Setiap orang selalu dapat mengalami apa yang disebut
sebagai kejenuhan. Tak terkecuali orang-orang Kristen, apalagi yang sudah
terlibat di dalam sebuah pelayanan yang sudah cukup lama. Terlebih lagi kalau
ternyata pelayanan yang dikerjakan itu hasilnya “nihil”, dalam arti ternyata
pelayanan yang kita kerjakan tidak berhasil (tentu saja tidak berhasil disini
dalam arti duniawi). Kita berusaha untuk menyanyi dengan lebih baik, tetapi
ternyata suara kita masih di bawah standar. Kita mencoba untuk menginjili orang
di sekitar kita, ternyata nggak ada satu pun orang yang akhirnya percaya. Kita
berusaha membuat sebuah acara yang menarik, tetapi ternyata acara itupun hanya
dihadiri oleh segelintir orang.
Selalu banyak alasan bagi kita untuk akhirnya kita
memutuskan “resign” atau “quit” dari pelayanan kita, alasannya adalah karena
ternyata pelayanan kita sama sekali tidak memberikan sebuah berkat bagi orang
yang kita layani. Konsep pelayanan kita akhirnya tergantikan dengan suatu
anggapan bahwa ternyata pelayanan kita nggak jauh beda dengan
pekerjaan-pekerjaan kita di dunia. Kita beranggapan dan kita berasumsi bahwa
ternyata pelayanan kita gagal manakala tidak ada tepuk tangan, tidak ada pujian
dari orang lain, kita jadi terus menerus melayani namun hanya sebagai “pemain
cadangan”, dan begitu banyak anggapan lain.
Ketika kita mulai merasa berada pada titik jenuh, kita
perlu kembali memandang pelayanan sebagai suatu kesempatan. Cukup belajar
memandang kembali apa yang dikerjakan Allah atas kehidupan kita. Ketika rasa
jenuh itu tiba, kita perlu belajar untuk introspeksi diri kita. Kita perlu
belajar untuk meninjau kembali, sebenarnya apa makna pelayanan kita. Kita perlu
belajar mendefinisikan kembali sebenarnya apa arti pelayanan bagi kita, dan apa
manfaatnya.
Seorang teman saya adalah seseorang yang pernah bergelut
di dalam dunia pelayanan mahasiswa selama lebih dari 10 tahun. Ia adalah
seseorang yang bisa dinilai tekun di dalam pelayanan yang ia kerjakan. Bahkan
sampai sekarang, badai silih berganti mengancam pelayanan itu sampai akhirnya
saat ini pelayanan yang ia kerjakan diacak-acak oleh pihak yang lebih berkuasa.
Namun di tengah dia menjalaninya, rasa jenuh yang ia alami terhapus dengan
melihat kembali tujuan pelayanannya. Ia belajar untuk bertahan karena tahu
bahwa pelayanan yang ia bentuk (di dalam anugrah Tuhan tentunya) mendatangkan
satu sukacita tersendiri. Dia banyak berubah karena dia belajar untuk setia
melayani di tempat itu.
Ketika aku menanyakan sebenarnya apa yang membuat dia dapat
terus melaju, jawabannya selalu sama: bahwa ketika kita mengerjakan sesuatu
buat Tuhan, sebenarnya bukan pribadi orang lain yang kita ubah, namun pribadi
kita mendapatkan benefit yang jauh lebih besar. Loh? Kok bisa? Ya karena kita
tahu bahwa ternyata kita sedang dpercaya untuk mengerjakan rencana besar Allah
melalui kehidupan pelayanan kita.
Kejenuhan itu suatu saat – mau tidak mau – akan datang
dengan sendirinya. Sadar atau tidak kita akan sampai pada titik jenuh di dalam
kita melayani. Bidang apapun pelayanan kita entah acara kecil atau besar,
selalu akan menyampaikan kita kepada sebuah kejenuhan. Sampai pada titik jenuh
itulah kita dituntut untuk memilih : mau lanjut atau mau berhenti? Kalau mau
lanjut pun pilihannya ada dua, apakah kita mau (1) mengerjakannya dengan
semaksimal mungkin sesuai tugas panggilan Allah atas kehidupan kita, atau (2)
mengerjakannya dengan asal-asalan?
Kita mengingat kembali apa sebenarnya yang dikerjakan
Allah manakala Ia datang ke dunia. Bukankah tugasnya adalah untuk melayani dan
memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang?[i]
Oke kalau kita menyadari hal ini, masih berhakkah sebenarnya kita untuk jenuh?
Kristus pun mungkin dalam pandangan saya juga jenuh. Bapa juga jenuh. Kalau
kita membaca di sepanjang perjanjian lama dan perjanjian baru, ada satu
kesamaan disana: Umat Israel adalah bangsa yang begitu bebal, bangsa yang
begitu tegar tengkuk. Berkali-kali Allah memperingatkan mereka untuk menjadi
sebuah bangsa yang taat, tetapi hasilnya? Tetap saja Israel tetap menjadi
sebuah bangsa yang mengkhianati Allah.
Kita sering geleng-geleng saat kita melihat tingkah
bangsa Israel. Sama juga mungkin kalau kita melihat orang-orang yang kita
layani. Itu membuat kita jenuh dan akhirnya kita meninggalkan pelayanan. Tetapi
sepanjang alkitab kita bisa melihat bagaimana penyertaan Tuhan atas bangsa
Israel dengan kasih setiaNya. Kristus di dalam pelayananNya di dunia, Ia tahu
betul sebenarnya apa yang harus Ia kerjakan. Hal inilah yang akhirnya
menguatkan Dia untuk menjadi seorang pribadi yang penuh dengan kesetiaan di
tengah ketidak setiaan bangsa Israel.
Inti dari pelayanan bukanlah tentang hasil dari pelayanan
yang kita kerjakan. Allah nggak pernah menilai keberhasilan sebuah pelayanan
dengan mengukur hasilnya. Ia melihat bagaimana perubahan hati dan sikap
seseorang di dalam karya layanan yang ia kerjakan. Perlu kedewasaan rohani dari
dalam diri kita untuk dapat memahami karyaNya itu. Nah sekarang pertanyaan yang
diajukan bagi setiap kita adalah sudahkah Allah mengubahkan hati kita di dalam
pelayanan yang kita kerjakan? Sudahkah kita belajar untuk melihat bahwa ketika
Allah mau mengerjakan karyaNya di dunia ini, Ia tidak sembarangan memilih
saudara dan saya?
Pelayanan itu telah ditentukan sebelumnya oleh Allah.
Ketika kita jenuh mari: (1) ingat kembali akan karyaNya yang terbesar di kayu
salib, (2) mengingat bahwa ada rencana besar Allah yang mau dinyatakan Allah
melalui kehidupan pelayanan kita, dan (3) belajar untuk punya relasi yang intim
dengan Allah. Kalau ketiga hal ini kita terus ingat, ketika kita jenuh, Allah
sedang ingin menunjukkan keada kita bahwa pelayanan ini bukan tentang kita.
Pelayanan ini bukan karena kuat dan gagah kita. Pelayanan ini adalah tentang
Dia, yang telah memberikan nyawaNya bagi kita, yang telah mengubahkan kita, dan
yang telah menyediakan kepada kita setiap pekerjaan baik yang harus kita
kerjakan selama kita berada di dunia ini.
Soli Deo Gloria
No comments:
Post a Comment