Kekecewaan
Terhadap Allah
“Aku udah males lah
mau ngapa-ngapain. Sepertinya apapun yang aku kerjain gak ada nilainya. Sama
aja kok selama ini aku kerja keras tapi juga gak dihargai, sedang mereka yang
kerjanya biasa-biasa aja tapi malah dapat kenaikan gaji.” Sejatinya, kalimat
seperti itu juga dulu pernah aku katakan. Ketika melihat bagaimana hidupku di
masa aku belum sepenuhnya mengenal Tuhan, kalimat seperti itu sering sekali
keluar.
Ah mungkin
teman-teman sudah pernah membaca kisahku ya? OK aku ulangin. Aku dilahirkan di
keluarga Kristen. Orang tuaku merupakan orang-orang yang taat banget beribadah
ataupun pelayanan. Yap, papa adalah salah satu dari pendiri Persekutuan
Mahasiswa Antar Universitas (Perkantas) yang ada di Malang.
Tetapi satu hal
yang di awal masa-masa hidupku tidak dapat aku terima adalah sebuah
ketidaksempurnaan yang ada di dalam diriku.
Ketidaksempurnaan
macam apa? Oiya aku punya sebuah cacat di tanganku. Bahkan pada saat SMP aku
sempat begitu minder karena tanganku yang begitu tidak sempurna. Aku sempat
menangis di hadapan 1 kelas manakala aku tidak bisa memainkan alat musik
(recorder) dan sejak saat itu aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah bisa
memainkannya.
Aku menyangka bahwa
cacat ini karena Tuhan sama sekali gak sayang ama aku. Gimana ya, kok bisa sih
katanya papa pelayan Tuhan. Mama juga merupakan seorang pribadi yang baik. Tapi
kenapa sih aku dilahirkan seperti ini?
Unanswered
Question
Berkali-kali aku
memikirkan, kok bisa sih aku menjadi pribadi model begini? Kecacatan yang ada
di tanganku ini membuat aku menjadi pribadi yang “nakal”. Maksudnya? Aku
menjadi pribadi yang sama sekali tidak peduli dengan orang-orang sekitarku. Aku
menjadi pribadi yang menikmati kesendirianku. Aku menjadi minder dan di saat
itulah aku mulai mempertanyakan “apakah Tuhan sungguh baik?”
Waktu itu aku ingat
betul ada sebuah lagu yang terkenal yang berjudul “Seperti Yang Kau Ingini”.
Lagu ini menjadi suka aku dengarkan manakala aku mengikuti retret di sekolah. Tetapi
ketika aku mencoba untuk menikmati lagu itu, aku sama sekali tidak dapat
memaknainya. Sepertinya kok Tuhan menjadi pribadi yang begitu semena-mena
kepadaku? In other words, why me, Lord?
Pertanyaan itu
tidak pernah terjawab semasa aku sekolah hingga lulus ke perkuliahan. Aku
kuliah di Surabaya, jauh dari orang tua – setidaknya menikmati hidup di
kos-kosan. Tetapi aku sama sekali tidak mencari jawaban atas pertanyaanku
sebelumnya.
Kelegaan
di dalam Anugrah
Francis Thompson
dalam puisi yang ia tulis berjudul “The
Hound of Heaven” menggambarkan Allah seperti seekor anjing pemburu yang
tiada lelah untuk menangkap buruannya sampai menemukannya. Itulah yang Tuhan
lakukan di dalam hidupku. Tanpa kenal lelah Ia memberikanku kesempatan untuk
bertemu dengan seorang kakak pembina yang mengajarkan aku mengenai Kekristenan.
Aku bukannya
seorang yang atheis. Aku percaya bahwa Allah ada, tetapi aku tidak dapat
merasakan kehadiranNya. Aku ke gereja setiap minggu untuk mengikuti sekolah
minggu, tetapi aku sama sekali tidak merasakan kehadiranNya, atau mungkin… aku
tidak mau tahu bahwa Ia hadir di dalam hidupku. Seiring berjalannya waktu aku
ada di Surabaya, aku bertemu dengan seorang kakak yang mengajarkan aku betapa
berharganya hidup bersama dengan Allah.
“Roma 3:23-24”
katanya
Kak Ivana
memberikan ayat itu manakala aku menghadapi wawancara untuk mengikuti sebuah
kepanitiaan. Kemudian langsung menyerang aku dengan berbagai pertanyaan yang
mengarahkan aku betapa besarnya ternyata karya Allah atas kehidupanku. Ini
membuat aku berpikir sekaligus tidak dapat berkata apa-apa lagi. Serasa aku
ditangkap oleh anugrah Allah.
Tidak berhenti di
sana. Ia membukakan lagi surat Paulus kepada jemaat di Efesus.
“Efesus 2:8-10”
lanjutnya
Ayat-ayat itu
begitu menyerang kesombonganku. Aku yang merasa bahwa selama ini aku baik-baik
saja sekalipun tidak dikasihi Allah, bahkan menganggap bahwa Ia begitu tidak
adil, segala asumsi itu runtuh. Aku hanyut di dalam tangisku. Malamnya aku bener-bener
berdoa, dan aku ambil sebuah alkitab. Aku begitu menikmati momen itu. Momen
pertemuan pertamaku dengan Dia.
Cinta
Pertama… Benarkah?
Pernah kan
temen-temen ngerasain rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Itulah yang
aku rasain ketika aku pertama kali membaca alkitab. Aku mencoba untuk mencatat
setiap hal yang aku dapatkan. Ketika aku berbicara kepada-Nya, aku merasakan
kehangatan yang begitu luar biasa. Tetapi.. sampai kapan sih hal itu bertahan?
Ketika menyadari
bahwa ketika aku mencintai Tuhan, maka akan begitu banyak hal yang aku
dapatkan, aku sama sekali tidak merasakan itu. Mengapa? Karena aku ternyata
tidak mencintai-Nya dengan segenap hatiku. Aku berharap bahwa kecintaanku dan
kerajinanku membaca alkitab, mencatat hal yang kudapatkan, akan membawa aku
kepada kemakmuran secara jasmani.
Opening
My Diary
Aku menuliskan
catatan hasil saat teduhku pada sebuah buku. Setiap hari aku mengisinya, dan
mencatat berbagai hal yang aku dapatkan. Satu hal yang aku sadari dalam
pencatatan itu adalah: ternyata aku sama sekali tidak memaknai apa yang aku
catat.
Salah satu
catatanku dalam penafsiran alkitabku secara pribadi adalah sebagai berikut:
“Tuhan
sama sekali tidak tertarik dengan kekayaan ataupun kemampuan kita. Tetapi Ia
begitu tertarik akan kesetiaan kita di dalam menikmati karya keselamatan yang
Ia berikan. Melalui apa? Melalui setiap tindakan kita untuk memuji dan
memuliakan Tuhan”
Sontak aku terkejut
manakala aku membaca kalimat itu. Bener nggak sih aku menulis seperti itu?
Aku merasa bahwa
itulah kebenaran yang ingin Tuhan ungkapkan. Bahwa setiap kekecewaan yang aku
alami selama ini akan diubahkan menjadi sukacita yang tiada tara manakala aku
belajar menyerahkan hidup ini kepadaNya.
Allah
yang Menjadi Sama Seperti Manusia
Semakin aku belajar
dan mendalami arti kekristenan yang sesungguhnya, semakin aku sadar bahwa
kekristenan begitu unik. Tidak ada agama lain di dunia yang menunjukkan betapa
besar kasih Allah selain daripada kekristenan. Allah yang merelakan Anak-Nya
yang tunggal untuk mati menebus dosa dunia, menghancurkan kuasa dosa.
Tetapi sekaligus
juga kita melihat pribadi Allah yang begitu jujur melalui Yesus Kristus. Yesus
merupakan pribadi yang begitu jujur terhadap perasaan-Nya tentang suatu hal. Ia
sedih ketika melihat Martha dan Maria mengalami musibah kematian Lazarus. Ia
begitu bergumul manakala Ia akan menghadapi salib. Ia dengan marah
menghancurkan meja-meja penukar uang di Bait Allah.
Yesus merasakan apa
yang dirasakan manusia. Ini menunjukkan bahwa setiap perasaan yang kita alami
merupakan anugrah Allah. Tetapi di balik semua hal yang dialami oleh Yesus, ada
sebuah tujuan yang jelas mengenai pemaknaan-Nya tentang hidup. Apa itu? tidak
lain dan tidak bukan adalah “SOLI DEO GLORIA”
‘Ku
Ada Sebagaimana ‘ku Ada
Inti dari
perenungan ini… aku merasakan dari awal bagaimana kekecewaanku kepada Allah
justru membuatku mengenal Dia dan semakin hari semakin bertumbuh di dalam Dia.
Kekecewaan itu membawaku untuk ingin lebih dekat mengenal Dia. Ini lho yang
aneh. Ada sebuah momen di mana aku mempertanyakan apa sih sebenarnya rencana
Allah dalam hidupku manakala aku diciptakan dengan berbagai kekurangan di dalam
diriku.
Tetapi dengan
tangan-Nya yang lembut, Ia meraihku. Ia menangkap aku dan Ia tidak pernah
melepaskan aku!
Setiap kita yang
pernah merasa kecewa kepada Tuhan, mari kita belajar jujur di hadapan Dia. Dia
menantikan kejujuran perasaan kita kepada-Nya. Apakah kita cuman nggombal di hadapan Allah, ataukah kita
kepengen banget untuk bener-bener mencurahkan isi hati kita kepada Raja di atas
segala raja?
Sebagai penutup,
mari kita coba melihat bagaimana Yeremia dan Paulus dengan jujur menyatakan
perasaan mereka kepada Allah:
Yeremia 15:18
Mengapakah
penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan?
Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat
dipercayai.
Dan apakah jawab
Allah?
Yeremia 15:21
Aku akan melepaskan
engkau dari tangan orang-orang jahat dan membebaskan engkau dari genggaman
orang-orang lalim."
Paulus
2Korintus 12:8-9
Tentang hal itu aku
sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari
padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu,
sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu
terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun
menaungi aku.
Yeremia dan Paulus
telah merasakan bagaimana penderitaan mereka, dan mereka mendapatkan jawaban
atas setiap hal yang mereka hadapi. Mungkin kita tidak langsung mendapatkan
jawaban yang kita inginkan dan kita harapkan. Kita malah takut mendengar
jawaban Tuhan atas kejujuran perkataan kita. Tetapi percayalah, setiap hal yang
Ia kerjakan dalam kehidupan setiap kita itu unik. Tidak ada satu orang pun yang
memiliki nasib yang sama, dan itu menunjukkan betapa setiap proses yang kita
lalui hendaknya dapat kita lalui dengan setia sampai akhir.
Soli Deo Gloria!
mas eas.. Jesus bless u..
ReplyDelete