Total Pageviews

Monday, April 20, 2015

Padaku Ada Sesuatu

Kalimat yang aneh. Rasanya pasif sekali. Ucapan “Padaku Ada Sesuatu” bukankah juga bisa dikatakan sebagai “Aku Punya Sesuatu”? Tunggu dulu, sobat. Ada berbagai perbedaan yang begitu mendalam antara kedua kalimat ini. Sekalipun kita bukan ahli linguistik, tapi yuk kita mencoba telaah lebih dalam lagi. Saya akan coba uraikan melalui artikel ini.

Ketika seseorang berkata “Padaku Ada Sesuatu”, ia menyadari betul kalau “sesuatu” itu bukanlah miliknya. Loh? Iya betul, sesuatu itu ada pada dirinya, tetapi ia sama sekali tidak punya hak milik atas sesuatu itu. Contohnya begini: ketika saya tiba-tiba dititipkan sebuah mobil oleh orang tua saya, maka mobil itu bukan resmi milik saya, tetapi milik orang tua saya. Mobil itu ada dalam kendali saya, tetapi sewaktu-waktu orang tua berhak banget untuk mengambilnya kembali.

Sedangkan ketika kita berkata bahwa “Aku Punya Sesuatu” maka implikasinya adalah kita memiliki sendiri sesuatu itu. Kita memperjuangkan segala sesuatunya untuk mendapatkannya. Jadi kita punya hak penuh atas sesuatu itu.

Bagaimana dengan kehidupan keseharian kita? Kalimat mana yang kita pahami untuk menjalani hidup keseharian kita? Bentar… Sejauh itukah? Iya, sobat. Sampai sejauh itulah sebenarnya implikasi dari kedua kalimat ini. Khususnya tentang segala sesuatu yang ada di dalam kehidupan kita. Ketika kita melihat kembali kehidupan kita, kalimat mana yang kita pegang?

Seseorang yang menggunakan prinsip hidup “Padaku Ada Sesuatu”, maka ia sadar betul bahwa segala hal yang terjadi di dalam kehidupannya adalah bukan miliknya. Semuanya adalah sesuatu yang sudah dianugrahkan di dalam kehidupannya. Kalau demikian setiap tindakan yang ia kerjakan akan begitu berbeda dengan orang-orang disekitarnya yang menganggap bahwa segala sesuatu adalah miliknya. Cara pandang hidup ini bisa juga dikatakan sebagai cara pandang hidup adalah anugrah.

Ketika memaknai cara hidup seperti ini, orang tersebut akan menikmati sekali hidupnya. Ia akan begitu bertanggung jawab atas kehidupan yang dianugrahkan kepadanya. Ia akan begitu menyadari bahwa ketika dia punya suatu bakat, semuanya itu adalah anugrah. Lebih jauh lagi, keseluruhan hidupnya adalah untuk kemuliaan Sang Empunya Hidup. SIapa? Ya Tuhan sendiri. Sampai segitunya? Iya donk. Artinya ia sadar betul bahwa segala karya yang akan ia kerjakan adalah bagi kemuliaanNya, dan segala hal yang terjadi di dalam hidupnya dapat ia nikmati. Entah ada kejadian yang buruk, ataukah kejadian yang begitu baik, semuanya terjadi karena ANUGRAH. Poin nya disitu.

Bagaimana dengan cara pandang “Aku punya sesuatu”? Berkebalikan sekali dengan cara pandang yang pertama. Ketika cara pandang kita adalah “Aku Punya Sesuatu”, itu berarti bahwa segala hal yang kita dapatkan adalah milik kita sendiri. Kita ngga akan mau membaginya, tetapi justru mengumpulkan lebih banyak dan lebih banyak lagi. Semuanya adalah tentang aku. Hidup ini pusatnya adalah aku, dan segalanya kalau bisa aku kuasai semua.

Memaknai kehidupan seperti ini membentuk kita menjadi seorang pribadi yang begitu egoistis. Alih-alih kita perhatikan orang lain, buat diri sendiri saja, kita tidak akan pernah merasa cukup. Kehilangan satu sen saja rasanya akan menjadi suatu kerugian yang begitu besar karena kita menganggap bahwa segalanya adalah milik kita.

Cara pandang hidup yang pertama akan membawa kita kepada kehidupan yang penuh kemenangan di dalam Tuhan. Pembentukan karakter untuk dapat berbagi dan menjadi berkat bagi orang lain – menjadi pribadi yang altruis dan mampu menjadi pribadi yang solider dan memahami kebutuhan orang lain. Fokus hidup kita adalah kepada Tuhan yang memberikan anugrah. Menyadari bahwa segalanya boleh terjadi, boleh kita miliki, adalah karena Allah. Semuanya adalah karena anugrahNya. Manis sekali kehidupan semacam ini. Menjadi roti yang terpecah dan anggur yang tercurah. Hidup adalah tentang Tuhan, everything is about His Glory!

Memang bukan jaminan bahwa kita akan hidup senang, tanpa masalah, tetapi hidup yang kita jalani di dalam anugrah adalah ketika Tuhan memberikan suatu paradigma baru. Ketika masalah datang, semuanya adalah proses dari Tuhan. Ketika ada hal yang diberikan Tuhan, semuanya adalah untuk kita bagikan kepada orang lain. Ketika kita punya sebuah talenta khusus, itu adalah anugrah yang Tuhan berikan untuk kita dapat memperkenalkan Allah yang bekerja atas kehidupan kita.

Jadi bagaimana kita mau menjalani hidup ini? Pilihan ada di tangan setiap kita.


Soli Deo Gloria

Sunday, April 5, 2015

Why Jesus Died - Mengapa Yesus Mati - Sebuah Terjemahan dari Buku Why Suffering

Mengapa kematian Yesus dianggap sebagai sesuatu yang sempurna? Mengapa Dia mati dengan sebuah tekat yang begitu kuat? Karena dari semula untuk itulah Dia datang. Tidak ada sebuah pemikiran dimana Yesus dipaksa untuk datang dan mati. Sebagai Allah, Yesus memilih untuk datang dan hidup di tengah manusia, dan Dia memilih bentuk kematian sebagai seorang manusia. Yesus berkata, “Tidak seorangpun mengambilnya (hidupKu) dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri.” (Yohanes 10:18)

Bahkan saat disalib, Yesus berkata: “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46; Markus 15:34), Yesus bukan hanya mengekspresikan betapa dalamnya penderitaan yang Ia alami, tetapi juga mengutip Mazmur 22 ayat pertama – yang sedikit banyak, akan membuat kita membacanya. Pada saat kita membacanya, kita menemukan bahwa penderitaanNya di salib pun akan mengingatkan kita bahwa kematianNya sudah Ia ketahui dan memiliki suatu tujuan. Dia mengacu kepada sebuah teks yang ditulis ratusan tahun sebelumnya yang menjelaskan dengan begitu detail mengenai cara kematianNya. Yesus juga mengingatkan kita bahwa ditengah pengalamanNya tentang keterpisahan dan keterasinganNya dari Bapa, Dia tetap menjaga kepercayaanNya bahwa Bapa “Ia mendengar ketika orang itu berteriak minta tolong kepada-Nya” (Mazmur 22:24)

Tetapi mengapa? Bagaimana Yesus mati memang mengesankan, tetapi mengapa Yesus memilih untuk datang, dan menderita, dan menyerahkan nyawaNya? Saya akan mencoba untuk menggambarkan 3 alasan.

… Untuk Penderitaan Kita


Pertama, Yesus datang untuk mengerjakan sebuah hal yang dapat membuat perbedaankepada seseorang di tengah penderitaan mereka: untuk bergabung bersama mereka di dalam penderitaan dan kesakitan mereka.

Beberapa waktu lalu saya melihat ke halaman Facebook mengenai “Boating and Water Safety” dan sama seperti yang akan anda lakukan, dan saya menemukan sebuah artikal yang berkata bahwa ketika sebuah kapal tenggelam, wanita cenderung untuk meninggal dibandingkan dengan pria. Di dalamnya terdapat sebuah diskusi online yang panjang mengapa hal tersebut dapat terjadi, tetapi apa yang membuat saya berhenti dan berpikir adalah sebuah komentar dari seorang wanita bernama Kristin, yang berkata demikian: “aku tidak terkejut. Seorang wanita yang sudah punya anak memiliki kemungkinan yang paling kecil untuk dapat bertahan hidup. Saya sendiri akan memilih untuk mati dengan anak saya dibandingkan dengan meninggalkan anak saya untuk mati apabila saya dapat menyelamatkan diri saya sendiri.”

Bayangkan di dalam sebuah kapal karam, dan seorang anak terjebak di dalam sebuah ruangan yang perlahan terisi penuh oleh air. Ketika anda dapat melihat hal tersebut dari tempat anda, anda melihat bahwa tidak ada jalan keluar dari ruangan itu. Anak tersebut akan mati perlahan disana. Dan anak tersebut mengalami kebimbangan, ketakutan, dan penderitaan.

Bayangkan seorang orang tua yang kemudian masuk ke dalam ruangan itu, tahu bahwa hal tersebut akan emmbuat dia meninggal juga, namun dia turut hadir di dalam penderitaan anaknya – untuk menenangkan dia dan untuk memastikan bahwa dia tidak akan mati sendirian.

Aku akan memilih untuk mati bersama dengan anak saua dibandingkan meninggalkan anak saya mati sekalipun saya dapat menyelamatkan diri saya sendiri.

Bukankah hal itu seperti sebuah hal yang “gila” untuk kita lakukan? Tidak jika anda memiliki seorang anak. Istri saya dan saya memiliki anak-anak Tuhan yang begitu hebat: Sophia, Aiden, Mia dan Carys. Dan ketika kami melihat mereka dan memegang mereka, kami mengerti. Kami sadar bahwa mungkin bodoh untuk berbuat pengorbanan seperti yang saya sampaikan di atas, tetapi tidak untuk orang-orang yang paling kita kasihi.

Apa yang dapat kita tangkap, mengenai siapa kita seharusnya di hadapan Allah-di hadapan Allah yang mana memilih untuk menderita bersama kita dibandingkan dengan tidak menderita tanpa kita? John Stott mencoba menjelaskan kasih yang ditunjukkan Tuhan sebagai berikut:

Saya tidak pernah percaya kepada Allah, jika tidak karena salib. Satu-satunya Allah yang kupercaya adallah Allah yang dihina oleh Nietzche sebagai “Allah yang disalib.” Di dalam dunia yang penuh penderitaan, bagaimana seseorang dapat menyembah Allah yang kebal terhadap penderitaan itu?

Saya telah masuk ke banyak kuil-kuil orang Buddha di berbagai Negara di Asia dan berdiri dengan hormat di hadapan patung Buddha, yang mana kakinya menyilang, tangannya dilipat, dengan matanya ditutup, senyum yang ada di wajahnya, pandangan yang kosong di wahahnya, jauuh dari penderitaan dan kesakitan yang ada di dunia.

Tetapi setiap saya melihat ke arah yang lain, saya mencoba membayangkan sesuatu hal yang lain. Saya kemudian melihat dalam imajinasi saya, tubuh yang tergantung di salib, paku yang menembus tangan dan kakinya, punggung yang tersobek, anggota tubuhnya hancur, kening yang berdarah dari mahkota duri, mulut yang kering dan haus yang tidak tertahankan, tenggelam dan terabaikan di dalam kegelapan Allah.

Itulah Allah bagi saya! Dia mengesampingkan kekebalannya atas kesakitan. Dia memasuki dunia kita di dalam darah dan daging, air mata dan kematian. Dia menderita untuk kita.

Penderitaan kita menjadi lebih dapat dipahami di dalam terang kasihNya. Masih ada tanda tanya mengenai penderitaan manusia, tetapi di atas semua itu kita dengan berani meyakini tanda lain, salib yang melambangkan penderitaan yang ilahi.

Yesus dipermalukan pada saat Dia berada di salib: “"Orang lain Ia selamatkan, biarlah sekarang Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri!” (Lukas 23:35).

Dan di dalam hati seorang orang tua, Yesus merespon dengan memilih untuk mati dengan anak-anakNya dibandngkan dengan Dia harus meninggalkan anak-anakNya untuk mati dan menyelamatkan diriNya sendiri.

Itu adalah salah satu alasan mengapa Yesus mati, dan mengapa kematianNya adalah sebuah cerminan kasih yang begitu mulia.

… Untuk Dosa Kita


Tetapi alas an utama Yesus untuk penderitaan dan kematianNya di kayu salib adalah untuk menyelamatkan manusia dari dosa, untuk mengambil alih penghukuman yang seharusnya kita terima, sehingga kita bisa bebas.

Kita terkadang berusaha keras untuk menghindari kenyataan bahwa kita berdosa. Saya diingatkan kembali mengenai hal ini beberapa tahun yang lalu ketika saya akan membuat visa untuk bekerja di Inggris. Pada formulirnya yang disediakan, agar tidak dideportasi saya harus menjawab TIDAK untuk pertanyaan ini: “Apakah anda atau siapapun yang berkaitan dengan anda pernah melakukan hal-hal atau aktivitas yang mengindikasikan bahwa anda bukanlah seorang yang baik secara karakter?”

Saya hanya tertawa ketika saya membacanya. Hal itu seperti kita membaca “apakah anda pernah melakukan sesuatu yang salah?”

Jika anda ingin bukti bahwa kita penuh dengan dosa, hal yang paling mudah adalah “menyalakan lampu”. Dosa adalah sesuatu yang kita lakukan di dalam kegelapan, ketika tidak ada orang yang melihat.

Sama seperi ketika anda pergi ke bioskop, dan anda membawa satu kaleng popcorn. Anda berjalan ke dalam bioskop sebagai seorang manusia normal, dan ketika cahaya lampu mulai padam, anda akan menjadi seorang pemalas.

Pertama anda akan mengambil posisi sebagai seorang yang malas – abda duduk santai di kursi, kemudian meletakkan popcorn itu di atas perut anda, dan mulai memasukkan popcorn sebanyak-banyaknya ke dalam mulut anda, tanpa peduli apakah popcorn itu akan jatuh atau tidak. Atau anda akan terus menerus memasukkan popcorn itu ke dalam mulut anda sekalipun anda belum selesai mengunyahnya. Hal tersebut menyebabkan ada banyak sekali popcorn yang jatuh ke lantai.

Kemudian setelah tidak ada lagi popcorn yang tersisa di kemasannya, anda kemudian mulai popcorn yang jatuh ke baju dan celana jeans anda. Setelah filmnya selesai, anda akan mulai berdiri dan membersihkan baju anda dari popcorn yang tersisa, menjatuhkannya kembali ke lantai. Kita hanya meninggalkan sisa-sisa dari tindakan kemalasan kita untuk dibersihkan oleh orang lain.

Banyak hal luar biasa yang dapat kita lakukan manakala tidak ada orang yang melihat hal yang kita lakukan. Namun anda tidak akan melakukan hal itu kalau lampunya tidak dipadamkan. Anda tidak akan melakukan hal itu ketika anda pergi untuk berkencan dengan pacar anda. Anda tidak akan bertanya kepada pasangan anda “Bolehkah saya mencoba makanan itu?” dan kemudian anda langsung mengambilnya dengan kecepatan cahaya, sampai tiba-tiba makanan itu tumpah dan mengotori baju anda.

Inilah realitanya: bahwa “terang dunia” (Yohanes 8:12; 9:5) Yesus, melihat kita bahkan di dalam kegelapan. Dia tidak hanya melihat popcorn yang tidak kita makan, tetapi bagaimana kita berpikir terhadap orang lain, apa yang kita kerjakan ketika mereka tidak ada, hal yang kita lihat, bagaimana kita membelanjakan uang kita.

Ada seorang anak bernama Eric, yang mana saya sering bertengkar dengannya saat saya masih remaja. Dia bukanlah seorang anak yang baik, dan saya selalu menantikan kesempatan untuk mengalahkan dia. Beberapa tahun yang lalu, saya mendengar bahwa Eric bunuh diri.

“Sebab upah dosa ialah maut” (Roma 6:23). Tidak pernah kata-kata itu tmenjadi begitu nyata dalam hidup saya dibandingkan pada saat saya mendengar berita ini. Apakah dia akan bunuh diri jika saya menjadi seorang yang baik bagi dia? Jika saya membantu dia?

Saya tidak tahu

Terkadang ketika saya mencoba untuk menjelaskan dosa kepada orang-orang, mereka selalu berkata bahwa saya terlalu berlebihan, bahwa saya sangat baik – bahwa saya tidak pernah “membunuh” siapapun.

Ya saya pernah. Dan bagaimana jika ternyata Allah menerangi sinarNya bukan hanya pada Eric namun juga pada kata-kata saya yang menyakiti hatinya selama bertahun-tahun, dan semua hal yang saya miliki yang ternyata bukan saya berikan kepada orang yang membutuhkan tetapi saya justru menikmatinya sendiri? Saya tidak ragu – bahwa saya butuh seorang Juruselamat.

Saya dapat mengingat hal-hal yang dulu saya lakukan – seperti bagaimana saya memperlakukan Eric – yang mana saat itu saya merasa biasa saja, tetapi saat ini saya menyadari bahwa itu adalah hal yang buruk. Sekarang ketika Allah memimpin hidup saya, saya dapat melihat dengan begitu jelas bahwa itu adalah hal yang begitu buruk.

Bayangkan bagaimana jauh jalan yang sudah disediakan Allah. Saya mengambil setiap langkah perlahan namun pasti. Allah akan memiliki cara pandang terbaik. Cara pandangnya adalah yang paling benar, dan tidak ada satu pun dari kita yang dapat terlihat begitu kudus dari cara pandang itu. Faktanya Yesus berkaa pada kita mengenai bagaimana cara pandang Allah terhadap dosa: mengingini pasangan orang lain seperti berzinah, kebencian seperti pembunuhan.

Terkadang sulit bagi kita untuk menghargai kebenaran tentang dosa kita sampai kita bertemu dengan orang yang lebih suci dibandingkan kita. Istri saya suatu kali menuliskan sebuah daftar untuk saya mengenai 40 hal yang tidak diketahui siapapun tentang dia yang mana dia ingin saya tahu sebelum akhirnya kami bertunangan. Jo ingin memastikan bahwa saya akan memasuki kehidupan pernikahan sebagaimana dia ada, dan bukan hanya hal-hal yang terlihat di depan mata saja. Hal itu adalah hal yang begitu indah untuk dilakukan. Menegangkan, tetapi begitu indah!

Kemudian Jo berbicara pada saya melalui daftar itu. Dan ketika kami sampai pada #19 dari daftar tersebut, Jo berkata, “ini adalah hal yang paling memalukan bagi saya. Saya merasa bahwa saya mengkhianati kepercayaanmu dan hal ini mungkin adalah hal terburuk yang pernah saya lakukan kepadamu.”

Pada titik ini saya mencoba untuk tetap tenang, tetapi akhirnya saya gagal. Anda dapat membayangkan hal-hal yang melewati kepala saya: Dia pernah menipu saya. Dia adalah seorang mata-mata dan ia harus membunuh saya karena saya tahu terlalu banyak. Dia secara diam-diam adalah fans dari klub Red Sox.

Kemudian Jo menjelaskan bahwa suatu hari ketika kami bersama melihat foto-foto di komputer kami, dan kemudian ketika saya meninggalkan dia sendirian untuk membuka pintu, dia terus melihat pada file di komputer saya untuk melihat foto-foto lama saya. Saya hanya berpikir demikian, Kamu pasti bercanda! Itukah hal yang paling buruk yang pernah kamu lakukan pada saya?! Saya berada dalam masalah besar!

Dosa kita selalu ditunjukkan dengan kebaikan orang yang hadir di sekitar kita. Itulah mengapa ketika penjahat yang ada di sebelah Yesus melihat kekudusan Yesus ketika Dia mati, dia menyadari bahwa ia memang layak dihukum. Itulah mengapa orang Kristen percaya bahwa ketika kita berdiri di hadapan Allah, setiap kita dapat menyadari kebutuhan kita akan Juruselamat.

Hal yang mencengangkan dari pesan iman Kristen adalah Allah begitu mengasihi kita untuk kita dapat mnanggung penghukuman yang harus kita terima akibat dosa kita. Tetapi bagaimana secara pastinya bahwa kematian Yesus dapat menyelesaikan hal itu? Seharusnya pelaku dosalah yang harus bertanggungjawab atas dosa mereka. Jika Yesus yang ternyata menderita konsekuensi itu, bagaimana hal itu dapat disebut sebagai keadilan.

Saya coba membayangkan masa lalu saya dan ketika saya berkelahi dengan anda, tiba-tiba saya berkata pada anda bahwa yang bersalah adalah orang lain. Orang lain itu yang memukul anda (padahal anda tahu bahwa saya yang memukul anda) dan kemudian dia ditangkap dan dimasukkan ke penjara akibat dari tindakan saya. Sangat sulit untuk melihat bagaimana ilustrasi itu dapat menunjukkan kasih, atau keadilan. Seperti itulah terkadang kekristenan dipandang.

Tetapi mari kita ubah skenarionya. Bagaimana jika ketika saya memukul anda, kemudian ketika saya akan memukul anda lagi, istri saya, Jo, berdiri diantara saya dan anda, dan kemudian pukulan saya mengenai dia, dan dia terlempar ke tembok yang mana kepalanya terbentur disana. Akhirnya dia mati. Ketika saya melihat konsekuensi dari tindakan saya kepada seseorang yang begitu saya cintai, saya jatuh dalam kesedihan di depan anda, dan mulai memohon untuk pengampunan.

Apakah anda masih merasa bahwa keadilan belum terpenuhi akibat dosa saya kepada anda? Saya rasa tidak. Mengapa? Karena apa yang lebih buruk dibandingkan kehilangan seseorang yang paling saya cintai di tangan saya sendiri? Tidak ada hal yang lebih buruk. Meminta lebih atas hal itu berarti tidak berperasaan dan begitu kejam.

Pada kayu salib, Allah menempatkan diriNya antara kita dengan orang-orang yang pernah kita sakiti. Di dalam kasih yang begitu melimpah, Dia mengambil seluruh akibat dari dosa kita. Dia menderita penghukuman yang kita terima.

Tetapi hal itu tidak berarti bahwa tidak ada konsekuensi dosa yang kita terima. Kita menghadapi konsekuensi dosa yakni kematian Pencipta kita dan Seseorang yang begitu mengasihi kita. Ketika memahami hal inilah kita berlutut di dalam pengakuan dosa dan memohon pengampunan. Karena Yesus bangkit, dan karena kematian tidak dapat menahan Dia (Kisah Para Rasul 2:24), pengampunan dosa atas kita bukan mengarah kepada rasa bersalah akibat kematian Seseorang yang kita kasihi, tetapi menjadi sebuah sukacita karena menerima Seseorang itu bangkit dari kematianNya.

Keberatan bahwa kematian Yesus karena dosa kita adalah sesuatu yang tidak masuk akal berdasarkan pada asumsi bahwa kematian Yesus tidak berhubungan dengan kita, tidak relevan pada dosa kita, hanya seorang yang tidak kita kenal yang akhirnya dihukum karena kita. Tetapi hal itu benar hanya apabila Yesus secara fakta adalah seorang asing bagi kita. Jika kita tidak peduli kepada Yesus, jika kita tidak tertarik untuk mengikuti Dia, maka kematianNya adalah kematian dari seorang asing, seseorang ang tidak kita tahu ternyata dihukum karena tindakan kita. Kemudian keadilan harus dijalankan di dalam kehidupan selanjutnya.

Tetapi ketika kita mencintai Yesus, ketika kita menempatkan iman kita kepadaNya dan memilih untuk mengikut Dia, maka kita berdiri di bawah kaki salibNya dan melihat kematian dari seseorang yang paling kita cintai akibat dari dosa kita, dan konsekuensi harus tetap dijalankan. Salib adalah segalanya tetapi; dan hal itu relevan atas kehidupan kita. Keadilan Allah terpuaskan.

Yesus mengambil konsekuensi yang membawa kita kepada kematian sehingga kita dapat mengambil konsekuensi yang memimpin kita kepada pertobatan, dan kepada kebebasan dan hidup yang kekal.

Itu hanyalah sebagian analogi yang tidak sempurna mengenai apa yang Yesus kerjakan di kayu salib. Tidak ada analogi yang mampu untuk menggambarkannya secara sempurna. Tetapi saya melihat analogi ini dapat membantu kita untuk memperlihatkan apa yang sebenarnya terjadi pada pernyataan bahwa salib menghancurkan keadilan Allah, yang mana ternyata faktanya adalah kebalikannya.

Salib adalah tempat dimana Allah protes bahwa bukan sesuatu yang baik manakala kita melihat orang-orang disiksa, kecanduan, dan diperbudak, bahwa selalu ada konsekuensi serius dari dosa yang mereka perbuat. Tetapi salib juga merupakan tempat dimana Allah berkata bahwa Dia tidak dapat lagi melihat segala yang Ia bawa ke dunia ini kehilangan nyawanya untuk menerima konsekuensinya. Maka Dia kehilangan nyawanya dan dengan melakukan itu memberikan kepada setiap orang kehidupan yang tidak akan pernah lenyap.

Allah melihat dari sorga hidup kita sebagai seorang orang tua dan melihat anak-anakNya berkelahi satu sama lain – membunuh satu dengan yang lain. Dan Dia melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang tua. Dia mengorbankan diriNya sendiri di antara mereka. Dia menerima pukulan, dan Dia menderita kematian, agar mereka dapat hidup.

Lebih menakjubkan lagi adalah fakta bahwa Allah merespon dengan cara demikian sekalipun kita bukan hanya bertengkar satu sama lain, kita bertengkar dengan Allah sendiri. Setiap kali kita melemparkan pukulan-baik secara nyata atau dengan kata-kata-kita melawan Allah juga, karena ketika kita memukul seseorang yang Ia kasihi. Pertengkaran kita juga melawan Allah secara langsung, karena seringkali kita memilih untuk menjadi Allah atas diri kita sendiri-ketika kita tahu apa yang Tuhan mau, ketika kita tahu bahwa Dia tahu yang terbaik, dan kita menyangkalNya. Pengkhianantan yang terdalam adalah dosa melawan Pribadi yang begitu mangasihi anda. Sekalipun berkali kali kita menyangkalNya, pada salib itu DIa memilih kita. Itu adalah bentuk kasihNya yang paling sempurna.

Keadilan menuntut keputusan. Kasih menuntut pengampunan. Hanya pada salib Yesus kita menemukan keduanya. Hanya pada salib kita menemukan kasih dan keadilan yang sempurna di dalam titik temu yang sempurna. Itulah mengapa Yesus datang. Itulah mengapa Yesus siap untuk mati.



… Untuk Rasa Malu Kita


Yesus mati untuk penderitaan kita; Dia mati untuk dosa kita; dan akhirnya; Dia mati untuk rasa malu kita.

Ketika saya merasa bahwa saya sudah melewati urutan terburuk dari daftar “40 Hal yang Tidak Kamu Ketahui Tentang Jo”, dia kembali mencengangkan saya dengan #37. Hanya ada 4 kata, tetapi 4 kata yang tidak akan anda ingin dengarkan dari seseorang yang begitu penting bagi anda:

“Saya adalah fans Star-Trek”

Benar, Jo menyukai Star Trek.

DIa begitu hebat di dalam menyembunyikan fakta yang memalukan ini dari saya di dalam masa berpacaran kami, dan saya masih berpikir bahwa satu-satunya alasan dia berkata kepada saya adalah karena film Star Trek yang baru baru saja dirilis dan dia harus mengatakan hal itu agar saya mengajak dia.

Jadi Jo membacakan #37 kepada saya, dan saya dapat membayangkan bahwa ketika dia mengatakan hal itu, saya akan kurang memperhatikannya. Orang lain menghina dia ketika dia masih muda, karena itulah dia berpikir dia punya alasan untuk malu.

Kami berjanj untuk bertemu di bioskop, dan ketika Jo sampai disana, saya berdiri di luar dan dengan bangga saya menggunakan T-shirt bergambar wajah Mr. Spock yang berkata “Live long and prosper.” Dan saya memegang sebuah poster Star Trek yang besar yang mana dapat dibaca oleh orang-orang sekitar “To Boldly Go Where No Man Has Gone Before”

Saat Jo menghampiri saya dia mulai meneteskan air mata, dan dia melingkarkan tangannya pada tubuh saya untuk memberikan saya sebuah pelukan. Saat itulah saya mulai memahami bahwa ketika saya memakai atribut yang membuat Jo malu, hal itu membebaskan dia dari rasa malu itu. Kemudian saya berkata kepadanya: “Saya tidak akan pernah merasa malu atas dirimu, jadi jangan pernah kamu merasa malu tentang dirimu sendiri”

Allah memakai sebuah t-shirt yang lucu dan poster yang bodoh untuk mengajar saya dan Jo sesuatu yang begitu signifikan tentang Dia. Yesus mati bukan hanya untuk dosa kita; Dia juga mati untuk rasa malu kita.

Saya tidak tahu bagaimana dengan anda, tetapi saya tahu bahwa bagi saya dan Jo, beberapa kenangan kami yang menyakitkan membuat kami menjadi malu atas kehidupan kami. Mungkin ada satu waktu di dalam kehidupan kami dimana kami dihina, tidak dipedulikan, atau diperlakukan seperti sebuah benda, bukan manusia. Terkadang hanya beberapa kata, dan hal itu dapat mempengaruhi kita selama bertahun-tahun – kata-kata seperti “kamu jelek”, “kamu kurang baik,” “kamu tidak layak untuk menghabiskan waktuku.”

Telanjang di salib, Yesus mengambil kepada diriNya sendiri setiap hinaan yang kita terima, setiap kita diludahi, setiap kali kita gagal. Dia turut hadir manakala kita menerima umpatan, kita ditelanangi, kita tidak dipedulikan, kita diremehkan. Ketika Dia berada di dalam pribadiNya sebagai manusia, Yesus secara literal memakai semua itu di dalam diriNya.  

Beberapa orang menolak pendapat mengenai seorang yang kudus akhirnya mati di dalam kematian yang memalukan. Mereka benar. Kematian itu penuh dengan hal-hal memalukan milik kita. Yesus memakai hal yang memalukan milik kita, sehingga seperti yang tertulis di dalam alkitab: "Barangsiapa yang percaya kepada Dia, tidak akan dipermalukan." (Roma 10:11; Mazmur 25:3). Dan lagi:

“Janganlah takut, sebab engkau tidak akan mendapat malu, dan janganlah merasa malu, sebab engkau tidak akan tersipu-sipu. Sebab engkau akan melupakan malu keremajaanmu… Sebagai ganti bahwa kamu mendapat malu dua kali lipat, dan sebagai ganti noda dan ludah yang menjadi bagianmu, kamu akan mendapat warisan dua kali lipat di negerimu dan sukacita abadi akan menjadi kepunyaanmu.”
(Yesaya 54:4; 61:7)

Di salib itulah Yesus menyatakan bahwa ketika anda percaya kepadaNya, anda tidak perlu malu mengenai segala hal yang telah anda lewati, karena Ia sudah pernah menghadapinya juga. Dia tergantung lemah dan ditolak di dalam sebuah cara yang begitu memalukan sehingga kita tidak perlu lagi hidup di dalam rasa malu itu.

Salib adalah proklamasi publik Allah kepada seluruh dunia yang mau mengatakan bahwa anda dikasihi dan selamanya diinginkan – seperti Paulus menyatakannya, diciptakan untuk menjadi poiema Allah, puisi kepunyaan Allah, masterpiece Allah. Eleonore Stumps menyimpulkannya demikian:

Tidak peduli dengan standar apa seseorang dipermalukan, standar itu dikuasai oleh standar yang ditegakkan dengan relasi kasih dengan Allah… Ketika kita diingini oleh pribadi yang maha agung dan maha baik yang ada, seorang manusia diinginkan oleh standar yang paling sempurna. Dengan standar inilah seluruh rasa malu harus tunduk.


Setiap standar itu harus tunduk karena standar Allah – standar yang paling sempurna – mempermalukan seluruh standar yang ada di dunia yang mengancam untuk mempermalukan kita. Melalui ukuran standar Allah – standar yang dimenangkan Yesus di kayu salib, Allah melepas rasa malu kita, dan Dia memakaikan kepada kita rasa penerimaan, percaya diri, kehormatan, dan menjadikan kita seorang ahli waris. 

Friday, April 3, 2015

Titik Jenuh Pelayanan Kristen

Setiap orang selalu dapat mengalami apa yang disebut sebagai kejenuhan. Tak terkecuali orang-orang Kristen, apalagi yang sudah terlibat di dalam sebuah pelayanan yang sudah cukup lama. Terlebih lagi kalau ternyata pelayanan yang dikerjakan itu hasilnya “nihil”, dalam arti ternyata pelayanan yang kita kerjakan tidak berhasil (tentu saja tidak berhasil disini dalam arti duniawi). Kita berusaha untuk menyanyi dengan lebih baik, tetapi ternyata suara kita masih di bawah standar. Kita mencoba untuk menginjili orang di sekitar kita, ternyata nggak ada satu pun orang yang akhirnya percaya. Kita berusaha membuat sebuah acara yang menarik, tetapi ternyata acara itupun hanya dihadiri oleh segelintir orang.

Selalu banyak alasan bagi kita untuk akhirnya kita memutuskan “resign” atau “quit” dari pelayanan kita, alasannya adalah karena ternyata pelayanan kita sama sekali tidak memberikan sebuah berkat bagi orang yang kita layani. Konsep pelayanan kita akhirnya tergantikan dengan suatu anggapan bahwa ternyata pelayanan kita nggak jauh beda dengan pekerjaan-pekerjaan kita di dunia. Kita beranggapan dan kita berasumsi bahwa ternyata pelayanan kita gagal manakala tidak ada tepuk tangan, tidak ada pujian dari orang lain, kita jadi terus menerus melayani namun hanya sebagai “pemain cadangan”, dan begitu banyak anggapan lain.

Ketika kita mulai merasa berada pada titik jenuh, kita perlu kembali memandang pelayanan sebagai suatu kesempatan. Cukup belajar memandang kembali apa yang dikerjakan Allah atas kehidupan kita. Ketika rasa jenuh itu tiba, kita perlu belajar untuk introspeksi diri kita. Kita perlu belajar untuk meninjau kembali, sebenarnya apa makna pelayanan kita. Kita perlu belajar mendefinisikan kembali sebenarnya apa arti pelayanan bagi kita, dan apa manfaatnya.

Seorang teman saya adalah seseorang yang pernah bergelut di dalam dunia pelayanan mahasiswa selama lebih dari 10 tahun. Ia adalah seseorang yang bisa dinilai tekun di dalam pelayanan yang ia kerjakan. Bahkan sampai sekarang, badai silih berganti mengancam pelayanan itu sampai akhirnya saat ini pelayanan yang ia kerjakan diacak-acak oleh pihak yang lebih berkuasa. Namun di tengah dia menjalaninya, rasa jenuh yang ia alami terhapus dengan melihat kembali tujuan pelayanannya. Ia belajar untuk bertahan karena tahu bahwa pelayanan yang ia bentuk (di dalam anugrah Tuhan tentunya) mendatangkan satu sukacita tersendiri. Dia banyak berubah karena dia belajar untuk setia melayani di tempat itu.

Ketika aku menanyakan sebenarnya apa yang membuat dia dapat terus melaju, jawabannya selalu sama: bahwa ketika kita mengerjakan sesuatu buat Tuhan, sebenarnya bukan pribadi orang lain yang kita ubah, namun pribadi kita mendapatkan benefit yang jauh lebih besar. Loh? Kok bisa? Ya karena kita tahu bahwa ternyata kita sedang dpercaya untuk mengerjakan rencana besar Allah melalui kehidupan pelayanan kita.

Kejenuhan itu suatu saat – mau tidak mau – akan datang dengan sendirinya. Sadar atau tidak kita akan sampai pada titik jenuh di dalam kita melayani. Bidang apapun pelayanan kita entah acara kecil atau besar, selalu akan menyampaikan kita kepada sebuah kejenuhan. Sampai pada titik jenuh itulah kita dituntut untuk memilih : mau lanjut atau mau berhenti? Kalau mau lanjut pun pilihannya ada dua, apakah kita mau (1) mengerjakannya dengan semaksimal mungkin sesuai tugas panggilan Allah atas kehidupan kita, atau (2) mengerjakannya dengan asal-asalan?

Kita mengingat kembali apa sebenarnya yang dikerjakan Allah manakala Ia datang ke dunia. Bukankah tugasnya adalah untuk melayani dan memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang?[i] Oke kalau kita menyadari hal ini, masih berhakkah sebenarnya kita untuk jenuh? Kristus pun mungkin dalam pandangan saya juga jenuh. Bapa juga jenuh. Kalau kita membaca di sepanjang perjanjian lama dan perjanjian baru, ada satu kesamaan disana: Umat Israel adalah bangsa yang begitu bebal, bangsa yang begitu tegar tengkuk. Berkali-kali Allah memperingatkan mereka untuk menjadi sebuah bangsa yang taat, tetapi hasilnya? Tetap saja Israel tetap menjadi sebuah bangsa yang mengkhianati Allah.

Kita sering geleng-geleng saat kita melihat tingkah bangsa Israel. Sama juga mungkin kalau kita melihat orang-orang yang kita layani. Itu membuat kita jenuh dan akhirnya kita meninggalkan pelayanan. Tetapi sepanjang alkitab kita bisa melihat bagaimana penyertaan Tuhan atas bangsa Israel dengan kasih setiaNya. Kristus di dalam pelayananNya di dunia, Ia tahu betul sebenarnya apa yang harus Ia kerjakan. Hal inilah yang akhirnya menguatkan Dia untuk menjadi seorang pribadi yang penuh dengan kesetiaan di tengah ketidak setiaan bangsa Israel.

Inti dari pelayanan bukanlah tentang hasil dari pelayanan yang kita kerjakan. Allah nggak pernah menilai keberhasilan sebuah pelayanan dengan mengukur hasilnya. Ia melihat bagaimana perubahan hati dan sikap seseorang di dalam karya layanan yang ia kerjakan. Perlu kedewasaan rohani dari dalam diri kita untuk dapat memahami karyaNya itu. Nah sekarang pertanyaan yang diajukan bagi setiap kita adalah sudahkah Allah mengubahkan hati kita di dalam pelayanan yang kita kerjakan? Sudahkah kita belajar untuk melihat bahwa ketika Allah mau mengerjakan karyaNya di dunia ini, Ia tidak sembarangan memilih saudara dan saya?

Pelayanan itu telah ditentukan sebelumnya oleh Allah. Ketika kita jenuh mari: (1) ingat kembali akan karyaNya yang terbesar di kayu salib, (2) mengingat bahwa ada rencana besar Allah yang mau dinyatakan Allah melalui kehidupan pelayanan kita, dan (3) belajar untuk punya relasi yang intim dengan Allah. Kalau ketiga hal ini kita terus ingat, ketika kita jenuh, Allah sedang ingin menunjukkan keada kita bahwa pelayanan ini bukan tentang kita. Pelayanan ini bukan karena kuat dan gagah kita. Pelayanan ini adalah tentang Dia, yang telah memberikan nyawaNya bagi kita, yang telah mengubahkan kita, dan yang telah menyediakan kepada kita setiap pekerjaan baik yang harus kita kerjakan selama kita berada di dunia ini.

Soli Deo Gloria





[i] Markus 10:45