Total Pageviews

Tuesday, September 27, 2016

Jujur Kepada Allah

Kekecewaan Terhadap Allah

“Aku udah males lah mau ngapa-ngapain. Sepertinya apapun yang aku kerjain gak ada nilainya. Sama aja kok selama ini aku kerja keras tapi juga gak dihargai, sedang mereka yang kerjanya biasa-biasa aja tapi malah dapat kenaikan gaji.” Sejatinya, kalimat seperti itu juga dulu pernah aku katakan. Ketika melihat bagaimana hidupku di masa aku belum sepenuhnya mengenal Tuhan, kalimat seperti itu sering sekali keluar.

Ah mungkin teman-teman sudah pernah membaca kisahku ya? OK aku ulangin. Aku dilahirkan di keluarga Kristen. Orang tuaku merupakan orang-orang yang taat banget beribadah ataupun pelayanan. Yap, papa adalah salah satu dari pendiri Persekutuan Mahasiswa Antar Universitas (Perkantas) yang ada di Malang.

Tetapi satu hal yang di awal masa-masa hidupku tidak dapat aku terima adalah sebuah ketidaksempurnaan yang ada di dalam diriku.
Ketidaksempurnaan macam apa? Oiya aku punya sebuah cacat di tanganku. Bahkan pada saat SMP aku sempat begitu minder karena tanganku yang begitu tidak sempurna. Aku sempat menangis di hadapan 1 kelas manakala aku tidak bisa memainkan alat musik (recorder) dan sejak saat itu aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah bisa memainkannya.

Aku menyangka bahwa cacat ini karena Tuhan sama sekali gak sayang ama aku. Gimana ya, kok bisa sih katanya papa pelayan Tuhan. Mama juga merupakan seorang pribadi yang baik. Tapi kenapa sih aku dilahirkan seperti ini?

Unanswered Question

Berkali-kali aku memikirkan, kok bisa sih aku menjadi pribadi model begini? Kecacatan yang ada di tanganku ini membuat aku menjadi pribadi yang “nakal”. Maksudnya? Aku menjadi pribadi yang sama sekali tidak peduli dengan orang-orang sekitarku. Aku menjadi pribadi yang menikmati kesendirianku. Aku menjadi minder dan di saat itulah aku mulai mempertanyakan “apakah Tuhan sungguh baik?”

Waktu itu aku ingat betul ada sebuah lagu yang terkenal yang berjudul “Seperti Yang Kau Ingini”. Lagu ini menjadi suka aku dengarkan manakala aku mengikuti retret di sekolah. Tetapi ketika aku mencoba untuk menikmati lagu itu, aku sama sekali tidak dapat memaknainya. Sepertinya kok Tuhan menjadi pribadi yang begitu semena-mena kepadaku? In other words, why me, Lord?

Pertanyaan itu tidak pernah terjawab semasa aku sekolah hingga lulus ke perkuliahan. Aku kuliah di Surabaya, jauh dari orang tua – setidaknya menikmati hidup di kos-kosan. Tetapi aku sama sekali tidak mencari jawaban atas pertanyaanku sebelumnya.

Kelegaan di dalam Anugrah

Francis Thompson dalam puisi yang ia tulis berjudul “The Hound of Heaven” menggambarkan Allah seperti seekor anjing pemburu yang tiada lelah untuk menangkap buruannya sampai menemukannya. Itulah yang Tuhan lakukan di dalam hidupku. Tanpa kenal lelah Ia memberikanku kesempatan untuk bertemu dengan seorang kakak pembina yang mengajarkan aku mengenai Kekristenan.

Aku bukannya seorang yang atheis. Aku percaya bahwa Allah ada, tetapi aku tidak dapat merasakan kehadiranNya. Aku ke gereja setiap minggu untuk mengikuti sekolah minggu, tetapi aku sama sekali tidak merasakan kehadiranNya, atau mungkin… aku tidak mau tahu bahwa Ia hadir di dalam hidupku. Seiring berjalannya waktu aku ada di Surabaya, aku bertemu dengan seorang kakak yang mengajarkan aku betapa berharganya hidup bersama dengan Allah.

“Roma 3:23-24” katanya

Kak Ivana memberikan ayat itu manakala aku menghadapi wawancara untuk mengikuti sebuah kepanitiaan. Kemudian langsung menyerang aku dengan berbagai pertanyaan yang mengarahkan aku betapa besarnya ternyata karya Allah atas kehidupanku. Ini membuat aku berpikir sekaligus tidak dapat berkata apa-apa lagi. Serasa aku ditangkap oleh anugrah Allah.
Tidak berhenti di sana. Ia membukakan lagi surat Paulus kepada jemaat di Efesus.

“Efesus 2:8-10” lanjutnya

Ayat-ayat itu begitu menyerang kesombonganku. Aku yang merasa bahwa selama ini aku baik-baik saja sekalipun tidak dikasihi Allah, bahkan menganggap bahwa Ia begitu tidak adil, segala asumsi itu runtuh. Aku hanyut di dalam tangisku. Malamnya aku bener-bener berdoa, dan aku ambil sebuah alkitab. Aku begitu menikmati momen itu. Momen pertemuan pertamaku dengan Dia.

Cinta Pertama… Benarkah?

Pernah kan temen-temen ngerasain rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Itulah yang aku rasain ketika aku pertama kali membaca alkitab. Aku mencoba untuk mencatat setiap hal yang aku dapatkan. Ketika aku berbicara kepada-Nya, aku merasakan kehangatan yang begitu luar biasa. Tetapi.. sampai kapan sih hal itu bertahan?

Ketika menyadari bahwa ketika aku mencintai Tuhan, maka akan begitu banyak hal yang aku dapatkan, aku sama sekali tidak merasakan itu. Mengapa? Karena aku ternyata tidak mencintai-Nya dengan segenap hatiku. Aku berharap bahwa kecintaanku dan kerajinanku membaca alkitab, mencatat hal yang kudapatkan, akan membawa aku kepada kemakmuran secara jasmani.

Opening My Diary

Aku menuliskan catatan hasil saat teduhku pada sebuah buku. Setiap hari aku mengisinya, dan mencatat berbagai hal yang aku dapatkan. Satu hal yang aku sadari dalam pencatatan itu adalah: ternyata aku sama sekali tidak memaknai apa yang aku catat.
Salah satu catatanku dalam penafsiran alkitabku secara pribadi adalah sebagai berikut:

“Tuhan sama sekali tidak tertarik dengan kekayaan ataupun kemampuan kita. Tetapi Ia begitu tertarik akan kesetiaan kita di dalam menikmati karya keselamatan yang Ia berikan. Melalui apa? Melalui setiap tindakan kita untuk memuji dan memuliakan Tuhan”

Sontak aku terkejut manakala aku membaca kalimat itu. Bener nggak sih aku menulis seperti itu?
Aku merasa bahwa itulah kebenaran yang ingin Tuhan ungkapkan. Bahwa setiap kekecewaan yang aku alami selama ini akan diubahkan menjadi sukacita yang tiada tara manakala aku belajar menyerahkan hidup ini kepadaNya.

Allah yang Menjadi Sama Seperti Manusia

Semakin aku belajar dan mendalami arti kekristenan yang sesungguhnya, semakin aku sadar bahwa kekristenan begitu unik. Tidak ada agama lain di dunia yang menunjukkan betapa besar kasih Allah selain daripada kekristenan. Allah yang merelakan Anak-Nya yang tunggal untuk mati menebus dosa dunia, menghancurkan kuasa dosa.

Tetapi sekaligus juga kita melihat pribadi Allah yang begitu jujur melalui Yesus Kristus. Yesus merupakan pribadi yang begitu jujur terhadap perasaan-Nya tentang suatu hal. Ia sedih ketika melihat Martha dan Maria mengalami musibah kematian Lazarus. Ia begitu bergumul manakala Ia akan menghadapi salib. Ia dengan marah menghancurkan meja-meja penukar uang di Bait Allah.
Yesus merasakan apa yang dirasakan manusia. Ini menunjukkan bahwa setiap perasaan yang kita alami merupakan anugrah Allah. Tetapi di balik semua hal yang dialami oleh Yesus, ada sebuah tujuan yang jelas mengenai pemaknaan-Nya tentang hidup. Apa itu? tidak lain dan tidak bukan adalah “SOLI DEO GLORIA”

‘Ku Ada Sebagaimana ‘ku Ada

Inti dari perenungan ini… aku merasakan dari awal bagaimana kekecewaanku kepada Allah justru membuatku mengenal Dia dan semakin hari semakin bertumbuh di dalam Dia. Kekecewaan itu membawaku untuk ingin lebih dekat mengenal Dia. Ini lho yang aneh. Ada sebuah momen di mana aku mempertanyakan apa sih sebenarnya rencana Allah dalam hidupku manakala aku diciptakan dengan berbagai kekurangan di dalam diriku.

Tetapi dengan tangan-Nya yang lembut, Ia meraihku. Ia menangkap aku dan Ia tidak pernah melepaskan aku!

Setiap kita yang pernah merasa kecewa kepada Tuhan, mari kita belajar jujur di hadapan Dia. Dia menantikan kejujuran perasaan kita kepada-Nya. Apakah kita cuman nggombal di hadapan Allah, ataukah kita kepengen banget untuk bener-bener mencurahkan isi hati kita kepada Raja di atas segala raja?

Sebagai penutup, mari kita coba melihat bagaimana Yeremia dan Paulus dengan jujur menyatakan perasaan mereka kepada Allah:

Yeremia 15:18 
Mengapakah penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai.

Dan apakah jawab Allah?

Yeremia 15:21 
Aku akan melepaskan engkau dari tangan orang-orang jahat dan membebaskan engkau dari genggaman orang-orang lalim."


Paulus
2Korintus 12:8-9
Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Yeremia dan Paulus telah merasakan bagaimana penderitaan mereka, dan mereka mendapatkan jawaban atas setiap hal yang mereka hadapi. Mungkin kita tidak langsung mendapatkan jawaban yang kita inginkan dan kita harapkan. Kita malah takut mendengar jawaban Tuhan atas kejujuran perkataan kita. Tetapi percayalah, setiap hal yang Ia kerjakan dalam kehidupan setiap kita itu unik. Tidak ada satu orang pun yang memiliki nasib yang sama, dan itu menunjukkan betapa setiap proses yang kita lalui hendaknya dapat kita lalui dengan setia sampai akhir.

Soli Deo Gloria!

1 comment: