Seketika aku merenungkan pada
hari minggu, 17 April 2015 bagaimana cara kita bisa merasa puas terhadap
perlakuan atas pasangan kita.
Sebentar, mungkin aku ceritakan
kisah sebelumnya. Tanggal 14-16 Mei 2015 aku mengikuti Temu Raya Pemuda GKI
2015 di Surabaya. Event yang mempertemukan seluruh GKI se Indonesia. Banyak
teman baru yang aku dapatkan disana.
Tentu saja di dalam event ini aku
bertemu dengan sang kekasih hati. Ya, pacarku, Jessica, juga mengikuti event
ini. Dengan berbagai kesibukannya di tugas akhir dan tanggung jawabnya sebagai
ketua komisi pemuda GKI Kutisari Indah, tentu saja ada banyak sekali tanggung
jawab di dalam TRP ini pun dia juga mengkoordinasikan banyak hal.
Kekecewaan sempat terlintas
ketika di dalam jiwa ada satu perasaan kurang diperhatikan. Saat aku berusaha
untuk mulai berkata-kata padanya, mulai membuka pembicaraan, tetapi akhirnya
dia selalu memainkan smartphone-nya. Jadi banyak hal yang mungkin nggak sempat
kami bicarakan. Aku merasa cemburu dan kurang diperhatikan saat itu. Sempat aku
intip ternyata dia sedang berkoordinasi dengan teman-temannya di GKI Kutisari.
Jadi sempat juga aku merasa agak kecewa. Sambutan apa yang telah ia siapkan
ketika sang kekasihnya ini datang dari Bogor?
Seluruh rangkaian acara TRP
berakhir, dan sampailah aku pada hari Sabtu malam. Aku hanya berharap
kalau-kalau dia mulai belajar meletakkan smartphone nya dan menyediakan telinga
serta hatinya untuk kami dapat bercerita satu dengan yang lain. Aku sempat
berdoa kepada Tuhan di hari Sabtu sorenya, di tengah aku pusing juga karena
harus mengatur transportasi untuk teman-teman dari GKI Pengadilan. Berdoa untuk
apa? Yah setidaknya ia mencurahkan sedikit perhatiannya buat aku.
Titik balik mungkin aku merasakan
ketika pada hari minggu kami bersama. Kami beribadah di GKI Kutisari, dan
menyadari kalau waktu pertemuan kami nggak bakal lama. Selain ada berbagai
kesibukan, kami pun sempat menyempatkan diri untuk makan. Diluar dugaan di
tengah kesibukannya dia menyempatkan diri untuk menemaniku makan siang.
Kami pun berpamitan saat itu dan
ketika aku di pesawat, aku mencoba mengevaluasi apa yang sebenarnya terjadi di
dalam kehidupan kami selama 4 hari itu. Ternyata aku menemukan ada sesuatu yang
begitu luar biasa dengan apa yang Tuhan kerjakan atas kehidupan kami.
Aku melihat bagaimana Allah
bekerja melalui kehidupan Jessica. Alih-alih aku berharap untuk dia dapat
menemani aku sepanjang hari (dan dia melakukan hal tersebut dengan caranya!)
mengapa tidak bersyukur dengan caranya menemani aku? Mengapa aku begitu egois
di dalam hubungan kami, tidak melihat bahwa di dalam berbagai kesibukan itu,
dia masih sempat menemani aku. Ia selalu berada di sisiku dan aku tidak pernah
membayangkannya, betapa sibuknya dia dan betapa dia belajar untuk mengasihi aku
di tengah kesibukannya.
Sepanjang perjalanan di pesawat
aku cukup terharu mengenai bagaimana Allah mengerjakan begitu banyak hal atas
kehidupan kami. Sorenya aku mencoba untuk mengucapkan betapa bersyukurnya aku
kepada Allah, karena dia sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Aku
bersyukur buat pertemuan kita – dan terlebih bagaimana caranya memberikan
waktunya, tenaganya, segala kesibukan untuk dapat bertemu dengan aku dan
berbagi denganku di sela-sela waktu kosong saat TRP.
Ketika dia berkata bahwa dia
takut kalau justru aku yang kecewa, aku benar-benar ngerasa bahwa aku adalah
pribadi yang begitu egois. Ya donk, aku egois karena aku tidak tahu bagaimana
dia bergumul dengan segala kesibukannya, dan aku sadar benar bahwa aku belum
benar-benar bisa mencapai suatu tingkatan dimana aku bisa memberi yang terbaik.
Aku masih harus belajar bahwa cinta itu bukan sekedar kamu bisa menerima segala
hal yang baik, tetapi apakah kita bisa kasih yang terbaik buat pasangan kita.
Entah itu waktu kita, tenaga
kita, perhatian kita, apa sih yang mau kita berikan buat pasangan kita? Ketika
Yesus mencintai kita, Ia telah memberikan segalanya. Ia telah memberikan kita
hidupnya. Tetapi menariknya ketika berbicara bagaimana hubungan pernikahan, ia
menggambarkannya seperti hubungan Kristus dengan jemaat. Kristus yang
memberikan segalanya, sama seperti seorang suami / istri yang memberikan
segalanya.
Memang sih kami belum mencapai
pada tahapan pernikahan, tetapi sebagai orang Kristen, yang sama-sama bertumbuh
di dalam Tuhan, bukankah itu menjadi sebuah hal yang harus kita kerjakan bukan?
Maukah kita mulai saat ini belajar mengasihi terlebih dahulu sebelum kita
dikasihi? Maukah kita belajar untuk memberikan yang terbaik buat pasangan kita
atau rekan kita, menyadari bahwa segalanya adalah dari Allah?
All for His Glory!
ReplyDelete