Total Pageviews

Sunday, March 15, 2015

Menikmati Anugrah Allah

Pernahkah membayangkan bahwa ternyata seluruh hidup kita adalah tentang Allah? Ketika kita makan, ketika kita tidur, ketika kita mengerjakan aktivitas kita, ternyata Allah turut bekerja.

Manusia di tengah berbagai kecanggihan teknologi terkini mulai kehilangan kemanusiaannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanggaan seseorang saat ini adalah ketika dia punya gadget terbaru. Akhirnya fokus hidupnya hanyalah untuk mengejar hal tersebut.

Berbagai hal dan penemuan baru membuat kita semakin excited dan mungkin akhirnya kita melupakan berkat-berkat kecil ataupun besar yang Tuhan sediakan atas kehidupan kita. Kita menjadi pribadi-pribadi yang cepat sekali mengeluh manakala tidak mendapatkan hal yang kita inginkan. Kita akhirnya menjadi pribadi-pribadi yang begitu apatis, kita jadi pribadi yang egois, kita selalu ingin lebih dan lebih.

Menikmati anugrah Allah di dalam kehidupan bukan berarti bahwa Allah harus selalu memberikan segala hal yang kita minta. Itu sih namanya rakus. Oke kita melihat kembali bahwa ternyata sifat rakus yang dimiliki manusia ternyata sudah ada dari dulu. Kita melihat dihancurkannya menara Babel. Tetapi yang paling dapat kita pelajari dari Perjanjian Lama sendiri adalah bagaimana kisah perjalanan bangsa Israel sekeluar mereka dari tanah Mesir.

Pernah membayangkan berjalan selama 40 tahun? 40 tahun yang dirasakan bangsa Israel dengan begitu lama dan akhirnya dari generasi selama 40 tahun itu, hanya 2 orang dari generasi eksodus itu yang masuk ke tanah perjanjian. Siapa mereka? Kaleb bin Yefune, dari suku Yehuda, dan Yosua bin Nun, yang dipercaya sebagai suksesor dari Musa.

Selama 40 tahun perjalanan bangsa Israel keluar dari Mesir, kita melihat bagaimana pergumulan bangsa itu dengan luar biasa. Tetapi di tengah pergumulan itu ada berkat dan kasih Allah Yehova yang begitu besar di dalam kehidupan mereka. Sekeluar mereka dari Mesir, mereka diberikan tiang awan dan tiang api. Kemudian ketika kelaparan, mereka mendapatkan manna. Ketika mereka haus, Allah menyediakan air. Mereka bosan makan manna, mereka diberikan akanan makanan lain yakni burung.

Kurang apa sih Allah di dalam kehidupan Israel? Kelihatannya Allah ialah Allah yang begitu kejam, sampai memutar-mutar bangsa itu hingga 40 tahun. Tetapi selama 40 tahun itulah ternyata semakin kelihatan seperti apa sikap bangsa Israel terhadap penyertaan Tuhan. Mereka tetap menjadi bangsa yang tegar tengkuk. Mereka tetap ingin kembali ke Mesir. Mereka terngiang oleh memori lama mereka. Mereka gagal melihat bagaimana karya Allah di dalam kehidupan mereka.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan masa kini. Memaknai hidup yang berasal dari Allah ternyata merupakan hal yang begitu sulit kita lakukan sebagai seorang Kristen. Bersyukur menjadi suatu hal yang hampir tidak mungkin karena ternyata rasa syukur kita dinilai dari materi. Ketika gadget kita kalah canggih dengan orang lain, kita menggerutu. Ketika kita makan di restoran mahal yang harganya mahal, kita protes. Ketika kita mendapatkan gaji bulanan yang sudah cukup besar, kita masih saja mengeluh karena gaji itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.

Mulai terlihat kan persamaan antara kita dengan bangsa Israel? Alih-alih kita bersyukur atas segala hal yang sudah Dia sediakan di dalam kehidupan kita, ternyata kita jauh lebih banyak mengeluh atas kondisi yang kita hadapi. Kita selalu tidak puas dan akhirnya hal itu membuat kita tidak bisa “merayakan” anugrah yang Tuhan berikan atas kehidupan kita. Padahal anugrah yang paling sederhana pun yang dapat kita rasakan: ketika kita masih bisa bernafas; itupun jarang kita syukuri.

Ketika kita mengetahui dan memaknai anugrah Allah, kita dapat menikmatinya dengan suatu sukacita surgawi. Berkat Tuhan itu selalu “more than meets the eye”, yang berarti kita tidak pernah bisa melihat kalau kita tidak belajar untuk hening sejenak, diam dan memaknai betapa besar kasih Allah di dalam kehidupan kita. Kebermaknaan hidup didapatkan ketika kita belajar untuk melihat karya Allah yang bahkan tidak dapat kita lihat secara fisik. Ketika kita tidak dapat melihat berbagai karyaNya, kita perlu belajar untuk meminta dan memaknai anugrah – bahkan sekecil apapun anugrah itu.

Sama seperti kita memaknai lagu, kita bisa belajar dari memaknai anugrah Allah di dalam kehidupan kita. Maksudnya seperti apa? Teman-teman, kalau kita lihat dari lagu-lagu hymn yang ada di buku lagu NKB, PKJ, dan KJ, kesan apa yang teman-teman dapatkan? Jadul? Ya itu jawaban yang paling sering dinyatakan. Tetapi kalau teman-teman melihat ada banyak lagu yang ternyata justru maknanya begitu dalam, begitu indah, begitu menyentuh hati kalau kita memaknainya. Bayangkan contohnya lagu “Bila Kulihat Bintang Gemerlapan”, yang mengungkapkan keagungan karya Allah dan ketakjuban penulis. Pernyataan iman atas keindahan ciptaan yang menggambarkan karya Allah, itulah yang dimaknai penulis lagu ini.

Ungkapan syukur itu akan selalu menghasilkan sesuatu yang positif dalam kehidupan kita. Anugrah itu tersedia atas kehidupan kita. Berbagai proses baik itu menyenangkan ataupun menyakitkan, semuanya sudah dirancang oleh Allah untuk menjadikan kita pribadi-pribadi yang mampu melihat “lebih dari yang dilihat mata”. Artinya kita belajar bukan hanya melihat, tetapi mengapresiasi karya Allah. Mengapresiasi kehidupan yang sudah Ia anugrahkan dan akhirnya kita menyatakan rasa syukur itu melalui kehidupan kita.

Akhirnya ungkapan syukur itu akan menjadi sesuatu yang dapat memberkati banyak orang. Seseorang yang menyadari akan anugrah Allah akan begitu menikmati kehidupan dekat denganNya. Ia akan menikmati momen-momen dimana Kristus ada di dalam kehidupannya, menuntun dia dan terus membuat dia menjadi seseorang yang selalu mengucap syukur.

Saya menutup perenungan ini dengan sebuah kisah dari Joni Earackson Tada. Dia adalah seorang wanita yang begitu cantik. Dia pintar, punya begitu banyak bakat, dan masa depannya terasa begitu cemerlang. Suatu hari, Joni pergi untuk berolahraga di laut. Musibah terjadi di dalam kehidupannya. Joni yang punya begitu banyak cita-cita ternyata tidak sengaja menabrak sebuah karang. Hal ini membuat seluruh badannya dari leher ke bawah mengalami lumpuh.

Dokter pun sudah mengkonfirmasi mengenai kehidupannya. Ia akan mengalami kelumpuhan seumur hidup. Respons Joni? Ia marah pada awalnya, tetapi ia belajar untuk menenangkan diri. Ia akhirnya belajar untuk melihat lebih dari yang dilihat manusia. Ia melihat Allah memanggil Dia untuk berkarya bagi kerajaanNya. Apa itu? Ia akhirnya menjadi seorang penulis buku, di tengah berbagai keterbatasannya. Ia menjadi seorang pengkotbah dan ia mulai belajar menggunakan mulutnya, matanya, seluruh hal yang masih dapat ia gunakan untuk berkarya di dalam kehidupan yang Tuhan percayakan dalam kehidupannya.


Kalau kehidupan kita ternyata masih belum ada di titik yang terendah, atau mungkin teman-teman sedang mengalami hal-hal yang membuat teman-teman gagal untuk melihat karya Tuhan, sekarang saatnya kita belajar untuk melihat lebih dari yang dilihat mata. Ketika Tuhan memberikan berbagai proses hidup, semuanya adalah untuk kebaikan kita. Semuanya adalah untuk membentuk kita menjadi pribadi-pribadi yang kuat untuk menghadapi berbagai proses kedepan untuk kita dapat hidup. Pertanyaannya, maukah teman-teman belajar memaknainya?

No comments:

Post a Comment