Total Pageviews

Friday, October 27, 2017

Mempertahankan Identitas Hidup

What are you? The god of hammer?” demikianlah pertanyaan Odin kepada Thor manakala ia merasa kesulitan untuk menang melawan Hela di dalam film Thor: Ragnarok. Pertanyaan ini membuat Thor sadar bahwa sumber kekuatannya bukanlah dari sebuah palu, yang hancur, tetapi dari semulanya ia adalah seorang dewa petir (god of thunder). Menarik sekali hal ini untuk kita renungkan karena kita sebagai orang Kristen pun lupa akan identitas kita sebagai warga sorga. Kita seakan-akan kehilangan identitas kita di dalam berbagai rutinitas hidup yang menarik kita dari kasih Bapa dalam hidup kita.

Memegang Teguh Keselamatan
2 Korintus 5:15
Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka. 

Berbicara mengenai keselamatan tidak dapat dilepaskan dari bagaimana karya Kristus di dalam kehidupan orang percaya. Kesadaran bahwa keselamatan merupakan anugrah akan mengingatkan diri kita, siapakah sebenarnya kita. Ketika Tuhan telah menyelamatkan kita, kita yang adalah hamba dosa, statusnya diubah menjadi hamba kebenaran (Roma 6:20-23). Hamba kebenaran identik dengan kita menjadi hamba dari kasih karunia.

Hamba kasih karunia berarti kita belajar untuk senantiasa berpegang teguh pada kasih karunia. Kita taat terhadap kasih karunia yang Tuhan berikan – sama seperti ketika seorang hamba takluk terhadap tuannya. Seorang hamba sama sekali tidak punya hak atas hidupnya sendiri. Seorang hamba seumur hidupnya hanyalah menjadi suruhan, yang tidak punya hak apapun kecuali tuannya memberikan hak tersebut.

Itulah mengapa Paulus menuliskan dalam suratnya untuk kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri, tetapi untuk Dia yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka. Kristus yang memberikan kehidupan bagi kita, maka selayaknyalah hidup kita pun dipersembahkan kepada Dia yang empunya kehidupan kita.

Respons Terhadap Kasih Karunia
2 Korintus 5:17
Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. 

Menjadi ciptaan baru berarti benar-benar menjadi pribadi yang baru. Kita yang percaya kepada karya keselamatan sudah diberikan sebuah tujuan hidup yang baru. Senantiasa karena kita pun menjadi manusia baru. Paulus mengatakan : “yang lama sudah berlalu”, artinya segala sesuatu yang ada di dalam kehidupan lama kita adalah sesuatu yang harus kita tinggalkan dan tanggalkan di dalam kita menjalani hidup kita sebagai manusia baru.

Menjalani hidup sebagai milikNya berarti kita menjalankan hal-hal yang Tuhan mau kita kerjakan. Ketika hidup kita bukan milik kita sendiri, itu berarti bahwa kita perlu senantiasa belajar untuk memahami kehendak Allah dalam hidup – sembari kita belajar melakukannya. Semata-mata sebagai sebuah ungkapan syukur bahwa Tuhan sudah memberikan segalanya bagi hidup kita. Segalanya? Yes. Segalanya! Tuhan sudah memberikan bahkan hidup-Nya melalui karya Kristus. Selayaknyalah kita belajar juga memberikan segenap hidup kita kepada Dia.

Yang baru sudah datang! Demikianlah kita perlu belajar mengingat identitas baru kita di dalam kita hidup di dunia ini. Identitas yang melekat ini tidak akan dipengaruhi oleh hal lain selain iman percaya kita.

Aplikasi
Ketika Tuhan sudah menjadikan kita manusia baru di dalam Kristus, identitas kita tidak ditentukan dari atribut yang kita gunakan. Seperti di awal, Thor mendefinisikan status dewanya (kalau kita lihat di film-film sebelumnya, hidupnya ditentukan benar-benar oleh Mjolnir, palu yang diberikan Odin kepadanya), dan itu tidak jauh berbeda dengan hidup kita. Kita seringkali diikat oleh atribut-atribut yang ada di dalam kehidupan kita bukan? Entah itu kecerdasan kita, harga diri kita, dan sebagainya.

Ketika sadar bahwa kita ciptaan baru, maka sudah selayaknya kita belajar buat bersyukur atas identitas yang Tuhan karuniakan dalam hidup kita. Melalui identitas itulah kita tidak perlu takut dan ragu dalam menjalani hidup ini. Senantiasa kita belajar untuk bersukacita di dalam Tuhan. Senantiasa kita belajar untuk bersyukur dan tidak kuatir dalam menjalani kehidupan ini.

Hidup kita tidak ditentukan dari setiap atribut yang kita punya. Kita belajar buat percaya bahwa segala hal yang kita punya adalah milik Tuhan, yang sewaktu-waktu dapat diambil. Tetapi status kita sebagai anak-anak Allah merupakan hal yang paling penting. Keselamatan yang Tuhan berikan – itu cukup bagi setiap kita – seperti Paulus yang senantiasa dapat bersyukur atas setiap kelemahan yang ia miliki, sehingga ia dapat memahami perkataan Allah “cukuplah kasih karuniaku”.

Ketika sumber kekuatan kita – entah itu kekayaan kita, keberhasilan kita, jabatan kita, dan setiap hal di dunia ini lenyap, marilah kita senantiasa belajar bahwa satu-satunya sumber kekuatan kita adalah Kristus – yang dinyatakan melalui kehidupan keseharian kita. Kasih karunia Allah itu lebih dari cukup dalam kita dapat menjalani kehidupan ini. Seperti Thor yang kehilangan palunya tetapi dia tetap mengingat identitasnya, marilah kita sebagai anak-anak Allah juga belajar untuk memegang teguh kasih karunia yang sudah Tuhan anugrahkan dalam hidup kita untuk menjalani kehidupan yang penuh tantangan ini

Soli Deo Gloria!

Monday, October 23, 2017

Bersukacitalah Senantiasa

Seseorang berkata kepadaku: “Pura-pura bahagia juga butuh tenaga”. Well said! Dan memang itulah yang terjadi di dalam hidup yang penuh dengan kepalsuan atau pura-pura. Kita sadar, yakin dan percaya bahwa menjadi seseorang yang otentik adalah suatu hal yang membuat kita lega. Kepura-puraan hanya akan membuat kita menjadi pribadi yang lelah dalam menghadapi kehidupan ini, termasuk pura-pura bahagia.

Inilah yang menjadi permasalahan di sekitar kita saat ini. Begitu banyak orang yang menikmati pura-pura bahagia ini. Lupa bahwa butuh energi, butuh memiliki dua kepribadian, dan hidup di dalam kebohongan.

Satu-Satunya Alasan
Apa yang membuat kita dapat bersukacita di dalam hidup ini? Orang dunia menyebut bahwa hal yang membuat kita bersukacita ini bisa disimpulkan sebagai 5P yakni Power, Position, Prestige, Pleasure, dan Prosperity. Ada 1 tambahan mungkin buat temen-temen yang masih jomblo à partner (in life). Jadi pada prinsipnya ada begitu banyak hal di dunia ini yang kita kejar.

Pertanyaannya kalau hidup kita bersukacita hanya karena hal-hal tersebut, kita akan begitu banyak kehilangan sukacita kita. 5P (atau bahkan 6P) seperti yang disebutkan di atas begitu terbatas dan memang sesuatu yang begitu fana. Bahkan yang keenam, suatu saat akan hilang (tentu bukan dicuri, tapi pasangan hidup kita pada akhirnya juga akan tiada bukan?)

Ada hal lain berarti diluar 6P ini yang seharusnya memiliki nilai yang kekal, yang tidak hanya sementara. Apakah itu?

Harta yang Terpendam dan Mutiara yang Berharga
Sangat jelas dalam benak kita kalau hal yang paling berharga di dunia ini adalah sesuatu yang nilainya kekal. Hal ini pula yang disampaikan oleh Yesus mengenai perumpamaan tentang harta yang terpendam dan mutiara yang berharga (Mat 13:44-46).

Sebentar, itu kan buat nanti? Bukankah sorga itu sesuatu yang belum kita alami? Bagaimana mungkin kita bisa bersukacita?

Kerajaan sorga bukanlah sesuatu yang terjadi in the future. Kerajaan sorga adalah sesuatu yang riil manakala seseorang mengaku bahwa Yesus adalah satu-satunya juruselamatnya. Melalui anugrah inilah kita dapat memahami bahwa hal kerajaan sorga itu sesuatu yang riil terjadi dalam hidup kita. Ada perubahan pola pikir – yang mana Paulus tuliskan dalam 2 Korintus 5:17

Jadi perubahan pola pikir inilah yang dapat membuat kita bersukacita. Paulus pun menuliskan di dalam suratnya kepada jemaat Filipi dalam Flp 3:1-11 mengenai bagaimana ia memahami iman kepada Kristus sebagai satu-satunya yang paling berharga di dalam hidupnya. Bahwasanya segala hal lain yang dianggapnya merupakan suatu kebanggaan di masa lampaunya bahkan menjadi penghalang bagi dia untuk mengenal Kristus – karena di dalam berbagai kebanggaannya itu matanya akan menjadi sulit tertuju kepadaNya.

Siapa Tuan Kita?
Sikap hidup kita akan mencerminkan kepada siapa kita menyembah. Ketika sedikit-sedikit kita masih menginginkan harta, sadar atau tidak kita sedang menyembah harta. Ketika kita masih sering berpikir tentang tahta kita, kemungkinan besar fokus hidup kita adalah tahta dan kekuasaan.

Ada begitu banyak hal yang akan menghalangi pandangan kita satu-satunya kepada Kristus. Bukan berarti bahwa kita tidak boleh memiliki berbagai hal itu, tetapi yang harus dipahami adalah bukan itu hal-hal terutama yang menentukan sukacita kita. Pemahaman ini akan membuat kita memiliki cara pandang hidup yang baru.

Konsep kekristenan dalam memandang 6P tadi adalah bahwa segalanya adalah titipan yang bisa diambil kapanpun oleh Tuhan. Umur panjang, uang yang banyak, istri yang cantik, harta berlimpah, itu semua semata-mata adalah anugrah yang Tuhan percayakan dalam hidup kita. Kesadaran akan hal tersebut akan membuat kita menjadi pribadi yang dapat senantiasa bersukacita dalam Tuhan, apapun kondisinya.

Percaya Penuh pada RencanaNya
Rencana Tuhan adalah rencana penuh sukacita dan damai sejahtera. Tapi kok kita sering nggak merasakannya yah? Bukankah realitas hidup ini ternyata membuat kita tidak damai? Begitu banyak kekacauan dan kehilangan yang kita alami yang membuat kita kehilangan sukacita kita.

Ketika kita belajar memandang kepada Kristus, bukan berarti sukacita itu akan senantiasa ada. Tetap kita akan merasakan kehilangan ketika kita kehilangan. Bedanya terletak pada bagaimana kita menyikapi setiap kehilangan itu. Percayalah bahwa kehilangan adalah salah satu cara Tuhan untuk kita dapat mengenal Dia lebih dalam lagi.

Ada begitu banyak hal yang akan menghalangi pandangan kita kepada Kristus. Apakah itu ambisi kita, uang kita, bahkan pasangan hidup kita. Kalau kita tidak belajar untuk fokus dan belajar melepas, maka halangan itu akan terus ada. Mari kita belajar memfokuskan pandangan kita kepada Kristus – dengan cara menyadari bahwa segala sesuatu yang Tuhan berikan dalam hidup ini senantiasa bukanlah sumber sukacita utama kita. Biarlah keselamatan yang Tuhan berikan merupakan satu-satunya hal yang memuaskan hidup kita dan memampukan kita untuk benar-benar bahagia, untuk menikmati sukacita yang Ia sediakan.

Jadi janganlah kita hanya pura-pura bahagia dalam hidup ini, tetapi jadilah pribadi yang benar-benar bahagia – semata-mata karena sudah menerima anugrah keselamatan yang Tuhan sediakan.

Soli Deo Gloria.

Friday, September 22, 2017

Menghargai Rencana Tuhan Dalam Hidup




 Kejadian 50:15-21


Kisah Yusuf pada bagian ini berbicara mengenai bagaimana kita belajar untuk memaafkan setiap hal buruk yang sudah direncanakan orang lain. Tetapi kalau kita pelajari lebih dalam, kisah ini juga mengajarkan begitu banyak hal lain, yakni tentang bagaimana kita bersyukur dan bagaimana kita menjawab serta memaknai panggilan dan rencana Tuhan di dalam kehidupan kita.

Garis Besar Kehidupan Yusuf

Kita tahu bahwa semuanya dimulai dari sebuah mimpi. Mimpi Yusuf yang mengakibatkan dia dijual oleh saudara-saudaranya dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan harga budak normal. Perjalanan ini adalah perjalanan yang jauh, dari Dotan menuju ke Mesir, dan bisa dibayangkan – tanpa onta (karena dia adalah orang yang dibeli), kemudian tentu saja tidak ada jalan raya di jaman itu. Jadi ini adalah perjalanan yang begitu jauh dan berbahaya.

Normalkah ketika seseorang ngambek di dalam perjalanan seperti sampai menumpuk dendam kepada orang-orang yang menyebabkan dia menjadi seperti ini? Yusuf di dalam menempuh perjalanan yang jauh itu tentu ada kondisi dimana dia lelah, dia kehausan, dan dia bisa saja emosi terhadap saudara-saudaranya.

Sesampainya di Mesir, kondisipun tidak jauh lebih baik. Ia telah bekerja dengan sebaik-baiknya ketika berada di rumah Potifar. Suatu hari pun istri Potifar menyebabkan dia masuk ke penjara. Ia difitnah di dalam usahanya untuk bekerja secara baik-baik. Dia sudah melakukan yang terbaik lho, tetapi ia berhak bertanya: mengapa Tuhan menempatkan dia di posisi seperti ini.

Bagaimana dengan kehidupan di penjara? Yusuf pun melakukan sesuatu yang terbaik. Ia menegaskan mimpi dari juru minuman raja dan juru roti. Mimpi keduanya ia sampaikan dan tafsirkan dengan begitu tepat. Tetapi balasan apa yang ia dapat? Juru minuman raja pun juga sama sekali lupa mengenai karya Yusuf. Akhirnya tetap saja, Yusuf harus terus menjalani hukuman penjaranya.

Sampai pada satu kali ketika Firaun bermimpi, dan saat itulah juru minuman raja baru mengingat bagaimana pada akhirnya ia dapat kembali ke istana. Ia akhirnya ingat tentang Yusuf, dan benar saja, Yusuf bisa menafsirkan mimpi itu dengan tepat. Melalui jasanya itulah ia menjadi orang nomor 2 di kerajaan Mesir pada waktu itu. Hal itu membuat Yusuf memiliki kuasa yang begitu besar pada jaman itu.

Rekonsiliasi bukan Balas Dendam

Mengapa Yusuf bisa bersabar di dalam menghadapi berbagai tantangan hidup? Dia bisa aja menjadi marah kepada Tuhan dan juga kepada saudaranya. Kalau dia hanya berhenti melihat hidupnya sampai kepada momen dimana dia dijual oleh saudara-saudaranya, maka dia akan mengalami kepahitan yang begitu dalam. Kalau dia berhenti pada momen dimana dia dipenjara, maka dia akan mengalami kepahitan kepada istri Potifar dan Potifar, yang mungkin ending dari berita alkitab ini bukanlah sebuah rekonsiliasi keluarga, tetapi pembantaian.

Menarik kalau kita melihat berita alkitab ini, Yusuf mengampuni saudara-saudaranya secara tersurat, dan secara tersirat kalau dia mau, dia punya kuasa buat menghukum Potifar dan istrinya. Dia punya kuasa untuk menghancurkan hidup dari juru minuman raja yang melupakannya. Bahkan dia punya kesempatan buat mencari pedagang-pedagang budak yang membeli dia untuk membalas dendam.

Tetapi Yusuf tidak melakukan semuanya itu, bahkan di dalam kebohongan yang diutarakan oleh saudara-saudaranya ketika bertemu muka dengan muka dengan Yusuf.

Melihat Gambaran Besar Allah

Ketika diberikan janji oleh Tuhan melalui mimpi bahwa Yusuf akan menjadi seseorang yang jauh lebih besar daripada saudara-saudaranya – bahkan ayahnya – maka dia berpegang teguh pada janji Allah. Tentu saja hal ini tidak mudah ketika kita belum mengetahui apa rencana Tuhan di dalam kehidupan kita. Apalagi akan sangat jarang terjadi dalam hidup kita bahwa kita akan diberikan sebuah mimpi tertentu oleh Tuhan.

Maka dari itu penting bagi kita buat memahami rencana besar atau gambaran besar Allah. Kita mengetahui dengan jelas sekali bahwa:

1.      Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.
(Yes 55:8-9)
2.      Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.
(Mzm 139:14)
3.      Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.
(Rom 8:28)

Ketika Allah berfirman demikian, bukankah itu menjadi jaminan bagi setiap kita bahwa ada gambaran besar yang Tuhan sediakan dalam kehidupan kita. Oke maybe untuk saat ini kita belum memahami rencana tersebut dalam kehidupan kita, tetapi satu hal yang kita tahu bahwa masa lalu kita, masa kini, dan masa depan kita semuanya sudah dirancangkan dengan sungguh amat baik.

Hal inilah yang membuat Yusuf ‘kebal’ dan fokus terhadap tujuan itu. Ia telah mengetahui tujuan akhir dari gambaran besar yang Allah sediakan. Jadi apapun yang ia alami, ia senantiasa belajar buat mengingat tujuan akhir itu. Hal tersebut akan membuat kita menjadi sadar akan bahwa tidak ada satu hal pun di dalam dunia ini yang lepas dari kontrol Tuhan.

Move On!

Pembelajaran yang perlu kita pahami adalah kalau Tuhan telah merancangkan bahwa setiap hal yang terjadi dalam hidup kita merupakan kebaikan, nyatanya hidup kita dipenuhi dengan berbagai hal yang justru membuat kita tidak dapat memandang kebaikan Tuhan. Contohnya kita mengalami berbagai macam kegagalan dalam hidup. Kita sudah mencoba dengan berbagai effort kita tetapi ternyata gagal. Padahal itupun juga ternyata untuk mengerjakan sesuatu yang baik, yang “sesuai dengan kehendak Tuhan”.

Balik lagi bahwa kita akan menjadi gagal paham kalau kita tidak memaknai setiap kegagalan dalam hidup kita merupakan sebuah kesempatan bagi kita untuk bertumbuh dan berbuah. Sadarkah Yusuf bahwa ternyata di dalam proses kehidupannya, Allah mengajarkan dia untuk menjadi seseorang yang lebih bijak, lebih tahan uji, bahkan di tengah berbagai kejadian tidak enak yang ia alami.

Apa yang membuat kita gagal paham seperti ini? Karena kita gagal buat move on dari setiap perkara yang ada di dalam hidup kita. Kita tidak peka dan akhirnya menggunakan kekuatan kita sendiri dalam menghadapi hidup. Padahal, Tuhan sendiri yang menyatakan:

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan."
(Mat 11:28-30)

Jadi, ketika ada berbagai persoalan hidup yang kita anggap bahwa itu diluar kemampuan kita, itu tidak sepenuhnya salah. Yap, ketika kita hanya seorang diri dalam memahami kejadian itu, kembali lagi: kita gagal paham. Kita gagal melihat karya Allah. Pendek kata, kita gagal untuk bertanya dan menjawab: “Apa yang mau Tuhan kerjakan dalam hidupku?”

Ketika kita belajar bertanya kepada diri sendiri dan kepada Tuhan, maka kita akan mendapati bahwa ada rancangan-rancangan indah yang Tuhan sediakan. Itulah yang membuat senantiasa kita bisa bersyukur atas kasih karunia yang Tuhan rancangkan dalam kehidupan kita.

Menyadari Kasih Allah

Allah mengasihi Yusuf, dan tidak berhenti disana. Allah mengasihi Yusuf dan terutama Dia juga mengasihi Israel. Ia merawat sebuah bangsa dengan cara yang luar biasa. Satu orang yang dijadikan ‘korban’ (ya, Yusuf bisa saja melihat bahwa dirinya adalah korban) demi menyelamatkan seluruh bangsa. Saat ini pun ada tawaran di dalam diri setiap kita pribadi lepas pribadi.

Ketika Allah sudah menyerahkan segalanya melalui karya salib Kristus dalam kehidupan kita, bagaimana respons kita? Ketika Allah sudah sedemikian mengasihi kita, bagaimana sikap kita kepadaNya? Atau malah bagaimana sikap kita terhadap diri kita sendiri – yang merupakan karya terbesar Allah? Apakah kita mau belajar mengasihi diri kita, dan mengasihi orang lain sebagaimana Allah telah mengasihi setiap kita?

Mari kita merenungkannya. Tidak mudah untuk memahami gambaran besar Allah. Apalagi ketika kita ada di dalam berbagai kegagalan yang melanda kita. Kita gagal dalam satu dan lain hal. Kita gagal mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan. Kita gagal dalam relasi kita. Kita gagal dalam pekerjaan kita. Ada berbagai kegagalan di dalam hidup kita.

Kita bandingkan dengan bagaimana nabi-nabi yang melayani bangsa Israel dan Yehuda di jaman dahulu. Yeremia, di tengah tangisannya, ia sempat jatuh pada kegagalan untuk melihat gambaran besar Allah itu dengan sebuah pernyataan: sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku!

Ketika ada kekecewaan dalam diri kita, mau nggak kita kembali menyadari akan kasih Allah selama ini? Saat kita menyadari bahwa Tuhan ternyata sudah sedemikian jauh menghantarkan hidup kita sampai dengan saat ini, apakah kita melupakan seluruh masa hidup yang lampau itu dimana kita masih bisa hidup itupun karena karya Allah? Ataukah kita mau belajar untuk berpikir bahwa ketika Tuhan sudah membawa hidup kita sampai pada titik ini, dengan keyakinan penuh bahwa rancanganNya adalah damai sejahtera, maka kita dapat menikmati hidup ini dalam kasih karunia.

Bukan berarti bahwa kita tidak peduli atas kehidupan kita. Bukan berarti bahwa kita berkata “ya wes lah Tuhan aku pasrah”, kemudian akhirnya kita tidak memikirkan sesuatu rencana masa depan kita. Tetapi ketika kita merancangkan masa depan kita kedepan, marilah kita melibatkan Dia di dalam setiap hal yang kita pikirkan, kita kerjakan. Ketika kita melibatkan Tuhan, maka hidup kita akan berubah, sampai pada satu titik bahwa ketika kita gagal, kita bisa bersyukur pada Tuhan. Ketika kita mendapatkan sesuatu, kita pun bertanya: “apa yang mau Tuhan kerjakan melalui hal yang aku dapatkan ini?”

Mari belajar peka dan punya respons yang benar. Seperti Yusuf yang senantiasa siap diproses dan dipersiapkan menjadi pribadi yang jauh lebih indah, dan mau menerima segala hal di dalam hidupnya, marilah kitapun belajar untuk peka dan menikmati anugrah Allah yang sudah Ia sediakan melalui setiap kejadian dalam hidup kita.

Soli Deo Gloria!

Tuesday, June 20, 2017

Siap Sedia dalam Tanggung Jawab Pengutusan



Pengantar
Setiap kali kita diminta untuk terlibat dalam sebuah pelayanan, ada alasan klasik yang kita sampaikan kepada orang yang menawarkan pelayanan itu. “ah, aku mah apa atuh?”, atau “sorry, aku gak mampu”, setidaknya itulah statement yang kita berikan untuk “menolak secara halus” pelayanan tersebut. Kita terjebak di dalam sebuah kondisi ‘merasa tidak mampu’ atau inferior complex. Seolah kita ini bukanlah siapa-siapa.

Melalui artikel ini, mari kita lihat sedikit dari orang-orang yang Tuhan percayakan untuk melayani Dia dalam pelayanan selama 3,5 tahun. Kita akan melihat beberapa ciri khas panggilan Tuhan, dan bagaimana tanggapan dari orang-orang yang ada di sekitar-Nya.

Sekumpulan Orang Biasa yang Signifikan
Kita percaya bahwa ketika alkitab dituliskan, setiap ayat yang dituliskan merupakan ilham dari Allah. Semuanya ada maksudnya. Semuanya signifikan untuk dapat kita baca dan kita renungkan, dan ini juga tertulis dalam 2 Tim 3:16

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. 

Berdasarkan ayat di atas mari kita baca dari kitab Matius

Inilah nama kedua belas rasul itu: Pertama Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya, dan Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, Filipus dan Bartolomeus, Tomas dan Matius pemungut cukai, Yakobus anak Alfeus, dan Tadeus, Simon orang Zelot dan Yudas Iskariot yang mengkhianati Dia.
(Mat 10:2-4)

Mari kita lihat kisah hidup orang-orang yang mengikut Yesus. Petrus, kita tahu sendiri bahwa dia adalah seorang nelayan, bersama dengan saudaranya Andreas. Kita ingat pula keduanya punya karakter yang begitu berbeda. Petrus dengan emosi yang menggebu-gebu, sebaliknya Andreas merupakan seseorang yang cenderung rendah hati.

Yakobus dan Yohanes, kita bisa mengetahui kisah hidup mereka, motif mereka mengikut Yesus. Keduanya merupakan orang-orang yang mencari kekuasaan, dan ini diwujudkan di dalam ucapan ibu mereka yang meminta mereka duduk di sebelah kanan dan kiri Yesus.

Filipus merupakan orang yang cukup kritis. Injil Yohanes menunjukkan keingintahuan Filipus mengenai pribadi Yesus dan pribadi Bapa. Tomas, kita tahu sendiri bahwa dia adalah seorang peragu. Simon orang Zelot dan Matius pemungut cukai, apa yang terjadi ketika Yesus tidak ada di samping mereka? Mungkin mereka akan saling bermusuhan. Kaum zelot merupakan kaum yang ingin memerdekakan Israel, sedangkan Matius merupakan pemungut cukai yang pro terhadap penjajah.

Yudas, kita tahu sendiri bahwa ia adalah seorang yang disebut “curang” di antara para rasul, dan sudah disebutkan bahwa ia akan mengkhianati Yesus.

Inisiatif Panggilan Berasal dari Allah
Tidak ada seseorang yang terlalu hina untuk mengerjakan pekerjaan Allah manakala Tuhan sudah memanggil orang itu untuk melayani Dia. Kalau kita baca semua bagian alkitab, kita melihat bahwa semua orang yang Tuhan pakai, inisiatif pekerjaan itu berasal dari Tuhan. Selalu ada momen di mana ada perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Ketika perjumpaan itu terjadi, ada momen dimana Allah memberikan sebuah “kepercayaan” yang boleh di bilang tidak pantas untuk kita dapatkan.

Tetapi kalau kita melihat lebih jauh lagi, di tengah ketidaklayakan itu toh Tuhan masih mau pakai kita yang serba tidak sempurna ini. Bukankah itu cukup? Bukankah panggilan Tuhan yang melayakkan kita itu cukup sebagai dasar untuk kita dapat melayani Tuhan dengan sepenuh hati kita, berusaha melayani Dia dengan cinta kasih yang juga berasal dari Dia?

Inferior Complex
Nah kalau kita lihat, mengapa sih kita menjadi pribadi yang minder? Apakah sebenarnya kita minder, atau kita sebenarnya malas untuk melayani Tuhan? Ketika kita beralasan bahwa kita tidak mampu untuk melayani di bidang A, atau bidang B, dan seterusnya, apakah betul kita benar-benar tidak dapat mengerjakannya?

Mari kita periksa jauh ke dalam diri kita, sebenarnya apa yang membuat kita menjadi inferior? Mengapa kita tidak yakin bahwa kita dapat menjadi seperti si X yang suaranya begitu merdu? Atau si Y yang pandai memainkan alat musik, atau si Z yang begitu pandai dalam mengorganisir suatu acara tertentu. Tunggu sebentar! Pertanyaannya adalah: mengapa kita membandingkan diri kita dengan orang lain manakala kita ingin melayani Tuhan? Itulah sebenarnya pertanyaan yang harus kita ajukan dulu kepada diri kita.

Coba bayangkan kalau Tuhan membandingkan antara Musa dan Elia. Antara Daud dengan Abraham. Antara Petrus dengan Filipus. Antara Paulus dengan Barnabas. Antara Salomo dengan … (coba tulis begitu banyak tokoh alkitab yang kita dapat perbandingkan) nah kalau kita berhenti pada perbandingan kita dengan orang lain [atau lebih tepatnya, panggilan Allah berpola demikian] maka sebenarnya tidak ada satupun orang yang layak untuk melayani Dia.

Diperlengkapi Untuk Sebuah Misi
Setiap kita punya peran yang Tuhan percayakan dalam hidup kita. Setiap manusia punya panggilan unik di dalam hidupnya untuk dapat dikerjakan semaksimal mungkin sesuai dengan talenta yang Tuhan berikan di dalam kehidupan manusia. Berkaitan dengan hal ini, selalu ada keunikan yang kita miliki satu dengan yang lain.

Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada mereka: "Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat. Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma.
(Mat 10:5-8)

Diperlengkapi untuk sebuah misi berarti kita menyadari bahwa segala hal yang Tuhan kerjakan di dalam diri setiap kita merupakan anugrah. Ayat di atas memperlihatkan bahwa Yesus tidak hanya mengutus kita, tetapi juga memperlengkapi kita dengan kuasa. Ini juga yang Tuhan deklarasikan di dalam amanat agung, yaitu pada Matius 28

Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang telah ditunjukkan Yesus kepada mereka. Ketika melihat Dia mereka menyembah-Nya, tetapi beberapa orang ragu-ragu. Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."
(Mat 28:16-20)

Ayat ini juga menunjukkan sebuah keraguan, bahkan setelah para murid ini melihat kebangkitan Yesus. Inilah orang-orang yang dipakai oleh Tuhan untuk menyebarkan injil ke seluruh dunia!

Penutup
Di tengah keraguan kita di dalam menjalani panggilan Allah, sepenuhnya kita perlu percaya bahwa ketika Allah sudah mengutus kita, maka hal itu tidak berhenti sampai dengan pengutusan, tetapi ada janji penyertaan. Oleh karena itu, apa yang membuat kita ragu di dalam melayani Tuhan? Marilah ketika Tuhan mengutus kita, siap sedialah kita menjawab “ini aku, utuslah Tuhan!”

Soli Deo Gloria