Tidak pernah terbayangkan bahwa
suatu pergumulan itu adalah sesuatu yang berat. Apalagi ditambah dengan suatu
kondisi dimana kita terpisah jauh dengan partner pergumulan kita. Sungguh suatu
hal yang makin buat “nyesek ati” kalau orang bilang. Selain itu ditambah dengan
kesibukan masing-masing, membuat hati semakin tak tenang. Tetapi benarkah bahwa
ketika kita dipisahkan jarak oleh orang yang kita pergumulkan, maka hidup akan
menjadi sesuatu yang berat? Seberat itukah hidup jauh dari rekan kita, sahabat
kita, seorang yang nantinya akan mengikat janji pernikahan dengan kita sampai
“sehidup semati”?
Jawabannya YA, dan AMIN. Memang
berat ketika kita harus meninggalkan seseorang yang kita cintai, seseorang yang
mungkin kita perlu untuk sharing hidup dengan dia. Selain itu juga kita bisa
saling mengenal satu dengan yang lain saat kita dekat. Pasti tak mudah pada
awalnya. Tetapi ketika kembali kepada esensi tentang relasi dan pernikahan,
tentu kita kenal bahwa relasi tersebut dibangun bukan hanya dengan kita
memiliki suatu pengalaman romantis. Pergumulan bukanlah suatu masalah kita
harus “kopi darat” (Sekalipun ketika kita langsung kopi darat, kita pasti dapat
dengan lebih efektif dalam menjalani relasi kita)
Makna pergumulan itu sebenarnya
apa sih? Pergumulan untuk menikah atau tidak, tentang tujuan hidup, apapun itu,
selalu membuat kita berpikir keras sambil terus berdoa dan berdoa. Kita jadi
lebih giat untuk berdoa, saat teduh, mengucap syukur atas hal yang Tuhan
berikan, dan sebagainya. Pergumulan tentang Pasangan Hidup pun apabila
dilakukan dalam Long Distance, perlu suatu pergumulan juga untuk memulainya.
Pada saat saya mulai mengatakan
bahwa “aku ingin mempergumulkan kamu sebagai seorang pasangan hidupku nanti”
itu bukan hal yang mudah apalagi kita tahu bahwa pergumulan itu akan dilakukan
secara long distance. Jarak yang terpisah jauh tentu jadi hambatan utama,
kemudian komunikasi yang tak lancar, ditambah dengan kesibukan masing-masing.
Tetapi apakah memang seperti itu? Apakah lantas ketika kita ambil keputusan
seperti itu kita mengeluh dan kita akhirnya mohon-mohon agar Tuhan cepat
menjawab pergumulan kita berdua? Actually, itu aneh!
Ketika Tuhan memberikan suatu
waktu untuk kita bergumul apalagi secara long distance, saya percaya bahwa itu
adalah suatu cara Tuhan untuk kita dapat semakin dapat menajamkan diri satu
dengan yang lain. Saya rasa juga ini yang saya alami selama ini. Maybe kita
bisa benar-benar merindukannya, tapi waktu Allah balik bertanya: “seberapa kamu
merindukan Aku?” kepada kita, apa jawab kita? Apakah posisi kita bergumul itu
akhirnya membuat kita melupakan Allah, menganggap Dia tidak ada, dan akhirnya
kita menjadi acuh tak acuh terhadap Allah?
Fasa pergumulan long distance
memang menuntut suatu komitmen yang lebih dan keseriusan di dalam diri
masing-masing pasangan. Coba bayangkan saja kalau suatu saat memang saat
menikah kita masing-masing punya tugas jauh (siapa tahu salah satu dari kita
dipanggil Tuhan untuk misi ke daerah terpencil) Allah sedang mencoba untuk
menguji kita, apakah hati kita masih setia kepada Allah dan kepada pasangan
kita, atau justru kita beralih kepada hal-hal yang tidak seharusnya?
Kita berdua (saya dan seorang
yang saya pergumulkan) pun merasa bahwa justru di dalam pergumulan kita yang long
distance ini kita makin dekat dengan Tuhan. Kita berdua semakin hari semakin
bertumbuh dan dibukakan banyak hal, tentang visi, pelayanan, kehidupan Kristen,
tentang banyak sekali hal baru yang selama ini belum pernah kami pikirkan.
Pertemuan kita setelah sekitar 5 bulan tak jumpa pun, ditebus dengan 2 jam
ngobrol, dan itu pun saya pribadi merupakan suatu kesempatan dimana kami bisa
share tentang kehidupan kami masing-masing, dengan cerita seru kami
masing-masing, dan merupakan suatu quality time yang harus diakui merupakan
momen yang paling kami rindukan. Itulah kesempatan di mana kami bisa melepas
kangen sambil terus mengingat komitmen kami.
Indahnya suatu relasi di dalam
Kristus adalah bahwa kita dapat menjadi orang-orang yang semakin hari semakin dewasa
di dalam Dia, memiliki suatu keserupaan dengan Kristus dan kita berdua,
sekalipun jauh, belajar untuk menjadi “serupa dengan Dia”. Saya cukup senang
dengan suatu proses di mana kami berdua juga semakin hari semakin dewasa satu
sama lain. Sekalipun jarang bertemu, namun ketika ada suatu waktu yang
berkualitas, kami belajar untuk memanfaatkan itu sebaik-baiknya. Sharing visi,
sharing tentang kehidupan, sharing tentang banyak hal di dalam kehidupan,
bukankah itu yang sebenarnya penting bagi satu sama lain untuk saling mengenal
satu dengan yang lain?
Ada banyak pasangan yang
sekalipun mereka dekat, mereka hanya tidak jelas pacaran di dalam konteks
romantis belaka, tanpa adanya suatu kerinduan untuk saling bertumbuh satu
dengan yang lain. Paling tidak kami tidak mau menjadi pasangan seperti itu.
Kami ingin belajar untuk mengembangkan diri satu sama lain di dalam Kristus,
mendasari relasi kami berdua dengan suatu komitmen bahwa kami ingin belajar
untuk menghormati komitmen satu dengan yang lain.
Percayalah, kami ini bukan
orang-orang yang sempurna. Bahkan di dalam pergumulan kami pun terkadang muncul
suatu konflik, rasa kangen, dan sebagainya. Emosi-emosi seperti itu kadang
membuat kami sadar bahwa kami ini manusia yang lemah. Bahkan ketika sebuah
kalimat “aku bersedia” itu masih aku nantikan, tapi ketika bahkan belum ada
suatu jawaban yang pasti, aku tetap belajar untuk menghargai janjiku di awal,
bahwa aku akan menghormati dia dan waktunya, aku akan menghormati setiap
keputusan yang kami ambil.
Ada banyak hal yang perlu
dipikirkan ketika kita mengambil keputusan untuk mulai berpacaran. Ditambah
lagi jarak kami berdua jauh, dan itu kadang membuat kami sadar bahwa relasi
kami ini mungkin tidak dapat dilanjutkan. Ya satu satunya jalan yaitu maintain
komunikasi kami berdua. Semakin banyak komunikasi, semakin banyak potensi
konflik, dan saya sendiri sadar kadang-kadang dari suatu pembicaraan, kami
berdua sudah banyak berubah. Pembicaraan yang saling mengasah dan saling
menajamkan satu dengan yang lain, serta kami belajar untuk jujur di hadapan
satu dengan yang lain, dan saling berbagi beban dan mendukung di dalam doa.
Relasi yang berdasarkan atas
kasih Kristus adalah suatu relasi yang mana kita belajar menikmati anugrah yang
Allah berikan di dalam hidup kita. Pergumulan merupakan suatu proses, suatu
anugrah yang Allah juga berikan di dalam hidup kita, tinggal bagaimana sekarang
kita mencoba untuk menanggapi apa maunya Tuhan. Siap sedia terhadap setiap
jawaban, dan terus belajar di dalam relasi kita mengutamakan Tuhan. Itu adalah
suatu momen di mana kita belajar untuk memuliakan Tuhan dan menikmati Dia
sepanjang waktu.
Sebuah lagu yang menarik yaitu
soundtrack dari film Fireproof: “While I’m Waiting”. Dengar saja lagunya dan
perhatikan setiap kata dalam lagu itu, itulah cinta yang sejati, yaitu cinta
kita kepada Kristus dan cinta Kristus kepada kita, menunjukkan suatu komitmen
penuh kepada Kristus dan semuanya adalah untuk kemuliaanNya.
Pergumulan memang butuh suatu
penantian, tetapi justru di tengah penantian itulah kita perlu belajar untuk
fokus penuh kepada Kristus dan belajar untuk melihat bahwa apapun keputusan
yang kita ambil, semuanya melibatkan Tangan Tuhan yang menuntun untuk mengabdi
dan memuliakanNya.
Selamat bergumul J SOLI DEO GLORIA!