Total Pageviews

Friday, August 23, 2013

Pergumulan yang Christ-Centered

Tidak pernah terbayangkan bahwa suatu pergumulan itu adalah sesuatu yang berat. Apalagi ditambah dengan suatu kondisi dimana kita terpisah jauh dengan partner pergumulan kita. Sungguh suatu hal yang makin buat “nyesek ati” kalau orang bilang. Selain itu ditambah dengan kesibukan masing-masing, membuat hati semakin tak tenang. Tetapi benarkah bahwa ketika kita dipisahkan jarak oleh orang yang kita pergumulkan, maka hidup akan menjadi sesuatu yang berat? Seberat itukah hidup jauh dari rekan kita, sahabat kita, seorang yang nantinya akan mengikat janji pernikahan dengan kita sampai “sehidup semati”?

Jawabannya YA, dan AMIN. Memang berat ketika kita harus meninggalkan seseorang yang kita cintai, seseorang yang mungkin kita perlu untuk sharing hidup dengan dia. Selain itu juga kita bisa saling mengenal satu dengan yang lain saat kita dekat. Pasti tak mudah pada awalnya. Tetapi ketika kembali kepada esensi tentang relasi dan pernikahan, tentu kita kenal bahwa relasi tersebut dibangun bukan hanya dengan kita memiliki suatu pengalaman romantis. Pergumulan bukanlah suatu masalah kita harus “kopi darat” (Sekalipun ketika kita langsung kopi darat, kita pasti dapat dengan lebih efektif dalam menjalani relasi kita)

Makna pergumulan itu sebenarnya apa sih? Pergumulan untuk menikah atau tidak, tentang tujuan hidup, apapun itu, selalu membuat kita berpikir keras sambil terus berdoa dan berdoa. Kita jadi lebih giat untuk berdoa, saat teduh, mengucap syukur atas hal yang Tuhan berikan, dan sebagainya. Pergumulan tentang Pasangan Hidup pun apabila dilakukan dalam Long Distance, perlu suatu pergumulan juga untuk memulainya.

Pada saat saya mulai mengatakan bahwa “aku ingin mempergumulkan kamu sebagai seorang pasangan hidupku nanti” itu bukan hal yang mudah apalagi kita tahu bahwa pergumulan itu akan dilakukan secara long distance. Jarak yang terpisah jauh tentu jadi hambatan utama, kemudian komunikasi yang tak lancar, ditambah dengan kesibukan masing-masing. Tetapi apakah memang seperti itu? Apakah lantas ketika kita ambil keputusan seperti itu kita mengeluh dan kita akhirnya mohon-mohon agar Tuhan cepat menjawab pergumulan kita berdua? Actually, itu aneh!

Ketika Tuhan memberikan suatu waktu untuk kita bergumul apalagi secara long distance, saya percaya bahwa itu adalah suatu cara Tuhan untuk kita dapat semakin dapat menajamkan diri satu dengan yang lain. Saya rasa juga ini yang saya alami selama ini. Maybe kita bisa benar-benar merindukannya, tapi waktu Allah balik bertanya: “seberapa kamu merindukan Aku?” kepada kita, apa jawab kita? Apakah posisi kita bergumul itu akhirnya membuat kita melupakan Allah, menganggap Dia tidak ada, dan akhirnya kita menjadi acuh tak acuh terhadap Allah?

Fasa pergumulan long distance memang menuntut suatu komitmen yang lebih dan keseriusan di dalam diri masing-masing pasangan. Coba bayangkan saja kalau suatu saat memang saat menikah kita masing-masing punya tugas jauh (siapa tahu salah satu dari kita dipanggil Tuhan untuk misi ke daerah terpencil) Allah sedang mencoba untuk menguji kita, apakah hati kita masih setia kepada Allah dan kepada pasangan kita, atau justru kita beralih kepada hal-hal yang tidak seharusnya?

Kita berdua (saya dan seorang yang saya pergumulkan) pun merasa bahwa justru di dalam pergumulan kita yang long distance ini kita makin dekat dengan Tuhan. Kita berdua semakin hari semakin bertumbuh dan dibukakan banyak hal, tentang visi, pelayanan, kehidupan Kristen, tentang banyak sekali hal baru yang selama ini belum pernah kami pikirkan. Pertemuan kita setelah sekitar 5 bulan tak jumpa pun, ditebus dengan 2 jam ngobrol, dan itu pun saya pribadi merupakan suatu kesempatan dimana kami bisa share tentang kehidupan kami masing-masing, dengan cerita seru kami masing-masing, dan merupakan suatu quality time yang harus diakui merupakan momen yang paling kami rindukan. Itulah kesempatan di mana kami bisa melepas kangen sambil terus mengingat komitmen kami.

Indahnya suatu relasi di dalam Kristus adalah bahwa kita dapat menjadi orang-orang yang semakin hari semakin dewasa di dalam Dia, memiliki suatu keserupaan dengan Kristus dan kita berdua, sekalipun jauh, belajar untuk menjadi “serupa dengan Dia”. Saya cukup senang dengan suatu proses di mana kami berdua juga semakin hari semakin dewasa satu sama lain. Sekalipun jarang bertemu, namun ketika ada suatu waktu yang berkualitas, kami belajar untuk memanfaatkan itu sebaik-baiknya. Sharing visi, sharing tentang kehidupan, sharing tentang banyak hal di dalam kehidupan, bukankah itu yang sebenarnya penting bagi satu sama lain untuk saling mengenal satu dengan yang lain?

Ada banyak pasangan yang sekalipun mereka dekat, mereka hanya tidak jelas pacaran di dalam konteks romantis belaka, tanpa adanya suatu kerinduan untuk saling bertumbuh satu dengan yang lain. Paling tidak kami tidak mau menjadi pasangan seperti itu. Kami ingin belajar untuk mengembangkan diri satu sama lain di dalam Kristus, mendasari relasi kami berdua dengan suatu komitmen bahwa kami ingin belajar untuk menghormati komitmen satu dengan yang lain.

Percayalah, kami ini bukan orang-orang yang sempurna. Bahkan di dalam pergumulan kami pun terkadang muncul suatu konflik, rasa kangen, dan sebagainya. Emosi-emosi seperti itu kadang membuat kami sadar bahwa kami ini manusia yang lemah. Bahkan ketika sebuah kalimat “aku bersedia” itu masih aku nantikan, tapi ketika bahkan belum ada suatu jawaban yang pasti, aku tetap belajar untuk menghargai janjiku di awal, bahwa aku akan menghormati dia dan waktunya, aku akan menghormati setiap keputusan yang kami ambil.

Ada banyak hal yang perlu dipikirkan ketika kita mengambil keputusan untuk mulai berpacaran. Ditambah lagi jarak kami berdua jauh, dan itu kadang membuat kami sadar bahwa relasi kami ini mungkin tidak dapat dilanjutkan. Ya satu satunya jalan yaitu maintain komunikasi kami berdua. Semakin banyak komunikasi, semakin banyak potensi konflik, dan saya sendiri sadar kadang-kadang dari suatu pembicaraan, kami berdua sudah banyak berubah. Pembicaraan yang saling mengasah dan saling menajamkan satu dengan yang lain, serta kami belajar untuk jujur di hadapan satu dengan yang lain, dan saling berbagi beban dan mendukung di dalam doa.

Relasi yang berdasarkan atas kasih Kristus adalah suatu relasi yang mana kita belajar menikmati anugrah yang Allah berikan di dalam hidup kita. Pergumulan merupakan suatu proses, suatu anugrah yang Allah juga berikan di dalam hidup kita, tinggal bagaimana sekarang kita mencoba untuk menanggapi apa maunya Tuhan. Siap sedia terhadap setiap jawaban, dan terus belajar di dalam relasi kita mengutamakan Tuhan. Itu adalah suatu momen di mana kita belajar untuk memuliakan Tuhan dan menikmati Dia sepanjang waktu.

Sebuah lagu yang menarik yaitu soundtrack dari film Fireproof: “While I’m Waiting”. Dengar saja lagunya dan perhatikan setiap kata dalam lagu itu, itulah cinta yang sejati, yaitu cinta kita kepada Kristus dan cinta Kristus kepada kita, menunjukkan suatu komitmen penuh kepada Kristus dan semuanya adalah untuk kemuliaanNya.

Pergumulan memang butuh suatu penantian, tetapi justru di tengah penantian itulah kita perlu belajar untuk fokus penuh kepada Kristus dan belajar untuk melihat bahwa apapun keputusan yang kita ambil, semuanya melibatkan Tangan Tuhan yang menuntun untuk mengabdi dan memuliakanNya.


Selamat bergumul J SOLI DEO GLORIA! 

Monday, August 5, 2013

Yerusalem! Let’s Go There! Sebuah Perenungan Tentang Visi dan Tujuan Hidup

Seringkali orang bertanya: apa sih tujuan hidupmu? Ini suatu pertanyaan yang mungkin sangat susah dijawab. Bagi orang Kristen, jawabannya sangat sederhana: “Memuliakan Tuhan dan menikmati Dia sepanjang waktu” seperti yang tertulis di Katekismus Singkat Westminster pertanyaan pertama. Sesederhana itu? Ternyata tidak juga. Sangat global bahkan. Memuliakan Tuhan? Seperti apa sih memuliakan Tuhan itu? Menikmati Tuhan?

Satu hal yang perlu kita pegang adalah: Mau atau tidak mau, suka atau nggak suka, Allah sudah merencanakan sesuatu di dalam hidup kita. Setiap detailnya sudah Tuhan atur sedemikian rupa. Ingat, Ia adalah Allah dengan kedaulatan yang penuh.

Sebuah refleksi dari Lukas 18:31 dan 34

Yesus memanggil kedua belas murid-Nya, lalu berkata kepada mereka: "Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan segala sesuatu yang ditulis oleh para nabi mengenai Anak Manusia akan digenapi.
(Luk 18:31)

Akan tetapi mereka sama sekali tidak mengerti semuanya itu; arti perkataan itu tersembunyi bagi mereka dan mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan.
(Luk 18:34)

Di dalam konteks visi dan tujuan hidup, ada beberapa prinsip yang kita bisa dapatkan dari ayat ini. Saya mencoba merefleksikannya:
1.       “Yesus memanggil kedua belas murid-Nya” lihat siapa yang Yesus ambil sebagai murid. Apakah mereka adalah orang-orang yang hebat? Secara manusiawi, mereka bukanlah orang-orang yang terpelajar. Mereka bukan orang-orang yang punya skill tinggi. Barangkali kalau diumpamakan sekarang, mereka bukanlah orang-orang seperti Bill Gates yang jenius, ataupun seperti Steve Jobs. Mereka bukan orang-orang yang bisa diandalkan. Bahkan mereka adalah orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki apa-apa (dalam pengertian tertentu).
Namun orang-orang seperti inilah yang dipilih Tuhan menjadi orang-orang yang paling dekat dengan Dia. Orang-orang seperti Petrus yang sangat ceplas-ceplos, Thomas sang peragu, Matius yang merupakan pemungut cukai – apa hebatnya?
Tetapi nyatanya orang-orang seperti ini yang dipakai Tuhan bukan? Petrus yang berkotbah hingga menghasilkan 3000 orang bertobat. Thomas yang pada akhirnya mati martir di India. Ada banyak kisah, namun prinsip di sini adalah:

“Allah tidak memilih orang yang mampu melayani Dia dengan kekuatannya sendiri, tetapi Ia memilih orang-orang yang sadar betul bahwa tanpa Dia, ia tak bisa hidup dan ia bukanlah apa-apa”

2.       “Sekarang kita pergi ke Yerusalem…” Panggilan Allah itu terjadi secara real time di dalam hidup kita. Itu berarti bahwa di dalam kita menjalani hidup kita, panggilan Allah itu selalu nyata. Pertanyaannya adalah: kita peka atau tidak terhadap panggilan itu? Yerusalem adalah tempat di mana Tuhan Yesus akan menjalani rencana Allah yang ada di dalam diriNya. Itu adalah visi yang ditetapkan Allah dan Ia pergi ke sana untuk menjalaninya. Seutuhnya Dia patuh atas kehendak Bapa, sekalipun Ia tahu bahwa pada saat itu pula Ia akan dihujat, dicela, dan pada akhirnya disalib.
Bagaimana dengan hidup kita? Apakah kita sudah belajar untuk mengarah ke Yerusalem kita? Suatu tempat yang mana Allah memerintahkan kita untuk taat kepada panggilanNya. Tidak enak memang, apalagi kita tahu bahwa mungkin Yerusalem itu adalah tempat yang sangat jauh dari zona nyaman kita, tetapi Allah mengutus kita kesana. Bukankah itu suatu privilege yang luar biasa yang sudah disediakan Allah? Inilah prinsip berikutnya:

“Mau tidak mau, suka tidak suka, Allah sedang menuntun kita ke Yerusalem. Perlahan namun pasti Ia akan membawa kita menuju ke sana, dan Ia tidak main-main atas panggilan itu”

3.       “..dan segala sesuatu yang ditulis oleh para nabi mengenai Anak Manusia akan digenapi”. Tuhan Yesus tahu dengan segala resiko yang akan Ia alami saat Ia taat kepada Bapa, dan Ia taat! Di sinilah terlihat bagaimana kehendak Bapa ada di atas kehendak kita. Suka atau tidak, kita pasti akan mengalaminya juga. Tinggal tunggu waktu kapan Allah menggerakkan hati kita untuk melakukan sesuatu dalam hidup kita. Ia sedang melakukan sesuatu dan itu berarti kita tidak bisa menolaknya. Mungkin ada kalanya kita melihat bahwa rencana Allah itu merupakan suatu kegagalan di dalam hidup kita. Salib pada zaman itu identik dengan suatu kegagalan yang luar biasa. Salib adalah lambang kehinaan pada waktu itu. Namun demi menjalankan rencana Bapa, Tuhan Yesus melihat itu sebagai suatu keberhasilan.

“Apa yang dipandang orang sebagai suatu kegagalan, itu merupakan suatu keberhasilan di hadapan Tuhan. Kesuksesan kita sebagai orang beriman diukur dari rencana Tuhan apa yang sudah kita lakukan untuk kemuliaanNya.”

4.       “.. mereka sama sekali tidak mengerti..” Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhan Yesus, bukan? Ya. Mereka yang dimaksud di sini adalah para rasul, orang-orang yang mendampingi Tuhan Yesus kemanapun Ia pergi. Bahkan orang-orang terdekatnya pun tidak mengerti apa yang Yesus maksud saat itu.
Sama juga mungkin dengan hidup kita. Kita merasa kehidupan kerohanian kita sudah dekat dengan Tuhan, tetapi sebenarnya kita tidak tahu apa yang Tuhan mau di dalam hidup kita. Bukankah ini sesuatu yang mengerikan? Ya betul! Kita terlalu sibuk untuk pelayanan mungkin, tetapi di dalam pelayanan itu, kita lupa menjaga relasi kita dengan Tuhan. Akhirnya pelayanan itu bukan merupakan sarana untuk memuliakan Tuhan, namun sebagai suatu sarana lain.
Prinsip yang berikutnya yang penting adalah:

“Hal yang paling indah dalam hidup kita adalah mengetahui apa yang Tuhan mau di dalam hidup kita, sehingga apapun yang kita kerjakan adalah untuk kemuliaan Tuhan. Semuanya itu dimulai dari relasi yang semakin dekat dengan Dia”

Jadi, siapkah kita melangkah menuju Yerusalem? Apakah kita mau mulai merenungkan kembali apa yang jadi tujuan hidup kita sebenarnya? Mungkin panggilan kita adalah peran yang kita lakukan saat ini di tempat kerja kita. Mungkin kita dipanggil ke daerah terpencil dan mengabarkan injil di sana. Mungkin pula kita diutus ke ranah politik. Apapun itu, mari kita belajar untuk terus menikmati proses yang dari Tuhan.


Soli Deo Gloria