Total Pageviews

Friday, November 16, 2018

Facing Crossroad


“Setiap titik hidupmu ini adalah anugrah, termasuk ketika kamu memilih jalan yang harus kamu ambil. Hati-hatilah dalam memilih, tetapi jangan ragu. Karena dalam setiap pilihan yang kamu ambil, anugrahNya tidak akan pernah berubah!”

Kalimat di atas mudah terucap, tetapi susah untuk dimaknai dan dilaksanakan. Mudah ditulis ulang, tetapi sulit untuk diresapi dan dilakukan. Mudah dihayati ketika kita merasa dalam suatu sukacita atas pilihan yang kita ambil, tetapi sulit dinikmati manakala ada dalam suatu duka akibat timbulnya berbagai masalah hidup.

WHEN GOD WRITES YOUR LIFE STORY
Aku yakin dan percaya bahwa Tuhan telah menuliskan suatu kisah dalam hidupku. Seyakin ketika aku dipanggil buat melayani Tuhan dan seyakin aku menjalani hidup ini dengan penuh sukacita dan damai sejahtera dari Dia. Ada satu momen dimana aku merasa kekosongan hidup namun akhirnya terisi dengan kehadiranNya dalam kehidupanku. Semuanya dimulai ketika aku menerima Yesus sebagai juruselamat pribadiku.

Tidak berhenti di situ, mendekati usiaku yang ke 29 tahun ini (ehm, udah tua juga nih…) ternyata ada satu pergumulan lagi yang Tuhan sediakan. Bukan masalah pasangan hidup dan pernikahan (meskipun ini salah satunya) tetapi diperhadapkan pada suatu pilihan tentang pekerjaan dan pelayanan. Selain itu tentu saja sebagai manusia normal, ada begitu banyak ketakutan dalam menghadapi dan menjalani masa depan.

Satu keyakinan yang kumiliki adalah ketika Tuhan sudah menuliskan kisah hidup ini, hal yang paling utama (dan tentunya paling sulit) adalah bagaimana aku dapat menyerahkan keyboard ini kepadaNya. (kalau dulu pakai bolpen, jaman now pakai keyboard). Dan menarik banget ketika di dalam pergumulan ini aku sadar bahwa menjalani hal ini bukan perkara yang mudah. Ternyata bahkan di tengah penyertaanNya pun ada begitu banyak hal yang membuat aku jatuh, aku galau, bahkan terkadang secara tidak sengaja menghujat Dia melalui setiap keraguanku dalam menjalani kehidupanku.

BE GRATEFUL IN ALL OPPORTUNITIES
Rasa syukur dan sukacita adalah kuncinya. Ditengah berbagai pilihan hidup, hal yang paling dapat diandalkan untuk dapat menghadapinya adalah dengan ucapan syukur. Itulah yang dinasihatkan pula oleh Paulus kepada jemaat di Tesalonika dalam 1 Tesalonika 5:8. Hal ini pernah aku bahas di artikel sebelumnya, dan kalau memaknai hal ini, sudah nggak layak buat kita merasa stress dan kecewa atas pilihan hidup ini. Kita akan dapat selalu melihat bahwa ada hal yang dapat kita syukuri senantiasa dalam menjalani hidup ini.

Titik dimana kamu berhenti bersyukur adalah titik dimana kamu mengabaikan Tuhan dalam hidupmu. Inilah yang aku temukan di dalam kisah hidup 28 tahun (yang hampir 29 tahun saat tulisan ini dibuat) dan penyertaan Tuhan sama sekali tidak berubah. Meskipun kasih setiaNya tidak pernah berubah, tetapi ada titik demi titik kejadian hidup dimana aku berhenti buat bersyukur dan memandang kea rah salibNya. Saat itulah aku sadar bahwa ternyata rasa syukur atas setiap kejadian yang Tuhan berikan adalah titik awal untuk kita memaknai penyertaan Tuhan dalam kehidupan ini.

DECISION
Memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan masa depan juga bukanlah hal yang mudah. Ada titik dimana ketakutan dan kekuatiran melanda. Ketika kedua hal tersebut mulai menggoyahkan hidup, satu hal yang aku belajar buat maknai adalah rasa syukur atas penyertaanNya. Begitu banyak anugrah yang sudah Tuhan sediakan, dan hal itu merupakan bukti bahwa tidak ada hal apapun yang lepas dari anugrah Tuhan.

Saat ada di persimpangan jalan, tidak ada jalan lain selain belajar buat merasakan betapa kasih Allah luar biasa dalam kehidupan kita. Satu-satunya alasan yang menyebabkan kita kehilangan makna hidup adalah karena kita menjauhkan diri dari Kristus. Ketika melalui persimpangan jalan yang mana kita harus memilih, jauhnya hubungan kita dengan Bapa akan membuat kita menjadi semakin bimbang. Memang benar tentu Allah dalam kedaulatan dan kasihNya akan senantiasa mendampingi, pertanyaannya adalah seberapa jauh kita memaknaiNya?

THE GREATEST GIFT
Persimpangan jalan adalah suatu hal yang lumrah, dan yakinlah bahwa di dalam persimpangan itu pun, Tuhan telah memberikan teladan. Hal yang dapat kita pelajari adalah bagaimana Yesus bergumul ketika Ia akan disalib. Diperhadapkan ditengah dua pilihan, Ia menyadari bahwa hal terpenting dalam hidupNya adalah mematuhi kehendak Bapa.

Kalau kita memaknai hal ini, berarti sebenarnya kita pun tak lepas dari pilihan hidup – dan pilihannya sudah jelas, mana hal yang membuat Tuhan dipermuliakan dalam kehidupan kita. Hidup ini bukan tentang kita. Hidup ini adalah tentang bagaimana kita dapat memaknaiNya dalam terang kasih karunia Allah – yang akan memampukan kita untuk senantiasa hidup seturut dengan kehendakNya. Melangkah dalam anugrahNya hari lepas hari, dan semuanya dimungkinkan karena Tuhan Yesus yang begitu mengasihi kita.

Sudah siapkah kita menjalani kisah hidup yang sedang Dia tuliskan?
Sudah siapkah kita menghadapi berbagai pilihan hidup dengan senantiasa berserah kepadaNya?

Soli Deo Gloria!

Sunday, September 30, 2018

Melayani Sebagai Gaya Hidup

SPIRITUAL CHECKUP
Mzm 139

Sebuah mazmur dari Daud ini akan mengantarkan kita pada sebuah renungan tentang pelayanan. Rasa-rasanya sih sudah nggak asing lagi ya ketika menjadi seorang Kristen maka salah satu hal yang dapat kita lakukan (atau harus kita lakukan) adalah melayani. Tetapi pertanyaannya adalah ketika kita melayani Tuhan, benarkah kita melayani? Ataukah sebenarnya kita sedang memuaskan diri kita dengan kedok pelayanan?

PERIKSA MOTIVASI DALAM MELAYANI
Kalau kita mau melayani, pertama yang harus kita lakukan dan kita camkan baik-baik adalah tentang motivasi kita dalam melayani Tuhan. Begitu banyak orang ingin melayani bukan karena kesadaran karena menerima anugrah Allah, tetapi semata-mata karena ingin tampil di depan dan pada akhirnya mendapat sanjungan dan pujian dari orang-orang yang ia layani.

Waspadalah akan jebakan ketenaran dalam melayani Tuhan. Begitu mudah bagi kita terjebak dalam keinginan untuk ingin terkenal, setidaknya di gereja J

BAHAN BAKAR PELAYANAN
Kasih karunia adalah dasar dari pelayanan – dan inilah yang sering dilupakan oleh para pelayan Tuhan. Pelayanan sepenuhnya bukanlah ajang show off kita, tetapi disanalah kita bisa melihat karunia Tuhan di dalam diri kita. Berapa kali kita menghina seorang pelayan dan menyatakan bahwa ia tidak layak untuk melayani Tuhan? Ketika seseorang ternyata terlihat begitu brengsek tapi kok bisa dia berdiri di atas mimbar dan memberitakan Firman?

Ketika muncul pertanyaan tersebut, bukankah lebih baik bertanya: “kok bisa ya saya sendiri dipakai Tuhan padahal hidup saya masih aja menghakimi orang lain”. Standar yang kita kenakan kepada orang lain juga menjadi standar yang harusnya menjadi bahan bercermin kita bukan? Kasih karunia itu merupakan bahan bakar pelayanan yang takkan pernah habis. Kasih karunia yang tidak terbatas.

KEINDAHAN KASIH KARUNIA
Paulus menuliskan dalam 1Kor 2:1-5 bahwa ketika ia menyampaikan firman, yang ia andalkan hanyalah bagaimana Allah dinyatakan dalam pemberitaan yang ia sampaikan. Bukan masalah kemampuan berkotbah Paulus. Kalau kita tahu Paulus punya kemampuan yang luar biasa dalam berkotbah. Ia mempelajari agama Yudaisme, filsafat Yunani, dan berbagai ilmu yang dapat dia gunakan untuk berkotbah dengan baik dan menarik minat dari pendengarnya.

Tetapi apa yang ia beritakan bukanlah kehebatannya. Justru yang ia beritakan adalah hal-hal yang fokusnya hanya kepada Tuhan. Implikasinya pun masih relevan bukan hanya buat penginjil atau hamba Tuhan yang melayani di gereja. Ketika kita di marketplace pun prinsip yang sama juga berlaku. Apa atau siapa yang menjadi fokus pembicaraan atau pekerjaan kita? Apakah kehebatan kita ataukah melaluinya nama Tuhan yang dikenal dan ditinggikan?

Tentu bukan berarti ketika kita ada di kantor kemudian kita menyanyi lagu rohani ataupun tiba-tiba kita melakukan penginjilan dan menanyakan tentang jaminan keselamatan. Melalui tindakan kita, maka orang lain dapat melihat dan tertarik dengan hidup kita. Ketertarikan itu akan muncul menjadi hasrat untuk mengenal dasar hidup kita, dan disaat itulah kita dapat memberitakan Tuhan yang berkuasa dalam kehidupan kita.

MELAYANI SEBAGAI SUATU LIFESTYLE
Kita sudah tahu nih bahwa yang memampukan kita untuk dapat melayani dengan maksimal semata-mata adalah karena kasih karunia yang Tuhan berikan. Kalau kita sudah memahaminya, tentu kita saat ini punya pemahaman baru tentang kasih karunia. Bukan apa yang nampak, tetapi justru hal yang tidak nampaklah sebenarnya yang mendasari pelayanan kita. Tuhan melihat hati kita, Tuhan memeriksa hati kita. Jadi bukan karena kita dapat berkata-kata manis dan indah maka kita dapat melayani Tuhan, tetapi semata-mata karena Tuhan melayakkan.

Apa dasar kasih karunia? Pelayanan Tuhan Yesus sendiri. Menjadi orang Kristen berarti kita meneladani Yesus Kristus yang sudah melayani kita dan memberikan kasih karunia pada kita. Ketika gaya hidup Tuhan Yesus adalah gaya hidup melayani, kita pun sebagai muridNya diajak untuk menjadikan pelayanan sebagai gaya hidup kita.

Soli Deo Gloria!

Monday, September 24, 2018

Mengucap Syukur Atas Kasih Karunia


Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” (1 Tesalonika 5:18)

Detik demi detik berlalu dengan begitu cepat hari ini. Setelah bangun, aku melakukan hal yang tidak biasa, merapikan kamar tidurku dengan berbagai ke-messy-an nya, dan kutemukan beberapa slip gaji yang lama, ijazah S1 dan S2, dan sebagainya. Diantara tumpukan buku di lemari itu pun aku melihat berbagai buku yang sudah kubeli, memenuhi koleksi buku rohani yang jumlahnya sudah hampir dua lemari (ngga nyangka bisa sebanyak itu!)

Tenggelam dalam rasa haru sekaligus syukur, demikianlah perasaanku hari ini. Ketika saat teduh kembali membuka ayat Firman Tuhan dan kemudian mencoba melakukan sedikit Pendalaman Alkitab, dan ternyata mendapatkan sebuah topik yang begitu menarik – mengenai rasa syukur dalam kehidupan orang percaya.

Mengucap Syukur DALAM segala hal

Aku tahu ini bukan suatu perintah yang mudah. Paulus menuliskan hal ini kepada jemaat Tesalonika, yang merupakan jemaat dengan berbagai problematika dan tantangan hidup. Mereka adalah jemaat yang ditekan semasa hidupnya, tetapi dalam tekanan itu Paulus memberikan nasihat dan perintah untuk senantiasa bersyukur dalam segala hal.

Mungkin jemaat Tesalonika akan protes ke Paulus, “hey Paulus, kau sudah gila ya menyuruh kami untuk bersyukur. Lihat ini hidup kami yang begitu menderita”. Nyatanya jemaat ini tidak merespons demikian. Mereka memahami kalimat Paulus ini dan akhirnya mencoba untuk melakukannya. Ehm, dan perintah ini bukan hanya relevan pada jaman Tesalonika, tetapi juga pada setiap kita. Nah, menariknya juga bentuk kalimat ini present imperative. Artinya: ini sesuatu yang harus dilakukan.

Kita pun mungkin akan merespons dengan protes keras terhadap ayat ini, karena nyatanya toh banyak banget masalah hidup yang kita alami.

“Masakan aku harus mengucap syukur ketika melihat dia selingkuh?”
“Memangnya aku harus mengucap syukur kala aku kehilangan pekerjaanku?”
“Aku dirampok, masa aku harus mengucap syukur?”
“Aku baru aja gagal investasi, habislah semua hartaku!”

Itulah yang realitanya kita alami dalam kehidupan ini, bukan? Ucapan syukur yang cepat sekali lenyap karena berbagai rintangan hidup. Tetapi yang di tandai miring pada sub-bagian ini adalah kata “DALAM”, dan inilah bedanya.

Bukan “UNTUK” (for) tetapi “DALAM” (in), dan di dalam alkitab versi King James dituliskan demikian:

In every thing give thanks: for this is the will of God in Christ Jesus concerning you.

Cukup jelas bukan, jadi kita mengucap syukur bukan untuk selingkuhnya pasangan kita, atau kehilangan pekerjaan kita, atau ketika dirampok. Tetapi dalam segala kondisi kita diminta untuk mengucap syukur, bukan untuk kehilangannya, tetapi untuk pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan kita.

ALASAN UNTUK MENGUCAP SYUKUR

Kunci dari mengucap syukur adalah karena kita “DI DALAM KRISTUS”. Artinya: seorang yang di dalam Kristus berarti ia yang sudah menerima Kristus yang sudah menerima anugrah keselamatan. Disinilah jemaat Tesalonika menyadari bahwa mereka adalah pribadi yang begitu hina menjadi anak-anak terang. Jaminan itu sudah mereka terima sampai akhir hidup mereka nanti. Jadi apa sebenarnya alasan bagi kita untuk dapat mengucap syukur? Mari kita lihat sebuah kisah di bawah ini.

Ketika seorang bapak akan keluar dari gereja, tiba-tiba ada orang asing yang memberikan kamu voucher belanja senilai 20 juta rupiah. “Pak, saya ingin memberi anda uang sebesar 20 juta rupiah dalam bentuk voucher”. Sontak ketika mendengar hal tersebut, si bapak tersebut kaget dan mulai berpikir, kenapa ya kok orang ini memberi kepadaku? “Beneran pak, eh tapi tunggu dulu, sepertinya kurang deh pak. Ini saya kasih yang baru,” dan orang tersebut akhirnya memberikan cek sejumlah 5 milyar. Tentu si bapak makin kaget dan akhirnya orang tersebut pergi. Esoknya ketika si bapak mau mengecek saldo di bank, ia tiba-tiba teringat akan cek yang ia terima dan dengan iseng ia menyerahkan cek tersebut kepada teller. Teller pun mengkonfirmasi dan uang tersebut ternyata benar masuk ke rekening bapak ini.

Saya yakin ketika si bapak itu sudah tua pun, ia akan tetap menceritakan kepada anaknya dan cucunya bahwa ia pernah menerima uang tersebut. OK, mari coba kita refleksikan bersama. Ketika aku dan kamu sudah menerima anugrah keselamatan itu, kita mau nggak mengucap syukur? Nilainya lebih besar dan lebih kekal daripada 5 milyar yang diterima oleh bapak itu bukan?

Disinilah peran kasih karunia yang mengubahkan fokus kehidupan kita. Tidak berhenti pada kasih karunia dan keselamatan yang Tuhan berikan, namun pola pikir kita pun dapat diubahkan untuk dapat memberitakan kasih karunia dan injil itu kepada orang lain. Ini pula yang dialami oleh Paulus dan juga yang dimintakan kepada jemaat di Tesalonika.

SUATU PENGALAMAN RIIL

Saat itu aku terdiam seribu bahasa menghadapi berbagai pertanyaan yang terlontar dari teman-temanku mengenai iman yang kupercaya. Aku membaca banyak banget buku-buku teologi kontemporer dan juga buku-buku tentang apologetika, tetapi sebenarnya di dalam diriku sendiri aku kosong. Ada satu kekosongan dalam hati yang ternyata kalau dicek ada hal yang belum Tuhan kuasai. Salah satunya adalah bagaimana aku dapat mengucap syukur di dalam keselamatan yang Tuhan berikan.

Kekecewaan akan hidup ini juga aku rasakan saat kutemui aku tidak seperti orang lain. Ada sesuatu dalam diriku yang mana aku tidak dapat bersyukur pada waktu itu. Masa SD-SMP aku dijauhi oleh teman-temanku. Hal ini pun berlanjut pada waktu kuliah aku tidak pernah merasakan cinta dari orang yang kucintai. Nilai yang standar, teman-teman yang biasa aja, dan sebagainya.

Tetapi justru dalam sesuatu yang serba biasa itulah aku mencoba melihat kembali seperti apa hidup yang Tuhan berikan. Ketika aku harus mengalami berbagai kekecewaan dalam hidup, justru di situlah aku merasakan pimpinan dan penyertaanNya. Saat itu yang kurasakan adalah: mungkin ini yang dikatakan Paulus dan ia sebut sebagai menyerah kepada Kristus. Bahwa setiap hal yang baik adalah suatu kesia-siaan tanpa adanya Kristus dalam kehidupannya.

Sejak aku menerima Kristus sebagai juruselamat, pola pikir itu berubah. Setiap hal dapat dilihat dari sisi kasih karunia. Senantiasa ada hal yang dapat disyukuri, dan di dalam Kristus ada kekuatan baru untuk menjalani kehidupan ini.

Ketika Kristus menguasai hidupku, dan ketika rasa syukur itu dapat dihasilkan melalui suatu hubungan yang intim dengan Dia, aku pun mengajak rekan-rekan pembaca buat mau menerima Dia. Undanglah Dia dalam hidupmu. Rasakan kuasa kasihNya yang akan mengubahkan caramu memandang dunia. Percayalah bahwa tidak ada hidup yang terlalu hancur untuk Tuhan bisa ubahkan. Tidak ada kekecewaan yang dapat menghancurkan kasih karunia, dan tidak ada hal di dunia ini yang dapat menghentikan Dia untuk mengasihi kita. Ia menginginkan diriku dan dirimu. Maukah kamu menerima-Nya? Maukah kamu dipenuhi rasa syukur atas setiap hal yang sudah dan akan Ia kerjakan?

Tuhan Yesus Memberkati

Tuesday, June 19, 2018

(Un)Divided Attention



“Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat” begitulah tagline yang selama ini diyakini oleh begitu banyak orang tentang Social Media di dalam kehidupan kita. Mulai dari remaja-remaja SMP, sampai SMA bahkan hingga orang tua sekalipun menemui bahwa Social Media bukanlah hal yang baru. Mulai dari fungsinya sebagai suatu media untuk chatting, berbagai kehidupan pribadi, bahkan sekedar untuk membagikan informasi-informasi bagi teman-temannya.

Tentu ada begitu banyak dampak positif yang dapat ditimbulkan oleh social media. Saat ini begitu banyak informasi yang dapat diakses secara begitu cepat. Bahkan ada kisah-kisah inspiratif yang dibagikan melalui berbagai social media.

Menggantikan Keintiman Suatu Relasi
Tetapi ditengah banyaknya manfaat social media yang kita rasakan, tetap saja ada hal-hal yang ternyata tak tergantikan. Begitu banyak saat ini keluarga yang kehilangan komunikasi yang riil antar anggota keluarganya, menggantikan waktu ngobrol saat makan malam dengan bermain game atau sibuk menikmati percakapan whatsapp ataupun berbagi foto makanan mereka lewat Instagram. Melupakan doa sebelum makan, menggantikannya dengan sesi menangkap gambar dan membuat caption yang menarik agar orang-orang bisa mengetahui apa yang dimakan.

Serasa kita kehilangan empati bagi orang-orang yang ada di sekitar kita, dan ini bukan hanya terjadi pada keluarga. Ini juga terjadi baik ketika kita sendirian, ketika pacaran, dan sebagainya. Bahkan budaya ini begitu menguasai kehidupan kita, dan menggantikan komunikasi yang penuh keintiman dengan komunikasi yang penuh keterbukaan bagi orang lain, tetapi tertutup bagi orang-orang yang merupakan inner circle kita.

Generasi Pecinta Like
Apa tujuan kita dalam posting sesuatu di media sosial kita? Kalau diamati, sebagian adalah kisah tentang kehidupan kita sendiri yang kita rasa menarik buat orang lain tahu (atau kita lagi pengen dikepoin oleh orang yang kita cintai?... hmmmm), kemudian berbagai curhatan-curhatan seolah kita adalah pribadi yang paling menderita di dunia ini, kemudian sharing tentang masa liburan sehingga instastory kita bukan berbentuk garis, tetapi titik-titik yang sangat panjang, dan sebagainya.

Salahkah itu? Tidak kalau tujuan kita adalah untuk membagikan hal tersebut sehingga orang terinspirasi melalui kehidupan kita. Namun kalau tujuannya adalah sekedar ingin pamer dan membuktikan kalau kita bisa lebih baik daripada orang lain, mari cek kembali seberapa jauh rasa empati kita kepada orang lain? Ataukah kita sedang membangun kerajaan account kita sehingga kita punya berjuta-juta followers, namun gagal untuk membagikan kisah hidup yang bermakna bagi orang lain, dan orang lain malah belajar hal-hal yang negatif dari kehidupan kita?

Obsesi
Karena kita ingin dicintai, maka hal yang kita kejar adalah “like” dan “love”, dan kita terobsesi dengan gadget kita. Kita lupa bahwa ada orang-orang disekitar kita yang juga mencintai kita, bahkan lebih daripada follower-follower kita di media sosial yang terpasang di smartphone kita. Kita begitu terobsesi buat membagikan hidup, melihat layar smartphone kita dengan berbagai hiburan di dalamnya dan kita terperosok jatuh ke dalam suatu kebiasaan “mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat”.

Bukan hanya media sosial, tetapi juga banyak hal yang membuat kita terobsesi dengan gadget kita. Berbagai permainan, tayangan drama korea, dan sebagainya. Intinya adalah hal-hal yang membuat kita mengurung diri di kamar dan di dalam keasyikan kita tanpa mempedulikan orang disekitar kita. Kita lebih merasa intim untuk melihat smartphone kita dibandingkan dengan berkomunikasi dengan orang yang kita cintai atau mencintai kita.

Bertanggung Jawab Terhadap Anugrah Tuhan
Mari kita belajar untuk mengembalikan anugrah Tuhan yang ada di dalam kehidupan kita kepada fungsinya secara bertanggungjawab. Smartphone adalah salah satu anugrah yang Tuhan sediakan dalam hidup kita, dan perannya bukanlah untuk menggantikan kehadiranNya di dalam kehidupan kita. Smartphone juga bukan suatu alat untuk mengalihkan perhatian kita dan menjadikan kita menjadi pribadi yang menikmati swafoto dibandingkan dengan menikmati kehadiran orang-orang yang Tuhan hadirkan di sekitar kita.

Mari belajar membatasi diri kita untuk tidak dikuasai oleh gadget kita, dan sediakan waktu buat orang lain, buat Tuhan, dan buat orang-orang yang mengasihi kita.

Mari belajar senantiasa punya empati bagi orang lain, punya cinta bagi orang lain, bukan hanya melalui media sosial kita, tetapi melalui aksi nyata dalam setiap kehidupan kita.

Soli Deo Gloria