Pernahkah membayangkan bahwa ternyata
seluruh hidup kita adalah tentang Allah? Ketika kita makan, ketika kita tidur,
ketika kita mengerjakan aktivitas kita, ternyata Allah turut bekerja.
Manusia di tengah berbagai kecanggihan
teknologi terkini mulai kehilangan kemanusiaannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
kebanggaan seseorang saat ini adalah ketika dia punya gadget terbaru. Akhirnya
fokus hidupnya hanyalah untuk mengejar hal tersebut.
Berbagai hal dan penemuan baru membuat
kita semakin excited dan mungkin
akhirnya kita melupakan berkat-berkat kecil ataupun besar yang Tuhan sediakan
atas kehidupan kita. Kita menjadi pribadi-pribadi yang cepat sekali mengeluh
manakala tidak mendapatkan hal yang kita inginkan. Kita akhirnya menjadi
pribadi-pribadi yang begitu apatis,
kita jadi pribadi yang egois, kita selalu ingin lebih dan lebih.
Menikmati anugrah Allah di dalam
kehidupan bukan berarti bahwa Allah harus selalu memberikan segala hal yang
kita minta. Itu sih namanya rakus. Oke
kita melihat kembali bahwa ternyata sifat rakus yang dimiliki manusia ternyata
sudah ada dari dulu. Kita melihat dihancurkannya menara Babel. Tetapi yang
paling dapat kita pelajari dari Perjanjian Lama sendiri adalah bagaimana kisah
perjalanan bangsa Israel sekeluar mereka dari tanah Mesir.
Pernah membayangkan berjalan selama 40
tahun? 40 tahun yang dirasakan bangsa Israel dengan begitu lama dan akhirnya
dari generasi selama 40 tahun itu, hanya 2 orang dari generasi eksodus itu yang
masuk ke tanah perjanjian. Siapa mereka? Kaleb bin Yefune, dari suku Yehuda,
dan Yosua bin Nun, yang dipercaya sebagai suksesor dari Musa.
Selama 40 tahun perjalanan bangsa
Israel keluar dari Mesir, kita melihat bagaimana pergumulan bangsa itu dengan
luar biasa. Tetapi di tengah pergumulan itu ada berkat dan kasih Allah Yehova
yang begitu besar di dalam kehidupan mereka. Sekeluar mereka dari Mesir, mereka
diberikan tiang awan dan tiang api. Kemudian ketika kelaparan, mereka
mendapatkan manna. Ketika mereka haus, Allah menyediakan air. Mereka bosan
makan manna, mereka diberikan akanan makanan lain yakni burung.
Kurang apa sih Allah di dalam
kehidupan Israel? Kelihatannya Allah ialah Allah yang begitu kejam, sampai
memutar-mutar bangsa itu hingga 40 tahun. Tetapi selama 40 tahun itulah
ternyata semakin kelihatan seperti apa sikap bangsa Israel terhadap penyertaan
Tuhan. Mereka tetap menjadi bangsa yang tegar tengkuk. Mereka tetap ingin
kembali ke Mesir. Mereka terngiang oleh memori lama mereka. Mereka gagal
melihat bagaimana karya Allah di dalam kehidupan mereka.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan masa
kini. Memaknai hidup yang berasal dari Allah ternyata merupakan hal yang begitu
sulit kita lakukan sebagai seorang Kristen. Bersyukur menjadi suatu hal yang
hampir tidak mungkin karena ternyata rasa syukur kita dinilai dari materi. Ketika
gadget kita kalah canggih dengan
orang lain, kita menggerutu. Ketika kita makan di restoran mahal yang harganya
mahal, kita protes. Ketika kita mendapatkan gaji bulanan yang sudah cukup
besar, kita masih saja mengeluh karena gaji itu tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup kita.
Mulai terlihat kan persamaan antara kita dengan bangsa Israel? Alih-alih kita
bersyukur atas segala hal yang sudah Dia sediakan di dalam kehidupan kita,
ternyata kita jauh lebih banyak mengeluh atas kondisi yang kita hadapi. Kita
selalu tidak puas dan akhirnya hal itu membuat kita tidak bisa “merayakan”
anugrah yang Tuhan berikan atas kehidupan kita. Padahal anugrah yang paling
sederhana pun yang dapat kita rasakan: ketika kita masih bisa bernafas; itupun
jarang kita syukuri.
Ketika kita mengetahui dan memaknai
anugrah Allah, kita dapat menikmatinya dengan suatu sukacita surgawi. Berkat
Tuhan itu selalu “more than meets the eye”,
yang berarti kita tidak pernah bisa melihat kalau kita tidak belajar untuk
hening sejenak, diam dan memaknai betapa besar kasih Allah di dalam kehidupan
kita. Kebermaknaan hidup didapatkan ketika kita belajar untuk melihat karya
Allah yang bahkan tidak dapat kita lihat secara fisik. Ketika kita tidak dapat
melihat berbagai karyaNya, kita perlu belajar untuk meminta dan memaknai
anugrah – bahkan sekecil apapun anugrah itu.
Sama seperti kita memaknai lagu, kita
bisa belajar dari memaknai anugrah Allah di dalam kehidupan kita. Maksudnya
seperti apa? Teman-teman, kalau kita lihat dari lagu-lagu hymn yang ada di buku
lagu NKB, PKJ, dan KJ, kesan apa yang teman-teman dapatkan? Jadul? Ya itu
jawaban yang paling sering dinyatakan. Tetapi kalau teman-teman melihat ada
banyak lagu yang ternyata justru maknanya begitu dalam, begitu indah, begitu
menyentuh hati kalau kita memaknainya. Bayangkan contohnya lagu “Bila Kulihat
Bintang Gemerlapan”, yang mengungkapkan keagungan karya Allah dan ketakjuban
penulis. Pernyataan iman atas keindahan ciptaan yang menggambarkan karya Allah,
itulah yang dimaknai penulis lagu ini.
Ungkapan syukur itu akan selalu
menghasilkan sesuatu yang positif dalam kehidupan kita. Anugrah itu tersedia
atas kehidupan kita. Berbagai proses baik itu menyenangkan ataupun menyakitkan,
semuanya sudah dirancang oleh Allah untuk menjadikan kita pribadi-pribadi yang
mampu melihat “lebih dari yang dilihat mata”. Artinya kita belajar bukan hanya
melihat, tetapi mengapresiasi karya Allah. Mengapresiasi kehidupan yang sudah
Ia anugrahkan dan akhirnya kita menyatakan rasa syukur itu melalui kehidupan
kita.
Akhirnya ungkapan syukur itu akan
menjadi sesuatu yang dapat memberkati banyak orang. Seseorang yang menyadari
akan anugrah Allah akan begitu menikmati kehidupan dekat denganNya. Ia akan
menikmati momen-momen dimana Kristus ada di dalam kehidupannya, menuntun dia
dan terus membuat dia menjadi seseorang yang selalu mengucap syukur.
Saya menutup perenungan ini dengan
sebuah kisah dari Joni Earackson Tada. Dia adalah seorang wanita yang begitu
cantik. Dia pintar, punya begitu banyak bakat, dan masa depannya terasa begitu
cemerlang. Suatu hari, Joni pergi untuk berolahraga di laut. Musibah terjadi di
dalam kehidupannya. Joni yang punya begitu banyak cita-cita ternyata tidak
sengaja menabrak sebuah karang. Hal ini membuat seluruh badannya dari leher ke
bawah mengalami lumpuh.
Dokter pun sudah mengkonfirmasi
mengenai kehidupannya. Ia akan mengalami kelumpuhan seumur hidup. Respons Joni?
Ia marah pada awalnya, tetapi ia belajar untuk menenangkan diri. Ia akhirnya
belajar untuk melihat lebih dari yang dilihat manusia. Ia melihat Allah
memanggil Dia untuk berkarya bagi kerajaanNya. Apa itu? Ia akhirnya menjadi
seorang penulis buku, di tengah berbagai keterbatasannya. Ia menjadi seorang
pengkotbah dan ia mulai belajar menggunakan mulutnya, matanya, seluruh hal yang
masih dapat ia gunakan untuk berkarya di dalam kehidupan yang Tuhan percayakan
dalam kehidupannya.
Kalau kehidupan kita ternyata masih
belum ada di titik yang terendah, atau mungkin teman-teman sedang mengalami
hal-hal yang membuat teman-teman gagal untuk melihat karya Tuhan, sekarang
saatnya kita belajar untuk melihat lebih dari yang dilihat mata. Ketika Tuhan
memberikan berbagai proses hidup, semuanya adalah untuk kebaikan kita. Semuanya
adalah untuk membentuk kita menjadi pribadi-pribadi yang kuat untuk menghadapi
berbagai proses kedepan untuk kita dapat hidup. Pertanyaannya, maukah
teman-teman belajar memaknainya?
No comments:
Post a Comment