Total Pageviews

Tuesday, June 30, 2015

Indonesia Bagi KemuliaanMu – Sebuah Perenungan Tentang Toleransi dan Menjadi Berkat Bagi Bangsa

“Ah, sudahlah. Kalau ngomong tentang Indonesia, apalagi Jawa Barat, sudah hopeless. Jadi orang Kristen di Jawa Barat sama saja kamu bunuh diri. Banyak lho ormas-ormas yang mayoritas memiliki kuasa.” Kalimat ini begitu sering saya dengar dari teman-teman yang beragama Kristen. Hidup di tengah masyarakat yang serba majemuk dan menjadi kaum minoritas bukanlah perkara mudah.

Menjadi Berkat
Identitas orang Kristen adalah orang percaya yang sudah ditebus oleh Kristus. Ini adalah sesuatu yang paling mendasar manakala kita ingin menjadi orang yang punya dampak. Kalau kita mengingat kembali seperti apa kita harus berperan di tengah negeri yang mana kita menjadi golongan minoritas? Mari kita lihat dari kitab Perjanjian Lama, yakni kitab Yeremia 29:7

Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.

Mari kita lihat kalimat ini. Kalimat ini dituliskan oleh nabi Yeremia manakala umat Israel, yang disebut sebagai umat kepunyaan Allah, umat perjanjian, umat yang paling disayangi Allah, dibuang ke dalam pengasingan di Babel. Kondisi ini adalah sebuah kondisi yang memprihatinkan. Bisa dibayangkan bahwa umat yang dikasihi Allah harus mengalami suatu kondisi yang begitu jauh dari masa kejayaan mereka ketika Daud menjadi raja mereka, atau ketika Salomo dengan segala kekayaannya memimpin mereka.

Ketika Tuhan berkata melalui perantaraan Yeremia “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang”, itu adalah suatu perintah yang begitu jelas. Israel diminta untuk mengusahakan kesejahteraan kota, setidaknya mengerjakan segala daya usaha mereka untuk dapat membangun kota tempat mereka menjadi budak. Artinya bahwa setiap kita yang ada di manapun kita berada, Allah memiliki suatu rencana besar bagi kita.

Gerejaku Adalah Yang Terbaik!
Beralih pada issue lain mengenai gereja. Orang Kristen tidak dapat dilepaskan dari peribadatan dan hubungan yang intim dengan Tuhan. Tetapi sadarkah bahwa ketika kita pergi ke gereja, kita melihat begitu banyak hal yang tidak Kristen. Ravi Zacharias pernah berkata bahwa orang-orang Kristen bersatu membentuk sebuah “brotherhood”, namun kenyataannya kita melihat banyak sekali “hood” daripada “brother”. Artinya apa? Artinya hubungan yang indah dan intim ini ternyata bukanlah sesuatu yang murni.

Seringkali sebagai orang Kristen kita membangga-banggakan gereja tempat kita beribadah. Kita menjadi begitu mengagungkan liturgi, menikmati lagu-lagu di dalam gereja, menikmati musik, menikmati pengkotbah gereja kita. Sah-sah saja sih sebenarnya, bahkan sangat baik manakala kita mengasihi atau menikmati peribadatan di gereja kita yang mana kita dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Tetapi akan begitu berbahaya ketika akhirnya kita melupakan saudara seiman kita dari denominasi yang lain. Jemaat gereja karismatik yang menghina bahwa jemaat gereja presbyterian terlalu “kuno” atau kedaerahan, sedangkan jemaat gereja presbyterian menuduh jemaat gereja karismatik sebagai “sesat” dan tidak teratur. Akhirnya sesame orang Kristen malah saling berkelahi dan menuduh, melupakan suatu tujuan bersama bahwa Allah mengijinkan keberagaman gereja, berbagai denominasi, justru menjadi sebuah sarana kekayaan kekristenan. Bahwasanya denominasi yang ada menjadi ciri khas dan bentuk kontekstualisasi budaya.

Indahnya Interdenominasi
Bagaimana orang Kristen perlu menanggapi isu toleransi di Indonesia? Di tengah berbagai realita intoleransi di negeri ini, ada satu kesempatan bagi orang Kristen untuk dapat menjadi berkat. Sebelum melangkah keluar (dalam artian bekerja bersama membangun negeri ini, yakni “mengusahakan kesejahteraan kota”) maka kita perlu beres terlebih dahulu. Gereja perlu menjadi suatu institusi yang tidak eksklusif. Bukan berarti bahwa gereja tidak memiliki ciri khas, namun gereja perlu mengakui bahwa ada suatu kesamaam di dalam ibadah ataupun di dalam organisasi mereka, yakni semuanya adalah dari, bagi, dan oleh Allah, bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.

Bagaimana memulai hal ini? Tentu saja dengan belajar untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan. Mengakui bahwa ada suatu perbedaan yang justru menjadi kekuatan. Berkaca dari Indonesia, bahwa kemerdekaan di negeri ini pun bukan hanya berasal dari satu agama, satu bangsa, atau satu ras di Indonesia. Perjalanan perjuangan kemerdekaan negeri ini juga berasal dari kerjasama yang dilandasi oleh satu hal: cinta akan Indonesia.

Ketika berefleksi pada hal ini, maka kalau ada satu tujuan yang ingin dicapai oleh gereja-gereja saat ini, untuk kemuliaan Allah, maka seharusnya kita pun belajar untuk saling menghargai. Menariknya, bahwa kalau kemerdekaan Indonesia itu tak lepas dari peran pemuda (kalau kita baca sejarahnya, persatuan bangsa Indonesia dimulai dari momen SUMPAH PEMUDA).

Jadi gereja Kristen perlu belajar untuk bersatu padu di dalam menjadi garam dan terang bagi dunia ini. Bagi Indonesia, secara khusus, bukan dengan jalan saling bersaing dan menganggap diri paling benar, tapi belajar untuk saling menghargai secara interdenominasi. Memang benar ada perbedaan doktrin, perbedaan tata cara peribadatan, namun selama tujuannya sama yakni memuliakan Tuhan, isu-isu seperti baptis selam atau baptis percik, bukan merupakan suatu hal yang harus selalu diperdebatkan.

Step Out
Tembok gereja seringkali menjadi penghalang bagi jemaat untuk dapat berkarya mengembangkan kehidupan toleransi antar umat beragama. Mahatma Gandhi sendiri sampai-sampai tidak mau menjadi Kristen bukan karena pengajaran, tetapi karena melihat sikap hidup umat Kristen. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan kondisi umat Kristen saat ini? Apakah kita sudah belajar untuk menjadi berkat bagi sesama kita?

Kita seringkali mengeluh bahwa tidak ada banyak hal yang dapat kita kerjakan manakala kita berada di negara ini sebagai mayoritas. Namun kita lupa bahwa sekalipun kita minoritas ataupun mayoritas, orang Kristen harus berdampak. Bahkan kalau kita lihat realitas saat ini, negara-negara asal Kekristenan seperti Jerman, Belanda, dan sekitarnya pun mengalami kemerosotan. Apa sebabnya? Kemungkinan karena umat Kristen menjadi malas untuk memperjuangkan kekristenan mereka karena mereka menjadi terang di tengah tempat yang begitu menyilaukan, dan mereka sudah menjadi “garam” di tengah laut. Artinya? Tidak ada dampaknya sama sekali.

Sebagai manusia kita perlu belajar untuk bersosialisasi. Gereja pun perlu belajar untuk bersosialisasi dengan dunia di sekitarnya.

Toleransi – Menggapai Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika
Toleransi menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa di dalam keragaman budaya yang begitu majemuk. Setelah gereja dapat bersatu (dalam artian bukan menjadi satu, tetapi bergerak bersama) di dalam keragaman mereka, dari situlah gereja dapat memiliki sebuah peran bersama mengembangkan karyanya di tengah Indonesia yang penuh keragaman.

Lalu sebagai agama minoritas, bukan berarti kemudian kita tidak berupaya apa-apa. Ketika Allah memerintahkan bangsa Israel untuk “usahakanlah kesejahteraan kota tempat ke mana kamu Aku buang”, itu bicara terkait dengan mengerjakan sesuatu bagi kota itu, bagi tempat itu, bagi dunia itu.

Bagaimana caranya? Tidak susah. Mulailah dengan sesuatu yang simple. Berbaurlah dengan jemaat gereja lain. Mengadakan acara bersama, tetapi semuanya perlu dimulai dari pribadi yang paling kecil – yakni diri sendiri. Ketika kita belajar sejak dini untuk dapat saling bercengkerama satu dengan yang lain, membicarakan visi kedepan bersama, sambil belajar untuk saling terbuka satu sama lain, saat itulah muncul benih kerukunan dan toleransi antar umat beragama.

Memulai dengan kesadaran bahwa ketika Allah menempatkan kita dimanapun kita berada, ada suatu tujuan yang Allah ingin kita capai. Kalau kita mulai menyadari hal tersebut, kita akan menjadi pribadi yang semakin mengasihi Allah – tetapi tidak berhenti sampai situ – kita juga akan mengasihi sesama kita manusia. Allah sendiri berkata siapa yang tidak mengasihi saudaranya yang kelihatan, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak kelihatan.

Mari belajar menghadirkan damai sejahtera di dalam bangsa ini. Terlepas dari kita menjadi minoritas, kita perlu belajar untuk melakukan yang terbaik sesuai dengan setiap talenta yang Tuhan percayakan di dalam kehidupan kita. Saat ini kita dipanggil untuk menjadi berkat – untuk terus belajar menikmati karya Allah sembari memuliakan Dia di dalam seluruh langkah kehidupan kita.

Sulit? Yes, tantangan pasti ada. Possible? Sangat!


Soli Deo Gloria!

Sunday, June 21, 2015

Menapaki Hari Bersama Kasih KaruniaNya

Pengantar

Syalom sobat. Lama juga nih nggak nulis lagi. Kali ini temanya adalah tentang sesuatu yang begitu klasik. Tentang kasih karunia. Memang sebuah tema yang sering banget ya kita denger, kita baca dan memang jadi hot issue di dalam perjalanan hidup kita.

Mudah banget untuk kita percaya secara ucapan. Gampang sekali bagi kita untuk kita dapat menangkap kata-kata “Kasih Karunia” secara harafiah. Tetapi ternyata kalau di dalam hidup kita kemudian kita mencoba untuk memaknainya, ternyata kasusnya tidak semudah itu. Ternyata memaknai kasih karunia itu bukan sekedar ketika kita menerima hal baik ataupun hal yang indah dari Tuhan. Hmm, apa maksudnya? Bukankah ketika kita mendapatkan kasih karunia berarti kita menjadi pribadi yang dapat menjalani hidup kita dengan santai? Segala perkara kita akan dimudahkan. Benarkah demikian?

Inti Kehidupan Manusia
Mari kita lihat kerangka kasih karunia dari sebuah sudut pandang seseorang di dalam keresahan hidupnya. Kita coba belajar dari Paulus, khususnya juga dari surat yang ia kirimkan kepada jemaatnya di Korintus. Mari kita baca nas ini dari kitab 2 Korintus 6:1-13.

Oh ya sebelumnya, jemaat Korintus sendiri itu seperti apa sih? Jemaat Korintus adalah jemaat yang berada di dalam sebuah tantangan yang begitu luar biasa. Seperti kita tahu dari buku-buku sejarah, Korintus di jaman itu adalah sebuah kota metropolitan. Kota dengan berbagai fasilitas yang begitu menyenangkan. Dimana-mana ada pelacuran bakti, ada berbagai kegiatan keagamaan yang unik disana.

Sebagai teman-teman sekerja, kami menasihatkan kamu, supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu terima.
(2Korintus 6:1)

Paulus mencoba membuka pasal ini dengan sebuah pemahaman bahwa jemaat Korintus perlu memaknai betul mengenai kasih karunia Allah yang sudah mereka terima.

Bandingkan coba dengan kehidupan keseharian kita. Ditengah kesibukan kita dengan berbagai hal yang menjadi problematika dalam hidup kita. Pernahkah kita merasa lelah ataupun galau atas segala hal yang terjadi atas kehidupan kita. Kita merasa bahwa ada begitu banyak hal yang harus kita kerjakan. Ada berbagai masalah manakala kita kemudian menjadi orang Kristen.

Kita melihat disini Paulus menyatakan bahwa inti/pusat kehidupan kita tidak lain tidak bukan adalah “Kasih Karunia”. Bahwa setiap hal yang terjadi di dalam kehidupan kita dalah kasih karunia. Tidak ada yang lain.

Kesesakan di dalam Kasih Karunia Allah

(2Kor 6:4)  Sebaliknya, dalam segala hal kami menunjukkan, bahwa kami adalah pelayan Allah, yaitu: dalam menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesesakan dan kesukaran, dalam menanggung dera, dalam penjara dan kerusuhan, dalam berjerih payah, dalam berjaga-jaga dan berpuasa;

Ini adalah cerminan dari realitas hidup manusia manakala dia menerima kasih karunia di dalam kehidupannya. Realitanya bahwa ternyata ketika kita hidup, tidak semua hal kita dapati lancar-lancar saja. Menarik disini bahwa Paulus menyatakan identitas kita sebagai orang Kristen. Apa itu?

“Kami adalah Pelayan Allah” (2Kor 6:4a) dilanjutkan dengan berbagai hal yang mungkin membuat kita kaget manakala selama ini kita meyakini bahwa kasih karunia akan membuat hidup kita lebih mudah. Kita melihat bahwa ternyata kasih karunia itu pada akhirnya akan membuat kita: “menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesesakan, dan kesukaran, dan seterusnya (ada banyak sekali)

Pernah membayangkan bahwa jadi orang Kristen maka hidup kita akan enak, hidup kita akan nyaman, dan sebagainya? Kita melihat bahwa ternyata Kekristenan begitu berbeda dengan apa yang dunia katakan. Makakala dunia berkata bahwa “hidup adalah bagi diri sendiri”, kekristenan meneriakkan bahwa “hidup adalah bagi Kristus”. Fokus hidupnya saja sudah berbeda, apalagi tindakannya. Wah pasti beda sekali.

Menanggapi Tantangan dengan Kasih Karunia

Oke, kita sudah tahu nih betapa dunia ini menawarkan begitu banyak hal menarik yang ternyata kalau kita lihat begitu berbeda dengan hal yang kita percayai. Nah apa yang harus kita kerjakan ketika ternyata hidup menawarkan hal yang begitu berbeda. Jawabannya sebenarnya hanya ada satu sih. Selamat menjalani hidup ini dengan percaya bahwa segala hal yang terjadi di dalam kehidupan kita adalah karena kasih karunia.

Suatu hari ada seseorang bertanya kepadaku: “kak, setelah jadi orang Kristen, aku bukannya tambah enak. Hidupku tambah riweuh. Aku merasa begitu banyak hal yang membuatku bergumul”. Aku menanyakan balik kepadanya: “Kalau dibandingkan dengan begitu banyak hal yang Tuhan berikan dalam hidupmu, kamu melihatnya seperti apa?”

Setiap kita akan dibayangi dengan pertanyaan itu. Tetapi kuncinya ini. Kita sering banget bertanya manakala kita mengalami sesuatu yang kita anggap buruk. Kita seringkali mengeluh terhadap begitu banyak hal yang membuat kita merasa tidak nyaman. Tetapi pernahkah di dalam keluhan kita, kita belajar untuk melihat jauh lebih dalam, mengenai apa yang Ia kerjakan di Kalvari? Pernahkah kita membayangkan bahwa setiap udara yang kita hirup secara gratis, dan kita hembuskan berkali-kali itu adalah ciptaanNya?

Sering tidak kita berkata kepada Allah bahwa kita bosan atas pemberian kasih karunia? Bosankah kita ikut Allah? Bahwasanya ketika Allah menjanjikan bahwa segala rancanganNya adalah rancangan damai sejahtera, ternyata sama sekali tidak ada hal yang membuat damai sejahtera atas hidup kita. Tetapi benarkah demikian? Benarkah bahwa tidak ada damai sejahtera dalam kehidupan kita ketika kita kembali melihat berbagai karya besar yang Allah kerjakan di dalam kehidupan kita?

Kesulitan Hidup Juga Adalah Kasih Karunia

Kita sampai pada bagian akhir dari perenungan ini. Kita sudah melihat bahwa:
1.       Inti hidup orang Kristen adalah kasih karunia
2.       Dalam ranah kasih karunia, ternyata ada begitu banyak hal yang membuat kita tertekan
3.       Bahwa ternyata di dalam hidup kita yang penuh masalah juga ada banyak hal yang dapat kita nikmati, simple tapi meaningful
Ijinkan saya menarik poin keempat, yakni: “segala hal yang terjadi atas hidup kita adalah hal yang dikerjakan Allah untuk kebaikan kita”.

Ada hal baik, ada hal buruk. Tetapi kalau kita belajar seperti Paulus untuk melihat segalanya melalui kacamata kasih karunia, kita akan berbalik dari mencela hidup kita menjadi orang yang begitu bersyukur atas setiap proses hidup yang Tuhan kerjakan atas kehidupan kita.

Seorang bayi tentu jatuh sebelum ia dapat berjalan dengan sempurna
Seorang pelari harus berlatih terlebih dahulu sebelum dia bisa berlari dengan begitu cepat
Seorang pebasket mengalami berbagai kegagalan dalam tembakannya untuk dia dapat memasukkan bola dengan sempurna

Yang mau aku katakana disini adalah seberat apapun ujian hidup yang kita alami, kasih karunia Tuhan itu tetap ada di dalam hidup kita. Terlepas dari begitu banyak hal buruk, yakinlah itu sebagai proses pendewasaan, proses pelatihan kita untuk menghadapi tantangan yang jauh lebih luar biasa.

Tidak pernah ada proses yang sia-sia ketika kita belajar melihat segalanya dari kacamata kasih karunia Allah. Kalau inti hidup kita adalah kasih karunia, mengapa kita berhenti di tengah tantangan kita? Mari melangkah dengan berani untuk menjalani hari-hari dalam hidup kita, untuk kita dapat mengalami kasih karunia itu. Kita belajar untuk terus maju, sekalipun sulit, sekalipun begitu banyak tantangan, tetapi yakinlah bahwa tantangan ada untuk kita dapat semakin hari semakin bergantung kepada Dia.


Soli Deo Gloria!