Minggu Palmarum, sebuah momen dimana Yesus dimuliakan di
Yerusalem. Disambut dengan daun palma dengan naik keledai, untuk akhirnya
menjalani momen minggu sengsara. Saat ini kita mengingat kembali bagaimana
Allah yang menjadi manusia, pada akhirnya harus menyerahkan diriNya untuk
menjadi penebus umat manusia. Cukup unik, dan ini hanya ada di Kekristenan.
Bagaimana mungkin Allah mati, bahkan mati dengan cara yang paling hina yang
diketahui manusia pada jaman itu?
Saya tidak akan berbicara banyak mengenai minggu
palmarum. Saya mencoba untuk melihat apa yang dikerjakan Yesus melalui salib.
Mengingat momen paskah, berarti kita mengingat kembali salib. Inti dari
kekristenan itu ada di dalam pribadi Yesus, dan salib merupakan suatu klimaks,
sampai nantinya ada kebangkitan. Di dalam salib itulah seluruh dosa manusia
ditebusNya. Salib itulah yang membuat saudara dan saya menjadi seorang pribadi
yang baru – pribadi yang ingin belajar untuk memuliakan Tuhan Yesus melalui
setiap langkah kehidupan kita.
Implikasi dari kehidupan Yesus yang begitu nyata adalah
kehidupan yang merendahkan diriNya (kenosis). Mengosongkan diri adalah salah
satu bukti bahwa Allah adalah pribadi yang SOLIDER. Ia turut merasakan
penderitaan manusia, bahkan mungkin penderitaan saudara dan saya sama sekali
nggak sebanding dengan apa yang Dia kerjakan di dalam salibNya.
Analoginya seperti ini:
Bayangkan anda
adalah seorang bos besar dari sebuah perusahaan ternama secara internasional.
Tiba-tiba ada seorang pengemis di depan anda, dan pengemis itu mengotori baju
anda. Namun dengan sabar anda tiba-tiba memungut pengemis itu, anda
memberikannya baju yang terbaik, anda membawa dia ke rumah anda. Sekalipun di
rumah itu anda sudah menyediakan segalanya, ternyata dia masih saja ‘nakal’.
Dia menghabiskan harta anda di rumah itu, kemudian dengan santainya dia meminta
maaf kepada anda. Tetapi sekali lagi, anda kemudian membelikannya rumah baru,
dan tingkah lakunya sama sekali tidak berubah. Anda marah kepadanya, tetapi
akhirnya dia memutuskan untuk pergi keluar.
Setelah lama
tinggal di luar rumah itu, sang pengemis ini kembali kepada anda untuk meminta
ampun, sambil dia berjanji untuk berubah. Dengan tangan yang terbuka anda
kemudian menyambut dia dengan sukacita. Namun lagi-lagi, dia mengecewakan anda
dengan minum-minum dan pesta narkoba di tempat anda. Dia kembali ditangkap, dan
kali ini dia harus dihukum mati. Kemudian anda merasa bertanggung jawab atas
pribadi pengemis itu, anda akhirnya datang ke pengadilan, kemudian anda
menyerahkan diri anda untuk menggantikan hukuman yang harus diterima oleh sang
pengemis.
Kisah ini mungkin terlihat sedikit aneh. Mungkin dari
kita berpikir : “hebat juga bos besar itu, kalau saja aku jadi dia, aku gak
bakal mau melakukannya. Di awal saja dia sudah membuatku muak!” Secara manusia
sebagian besar dari kita akan berkata seperti itu.
Saya pun belajar bahwa ketika diperhadapkan dengan
situasi seperti itu, sebenarnya kita tidak pernah mengambil peran sebagai bos
besar itu. Justru sebenarnya kalau kita menyadari bahwa kita orang Kristen,
kita adalah sang pengemis itu. Kita tidak punya apapun yang dapat kita
banggakan, tetapi hal yang terjadi adalah ternyata ada Tuhan, yang melalui
Yesus Kristus membebaskan kita dari setiap dosa yang kita perbuat. Alih-alih
menghukum kita, Ia menyerahkan diriNya menjadi tebusan dosa bagi banyak orang.
Ada suatu saat dimana kita diperhadapkan kepada suatu
peristiwa untuk kita dapat mengampuni atau berhadapan dengan orang-orang yang
begitu menyebalkan di dalam kehidupan kita. Sadarlah bahwa setiap kita pada
saatnya nanti akan menjadi seorang atasan ataupun seorang pimpinan. Kita akan
berhadapan dengan orang-orang yang mungkin menjadi orang yang paling
menyebalkan di dalam kehidpan kita. Nah pertanyaannya sekarang adalah bagaimana
sikap hidup kita di dalam menghadapi kondisi seperti itu?
Ketika Tuhan Yesus sudah menentukan sikapnya di dalam
hidup kita, Ia menunjukkan satu teladan yang sempurna. Teladan yang mana kita
boleh belajar bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia sama sekali tidak
mengubah tujuan hidupNya untuk memuliakan Allah. Ia sama sekali tidak
terpengaruh oleh keadaan dimana Dia harus menghadapi berbagai tekanan hidup.
Ingat, di dalam natur manusiaNya, Ia juga merasakan sakit hati. Ia juga
merasakan dikhianati. Ia merasakan berbagai emosi yang membuat Dia sampai
menitikkan air mata dan darah di Getsemani. Semuanya adalah karena Ia taat
kepada Bapa.
Sementara itu di Timur Tengah saat ini sedang bergejolak
problematika masalah ISIS. Kita melihat bagaimana umat Kristen diminta untuk
memilih apakah ikut Tuhan, ataukah menyangkalNya. Ikut Tuhan berarti mati,
menyangkalNya berarti hidup. Mungkin tidak seekstrim itu kita diperhadapkan
pada problematika seperti itu, tetapi justru di dalam kehidupan keseharian kita
pun kita dituntut untuk membuat pilihan-pilihan, yang tidak kita sadari, mau
ikut Tuhan ataukah ikut dunia.
Kita belajar bahwa ketika Allah telah menyerahkan
nyawaNya di dalam kehidupan kita, maka kita pun dituntut untuk memiliki satu
komitmen mengikut DIa. Mengikut Dia dan memikul salib, sekalipun berat, namun
kita belajar untuk mengikuti teladan yang Tuhan berikan. Dia adalah Allah yang
solider, Allah yang turun ke dunia untuk membebaskan dosa manusia. Masuk akal?
Sepertinya tidak, tetapi realitasnya seperti itu. Kita tidak akan bisa menghapus
dosa kita sendiri, dan karena itulah kita masih membutuhkan kurban itu. Allah
telah menjadi kurban yang sempurna untuk dosa-dosa kita. Pertanyaannya adalah
apakah kita sudah siap hidup sebagai kurban? Hidup yang belajar untuk memaknai
panggilan Allah atas kehidupan kita?
Soli Deo Gloria