Sangat
sering kita mendengar tentang kalimat di atas, yakni tujuan hidup manusia
adalah Memuliakan Tuhan dan menikmati Dia sepanjang waktu. Tepat sekali,
kalimat itu adalah pertanyaan pertama serta jawabannya dari Katekismus Singkat
Westminster. Sebelum saya mengetahui kalimat ini, saya mengetahui bahwa tujuan
hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah. Artinya bahwa Allah sangat gembira
melihat kita menjadi pribadi yang sengsara.
Mungkin
itulah yang dirasakan oleh sahabat-sahabat kita dari keyakinan seberang.
Menyiksa diri demi memuaskan Allah dan tidak pernah yakin akan nasib mereka di
hari depan. Manakala ditanya, kemana tujuan mereka setelah mereka mati,
jawabannya adalah “SEMOGA”. Bukankah kita sebagai orang Kristen perlu menangis
ketika melihat realitas ini? Apakah kita sebagai orang Kristen – yang sudah
mendapatkan jaminan keselamatan – tidak memiliki kerinduan tertentu terhadap
sahabat-sahabat kita ini?
Bahwasanya
ketika memuliakan Tuhan, kita juga menikmati Dia. Poin “menikmati Dia” mungkin
merupakan salah satu hal yang sering kita sangsikan. Hal ini tak lain
disebabkan karena terkadang kita berpikiran bahwa ketika ada hal buruk menimpa
kita, dan Allah berdaulat, bagaimana mungkin kita bisa menikmati Dia? Seperti
apa sih sebenarnya menikmati Dia? Justru di dalam banyak hal, kita seringkali
gagal menikmati Allah – apalagi kalau kondisinya adalah kita mengalami hal-hal
buruk. Kita gagal layaknya Ayub ketika ia menyatakan bahwa ketika hal buruk
terjadi dalam hidupnya, ia justru menunjukkan imannya – dengan mengatakan bahwa
setiap kita harus mau menerima hal yang buruk dalam relasi kita dengan Allah.
Memuliakan
Tuhan – apa yang kita bayangkan pertama kali saat mendengar frase ini?
Memuliakan Tuhan bisa saja kita artikan bahwa kita melayani Tuhan melalui
talenta yang kita miliki. Contoh: ketika kita bisa menyanyi, kita menyanyi di
gereja. Ketika kita bisa memainkan alat musik, kita menunjukkan kebolehan kita.
Apakah sesempit itu? Tentu tidak. Bahkan kalau kita membaca di Roma 12:1 maka
sebenarnya seluruh aspek kehidupan kita seharusnya akan mendatangkan kemuliaan
bagi Tuhan. Jadi waktu kita tidur pun, kita memuliakan Tuhan. Waktu kita makan,
kita memuliakan Tuhan.
Menikmati
Dia – bahkan dalam rangka kita memuliakan Tuhan kita bisa menikmati Dia
sepanjang waktu. Artinya? Kita benar-benar menikmati anugrah Allah. Melalui
apa? Melalui segalanya yang sudah Tuhan sediakan bagi kita. Apabila kita
berbicara “SEGALANYA” berarti bahkan sesuatu hal buruk pun, kita harus belajar
untuk menikmati itu dalam kehidupan kita. Susah ya? Iya kelihatannya. Di dalam
pemaknaan kita sebagai seorang manusia, maka sangat susah. Tetapi ketika kita
kembali lagi bahwa kehidupan kita sebenarnya adalah di tanganNya, maka
sebenarnya tidak ada hal detail sekecil apapun yang terlewat dari Allah. Ia
mengatur segala hal termasuk rencana hidup kita, apa yang kita makan, Tuhan
sudah mengetahuinya sejak kekekalan.
Kedua
sisi ini harus kita maksimalkan. Ada kalanya kita hanya ingin memuliakan Tuhan –
membiarkan diri kita disiksa. Artinya bahwa kita sama sekali tidak menikmati
pelayanan ataupun hidup yang sudah Tuhan berikan. Kita cenderung memiliki
kerohanian yang terus menerus tertekan. Kita menganggap bahwa apa yang kita
lakukan, Tuhan tidak menyukainya. Kesenangan kita berbeda dengan kesenangan
Tuhan. Apa yang membuat kita bersukacita, Tuhan pasti tidak bersukacita.
Seringkali kita terjebak di dalam anggapan seperti itu. Hal itu terjadi saat
kita belum mengerti bahwa kita adalah orang-orang yang sudah diberikan sebuah
privilege untuk membenci dosa. Ia sudah membeli kita menjadi hambaNya, bukan
lagi hamba dosa. Oleh karena itu kita perlu terus menerus bersyukur dan kita
perlu sadar bahwa dosa sama sekali tidak memiliki kuasa atas kehidupan kita. (1
Korintus 7:22-23)
Di
satu sisi lain, kita terjebak di dalam ekstrim yang satunya, yakni menikmati
anugrah Tuhan saja tanpa mau memuliakan Dia. Kita menjadi sebuah pribadi yang
egois dan meninggikan diri kita. Bahasanya adalah “aji mumpung”. Mumpung saya
memiliki kemampuan yang luar biasa, maka saya pastilah Tuhan berkenan atas
apapun yang saya lakukan. Itulah bahasanya. Nah ekstrim ini juga berbahaya,
karena akan menjadikan kita seorang pribadi yang meninggikan diri sendiri.
Motivasi utama kita saat kita pelayanan akhirnya bukanlah demi kemuliaan Tuhan,
tetapi bagaimana kita bisa memamerkan kehebatan kita yang sebenarnya itu semua
berasal dari Allah.
Kedua
sisi ini perlu untuk kita jagai sepenuhnya. Sebagai gambar dan rupa Allah, kita
memiliki tanggung jawab untuk menampilkan kemuliaanNya dan sebagai orang-orang
yang sudah menerima anugrah keselamatan, kita perlu sadar bahwa kita perlu
menikmati suatu relasi yang intim dengan Dia. Melalui apa? Tentu saja melalui
saat teduh dan doa-doa kita kepadaNya. Bukan hanya itu, bahkan di dalam
keseharian kita pun – dalam setiap detail yang kita lakukan, kita perlu melihat
bahwa ada anugrah yang sudah Tuhan berikan di dalam kehidupan kita. Tujuan
hidup kita, cita-cita kita, segala detailnya, semuanya sebenarnya adalah
anugrah, dan kita sebagai orang percaya perlu untuk terus bergumul. Pergumulan
dimana kita perlu untuk merenungkan apa yang Tuhan mau untuk kita lakukan –
yang mana namaNya semakin dimuliakan – sembari kita menikmati proses yang
daripada Tuhan.
Soli
Deo Gloria