Total Pageviews

Monday, October 28, 2013

Esensi dari “Memuliakan Tuhan dan Menikmati Dia Sepanjang Waktu”

Sangat sering kita mendengar tentang kalimat di atas, yakni tujuan hidup manusia adalah Memuliakan Tuhan dan menikmati Dia sepanjang waktu. Tepat sekali, kalimat itu adalah pertanyaan pertama serta jawabannya dari Katekismus Singkat Westminster. Sebelum saya mengetahui kalimat ini, saya mengetahui bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah. Artinya bahwa Allah sangat gembira melihat kita menjadi pribadi yang sengsara.

Mungkin itulah yang dirasakan oleh sahabat-sahabat kita dari keyakinan seberang. Menyiksa diri demi memuaskan Allah dan tidak pernah yakin akan nasib mereka di hari depan. Manakala ditanya, kemana tujuan mereka setelah mereka mati, jawabannya adalah “SEMOGA”. Bukankah kita sebagai orang Kristen perlu menangis ketika melihat realitas ini? Apakah kita sebagai orang Kristen – yang sudah mendapatkan jaminan keselamatan – tidak memiliki kerinduan tertentu terhadap sahabat-sahabat kita ini?

Bahwasanya ketika memuliakan Tuhan, kita juga menikmati Dia. Poin “menikmati Dia” mungkin merupakan salah satu hal yang sering kita sangsikan. Hal ini tak lain disebabkan karena terkadang kita berpikiran bahwa ketika ada hal buruk menimpa kita, dan Allah berdaulat, bagaimana mungkin kita bisa menikmati Dia? Seperti apa sih sebenarnya menikmati Dia? Justru di dalam banyak hal, kita seringkali gagal menikmati Allah – apalagi kalau kondisinya adalah kita mengalami hal-hal buruk. Kita gagal layaknya Ayub ketika ia menyatakan bahwa ketika hal buruk terjadi dalam hidupnya, ia justru menunjukkan imannya – dengan mengatakan bahwa setiap kita harus mau menerima hal yang buruk dalam relasi kita dengan Allah.

Memuliakan Tuhan – apa yang kita bayangkan pertama kali saat mendengar frase ini? Memuliakan Tuhan bisa saja kita artikan bahwa kita melayani Tuhan melalui talenta yang kita miliki. Contoh: ketika kita bisa menyanyi, kita menyanyi di gereja. Ketika kita bisa memainkan alat musik, kita menunjukkan kebolehan kita. Apakah sesempit itu? Tentu tidak. Bahkan kalau kita membaca di Roma 12:1 maka sebenarnya seluruh aspek kehidupan kita seharusnya akan mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan. Jadi waktu kita tidur pun, kita memuliakan Tuhan. Waktu kita makan, kita memuliakan Tuhan.

Menikmati Dia – bahkan dalam rangka kita memuliakan Tuhan kita bisa menikmati Dia sepanjang waktu. Artinya? Kita benar-benar menikmati anugrah Allah. Melalui apa? Melalui segalanya yang sudah Tuhan sediakan bagi kita. Apabila kita berbicara “SEGALANYA” berarti bahkan sesuatu hal buruk pun, kita harus belajar untuk menikmati itu dalam kehidupan kita. Susah ya? Iya kelihatannya. Di dalam pemaknaan kita sebagai seorang manusia, maka sangat susah. Tetapi ketika kita kembali lagi bahwa kehidupan kita sebenarnya adalah di tanganNya, maka sebenarnya tidak ada hal detail sekecil apapun yang terlewat dari Allah. Ia mengatur segala hal termasuk rencana hidup kita, apa yang kita makan, Tuhan sudah mengetahuinya sejak kekekalan.

Kedua sisi ini harus kita maksimalkan. Ada kalanya kita hanya ingin memuliakan Tuhan – membiarkan diri kita disiksa. Artinya bahwa kita sama sekali tidak menikmati pelayanan ataupun hidup yang sudah Tuhan berikan. Kita cenderung memiliki kerohanian yang terus menerus tertekan. Kita menganggap bahwa apa yang kita lakukan, Tuhan tidak menyukainya. Kesenangan kita berbeda dengan kesenangan Tuhan. Apa yang membuat kita bersukacita, Tuhan pasti tidak bersukacita. Seringkali kita terjebak di dalam anggapan seperti itu. Hal itu terjadi saat kita belum mengerti bahwa kita adalah orang-orang yang sudah diberikan sebuah privilege untuk membenci dosa. Ia sudah membeli kita menjadi hambaNya, bukan lagi hamba dosa. Oleh karena itu kita perlu terus menerus bersyukur dan kita perlu sadar bahwa dosa sama sekali tidak memiliki kuasa atas kehidupan kita. (1 Korintus 7:22-23)

Di satu sisi lain, kita terjebak di dalam ekstrim yang satunya, yakni menikmati anugrah Tuhan saja tanpa mau memuliakan Dia. Kita menjadi sebuah pribadi yang egois dan meninggikan diri kita. Bahasanya adalah “aji mumpung”. Mumpung saya memiliki kemampuan yang luar biasa, maka saya pastilah Tuhan berkenan atas apapun yang saya lakukan. Itulah bahasanya. Nah ekstrim ini juga berbahaya, karena akan menjadikan kita seorang pribadi yang meninggikan diri sendiri. Motivasi utama kita saat kita pelayanan akhirnya bukanlah demi kemuliaan Tuhan, tetapi bagaimana kita bisa memamerkan kehebatan kita yang sebenarnya itu semua berasal dari Allah.

Kedua sisi ini perlu untuk kita jagai sepenuhnya. Sebagai gambar dan rupa Allah, kita memiliki tanggung jawab untuk menampilkan kemuliaanNya dan sebagai orang-orang yang sudah menerima anugrah keselamatan, kita perlu sadar bahwa kita perlu menikmati suatu relasi yang intim dengan Dia. Melalui apa? Tentu saja melalui saat teduh dan doa-doa kita kepadaNya. Bukan hanya itu, bahkan di dalam keseharian kita pun – dalam setiap detail yang kita lakukan, kita perlu melihat bahwa ada anugrah yang sudah Tuhan berikan di dalam kehidupan kita. Tujuan hidup kita, cita-cita kita, segala detailnya, semuanya sebenarnya adalah anugrah, dan kita sebagai orang percaya perlu untuk terus bergumul. Pergumulan dimana kita perlu untuk merenungkan apa yang Tuhan mau untuk kita lakukan – yang mana namaNya semakin dimuliakan – sembari kita menikmati proses yang daripada Tuhan.

Soli Deo Gloria