Total Pageviews

Sunday, March 29, 2015

Indahnya Kerendahan Hati - Perenungan Mengenai Salib dan Maknanya dalam Hidup

Minggu Palmarum, sebuah momen dimana Yesus dimuliakan di Yerusalem. Disambut dengan daun palma dengan naik keledai, untuk akhirnya menjalani momen minggu sengsara. Saat ini kita mengingat kembali bagaimana Allah yang menjadi manusia, pada akhirnya harus menyerahkan diriNya untuk menjadi penebus umat manusia. Cukup unik, dan ini hanya ada di Kekristenan. Bagaimana mungkin Allah mati, bahkan mati dengan cara yang paling hina yang diketahui manusia pada jaman itu?

Saya tidak akan berbicara banyak mengenai minggu palmarum. Saya mencoba untuk melihat apa yang dikerjakan Yesus melalui salib. Mengingat momen paskah, berarti kita mengingat kembali salib. Inti dari kekristenan itu ada di dalam pribadi Yesus, dan salib merupakan suatu klimaks, sampai nantinya ada kebangkitan. Di dalam salib itulah seluruh dosa manusia ditebusNya. Salib itulah yang membuat saudara dan saya menjadi seorang pribadi yang baru – pribadi yang ingin belajar untuk memuliakan Tuhan Yesus melalui setiap langkah kehidupan kita.

Implikasi dari kehidupan Yesus yang begitu nyata adalah kehidupan yang merendahkan diriNya (kenosis). Mengosongkan diri adalah salah satu bukti bahwa Allah adalah pribadi yang SOLIDER. Ia turut merasakan penderitaan manusia, bahkan mungkin penderitaan saudara dan saya sama sekali nggak sebanding dengan apa yang Dia kerjakan di dalam salibNya.

Analoginya seperti ini:
Bayangkan anda adalah seorang bos besar dari sebuah perusahaan ternama secara internasional. Tiba-tiba ada seorang pengemis di depan anda, dan pengemis itu mengotori baju anda. Namun dengan sabar anda tiba-tiba memungut pengemis itu, anda memberikannya baju yang terbaik, anda membawa dia ke rumah anda. Sekalipun di rumah itu anda sudah menyediakan segalanya, ternyata dia masih saja ‘nakal’. Dia menghabiskan harta anda di rumah itu, kemudian dengan santainya dia meminta maaf kepada anda. Tetapi sekali lagi, anda kemudian membelikannya rumah baru, dan tingkah lakunya sama sekali tidak berubah. Anda marah kepadanya, tetapi akhirnya dia memutuskan untuk pergi keluar.

Setelah lama tinggal di luar rumah itu, sang pengemis ini kembali kepada anda untuk meminta ampun, sambil dia berjanji untuk berubah. Dengan tangan yang terbuka anda kemudian menyambut dia dengan sukacita. Namun lagi-lagi, dia mengecewakan anda dengan minum-minum dan pesta narkoba di tempat anda. Dia kembali ditangkap, dan kali ini dia harus dihukum mati. Kemudian anda merasa bertanggung jawab atas pribadi pengemis itu, anda akhirnya datang ke pengadilan, kemudian anda menyerahkan diri anda untuk menggantikan hukuman yang harus diterima oleh sang pengemis.

Kisah ini mungkin terlihat sedikit aneh. Mungkin dari kita berpikir : “hebat juga bos besar itu, kalau saja aku jadi dia, aku gak bakal mau melakukannya. Di awal saja dia sudah membuatku muak!” Secara manusia sebagian besar dari kita akan berkata seperti itu.

Saya pun belajar bahwa ketika diperhadapkan dengan situasi seperti itu, sebenarnya kita tidak pernah mengambil peran sebagai bos besar itu. Justru sebenarnya kalau kita menyadari bahwa kita orang Kristen, kita adalah sang pengemis itu. Kita tidak punya apapun yang dapat kita banggakan, tetapi hal yang terjadi adalah ternyata ada Tuhan, yang melalui Yesus Kristus membebaskan kita dari setiap dosa yang kita perbuat. Alih-alih menghukum kita, Ia menyerahkan diriNya menjadi tebusan dosa bagi banyak orang.

Ada suatu saat dimana kita diperhadapkan kepada suatu peristiwa untuk kita dapat mengampuni atau berhadapan dengan orang-orang yang begitu menyebalkan di dalam kehidupan kita. Sadarlah bahwa setiap kita pada saatnya nanti akan menjadi seorang atasan ataupun seorang pimpinan. Kita akan berhadapan dengan orang-orang yang mungkin menjadi orang yang paling menyebalkan di dalam kehidpan kita. Nah pertanyaannya sekarang adalah bagaimana sikap hidup kita di dalam menghadapi kondisi seperti itu?

Ketika Tuhan Yesus sudah menentukan sikapnya di dalam hidup kita, Ia menunjukkan satu teladan yang sempurna. Teladan yang mana kita boleh belajar bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia sama sekali tidak mengubah tujuan hidupNya untuk memuliakan Allah. Ia sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan dimana Dia harus menghadapi berbagai tekanan hidup. Ingat, di dalam natur manusiaNya, Ia juga merasakan sakit hati. Ia juga merasakan dikhianati. Ia merasakan berbagai emosi yang membuat Dia sampai menitikkan air mata dan darah di Getsemani. Semuanya adalah karena Ia taat kepada Bapa.

Sementara itu di Timur Tengah saat ini sedang bergejolak problematika masalah ISIS. Kita melihat bagaimana umat Kristen diminta untuk memilih apakah ikut Tuhan, ataukah menyangkalNya. Ikut Tuhan berarti mati, menyangkalNya berarti hidup. Mungkin tidak seekstrim itu kita diperhadapkan pada problematika seperti itu, tetapi justru di dalam kehidupan keseharian kita pun kita dituntut untuk membuat pilihan-pilihan, yang tidak kita sadari, mau ikut Tuhan ataukah ikut dunia.

Kita belajar bahwa ketika Allah telah menyerahkan nyawaNya di dalam kehidupan kita, maka kita pun dituntut untuk memiliki satu komitmen mengikut DIa. Mengikut Dia dan memikul salib, sekalipun berat, namun kita belajar untuk mengikuti teladan yang Tuhan berikan. Dia adalah Allah yang solider, Allah yang turun ke dunia untuk membebaskan dosa manusia. Masuk akal? Sepertinya tidak, tetapi realitasnya seperti itu. Kita tidak akan bisa menghapus dosa kita sendiri, dan karena itulah kita masih membutuhkan kurban itu. Allah telah menjadi kurban yang sempurna untuk dosa-dosa kita. Pertanyaannya adalah apakah kita sudah siap hidup sebagai kurban? Hidup yang belajar untuk memaknai panggilan Allah atas kehidupan kita?

Soli Deo Gloria


Sunday, March 15, 2015

Menikmati Anugrah Allah

Pernahkah membayangkan bahwa ternyata seluruh hidup kita adalah tentang Allah? Ketika kita makan, ketika kita tidur, ketika kita mengerjakan aktivitas kita, ternyata Allah turut bekerja.

Manusia di tengah berbagai kecanggihan teknologi terkini mulai kehilangan kemanusiaannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanggaan seseorang saat ini adalah ketika dia punya gadget terbaru. Akhirnya fokus hidupnya hanyalah untuk mengejar hal tersebut.

Berbagai hal dan penemuan baru membuat kita semakin excited dan mungkin akhirnya kita melupakan berkat-berkat kecil ataupun besar yang Tuhan sediakan atas kehidupan kita. Kita menjadi pribadi-pribadi yang cepat sekali mengeluh manakala tidak mendapatkan hal yang kita inginkan. Kita akhirnya menjadi pribadi-pribadi yang begitu apatis, kita jadi pribadi yang egois, kita selalu ingin lebih dan lebih.

Menikmati anugrah Allah di dalam kehidupan bukan berarti bahwa Allah harus selalu memberikan segala hal yang kita minta. Itu sih namanya rakus. Oke kita melihat kembali bahwa ternyata sifat rakus yang dimiliki manusia ternyata sudah ada dari dulu. Kita melihat dihancurkannya menara Babel. Tetapi yang paling dapat kita pelajari dari Perjanjian Lama sendiri adalah bagaimana kisah perjalanan bangsa Israel sekeluar mereka dari tanah Mesir.

Pernah membayangkan berjalan selama 40 tahun? 40 tahun yang dirasakan bangsa Israel dengan begitu lama dan akhirnya dari generasi selama 40 tahun itu, hanya 2 orang dari generasi eksodus itu yang masuk ke tanah perjanjian. Siapa mereka? Kaleb bin Yefune, dari suku Yehuda, dan Yosua bin Nun, yang dipercaya sebagai suksesor dari Musa.

Selama 40 tahun perjalanan bangsa Israel keluar dari Mesir, kita melihat bagaimana pergumulan bangsa itu dengan luar biasa. Tetapi di tengah pergumulan itu ada berkat dan kasih Allah Yehova yang begitu besar di dalam kehidupan mereka. Sekeluar mereka dari Mesir, mereka diberikan tiang awan dan tiang api. Kemudian ketika kelaparan, mereka mendapatkan manna. Ketika mereka haus, Allah menyediakan air. Mereka bosan makan manna, mereka diberikan akanan makanan lain yakni burung.

Kurang apa sih Allah di dalam kehidupan Israel? Kelihatannya Allah ialah Allah yang begitu kejam, sampai memutar-mutar bangsa itu hingga 40 tahun. Tetapi selama 40 tahun itulah ternyata semakin kelihatan seperti apa sikap bangsa Israel terhadap penyertaan Tuhan. Mereka tetap menjadi bangsa yang tegar tengkuk. Mereka tetap ingin kembali ke Mesir. Mereka terngiang oleh memori lama mereka. Mereka gagal melihat bagaimana karya Allah di dalam kehidupan mereka.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan masa kini. Memaknai hidup yang berasal dari Allah ternyata merupakan hal yang begitu sulit kita lakukan sebagai seorang Kristen. Bersyukur menjadi suatu hal yang hampir tidak mungkin karena ternyata rasa syukur kita dinilai dari materi. Ketika gadget kita kalah canggih dengan orang lain, kita menggerutu. Ketika kita makan di restoran mahal yang harganya mahal, kita protes. Ketika kita mendapatkan gaji bulanan yang sudah cukup besar, kita masih saja mengeluh karena gaji itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.

Mulai terlihat kan persamaan antara kita dengan bangsa Israel? Alih-alih kita bersyukur atas segala hal yang sudah Dia sediakan di dalam kehidupan kita, ternyata kita jauh lebih banyak mengeluh atas kondisi yang kita hadapi. Kita selalu tidak puas dan akhirnya hal itu membuat kita tidak bisa “merayakan” anugrah yang Tuhan berikan atas kehidupan kita. Padahal anugrah yang paling sederhana pun yang dapat kita rasakan: ketika kita masih bisa bernafas; itupun jarang kita syukuri.

Ketika kita mengetahui dan memaknai anugrah Allah, kita dapat menikmatinya dengan suatu sukacita surgawi. Berkat Tuhan itu selalu “more than meets the eye”, yang berarti kita tidak pernah bisa melihat kalau kita tidak belajar untuk hening sejenak, diam dan memaknai betapa besar kasih Allah di dalam kehidupan kita. Kebermaknaan hidup didapatkan ketika kita belajar untuk melihat karya Allah yang bahkan tidak dapat kita lihat secara fisik. Ketika kita tidak dapat melihat berbagai karyaNya, kita perlu belajar untuk meminta dan memaknai anugrah – bahkan sekecil apapun anugrah itu.

Sama seperti kita memaknai lagu, kita bisa belajar dari memaknai anugrah Allah di dalam kehidupan kita. Maksudnya seperti apa? Teman-teman, kalau kita lihat dari lagu-lagu hymn yang ada di buku lagu NKB, PKJ, dan KJ, kesan apa yang teman-teman dapatkan? Jadul? Ya itu jawaban yang paling sering dinyatakan. Tetapi kalau teman-teman melihat ada banyak lagu yang ternyata justru maknanya begitu dalam, begitu indah, begitu menyentuh hati kalau kita memaknainya. Bayangkan contohnya lagu “Bila Kulihat Bintang Gemerlapan”, yang mengungkapkan keagungan karya Allah dan ketakjuban penulis. Pernyataan iman atas keindahan ciptaan yang menggambarkan karya Allah, itulah yang dimaknai penulis lagu ini.

Ungkapan syukur itu akan selalu menghasilkan sesuatu yang positif dalam kehidupan kita. Anugrah itu tersedia atas kehidupan kita. Berbagai proses baik itu menyenangkan ataupun menyakitkan, semuanya sudah dirancang oleh Allah untuk menjadikan kita pribadi-pribadi yang mampu melihat “lebih dari yang dilihat mata”. Artinya kita belajar bukan hanya melihat, tetapi mengapresiasi karya Allah. Mengapresiasi kehidupan yang sudah Ia anugrahkan dan akhirnya kita menyatakan rasa syukur itu melalui kehidupan kita.

Akhirnya ungkapan syukur itu akan menjadi sesuatu yang dapat memberkati banyak orang. Seseorang yang menyadari akan anugrah Allah akan begitu menikmati kehidupan dekat denganNya. Ia akan menikmati momen-momen dimana Kristus ada di dalam kehidupannya, menuntun dia dan terus membuat dia menjadi seseorang yang selalu mengucap syukur.

Saya menutup perenungan ini dengan sebuah kisah dari Joni Earackson Tada. Dia adalah seorang wanita yang begitu cantik. Dia pintar, punya begitu banyak bakat, dan masa depannya terasa begitu cemerlang. Suatu hari, Joni pergi untuk berolahraga di laut. Musibah terjadi di dalam kehidupannya. Joni yang punya begitu banyak cita-cita ternyata tidak sengaja menabrak sebuah karang. Hal ini membuat seluruh badannya dari leher ke bawah mengalami lumpuh.

Dokter pun sudah mengkonfirmasi mengenai kehidupannya. Ia akan mengalami kelumpuhan seumur hidup. Respons Joni? Ia marah pada awalnya, tetapi ia belajar untuk menenangkan diri. Ia akhirnya belajar untuk melihat lebih dari yang dilihat manusia. Ia melihat Allah memanggil Dia untuk berkarya bagi kerajaanNya. Apa itu? Ia akhirnya menjadi seorang penulis buku, di tengah berbagai keterbatasannya. Ia menjadi seorang pengkotbah dan ia mulai belajar menggunakan mulutnya, matanya, seluruh hal yang masih dapat ia gunakan untuk berkarya di dalam kehidupan yang Tuhan percayakan dalam kehidupannya.


Kalau kehidupan kita ternyata masih belum ada di titik yang terendah, atau mungkin teman-teman sedang mengalami hal-hal yang membuat teman-teman gagal untuk melihat karya Tuhan, sekarang saatnya kita belajar untuk melihat lebih dari yang dilihat mata. Ketika Tuhan memberikan berbagai proses hidup, semuanya adalah untuk kebaikan kita. Semuanya adalah untuk membentuk kita menjadi pribadi-pribadi yang kuat untuk menghadapi berbagai proses kedepan untuk kita dapat hidup. Pertanyaannya, maukah teman-teman belajar memaknainya?

Sunday, March 1, 2015

Are You Ready for A Date?


Ini adalah sebuah percakapan pada saat aku berada di dunia kampus.

“Sabtu ini kamu kemana, yas?”
“Oh, aku ke gereja. Ada persekutuan di gereja. Kalau kamu kemana?”
“Ehm aku mau ke Galaxy Mall, yas, ama cowokku.”

Well, asyik juga ya sepertinya kalau udah punya pacar, dan kemudian bisa keluar bareng, makan bareng, nonton bareng, segalanya bareng. Serasa dunia milik berdua. Yap, pacaran menjadi sebuah proses yang begitu menyenangkan. Itu mungkin yang mendasari ada lagu “Jatuh Cinta Berjuta Rasanya” dan menjadi sebuah lagu yang nge-hits. Percakapan di atas terjadi saat aku belum punya pacar. J

Hmmm lalu apa yang dilakukan sebenarnya saat pacaran? Apakah pacaran itu identik ama seneng-senengnya aja? Tunggu teman-teman. Hidup itu nggak seindah di FTV, tetapi aku bisa katakan JAUH LEBIH INDAH dari FTV. Manakala FTV memperlihatkan begitu mudahnya perjuangan seorang cowok mendapatkan cinta seorang cewek, kita sudah tahu kok endingnya. Tetapi ketika hal itu dibawa ke dunia nyata, it’s totally different.

Tetapi kalau kita merenungkan kembali nih, kenapa kok aku bisa bilang bahwa hidup ini jauh lebih indah dari FTV? Karena ternyata memang ending dari cerita cinta kita tidak jelas dari sudut pandang manusia. Ketika kita mulai pedekate dengan seseorang yang kita suka, ada kalanya kita mendapatkan respon yang positif, tetapi nggak jarang juga kita nggak direspons (Sakitnya tu disini, prens… percaya deh). Tetapi dibalik duka yang bertubi-tubi itu, ada sukacita yang begitu besar yang sudah Tuhan persiapkan. Percayalah bahwa Ia sedang menyusun sebuah lagu yang begitu indah, dalam sebuah simfoni kisah cinta antara dua insan yang mau belajar untuk hidup di dalam Dia.

Okey aku akan coba berikan beberapa prinsip berpacaran. Artikel ini merupakan sharing aja. Artinya ini bukan sebuah hal yang ‘saklek’ harus kita jalankan. Tetapi harapannya ada sisi positif yang teman-teman bisa ambil.

1.     Fokus Pada Allah
Aku rasa ini adalah prinsip pertama dari segala hal yang kita lakukan. Yep, first of all, kalau mau memulai sebuah hubungan kita perlu mulai dengan mencintai Allah di dalam hidup kita. Okey, mungkin sebagian gak setuju dengan prinsip ini, karena kayaknya terlalu rohani banget. Tetapi begini, teman, dengan kita belajar untuk menikmati hubungan kita dengan Allah, kita menjadi pribadi yang gak banyak menuntut pasangan kita untuk melakukan sesuatu. Dasar dari prinsip lain ini adalah kita belajar meletakkan Allah sebagai pengendali hubungan pacaran kita.

2.     Prinsip Kenosis
Kenosis berarti ‘merendahkan diri serendah-rendahnya’. Nah ini terkadang muncul manakala ada satu pihak yang lebih superior disbanding pihak lain di dalam suatu hubungan. Ada pihak yang merasa harus mengalah karena memang dia minder kepada pasangannya. Kalau berdasarkan pengalamanku juga, hal ini kadang perlu kita latih terus menerus. Kita perlu belajar untuk merendahkan diri kita. Contohnya adalah kita belajar untuk masuk ke dunianya. Artinya bahwa setiap pihak perlu belajar untuk salingf mengalah dan nggak ngotot. Nggak merasa superior atas hal-hal yang ia lakukan. Kenosis ini paling jelas ditunjukkan oleh Tuhan Yesus. Prinsip ini menjadi salah satu prinsip di dalam melayani pasangan kita.

3.     Jujur di Hadapan Pasangan
Napa kok aku bilang kita perlu prinsip nomor 1? Sebenarnya adalah ini. Waktu kita pacaran, ada kalanya kita belajar untuk menampilkan sesuatu yang baik di hadapan pacaran kita. Dulu aku berpikir bahwa aku akan memperbaiki kelakuanku setelah aku jadian. Tetapi ternyata hal itu merupakan gombalan dan kebohongan terbesar dari kaum pria. Nah prinsip nomor 1 membawa kita untuk belajar jujur terlebih dahulu di hadapan Tuhan. Mengakui bahwa pribadi kita ini lemah, sehingga kalau di hadapan kita Tuhan sudah menyediakan seseorang, itu semuanya anugrah! Itu adalah momen dimana kita belajar untuk saling belajar jujur dan terbuka di hadapan pasangan kita, sehingga nggak ada shock theraphy yang terlalu berlebihan saat nanti kita sudah menikah. Banyak orang yang menikah tanpa mengenal pasangannya terlebih dulu. Banyak yang langgeng juga karena mereka belajar menerima satu dengan yang lain. Alangkah baiknya kalau proses ini dapat kita lakukan saat kita pacaran.

4.     Bertumbuh di Dalam Tuhan
Kalau di dalam hubungan pacaran kita ternyata kita menjadi orang yang makin menyebalkan, segera deh evaluasi relasi kita. Hal ini tentu berawal dari PDKT. Ketika kita sedang dalam proses PDKT ternyata kita menjadi pribadi yang makin egois dan posesif, kita perlu mengevaluasi sebenarnya kita mencintai atau menafsui. Ketika kita memasuki relasi pacaran seharusnya masing-masing semakin bertumbuh di dalam Tuhan. Cara bertumbuhnya gimana? Hmm ada banyak sih. Salah satu contohnya adalah melakukan aktivitas bareng, kemudian melayani bersama. Ada banyak aktivitas positif yang bisa kita lakukan sebagai pasangan.

5.     Open Your Eyes!
Orang bilang ‘cinta itu buta’. Ya, saya melihat ada banyak orang yang akhirnya terperangkap di dalam suatu hubungan yang sebenarnya tidak mereka inginkan namun akhirnya mereka memaksakan diri untuk masuk ke hubungan itu. Ketika kita mulai proses PDKT kita perlu membuka mata kita dan juga telinga kita lebar-lebar. Jangan pernah mengkompromikan hal-hal yang kita nggak sukai dari calon pasangan kita. Belajar untuk melihat kekurangan dan belajar terbuka dengan calon pasangan ketika dia melakukan hal yang nggak bener. Hal ini sebenarnya akan sangat berkaitan dengan prinsip nomor 3 dan 4.

6.     Love is something worth waiting & fighting for
Cinta itu menuntut suatu penantian dan pengorbanan. Okey dalam artian penantian, kita perlu belajar untuk menunggu. Menunggu apa? Menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan, menunggu jawaban yang berasal dari Tuhan yang merupakan hasil pergumula. Lalu mengapa harus belajar untuk fighting for? Yup kita perlu belajar untuk memperjuangkan cinta. Artinya kita belajar untuk berkorban, belajar untuk mengutamakan pasangan kita, belajar untuk menyesuaikan diri dengan dia, dan terus belajar untuk mengerjakan bagian kita di dalam membangun suatu relasi.


Cinta itu seperti maut, demikianlah penulis Kidung Agung menuliskannya. Mengapa seperti maut? Karena cinta pasti akan datang. Manakala cinta itu datang, cinta itu tidak mungkin dapat ditolak. Tidak ada hal yang dapat menahan cinta. Sadarlah bahwa maut bagi orang Kristen adalah sesuatu yang menyenangkan. Lho? Itulah yang Paulus katakan bahwa ‘mati adalah keuntungan’, karena ia bertemu dengan Kristus. Nah pacaran di dalam Tuhan adalah sebuah cinta yang didasari di dalam cinta akan Kristus. Ketika cinta itu sudah didasari pada kasih Allah di dalam hidup kita, maka kita akan mendapatkan sebuah kebahagiaan sejati di dalam Dia. Pacaran di dalam kekudusanNya. Pacaran di dalam suatu kesadaran bahwa cinta itu berasal dari Dia dan akhirnya hubungan kita adalah untuk memuliakanNya.