Total Pageviews

Friday, April 3, 2015

Titik Jenuh Pelayanan Kristen

Setiap orang selalu dapat mengalami apa yang disebut sebagai kejenuhan. Tak terkecuali orang-orang Kristen, apalagi yang sudah terlibat di dalam sebuah pelayanan yang sudah cukup lama. Terlebih lagi kalau ternyata pelayanan yang dikerjakan itu hasilnya “nihil”, dalam arti ternyata pelayanan yang kita kerjakan tidak berhasil (tentu saja tidak berhasil disini dalam arti duniawi). Kita berusaha untuk menyanyi dengan lebih baik, tetapi ternyata suara kita masih di bawah standar. Kita mencoba untuk menginjili orang di sekitar kita, ternyata nggak ada satu pun orang yang akhirnya percaya. Kita berusaha membuat sebuah acara yang menarik, tetapi ternyata acara itupun hanya dihadiri oleh segelintir orang.

Selalu banyak alasan bagi kita untuk akhirnya kita memutuskan “resign” atau “quit” dari pelayanan kita, alasannya adalah karena ternyata pelayanan kita sama sekali tidak memberikan sebuah berkat bagi orang yang kita layani. Konsep pelayanan kita akhirnya tergantikan dengan suatu anggapan bahwa ternyata pelayanan kita nggak jauh beda dengan pekerjaan-pekerjaan kita di dunia. Kita beranggapan dan kita berasumsi bahwa ternyata pelayanan kita gagal manakala tidak ada tepuk tangan, tidak ada pujian dari orang lain, kita jadi terus menerus melayani namun hanya sebagai “pemain cadangan”, dan begitu banyak anggapan lain.

Ketika kita mulai merasa berada pada titik jenuh, kita perlu kembali memandang pelayanan sebagai suatu kesempatan. Cukup belajar memandang kembali apa yang dikerjakan Allah atas kehidupan kita. Ketika rasa jenuh itu tiba, kita perlu belajar untuk introspeksi diri kita. Kita perlu belajar untuk meninjau kembali, sebenarnya apa makna pelayanan kita. Kita perlu belajar mendefinisikan kembali sebenarnya apa arti pelayanan bagi kita, dan apa manfaatnya.

Seorang teman saya adalah seseorang yang pernah bergelut di dalam dunia pelayanan mahasiswa selama lebih dari 10 tahun. Ia adalah seseorang yang bisa dinilai tekun di dalam pelayanan yang ia kerjakan. Bahkan sampai sekarang, badai silih berganti mengancam pelayanan itu sampai akhirnya saat ini pelayanan yang ia kerjakan diacak-acak oleh pihak yang lebih berkuasa. Namun di tengah dia menjalaninya, rasa jenuh yang ia alami terhapus dengan melihat kembali tujuan pelayanannya. Ia belajar untuk bertahan karena tahu bahwa pelayanan yang ia bentuk (di dalam anugrah Tuhan tentunya) mendatangkan satu sukacita tersendiri. Dia banyak berubah karena dia belajar untuk setia melayani di tempat itu.

Ketika aku menanyakan sebenarnya apa yang membuat dia dapat terus melaju, jawabannya selalu sama: bahwa ketika kita mengerjakan sesuatu buat Tuhan, sebenarnya bukan pribadi orang lain yang kita ubah, namun pribadi kita mendapatkan benefit yang jauh lebih besar. Loh? Kok bisa? Ya karena kita tahu bahwa ternyata kita sedang dpercaya untuk mengerjakan rencana besar Allah melalui kehidupan pelayanan kita.

Kejenuhan itu suatu saat – mau tidak mau – akan datang dengan sendirinya. Sadar atau tidak kita akan sampai pada titik jenuh di dalam kita melayani. Bidang apapun pelayanan kita entah acara kecil atau besar, selalu akan menyampaikan kita kepada sebuah kejenuhan. Sampai pada titik jenuh itulah kita dituntut untuk memilih : mau lanjut atau mau berhenti? Kalau mau lanjut pun pilihannya ada dua, apakah kita mau (1) mengerjakannya dengan semaksimal mungkin sesuai tugas panggilan Allah atas kehidupan kita, atau (2) mengerjakannya dengan asal-asalan?

Kita mengingat kembali apa sebenarnya yang dikerjakan Allah manakala Ia datang ke dunia. Bukankah tugasnya adalah untuk melayani dan memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang?[i] Oke kalau kita menyadari hal ini, masih berhakkah sebenarnya kita untuk jenuh? Kristus pun mungkin dalam pandangan saya juga jenuh. Bapa juga jenuh. Kalau kita membaca di sepanjang perjanjian lama dan perjanjian baru, ada satu kesamaan disana: Umat Israel adalah bangsa yang begitu bebal, bangsa yang begitu tegar tengkuk. Berkali-kali Allah memperingatkan mereka untuk menjadi sebuah bangsa yang taat, tetapi hasilnya? Tetap saja Israel tetap menjadi sebuah bangsa yang mengkhianati Allah.

Kita sering geleng-geleng saat kita melihat tingkah bangsa Israel. Sama juga mungkin kalau kita melihat orang-orang yang kita layani. Itu membuat kita jenuh dan akhirnya kita meninggalkan pelayanan. Tetapi sepanjang alkitab kita bisa melihat bagaimana penyertaan Tuhan atas bangsa Israel dengan kasih setiaNya. Kristus di dalam pelayananNya di dunia, Ia tahu betul sebenarnya apa yang harus Ia kerjakan. Hal inilah yang akhirnya menguatkan Dia untuk menjadi seorang pribadi yang penuh dengan kesetiaan di tengah ketidak setiaan bangsa Israel.

Inti dari pelayanan bukanlah tentang hasil dari pelayanan yang kita kerjakan. Allah nggak pernah menilai keberhasilan sebuah pelayanan dengan mengukur hasilnya. Ia melihat bagaimana perubahan hati dan sikap seseorang di dalam karya layanan yang ia kerjakan. Perlu kedewasaan rohani dari dalam diri kita untuk dapat memahami karyaNya itu. Nah sekarang pertanyaan yang diajukan bagi setiap kita adalah sudahkah Allah mengubahkan hati kita di dalam pelayanan yang kita kerjakan? Sudahkah kita belajar untuk melihat bahwa ketika Allah mau mengerjakan karyaNya di dunia ini, Ia tidak sembarangan memilih saudara dan saya?

Pelayanan itu telah ditentukan sebelumnya oleh Allah. Ketika kita jenuh mari: (1) ingat kembali akan karyaNya yang terbesar di kayu salib, (2) mengingat bahwa ada rencana besar Allah yang mau dinyatakan Allah melalui kehidupan pelayanan kita, dan (3) belajar untuk punya relasi yang intim dengan Allah. Kalau ketiga hal ini kita terus ingat, ketika kita jenuh, Allah sedang ingin menunjukkan keada kita bahwa pelayanan ini bukan tentang kita. Pelayanan ini bukan karena kuat dan gagah kita. Pelayanan ini adalah tentang Dia, yang telah memberikan nyawaNya bagi kita, yang telah mengubahkan kita, dan yang telah menyediakan kepada kita setiap pekerjaan baik yang harus kita kerjakan selama kita berada di dunia ini.

Soli Deo Gloria





[i] Markus 10:45

No comments:

Post a Comment