Mengapa
kematian Yesus dianggap sebagai sesuatu yang sempurna? Mengapa Dia mati dengan
sebuah tekat yang begitu kuat? Karena dari semula untuk itulah Dia datang.
Tidak ada sebuah pemikiran dimana Yesus dipaksa untuk datang dan mati. Sebagai
Allah, Yesus memilih untuk datang dan hidup di tengah manusia, dan Dia memilih
bentuk kematian sebagai seorang manusia. Yesus berkata, “Tidak seorangpun
mengambilnya (hidupKu) dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut
kehendak-Ku sendiri.” (Yohanes 10:18)
Bahkan
saat disalib, Yesus berkata: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan
Aku?” (Matius 27:46; Markus 15:34), Yesus bukan hanya mengekspresikan betapa
dalamnya penderitaan yang Ia alami, tetapi juga mengutip Mazmur 22 ayat pertama
– yang sedikit banyak, akan membuat kita membacanya. Pada saat kita membacanya,
kita menemukan bahwa penderitaanNya di salib pun akan mengingatkan kita bahwa
kematianNya sudah Ia ketahui dan memiliki suatu tujuan. Dia mengacu kepada
sebuah teks yang ditulis ratusan tahun sebelumnya yang menjelaskan dengan
begitu detail mengenai cara kematianNya. Yesus juga mengingatkan kita bahwa
ditengah pengalamanNya tentang keterpisahan dan keterasinganNya dari Bapa, Dia
tetap menjaga kepercayaanNya bahwa Bapa “Ia mendengar ketika orang itu berteriak
minta tolong kepada-Nya” (Mazmur 22:24)
Tetapi
mengapa? Bagaimana Yesus mati memang mengesankan, tetapi mengapa Yesus memilih
untuk datang, dan menderita, dan menyerahkan nyawaNya? Saya akan mencoba untuk
menggambarkan 3 alasan.
… Untuk Penderitaan Kita
Pertama, Yesus datang untuk mengerjakan sebuah hal yang
dapat membuat perbedaankepada seseorang di tengah penderitaan mereka: untuk
bergabung bersama mereka di dalam penderitaan dan kesakitan mereka.
Beberapa waktu lalu saya melihat ke halaman Facebook
mengenai “Boating and Water Safety” dan sama seperti yang akan anda lakukan,
dan saya menemukan sebuah artikal yang berkata bahwa ketika sebuah kapal
tenggelam, wanita cenderung untuk meninggal dibandingkan dengan pria. Di dalamnya
terdapat sebuah diskusi online yang panjang mengapa hal tersebut dapat terjadi,
tetapi apa yang membuat saya berhenti dan berpikir adalah sebuah komentar dari
seorang wanita bernama Kristin, yang berkata demikian: “aku tidak terkejut.
Seorang wanita yang sudah punya anak memiliki kemungkinan yang paling kecil
untuk dapat bertahan hidup. Saya sendiri akan memilih untuk mati dengan anak
saya dibandingkan dengan meninggalkan anak saya untuk mati apabila saya dapat
menyelamatkan diri saya sendiri.”
Bayangkan di dalam sebuah kapal karam, dan seorang anak
terjebak di dalam sebuah ruangan yang perlahan terisi penuh oleh air. Ketika
anda dapat melihat hal tersebut dari tempat anda, anda melihat bahwa tidak ada
jalan keluar dari ruangan itu. Anak tersebut akan mati perlahan disana. Dan
anak tersebut mengalami kebimbangan, ketakutan, dan penderitaan.
Bayangkan seorang orang tua yang kemudian masuk ke dalam
ruangan itu, tahu bahwa hal tersebut akan emmbuat dia meninggal juga, namun dia
turut hadir di dalam penderitaan anaknya – untuk menenangkan dia dan untuk
memastikan bahwa dia tidak akan mati sendirian.
Aku akan memilih untuk mati bersama dengan anak saua dibandingkan meninggalkan anak saya mati
sekalipun saya dapat menyelamatkan diri saya sendiri.
Bukankah hal itu seperti sebuah hal yang “gila” untuk
kita lakukan? Tidak jika anda memiliki seorang anak. Istri saya dan saya
memiliki anak-anak Tuhan yang begitu hebat: Sophia, Aiden, Mia dan Carys. Dan
ketika kami melihat mereka dan memegang mereka, kami mengerti. Kami sadar bahwa
mungkin bodoh untuk berbuat pengorbanan seperti yang saya sampaikan di atas,
tetapi tidak untuk orang-orang yang paling kita kasihi.
Apa yang dapat kita tangkap, mengenai siapa kita
seharusnya di hadapan Allah-di hadapan Allah yang mana memilih untuk menderita
bersama kita dibandingkan dengan tidak menderita tanpa kita? John Stott mencoba
menjelaskan kasih yang ditunjukkan Tuhan sebagai berikut:
Saya tidak pernah percaya kepada Allah, jika tidak karena
salib. Satu-satunya Allah yang kupercaya adallah Allah yang dihina oleh
Nietzche sebagai “Allah yang disalib.” Di dalam dunia yang penuh penderitaan,
bagaimana seseorang dapat menyembah Allah yang kebal terhadap penderitaan itu?
Saya telah masuk ke banyak kuil-kuil orang Buddha di
berbagai Negara di Asia dan berdiri dengan hormat di hadapan patung Buddha,
yang mana kakinya menyilang, tangannya dilipat, dengan matanya ditutup, senyum
yang ada di wajahnya, pandangan yang kosong di wahahnya, jauuh dari penderitaan
dan kesakitan yang ada di dunia.
Tetapi setiap saya melihat ke arah yang lain, saya
mencoba membayangkan sesuatu hal yang lain. Saya kemudian melihat dalam
imajinasi saya, tubuh yang tergantung di salib, paku yang menembus tangan dan
kakinya, punggung yang tersobek, anggota tubuhnya hancur, kening yang berdarah
dari mahkota duri, mulut yang kering dan haus yang tidak tertahankan, tenggelam
dan terabaikan di dalam kegelapan Allah.
Itulah Allah bagi saya! Dia mengesampingkan kekebalannya
atas kesakitan. Dia memasuki dunia kita di dalam darah dan daging, air mata dan
kematian. Dia menderita untuk kita.
Penderitaan kita menjadi lebih dapat dipahami di dalam
terang kasihNya. Masih ada tanda tanya mengenai penderitaan manusia, tetapi di
atas semua itu kita dengan berani meyakini tanda lain, salib yang melambangkan
penderitaan yang ilahi.
Yesus dipermalukan pada saat Dia berada di salib: “"Orang
lain Ia selamatkan, biarlah sekarang Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri!” (Lukas
23:35).
Dan di dalam hati seorang orang tua, Yesus merespon
dengan memilih untuk mati dengan anak-anakNya dibandngkan dengan Dia harus
meninggalkan anak-anakNya untuk mati dan menyelamatkan diriNya sendiri.
Itu adalah salah satu alasan mengapa Yesus mati, dan
mengapa kematianNya adalah sebuah cerminan kasih yang begitu mulia.
… Untuk Dosa Kita
Tetapi alas an utama Yesus untuk penderitaan dan
kematianNya di kayu salib adalah untuk menyelamatkan manusia dari dosa, untuk
mengambil alih penghukuman yang seharusnya kita terima, sehingga kita bisa
bebas.
Kita terkadang berusaha keras untuk menghindari kenyataan
bahwa kita berdosa. Saya diingatkan kembali mengenai hal ini beberapa tahun
yang lalu ketika saya akan membuat visa untuk bekerja di Inggris. Pada formulirnya
yang disediakan, agar tidak dideportasi saya harus menjawab TIDAK untuk
pertanyaan ini: “Apakah anda atau siapapun yang berkaitan dengan anda pernah
melakukan hal-hal atau aktivitas yang mengindikasikan bahwa anda bukanlah
seorang yang baik secara karakter?”
Saya hanya tertawa ketika saya membacanya. Hal itu
seperti kita membaca “apakah anda pernah melakukan sesuatu yang salah?”
Jika anda ingin bukti bahwa kita penuh dengan dosa, hal
yang paling mudah adalah “menyalakan lampu”. Dosa adalah sesuatu yang kita
lakukan di dalam kegelapan, ketika tidak ada orang yang melihat.
Sama seperi ketika anda pergi ke bioskop, dan anda
membawa satu kaleng popcorn. Anda berjalan ke dalam bioskop sebagai seorang
manusia normal, dan ketika cahaya lampu mulai padam, anda akan menjadi seorang
pemalas.
Pertama anda akan mengambil posisi sebagai seorang yang
malas – abda duduk santai di kursi, kemudian meletakkan popcorn itu di atas
perut anda, dan mulai memasukkan popcorn sebanyak-banyaknya ke dalam mulut
anda, tanpa peduli apakah popcorn itu akan jatuh atau tidak. Atau anda akan
terus menerus memasukkan popcorn itu ke dalam mulut anda sekalipun anda belum
selesai mengunyahnya. Hal tersebut menyebabkan ada banyak sekali popcorn yang
jatuh ke lantai.
Kemudian setelah tidak ada lagi popcorn yang tersisa di
kemasannya, anda kemudian mulai popcorn yang jatuh ke baju dan celana jeans
anda. Setelah filmnya selesai, anda akan mulai berdiri dan membersihkan baju
anda dari popcorn yang tersisa, menjatuhkannya kembali ke lantai. Kita hanya
meninggalkan sisa-sisa dari tindakan kemalasan kita untuk dibersihkan oleh
orang lain.
Banyak hal luar biasa yang dapat kita lakukan manakala
tidak ada orang yang melihat hal yang kita lakukan. Namun anda tidak akan
melakukan hal itu kalau lampunya tidak dipadamkan. Anda tidak akan melakukan
hal itu ketika anda pergi untuk berkencan dengan pacar anda. Anda tidak akan
bertanya kepada pasangan anda “Bolehkah saya mencoba makanan itu?” dan kemudian
anda langsung mengambilnya dengan kecepatan cahaya, sampai tiba-tiba makanan
itu tumpah dan mengotori baju anda.
Inilah realitanya: bahwa “terang dunia” (Yohanes 8:12;
9:5) Yesus, melihat kita bahkan di dalam kegelapan. Dia tidak hanya melihat
popcorn yang tidak kita makan, tetapi bagaimana kita berpikir terhadap orang
lain, apa yang kita kerjakan ketika mereka tidak ada, hal yang kita lihat,
bagaimana kita membelanjakan uang kita.
Ada seorang anak bernama Eric, yang mana saya sering
bertengkar dengannya saat saya masih remaja. Dia bukanlah seorang anak yang
baik, dan saya selalu menantikan kesempatan untuk mengalahkan dia. Beberapa
tahun yang lalu, saya mendengar bahwa Eric bunuh diri.
“Sebab upah dosa ialah maut” (Roma 6:23). Tidak pernah
kata-kata itu tmenjadi begitu nyata dalam hidup saya dibandingkan pada saat
saya mendengar berita ini. Apakah dia akan bunuh diri jika saya menjadi seorang
yang baik bagi dia? Jika saya membantu dia?
Saya tidak tahu
Terkadang ketika saya mencoba untuk menjelaskan dosa
kepada orang-orang, mereka selalu berkata bahwa saya terlalu berlebihan, bahwa
saya sangat baik – bahwa saya tidak pernah “membunuh” siapapun.
Ya saya pernah. Dan bagaimana jika ternyata Allah
menerangi sinarNya bukan hanya pada Eric namun juga pada kata-kata saya yang
menyakiti hatinya selama bertahun-tahun, dan semua hal yang saya miliki yang
ternyata bukan saya berikan kepada orang yang membutuhkan tetapi saya justru
menikmatinya sendiri? Saya tidak ragu – bahwa saya butuh seorang Juruselamat.
Saya dapat mengingat hal-hal yang dulu saya lakukan – seperti
bagaimana saya memperlakukan Eric – yang mana saat itu saya merasa biasa saja,
tetapi saat ini saya menyadari bahwa itu adalah hal yang buruk. Sekarang ketika
Allah memimpin hidup saya, saya dapat melihat dengan begitu jelas bahwa itu
adalah hal yang begitu buruk.
Bayangkan bagaimana jauh jalan yang sudah disediakan
Allah. Saya mengambil setiap langkah perlahan namun pasti. Allah akan memiliki
cara pandang terbaik. Cara pandangnya adalah yang paling benar, dan tidak ada
satu pun dari kita yang dapat terlihat begitu kudus dari cara pandang itu.
Faktanya Yesus berkaa pada kita mengenai bagaimana cara pandang Allah terhadap
dosa: mengingini pasangan orang lain seperti berzinah, kebencian seperti
pembunuhan.
Terkadang sulit bagi kita untuk menghargai kebenaran
tentang dosa kita sampai kita bertemu dengan orang yang lebih suci dibandingkan
kita. Istri saya suatu kali menuliskan sebuah daftar untuk saya mengenai 40 hal
yang tidak diketahui siapapun tentang dia yang mana dia ingin saya tahu sebelum
akhirnya kami bertunangan. Jo ingin memastikan bahwa saya akan memasuki
kehidupan pernikahan sebagaimana dia ada, dan bukan hanya hal-hal yang terlihat
di depan mata saja. Hal itu adalah hal yang begitu indah untuk dilakukan.
Menegangkan, tetapi begitu indah!
Kemudian Jo berbicara pada saya melalui daftar itu. Dan
ketika kami sampai pada #19 dari daftar tersebut, Jo berkata, “ini adalah hal
yang paling memalukan bagi saya. Saya merasa bahwa saya mengkhianati
kepercayaanmu dan hal ini mungkin adalah hal terburuk yang pernah saya lakukan
kepadamu.”
Pada titik ini saya mencoba untuk tetap tenang, tetapi
akhirnya saya gagal. Anda dapat membayangkan hal-hal yang melewati kepala saya:
Dia pernah menipu saya. Dia adalah
seorang mata-mata dan ia harus membunuh saya karena saya tahu terlalu banyak.
Dia secara diam-diam adalah fans dari klub Red Sox.
Kemudian Jo menjelaskan bahwa suatu hari ketika kami
bersama melihat foto-foto di komputer kami, dan kemudian ketika saya
meninggalkan dia sendirian untuk membuka pintu, dia terus melihat pada file di
komputer saya untuk melihat foto-foto lama saya. Saya hanya berpikir demikian, Kamu pasti bercanda! Itukah hal yang paling
buruk yang pernah kamu lakukan pada saya?! Saya berada dalam masalah besar!
Dosa kita selalu ditunjukkan dengan kebaikan orang yang
hadir di sekitar kita. Itulah mengapa ketika penjahat yang ada di sebelah Yesus
melihat kekudusan Yesus ketika Dia mati, dia menyadari bahwa ia memang layak
dihukum. Itulah mengapa orang Kristen percaya bahwa ketika kita berdiri di
hadapan Allah, setiap kita dapat menyadari kebutuhan kita akan Juruselamat.
Hal yang mencengangkan dari pesan iman Kristen adalah
Allah begitu mengasihi kita untuk kita dapat mnanggung penghukuman yang harus
kita terima akibat dosa kita. Tetapi bagaimana secara pastinya bahwa kematian
Yesus dapat menyelesaikan hal itu? Seharusnya pelaku dosalah yang harus
bertanggungjawab atas dosa mereka. Jika Yesus yang ternyata menderita
konsekuensi itu, bagaimana hal itu dapat disebut sebagai keadilan.
Saya coba membayangkan masa lalu saya dan ketika saya
berkelahi dengan anda, tiba-tiba saya berkata pada anda bahwa yang bersalah
adalah orang lain. Orang lain itu yang memukul anda (padahal anda tahu bahwa
saya yang memukul anda) dan kemudian dia ditangkap dan dimasukkan ke penjara
akibat dari tindakan saya. Sangat sulit untuk melihat bagaimana ilustrasi itu
dapat menunjukkan kasih, atau keadilan. Seperti itulah terkadang kekristenan
dipandang.
Tetapi mari kita ubah skenarionya. Bagaimana jika ketika
saya memukul anda, kemudian ketika saya akan memukul anda lagi, istri saya, Jo,
berdiri diantara saya dan anda, dan kemudian pukulan saya mengenai dia, dan dia
terlempar ke tembok yang mana kepalanya terbentur disana. Akhirnya dia mati. Ketika
saya melihat konsekuensi dari tindakan saya kepada seseorang yang begitu saya
cintai, saya jatuh dalam kesedihan di depan anda, dan mulai memohon untuk
pengampunan.
Apakah anda masih merasa bahwa keadilan belum terpenuhi
akibat dosa saya kepada anda? Saya rasa tidak. Mengapa? Karena apa yang lebih
buruk dibandingkan kehilangan seseorang yang paling saya cintai di tangan saya
sendiri? Tidak ada hal yang lebih buruk. Meminta lebih atas hal itu berarti
tidak berperasaan dan begitu kejam.
Pada kayu salib, Allah menempatkan diriNya antara kita
dengan orang-orang yang pernah kita sakiti. Di dalam kasih yang begitu
melimpah, Dia mengambil seluruh akibat dari dosa kita. Dia menderita
penghukuman yang kita terima.
Tetapi hal itu tidak berarti bahwa tidak ada konsekuensi
dosa yang kita terima. Kita menghadapi konsekuensi dosa yakni kematian Pencipta
kita dan Seseorang yang begitu mengasihi kita. Ketika memahami hal inilah kita
berlutut di dalam pengakuan dosa dan memohon pengampunan. Karena Yesus bangkit,
dan karena kematian tidak dapat menahan Dia (Kisah Para Rasul 2:24),
pengampunan dosa atas kita bukan mengarah kepada rasa bersalah akibat kematian
Seseorang yang kita kasihi, tetapi menjadi sebuah sukacita karena menerima
Seseorang itu bangkit dari kematianNya.
Keberatan bahwa kematian Yesus karena dosa kita adalah
sesuatu yang tidak masuk akal berdasarkan pada asumsi bahwa kematian Yesus
tidak berhubungan dengan kita, tidak relevan pada dosa kita, hanya seorang yang
tidak kita kenal yang akhirnya dihukum karena kita. Tetapi hal itu benar hanya
apabila Yesus secara fakta adalah seorang asing bagi kita. Jika kita tidak
peduli kepada Yesus, jika kita tidak tertarik untuk mengikuti Dia, maka
kematianNya adalah kematian dari seorang asing, seseorang ang tidak kita tahu
ternyata dihukum karena tindakan kita. Kemudian keadilan harus dijalankan di
dalam kehidupan selanjutnya.
Tetapi ketika kita mencintai Yesus, ketika kita
menempatkan iman kita kepadaNya dan memilih untuk mengikut Dia, maka kita
berdiri di bawah kaki salibNya dan melihat kematian dari seseorang yang paling
kita cintai akibat dari dosa kita, dan konsekuensi harus tetap dijalankan.
Salib adalah segalanya tetapi; dan hal itu relevan atas kehidupan kita.
Keadilan Allah terpuaskan.
Yesus mengambil konsekuensi yang membawa kita kepada
kematian sehingga kita dapat mengambil konsekuensi yang memimpin kita kepada
pertobatan, dan kepada kebebasan dan hidup yang kekal.
Itu hanyalah sebagian analogi yang tidak sempurna
mengenai apa yang Yesus kerjakan di kayu salib. Tidak ada analogi yang mampu
untuk menggambarkannya secara sempurna. Tetapi saya melihat analogi ini dapat
membantu kita untuk memperlihatkan apa yang sebenarnya terjadi pada pernyataan
bahwa salib menghancurkan keadilan Allah, yang mana ternyata faktanya adalah
kebalikannya.
Salib adalah tempat dimana Allah protes bahwa bukan
sesuatu yang baik manakala kita melihat orang-orang disiksa, kecanduan, dan
diperbudak, bahwa selalu ada konsekuensi serius dari dosa yang mereka perbuat. Tetapi
salib juga merupakan tempat dimana Allah berkata bahwa Dia tidak dapat lagi
melihat segala yang Ia bawa ke dunia ini kehilangan nyawanya untuk menerima
konsekuensinya. Maka Dia kehilangan nyawanya dan dengan melakukan itu
memberikan kepada setiap orang kehidupan yang tidak akan pernah lenyap.
Allah melihat dari sorga hidup kita sebagai seorang orang
tua dan melihat anak-anakNya berkelahi satu sama lain – membunuh satu dengan
yang lain. Dan Dia melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang tua. Dia
mengorbankan diriNya sendiri di antara mereka. Dia menerima pukulan, dan Dia
menderita kematian, agar mereka dapat hidup.
Lebih menakjubkan lagi adalah fakta bahwa Allah merespon
dengan cara demikian sekalipun kita bukan hanya bertengkar satu sama lain, kita
bertengkar dengan Allah sendiri. Setiap kali kita melemparkan pukulan-baik
secara nyata atau dengan kata-kata-kita melawan Allah juga, karena ketika kita
memukul seseorang yang Ia kasihi. Pertengkaran kita juga melawan Allah secara
langsung, karena seringkali kita memilih untuk menjadi Allah atas diri kita
sendiri-ketika kita tahu apa yang Tuhan mau, ketika kita tahu bahwa Dia tahu
yang terbaik, dan kita menyangkalNya. Pengkhianantan yang terdalam adalah dosa
melawan Pribadi yang begitu mangasihi anda. Sekalipun berkali kali kita
menyangkalNya, pada salib itu DIa memilih kita. Itu adalah bentuk kasihNya yang
paling sempurna.
Keadilan menuntut keputusan. Kasih menuntut pengampunan. Hanya
pada salib Yesus kita menemukan keduanya. Hanya pada salib kita menemukan kasih
dan keadilan yang sempurna di dalam titik temu yang sempurna. Itulah mengapa
Yesus datang. Itulah mengapa Yesus siap untuk mati.
… Untuk Rasa Malu Kita
Yesus mati untuk penderitaan kita; Dia mati untuk dosa
kita; dan akhirnya; Dia mati untuk rasa malu kita.
Ketika saya merasa bahwa saya sudah melewati urutan
terburuk dari daftar “40 Hal yang Tidak Kamu Ketahui Tentang Jo”, dia kembali
mencengangkan saya dengan #37. Hanya ada 4 kata, tetapi 4 kata yang tidak akan
anda ingin dengarkan dari seseorang yang begitu penting bagi anda:
“Saya adalah fans Star-Trek”
Benar, Jo menyukai Star Trek.
DIa begitu hebat di dalam menyembunyikan fakta yang
memalukan ini dari saya di dalam masa berpacaran kami, dan saya masih berpikir
bahwa satu-satunya alasan dia berkata kepada saya adalah karena film Star Trek
yang baru baru saja dirilis dan dia harus mengatakan hal itu agar saya mengajak
dia.
Jadi Jo membacakan #37 kepada saya, dan saya dapat
membayangkan bahwa ketika dia mengatakan hal itu, saya akan kurang
memperhatikannya. Orang lain menghina dia ketika dia masih muda, karena itulah
dia berpikir dia punya alasan untuk malu.
Kami berjanj untuk bertemu di bioskop, dan ketika Jo
sampai disana, saya berdiri di luar dan dengan bangga saya menggunakan T-shirt
bergambar wajah Mr. Spock yang berkata “Live long and prosper.” Dan saya
memegang sebuah poster Star Trek yang besar yang mana dapat dibaca oleh
orang-orang sekitar “To Boldly Go Where No Man Has Gone Before”
Saat Jo menghampiri saya dia mulai meneteskan air mata,
dan dia melingkarkan tangannya pada tubuh saya untuk memberikan saya sebuah
pelukan. Saat itulah saya mulai memahami bahwa ketika saya memakai atribut yang membuat Jo malu, hal itu membebaskan dia dari
rasa malu itu. Kemudian saya berkata kepadanya: “Saya tidak akan pernah merasa
malu atas dirimu, jadi jangan pernah kamu merasa malu tentang dirimu sendiri”
Allah memakai sebuah t-shirt yang lucu dan poster yang
bodoh untuk mengajar saya dan Jo sesuatu yang begitu signifikan tentang Dia.
Yesus mati bukan hanya untuk dosa kita; Dia juga mati untuk rasa malu kita.
Saya tidak tahu bagaimana dengan anda, tetapi saya tahu
bahwa bagi saya dan Jo, beberapa kenangan kami yang menyakitkan membuat kami
menjadi malu atas kehidupan kami. Mungkin ada satu waktu di dalam kehidupan
kami dimana kami dihina, tidak dipedulikan, atau diperlakukan seperti sebuah
benda, bukan manusia. Terkadang hanya beberapa kata, dan hal itu dapat
mempengaruhi kita selama bertahun-tahun – kata-kata seperti “kamu jelek”, “kamu
kurang baik,” “kamu tidak layak untuk menghabiskan waktuku.”
Telanjang di salib, Yesus mengambil kepada diriNya
sendiri setiap hinaan yang kita terima, setiap kita diludahi, setiap kali kita
gagal. Dia turut hadir manakala kita menerima umpatan, kita ditelanangi, kita
tidak dipedulikan, kita diremehkan. Ketika Dia berada di dalam pribadiNya
sebagai manusia, Yesus secara literal memakai semua itu di dalam diriNya.
Beberapa orang menolak pendapat mengenai seorang yang
kudus akhirnya mati di dalam kematian yang memalukan. Mereka benar. Kematian
itu penuh dengan hal-hal memalukan milik
kita. Yesus memakai hal yang memalukan milik kita, sehingga seperti yang
tertulis di dalam alkitab: "Barangsiapa yang percaya kepada Dia, tidak
akan dipermalukan." (Roma 10:11; Mazmur 25:3). Dan lagi:
“Janganlah takut, sebab engkau tidak akan mendapat malu,
dan janganlah merasa malu, sebab engkau tidak akan tersipu-sipu. Sebab engkau
akan melupakan malu keremajaanmu… Sebagai ganti bahwa kamu mendapat malu dua
kali lipat, dan sebagai ganti noda dan ludah yang menjadi bagianmu, kamu akan
mendapat warisan dua kali lipat di negerimu dan sukacita abadi akan menjadi
kepunyaanmu.”
(Yesaya 54:4; 61:7)
Di salib itulah Yesus menyatakan bahwa ketika anda
percaya kepadaNya, anda tidak perlu malu mengenai segala hal yang telah anda
lewati, karena Ia sudah pernah menghadapinya juga. Dia tergantung lemah dan
ditolak di dalam sebuah cara yang begitu memalukan sehingga kita tidak perlu
lagi hidup di dalam rasa malu itu.
Salib adalah proklamasi publik Allah kepada seluruh dunia
yang mau mengatakan bahwa anda dikasihi dan selamanya diinginkan – seperti Paulus
menyatakannya, diciptakan untuk menjadi poiema
Allah, puisi kepunyaan Allah, masterpiece
Allah. Eleonore Stumps menyimpulkannya demikian:
Tidak peduli dengan standar apa seseorang dipermalukan,
standar itu dikuasai oleh standar yang ditegakkan dengan relasi kasih dengan
Allah… Ketika kita diingini oleh pribadi yang maha agung dan maha baik yang
ada, seorang manusia diinginkan oleh standar yang paling sempurna. Dengan standar
inilah seluruh rasa malu harus tunduk.
Setiap standar itu harus tunduk karena standar Allah – standar
yang paling sempurna – mempermalukan seluruh standar yang ada di dunia yang
mengancam untuk mempermalukan kita. Melalui ukuran standar Allah – standar yang
dimenangkan Yesus di kayu salib, Allah melepas rasa malu kita, dan Dia
memakaikan kepada kita rasa penerimaan, percaya diri, kehormatan, dan
menjadikan kita seorang ahli waris.