kita. Kita harus belajar
bahwa tidak hanya “betapa kita tidak berguna”, tetapi “betapa luar biasanya
Allah yang mahakuasa itu”.
Pikirkan
tentang betapa besar sukacita yang berasal dari Allah! Dia tidak pernah terlalu
terburu-buru. Kita yang biasanya ada di dalam keterburu-buruan. Kita jatuh
tersungkur di hadapan Allah dan berdoa, kemudian kita bangun dan berkata: “Semuanya
ini selesai sekarang,” dan pada kemuliaan visi yang Allah berikan kita
berangkat dan mengerjakan visi itu. Tetapi hal itu tidak nyata, dan Allah haeus
membawa kita sampai ke lembah dan meletakkan kita pada api dan suatu kondisi
yang begitu berat untuk membentuk kita, sampai kita mencapai sebuah kondisi
dimana Dia dapat mempercayakan kita sebuah realitas dari pengakuanNya atas
kita.
Soli
Deo Gloria!
test
ReplyDeleteopo ko?
ReplyDelete