“Ah,
sudahlah. Kalau ngomong tentang Indonesia, apalagi Jawa Barat, sudah hopeless. Jadi orang Kristen di Jawa
Barat sama saja kamu bunuh diri. Banyak lho ormas-ormas yang mayoritas memiliki
kuasa.” Kalimat ini begitu sering saya dengar dari teman-teman yang beragama
Kristen. Hidup di tengah masyarakat yang serba majemuk dan menjadi kaum minoritas
bukanlah perkara mudah.
Menjadi Berkat
Identitas
orang Kristen adalah orang percaya yang sudah ditebus oleh Kristus. Ini adalah
sesuatu yang paling mendasar manakala kita ingin menjadi orang yang punya
dampak. Kalau kita mengingat kembali seperti apa kita harus berperan di tengah
negeri yang mana kita menjadi golongan minoritas? Mari kita lihat dari kitab
Perjanjian Lama, yakni kitab Yeremia 29:7
Usahakanlah
kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada
TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.
Mari
kita lihat kalimat ini. Kalimat ini dituliskan oleh nabi Yeremia manakala umat
Israel, yang disebut sebagai umat kepunyaan Allah, umat perjanjian, umat yang
paling disayangi Allah, dibuang ke dalam pengasingan di Babel. Kondisi ini
adalah sebuah kondisi yang memprihatinkan. Bisa dibayangkan bahwa umat yang
dikasihi Allah harus mengalami suatu kondisi yang begitu jauh dari masa
kejayaan mereka ketika Daud menjadi raja mereka, atau ketika Salomo dengan
segala kekayaannya memimpin mereka.
Ketika
Tuhan berkata melalui perantaraan Yeremia “Usahakanlah kesejahteraan kota ke
mana kamu Aku buang”, itu adalah suatu perintah yang begitu jelas. Israel
diminta untuk mengusahakan kesejahteraan kota, setidaknya mengerjakan segala
daya usaha mereka untuk dapat membangun kota tempat mereka menjadi budak.
Artinya bahwa setiap kita yang ada di manapun kita berada, Allah memiliki suatu
rencana besar bagi kita.
Gerejaku Adalah Yang Terbaik!
Beralih
pada issue lain mengenai gereja. Orang Kristen tidak dapat dilepaskan dari
peribadatan dan hubungan yang intim dengan Tuhan. Tetapi sadarkah bahwa ketika
kita pergi ke gereja, kita melihat begitu banyak hal yang tidak Kristen. Ravi
Zacharias pernah berkata bahwa orang-orang Kristen bersatu membentuk sebuah “brotherhood”,
namun kenyataannya kita melihat banyak sekali “hood” daripada “brother”.
Artinya apa? Artinya hubungan yang indah dan intim ini ternyata bukanlah
sesuatu yang murni.
Seringkali
sebagai orang Kristen kita membangga-banggakan gereja tempat kita beribadah.
Kita menjadi begitu mengagungkan liturgi, menikmati lagu-lagu di dalam gereja,
menikmati musik, menikmati pengkotbah gereja kita. Sah-sah saja sih sebenarnya,
bahkan sangat baik manakala kita mengasihi atau menikmati peribadatan di gereja
kita yang mana kita dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Tetapi
akan begitu berbahaya ketika akhirnya kita melupakan saudara seiman kita dari
denominasi yang lain. Jemaat gereja karismatik yang menghina bahwa jemaat
gereja presbyterian terlalu “kuno” atau kedaerahan, sedangkan jemaat gereja
presbyterian menuduh jemaat gereja karismatik sebagai “sesat” dan tidak
teratur. Akhirnya sesame orang Kristen malah saling berkelahi dan menuduh,
melupakan suatu tujuan bersama bahwa Allah mengijinkan keberagaman gereja,
berbagai denominasi, justru menjadi sebuah sarana kekayaan kekristenan.
Bahwasanya denominasi yang ada menjadi ciri khas dan bentuk kontekstualisasi
budaya.
Indahnya Interdenominasi
Bagaimana
orang Kristen perlu menanggapi isu toleransi di Indonesia? Di tengah berbagai
realita intoleransi di negeri ini, ada satu kesempatan bagi orang Kristen untuk
dapat menjadi berkat. Sebelum melangkah keluar (dalam artian bekerja bersama
membangun negeri ini, yakni “mengusahakan kesejahteraan kota”) maka kita perlu
beres terlebih dahulu. Gereja perlu menjadi suatu institusi yang tidak
eksklusif. Bukan berarti bahwa gereja tidak memiliki ciri khas, namun gereja
perlu mengakui bahwa ada suatu kesamaam di dalam ibadah ataupun di dalam
organisasi mereka, yakni semuanya adalah dari, bagi, dan oleh Allah, bagi
Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.
Bagaimana
memulai hal ini? Tentu saja dengan belajar untuk merendahkan diri di hadapan
Tuhan. Mengakui bahwa ada suatu perbedaan yang justru menjadi kekuatan. Berkaca
dari Indonesia, bahwa kemerdekaan di negeri ini pun bukan hanya berasal dari
satu agama, satu bangsa, atau satu ras di Indonesia. Perjalanan perjuangan
kemerdekaan negeri ini juga berasal dari kerjasama yang dilandasi oleh satu
hal: cinta akan Indonesia.
Ketika
berefleksi pada hal ini, maka kalau ada satu tujuan yang ingin dicapai oleh
gereja-gereja saat ini, untuk kemuliaan Allah, maka seharusnya kita pun belajar
untuk saling menghargai. Menariknya, bahwa kalau kemerdekaan Indonesia itu tak
lepas dari peran pemuda (kalau kita baca sejarahnya, persatuan bangsa Indonesia
dimulai dari momen SUMPAH PEMUDA).
Jadi
gereja Kristen perlu belajar untuk bersatu padu di dalam menjadi garam dan
terang bagi dunia ini. Bagi Indonesia, secara khusus, bukan dengan jalan saling
bersaing dan menganggap diri paling benar, tapi belajar untuk saling menghargai
secara interdenominasi. Memang benar ada perbedaan doktrin, perbedaan tata cara
peribadatan, namun selama tujuannya sama yakni memuliakan Tuhan, isu-isu
seperti baptis selam atau baptis percik, bukan merupakan suatu hal yang harus
selalu diperdebatkan.
Step Out
Tembok
gereja seringkali menjadi penghalang bagi jemaat untuk dapat berkarya
mengembangkan kehidupan toleransi antar umat beragama. Mahatma Gandhi sendiri
sampai-sampai tidak mau menjadi Kristen bukan karena pengajaran, tetapi karena
melihat sikap hidup umat Kristen. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan kondisi
umat Kristen saat ini? Apakah kita sudah belajar untuk menjadi berkat bagi
sesama kita?
Kita
seringkali mengeluh bahwa tidak ada banyak hal yang dapat kita kerjakan
manakala kita berada di negara ini sebagai mayoritas. Namun kita lupa bahwa
sekalipun kita minoritas ataupun mayoritas, orang Kristen harus berdampak.
Bahkan kalau kita lihat realitas saat ini, negara-negara asal Kekristenan
seperti Jerman, Belanda, dan sekitarnya pun mengalami kemerosotan. Apa
sebabnya? Kemungkinan karena umat Kristen menjadi malas untuk memperjuangkan
kekristenan mereka karena mereka menjadi terang di tengah tempat yang begitu
menyilaukan, dan mereka sudah menjadi “garam” di tengah laut. Artinya? Tidak
ada dampaknya sama sekali.
Sebagai
manusia kita perlu belajar untuk bersosialisasi. Gereja pun perlu belajar untuk
bersosialisasi dengan dunia di sekitarnya.
Toleransi – Menggapai Indonesia yang
Bhinneka Tunggal Ika
Toleransi
menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa di dalam keragaman budaya yang begitu
majemuk. Setelah gereja dapat bersatu (dalam artian bukan menjadi satu, tetapi
bergerak bersama) di dalam keragaman mereka, dari situlah gereja dapat memiliki
sebuah peran bersama mengembangkan karyanya di tengah Indonesia yang penuh
keragaman.
Lalu
sebagai agama minoritas, bukan berarti kemudian kita tidak berupaya apa-apa.
Ketika Allah memerintahkan bangsa Israel untuk “usahakanlah kesejahteraan kota
tempat ke mana kamu Aku buang”, itu bicara terkait dengan mengerjakan sesuatu
bagi kota itu, bagi tempat itu, bagi dunia itu.
Bagaimana
caranya? Tidak susah. Mulailah dengan sesuatu yang simple. Berbaurlah dengan
jemaat gereja lain. Mengadakan acara bersama, tetapi semuanya perlu dimulai
dari pribadi yang paling kecil – yakni diri sendiri. Ketika kita belajar sejak
dini untuk dapat saling bercengkerama satu dengan yang lain, membicarakan visi
kedepan bersama, sambil belajar untuk saling terbuka satu sama lain, saat
itulah muncul benih kerukunan dan toleransi antar umat beragama.
Memulai
dengan kesadaran bahwa ketika Allah menempatkan kita dimanapun kita berada, ada
suatu tujuan yang Allah ingin kita capai. Kalau kita mulai menyadari hal
tersebut, kita akan menjadi pribadi yang semakin mengasihi Allah – tetapi tidak
berhenti sampai situ – kita juga akan mengasihi sesama kita manusia. Allah
sendiri berkata siapa yang tidak mengasihi saudaranya yang kelihatan, tidak
mungkin mengasihi Allah yang tidak kelihatan.
Mari
belajar menghadirkan damai sejahtera di dalam bangsa ini. Terlepas dari kita
menjadi minoritas, kita perlu belajar untuk melakukan yang terbaik sesuai
dengan setiap talenta yang Tuhan percayakan di dalam kehidupan kita. Saat ini
kita dipanggil untuk menjadi berkat – untuk terus belajar menikmati karya Allah
sembari memuliakan Dia di dalam seluruh langkah kehidupan kita.
Sulit?
Yes, tantangan pasti ada. Possible? Sangat!
Soli
Deo Gloria!