Total Pageviews

Monday, January 5, 2015

Lebih Dari Yang Dilihat Mata - Refleksi Dari Mazmur 90

Tahun 2014 sudah berakhir dan 2015 akan dimulai. Bagaimana kabar teman-teman? Apakah masih di dalam satu keyakinan bahwa ada penyertaan Tuhan yang luar biasa di dalam kehidupan? Ataukah masih bergelut dengan hal-hal yang membuat kita menjadi seseorang yang malas-malasan karena sepertinya ada banyak hal buruk yang kita alami di dalam kehidupan kita? Belum move on juga dari hal buruk yang kita alami? Nah artikel kali ini mencoba untuk mengajak teman-teman merenungkan kehidupan yang bermakna di dalam kerangka kita belajar memuliakan Tuhan, sekaligus menikmati Dia.

Mazmur 90 adalah suatu bagian di alkitab yang menuliskan mengenai doa dari Musa. Siapa sih yang tidak mengenal Musa? Dengan segala prestasinya yang begitu mentereng. Bayangkan saja, seorang pangeran Mesir hingga usia 40, dia merupakan seseorang dengan pendidikan yang tinggi. Kemudian di usia 40-80 tahun ia menjadi seorang gembala, dan pada usia 80 ia kembali ke Mesir untuk memimpin eksodus terbesar sepanjang sejarah manusia. Begitu besar peran yang ia jalani, tetapi di dalam doanya dia dengan rendah hati sekali menyatakan bahwa dia perlu belajar untuk ‘menghitung hari hingga beroleh hati yang bijaksana’ (ay. 12) setelah sebelumnya dia mengakui kedaulatan Tuhan atas kehidupannya.

Doa Musa ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kehidupan orang Kristen ditengah dunia yang penuh dengan pergumulan dan kekacauan. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari doa Musa ini. Mari kita bahas satu per satu:

1.     Ayat 1-2, merupakan sebuah votum, sebuah pengakuan bahwa kehidupan kita digantungkan hanya di dalam Dia. Musa menyatakan bahwa Allah adalah tempat perteduhan, yang berarti tempat untuk kita berteduh. Dia menyebut juga turun-temurun, dimana kalau kita melihat pemeliharaan Tuhan kepada Bangsa Israel, kita bisa melihat bagaimana karya Tuhan – mulai dari jaman Abraham hingga jaman Musa, sampai seterusnya. Ayat 2 juga ada sesuatu yang menarik: “dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah”. Tidak perlu banyak penjelasan bukan? Pengakuan Musa ini menunjukkan imannya yang begitu luar biasa. Sekalipun terkadang ada keraguan dalam diri Musa (dari awal dia diutus) hingga akhirnya dia menjadi seorang pembebas Mesir, tetapi pada akhirnya dia tetap percaya – sekalipun dia tidak melihat tanah perjanjian itu.

2.     Ayat 3-6, menunjukkan betapa singkatnya sebenarnya kehidupan itu dimata Tuhan. Hal ini menunjukkan pengakuan Musa yang menyadari betul bahwa sebenarnya hidupnya itu tidak ada apa-apanya di mata Tuhan. Orang mungkin memandang bahwa Musa adalah seorang pemimpin besar, tetapi ternyata dia tidak menganggap dirinya seperti itu. Dengan rendah hati ia berkata bahwa ternyata Tuhanlah satu-satunya yang empunya hidupnya. Dia tidak terbatas oleh waktu. Dia adalah Allah yang maha hadir di dalam kehidupan manusia. Di hadapan Allah, sehebat apapun prestasi kita, kemampuan kita, apapun yang kita kerjakan sebenarnya nothing. Kalau kita dipercaya melakukan sesuatu, semata-mata itu semua karena ANUGRAH.

3.     Ayat 7-12, Musa kembali mengakui kemahakuasaan Allah di dalam kehidupannya. Ia tahu benar seperti apa Allah itu, Allah yang kudus, Allah yang adil, Allah yang begitu mengasihi manusia. Mengasihi? Ya, Allah yang mengasihi belum tentu Allah yang tidak mendidik umatNya. Namun mengasihi di dalam hal ini adalah bagaimana Allah memberikan proses di dalam kehidupan manusia. Ayat 9 menunjukkan adanya suatu kondisi ‘berdukacita’. Kalau kita baca doa Musa ini, sepertinya dia memperlihatkan dirinya sebagai seseorang yang memiliki kehidupan yang begitu sengsara.. Tetapi pernyataan itu dibaliknya di ayat 10-12. Ayat 10-12 Musa mengakui bahwa seringkali manusia tidak memandang kehidupan dari sudut pandang Allah. Oleh karena itulah Ia meminta hikmat di ayat 12, Musa meminta pelajaran hikmat itu dari Tuhan, sehingga ia dapat menjadi seseorang yang bijaksana di dalam kehidupannya.

4.     Ayat 13-17, Musa menuliskan permohonannya kepada Allah. Setelah sebelumnya ia mengakui tentang kasih dan penyertaan Tuhan, ia memohon kali ini untuk dapat dikenyangkan dengan kasih setiaNya, artinya bahwa melalui hikmat yang diberikan Allah, kita dimungkinkan untuk dapat bersukacita atas segala hal yang terjadi di dalam kehidupan kita. Ia memohonkan bahwa setiap proses yang Allah sediakan seharusnya membuat bangsa Israel, setidaknya dia sendiri, untuk dapat memandang setiap proses yang sudah dialami dengan hati yang semakin mengenal Tuhan. Bukan dengan hikmat manusia, tetapi dengan hikmat yang dari Dia sendiri. Ia berdoa agar orang-orang dapat menikmati proses dari Tuhan itu dengan kacamata Tuhan, bukan dengan kacamata mereka sendiri.

Bisa nggak kita bayangkan kekecewaan Musa pada saat itu? Dia bisa saja lho ngambek atas hal yang Tuhan minta Ia kerjakan. Betapa tidak, kalau sepanjang hidupnya ia gunakan hanya untuk membawa bangsa Israel yang tegar tengkuk, bangsa Israel yang tukang mengeluh, tapi mereka adalah UMAT PERJANJIAN. Di akhir hidupnya mungkin kita membayangkan bahwa Musa akan sampai ke tanah perjanjian, tetapi rencana Tuhan ternyata bukan itu. Ternyata tanah perjanjian itu hanya dilihat oleh Musa, dia nggak sempat untuk menikmati tanah perjanjian itu.

Pembelajaran apa sih yang kita dapat? Poin 1 menunjukkan bahwa Ia adalah Allah yang layak dipercaya. Ia adalah Allah yang harus kita percaya sebagai Allah yang berdaulat atas kehidupan kita. Allah yang selalu memelihara kehidupan kita. Poin 2 mengajak kita untuk belajar merendahkan diri kita di hadapan Tuhan yang Maha tinggi. Poin 3 dan 4 intinya adalah kita belajar menerima didikan dari Tuhan. Kita belajar melihat bagaimana Tuhan bekerja, bukan melalui kacamata kita semata, bukan melalui hikmat kita semata, namun kembali bahwa semuanya adalah rancangan Tuhan. Apakah itu baik? YES and AMEN!! Rancangan Tuhan adalah rancangan yang terbaik di dalam kehidupan kita. Pertanyaannya, mau nggak kita belajar menyerahkan pemikiran dan logika kita di hadapan Tuhan, mengakui bahwa rancangan-Nya bukanlah rancangan kita, dan jalan-Nya bukanlah jalan kita?

Kehidupan kita sebagai hamba juga nggak jauh beda dengan kehidupan Musa. Musa sadar betul bahwa ketika dia sudah menjadi hamba, dia hanya bisa bilang “suka-sukaMu Tuhan”, dan itu berarti bahwa dia membutuhkan hikmat lebih yang dari Tuhan saja. Tetapi Tuhan menyediakan hikmat itu bukan? Tuhan menyediakan hikmat itu kepada Musa sehingga dia bisa menerima rencana Tuhan di dalam kehidupannya. Kaitannya apa sih dengan kehidupan kita? Nggak peduli mau sehancur apapun 2014 yang sudah dialami temen-temen, mau nggak belajar bahwa semuanya adalah bagian dari rencana Tuhan di dalam kehidupan ini untuk kita dapat menyongsong tahun 2015 yang penuh dengan pengharapan yang baru? Mungkin kehidupan kita seperti Musa, mengalami hal-hal yang tidak seharusnya kita alami di dalam masa hidup yang seharusnya kita nggak cocok untuk melakukan itu. Tetapi apakah teman-teman menyadari bahwa Allah sudah mempersiapkan hal yang jauh lebih baik dari hal itu?


Soli Deo Gloria

Thursday, January 1, 2015

Menyambut Tahun Baru Penuh Pengharapan

“Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”

-Markus 10:45-

Tahun baru merupakan satu momen yang indah untuk kita dapat memikirkan, kira-kira sepertii apa hidup kita di tahun yang akan datang. Sebenarnya setiap kesempatan yang Tuhan sediakan memiliki suatu maksud dan tujuan tertentu. Tetapi momen tahun baru menjadi satu momen yang tepat sekali untuk menanyakan di dalam kehidupan kita sendiri: apa yang mau kita kerjakan bagi Tuhan? Resolusi apa yang belum kita komplitkan tahun lalu dan apa yang mau kita kejar tahun ini?

Setiap tahun kita memiliki berbagai resolusi. Target-target apa yang akan kita kejar di tahun depan, dan kalau dalam konteks para jomblo: “siapa yang kita kejar”. Ah menarik sekali manakala di momen pergantian tahun ini, saya percaya bahwa Allah menyediakan momen ini untuk setidaknya kita merenungkan kembali, bagaimana kasih karunia Allah itu begitu luar biasa di dalam kehidupan kita. Tahun baru ini selalu menjadi masa yang begitu unik dan menarik.

Satu hal yang dapat menjadi satu perenungan yang mendalam di dalam kehidupan kita adalah mau menjadi seperti apa relasi kita dengan Tuhan di tahun kedepan? Hal ini mungkin seringkali terlewat dan dirasa menjadi suatu hal yang tidak penting. Tetapi timbul lagi satu pertanyaan mungkin di dalam kehidupan kita: “sebenarnya pentingkah kita menyertakan hal ini sebagai suatu resolusi?”.

Seorang karyawan mungkin akan memikirkan mengenai bagaimana impiannya kedepan untuk dapat bekerja lebih baik lagi sehingga ia dapat setidaknya naik sub-golongan. Buat para pedagang mungkin akan mengejar omzet sampai meningkat berapa. Banyak contoh lagi, tetapi hal itu terkadang membuat kita menjadi orang yang berfokus pada kehidupan pribadi kita tanpa sedikitpun mau memikirkan – apa yang menjadi rencana Tuhan di dalam kehidupan kita.

Sangat miris melihat realitas bahwa kita begitu mudah memikirkan visi dan misi hidup kita apabila hal itu dikaitkan dengan income kita, ataupun mengenai jabatan kita.  Hidup di dalam suatu dunia yang penuh dengan tantangan membuat kita menjadi seseorang yang melupakan Sang Pemberi Hidup, yang mana akhirnya kita tidak memiliki suatu tujuan yang jelas di dalam kehidupan kita. Kita melupakan esensi kehidupan manusia dan kita akhirnya melupakan bahwa kita ini diciptakan sebagai makhluk sosial. Alih-alih kita dapat mengasihi sesama kita, kita malah menjadi homo homini lupus.

Firman Tuhan hari ini mengingatkan kita bahwa menyambut momen pergantian tahun baru, kita diajak mengingat kembali sebenarnya untuk apa kita hidup. Momen tahun baru menjadi satu momen yang baik untuk kita terus menerus mengingat Sang Pencipta kita. Konteks bacaan di Markus adalah Andreas dan Yakobus menanyakan, siapa yang terbesar di antara para murid. Sangat lazim lah sebenarnya ketika kita bertanya seperti itu bukan? Sama seperti kita yang menjadi seorang karyawan, sangat lazim kita bertanya kepada bos kita, siapa yang terbaik?

Konteks kerajaan Allah bukan dipandang dari prestasi. Artinya bahwa di dalam kita mengerjakan keselamatan yang telah Tuhan sediakan, hal yang penting bukan seberapa banyak kita sudah berkarya bagi Tuhan. Hal yang terpenting bukanlah berapa banyak jiwa yang sudah kita bawa untuk mengenal Tuhan. Ingat bahwa ketika kita bisa melayani Dia, ketika kita dipakai oleh Tuhan, itu pun sebenarnya juga sebuah bonus kok.

Maka dari itulah Yesus dengan begitu lembut menyebutkan bahwa yang akan menjadi yang terbesar ialah seseorang yang menjadi hamba atas saudara-saudaranya. Hal ini memperjelas kembali panggilan kita, bahwa ketika kita hidup di dunia ini ternyata memang bukan mengenai bagaimana kita dapat meninggikan diri kita. Hidup di dunia ini bukan berarti kita berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih tinggi dan lebih hebat daripada orang-orang yang lain. Hidup ini adalah tentang bagaimana melaksanakan rencana Allah – dan itu berarti bahwa kita melayani orang lain di dalam kehidupan kita.

Apakah berarti kita tidak boleh punya target pribadi di dalam kehidupan ini? Tentu saja boleh, akan tetapi kembali lagi pertanyaannya: apakah target itu hanya fokusnya pada kebesaran diri kita? Apakah target itu sesuai dengan panggilan yang sudah Allah tempatkan di dalam kehidupan kita? Ini adalah satu pertanyaan besar di dalam dunia ini yang perlu kita jawab. Ini adalah satu pertanyaan besar dimana kita perlu memikirkan kembali rencana yang Allah sudah tetapkan di dalam kehidupan kita. Punyakah kita kesadaran bahwa ketika Allah sudah memberikan banyak sekali hal dalam kehidupan kita, itu bukan hanya untuk kita keep sendiri. PrinsipNya begitu jelas kok, bahwa ketika kita diberikan sesuatu oleh Allah, maka kita akan dituntut lebih dan lebih lagi. Saat itu pula Dia akan menambahkan, dan kita terus memberi dan memberi.


Ketika sudah membaca hal ini, kira-kira apakah yang menjadi resolusi kita di tahun 2015? Siapkah kita menyongsong masa-masa penuh pengharapan di dalam Dia? Apakah kita masih saja tetap pada tujuan hidup kita sebelum kita mengenal Kristus, ataukah kita belajar untuk semakin hari semakin mengenal Dia di dalam Roh dan kebenaran? Allah kita adalah Allah yang memelihara kehidupan kita hari lepas hari. Apakah kita siap di dalam pelayanan kita untuk memuliakan Allah di dalam hidup kita – menjalani hari-hari penuh pengharapan di dalam Dia yang memberikan kita kekuatan untuk hidup memuliakanNya?