Total Pageviews

Sunday, November 3, 2013

Belajar dari Panggilan Musa

Pada waktu itu, ketika Musa telah dewasa, ia keluar mendapatkan saudara-saudaranya untuk melihat kerja paksa mereka; lalu dilihatnyalah seorang Mesir memukul seorang Ibrani, seorang dari saudara-saudaranya itu.
(Keluaran 2:11)

Itu adalah suatu indikasi dari visi yang ditetapkan Tuhan bagi Musa – yakni pembebasan bangsa Israel dari tanah Mesir. Itu adalah suatu momen yang indah dalam kehidupan seseorang saat ia menyadari bahwa dia harus menentukan suatu jalan hidupnya. Musa “dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya” (Kisah Para Rasul 7:22, seseorang dengan latar belakang kerajaan melalui penyertaan Allah, dan ia melihat penderitaan dari umat Allah dan seluruh hati dan pikirannya terbakar dengan visi yang mana dia akan menjadi seseorang yang membebaskan mereka.

Tetapi sebelum hal tersebut terjadi, ada suatu halangan di jalannya, dan Allah mengirim Musa ke padang gurun, dan tebak apa pekerjaannya? Dia menggembelakan domba selama 40 tahun. Coba bayangkan kita ada di posisi Musa saat itu, kita tahu bahwa kita akan menjadi seseorang yang rindu untuk menghantarkan bangsa Israel menuju suatu kebbeasan; yang mana itu menjadi keyakinan kita bahwa itu adalah visi kita, dan coba bayangkan saat itu Musa pasti memikirkan apa yang sebenarnya Tuhan mau kerjakan dalam 40 tahun hidupnya menggembalakan domba.

Kemudian kita kembali membaca bahwa Allah muncul di hadapan Musa dan berkata, “Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir." (Keluaran 3:10) Empat puluh tahun telah lewat sejak dia mendapatkan visi itu dan kita melihat suatu perbedaan yang sangat besar dari diri Musa. Bukan lagi “SAYA yang besar”, tetapi “saya yang kecil”. Ketika Allah datang dengan suatu panggilan yang diperbaharui, Musa bergetar di dalam kelemahannya “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (ayat 11). “saya yang kecil” selalu merajuk saat Allah berkata “Lakukan”. Allah yang Mahakuasa itu kemudian menjawab Musa dengan penuh kemarahan: “"AKU ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu." (ayat 14). “Saya yang besar” dan “saya yang kecil” harus segera meninggalkan saya sampai tidak ada lagi “saya” tetapi Allah; Dia haruslah menguasai hidup kita.

Biarlah “saya yang kecil” semakin diciutkan, semakin dikecilkan lagi dalam kemarahan Allah. Bukankah ini hal yang menarik, yang mana Allah mengetahui setiap langkah kita, dimana kita merangkak masuk ke dalam tempat tinggal kita, tidak peduli dimana pun kita bersembunyi. Dia akan menunjukkan diriNya kepada kita seperti sebuah kilatan petir. Tiada orang lain yang mengetahui manusia seperti yang Allah tahu atas diri kita.

"Ada suatu tempat dekat-Ku, di mana engkau dapat berdiri di atas gunung batu” (Keluaran 33:21). Musa datang pada suatu realitas, yakni dimana Ia tahu bahwa Ia dikenal oleh Allah. Tempat untuk Musa dalam pikiran Allah adalah di gunung batu, dimana ia dikenal oleh Allah sebagai rekan sekerjaNya. Tiada tempat yang dapat membelokkan hidup yang ditempatkan Allah pada suatu gunung batu. Setelah dipermalukan selama 40 tahun Musa akhirnya mencapai suatu kondisi dimana ia diterima oleh Allah tanpa terlalu ditinggikan.

Tiada orang yang pernah berdiri di sebelah Allah yang mana dia tidak pernah berdiri di sebelah dirinya sendiri, dan dijatuhkan dari akal pikirannya dengan kekuatiran dan kebingungan tentang kekacauan yang mereka buat tentang banyak hal yang mereka lakukan. Itulah arti dari keyakinan atas dosa, tentang kesadaran, “Betapa aku adalah orang yang bodoh! Betapa aku adalah orang yang jahat dan kejam! Dan aku seharusnya menjadi seperti ini dan seperti itu!”

Pengalaman Musa adalah suatu pengalaman yang mana adalah suatu kepastian bahwa Allah akan membawa kita pilang dan Allah telah mempersiapkan kita untuk melakukan sesuatu, dan kita menyadari bahwa kita memiliki suatu potensi untuk melakukan apa yang Dia mau untuk kita lakukan. Kita dapat mengingat kembai suatu realita yang sempurna tentang visi, suatu pemahaman yang jelas bahwa Allah memanggil kita. Kita berkata “aku tahu bahwa Ia mengatakan hal itu, aku hampir saja melihatNya, hal itu sangat nyata. Aku tahu bahwa Allah memanggilku untuk menjadi seorang misionaris. Tetapi itu terjadi di masa laluku, dan aku kira aku salah, karena, lihat padaku sekarang, bahwa aku telah bekerja di tempat lain.” Kita harus menyadari bahwa kita tidak sedang salah. Panggilan itu adalah sesuatu yang benar, tetapi kamu belum siap untuk hal itu. Allah harus memberikan proses terlebih dahulu bagi kita. Ada suatu waktu dimana kita akan mengalami keterpurukan sebelum visi menjadi suatu realitas hidup kita. Kita harus belajar bahwa tidak hanya “betapa kita tidak berguna”, tetapi “betapa luar biasanya Allah yang mahakuasa itu”.

Pikirkan tentang betapa besar sukacita yang berasal dari Allah! Dia tidak pernah terlalu terburu-buru. Kita yang biasanya ada di dalam keterburu-buruan. Kita jatuh tersungkur di hadapan Allah dan berdoa, kemudian kita bangun dan berkata: “Semuanya ini selesai sekarang,” dan pada kemuliaan visi yang Allah berikan kita berangkat dan mengerjakan visi itu. Tetapi hal itu tidak nyata, dan Allah haeus membawa kita sampai ke lembah dan meletakkan kita pada api dan suatu kondisi yang begitu berat untuk membentuk kita, sampai kita mencapai sebuah kondisi dimana Dia dapat mempercayakan kita sebuah realitas dari pengakuanNya atas kita.


Soli Deo Gloria!

2 comments: