Total Pageviews

Monday, May 18, 2015

Menikmati Quality Time BersamaNya

Seketika aku merenungkan pada hari minggu, 17 April 2015 bagaimana cara kita bisa merasa puas terhadap perlakuan atas pasangan kita.

Sebentar, mungkin aku ceritakan kisah sebelumnya. Tanggal 14-16 Mei 2015 aku mengikuti Temu Raya Pemuda GKI 2015 di Surabaya. Event yang mempertemukan seluruh GKI se Indonesia. Banyak teman baru yang aku dapatkan disana.

Tentu saja di dalam event ini aku bertemu dengan sang kekasih hati. Ya, pacarku, Jessica, juga mengikuti event ini. Dengan berbagai kesibukannya di tugas akhir dan tanggung jawabnya sebagai ketua komisi pemuda GKI Kutisari Indah, tentu saja ada banyak sekali tanggung jawab di dalam TRP ini pun dia juga mengkoordinasikan banyak hal.

Kekecewaan sempat terlintas ketika di dalam jiwa ada satu perasaan kurang diperhatikan. Saat aku berusaha untuk mulai berkata-kata padanya, mulai membuka pembicaraan, tetapi akhirnya dia selalu memainkan smartphone-nya. Jadi banyak hal yang mungkin nggak sempat kami bicarakan. Aku merasa cemburu dan kurang diperhatikan saat itu. Sempat aku intip ternyata dia sedang berkoordinasi dengan teman-temannya di GKI Kutisari. Jadi sempat juga aku merasa agak kecewa. Sambutan apa yang telah ia siapkan ketika sang kekasihnya ini datang dari Bogor?

Seluruh rangkaian acara TRP berakhir, dan sampailah aku pada hari Sabtu malam. Aku hanya berharap kalau-kalau dia mulai belajar meletakkan smartphone nya dan menyediakan telinga serta hatinya untuk kami dapat bercerita satu dengan yang lain. Aku sempat berdoa kepada Tuhan di hari Sabtu sorenya, di tengah aku pusing juga karena harus mengatur transportasi untuk teman-teman dari GKI Pengadilan. Berdoa untuk apa? Yah setidaknya ia mencurahkan sedikit perhatiannya buat aku.

Titik balik mungkin aku merasakan ketika pada hari minggu kami bersama. Kami beribadah di GKI Kutisari, dan menyadari kalau waktu pertemuan kami nggak bakal lama. Selain ada berbagai kesibukan, kami pun sempat menyempatkan diri untuk makan. Diluar dugaan di tengah kesibukannya dia menyempatkan diri untuk menemaniku makan siang.

Kami pun berpamitan saat itu dan ketika aku di pesawat, aku mencoba mengevaluasi apa yang sebenarnya terjadi di dalam kehidupan kami selama 4 hari itu. Ternyata aku menemukan ada sesuatu yang begitu luar biasa dengan apa yang Tuhan kerjakan atas kehidupan kami.

Aku melihat bagaimana Allah bekerja melalui kehidupan Jessica. Alih-alih aku berharap untuk dia dapat menemani aku sepanjang hari (dan dia melakukan hal tersebut dengan caranya!) mengapa tidak bersyukur dengan caranya menemani aku? Mengapa aku begitu egois di dalam hubungan kami, tidak melihat bahwa di dalam berbagai kesibukan itu, dia masih sempat menemani aku. Ia selalu berada di sisiku dan aku tidak pernah membayangkannya, betapa sibuknya dia dan betapa dia belajar untuk mengasihi aku di tengah kesibukannya.

Sepanjang perjalanan di pesawat aku cukup terharu mengenai bagaimana Allah mengerjakan begitu banyak hal atas kehidupan kami. Sorenya aku mencoba untuk mengucapkan betapa bersyukurnya aku kepada Allah, karena dia sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Aku bersyukur buat pertemuan kita – dan terlebih bagaimana caranya memberikan waktunya, tenaganya, segala kesibukan untuk dapat bertemu dengan aku dan berbagi denganku di sela-sela waktu kosong saat TRP.

Ketika dia berkata bahwa dia takut kalau justru aku yang kecewa, aku benar-benar ngerasa bahwa aku adalah pribadi yang begitu egois. Ya donk, aku egois karena aku tidak tahu bagaimana dia bergumul dengan segala kesibukannya, dan aku sadar benar bahwa aku belum benar-benar bisa mencapai suatu tingkatan dimana aku bisa memberi yang terbaik. Aku masih harus belajar bahwa cinta itu bukan sekedar kamu bisa menerima segala hal yang baik, tetapi apakah kita bisa kasih yang terbaik buat pasangan kita.

Entah itu waktu kita, tenaga kita, perhatian kita, apa sih yang mau kita berikan buat pasangan kita? Ketika Yesus mencintai kita, Ia telah memberikan segalanya. Ia telah memberikan kita hidupnya. Tetapi menariknya ketika berbicara bagaimana hubungan pernikahan, ia menggambarkannya seperti hubungan Kristus dengan jemaat. Kristus yang memberikan segalanya, sama seperti seorang suami / istri yang memberikan segalanya.


Memang sih kami belum mencapai pada tahapan pernikahan, tetapi sebagai orang Kristen, yang sama-sama bertumbuh di dalam Tuhan, bukankah itu menjadi sebuah hal yang harus kita kerjakan bukan? Maukah kita mulai saat ini belajar mengasihi terlebih dahulu sebelum kita dikasihi? Maukah kita belajar untuk memberikan yang terbaik buat pasangan kita atau rekan kita, menyadari bahwa segalanya adalah dari Allah?

Friday, May 1, 2015

Hal Kekuatiran

Nas Bacaan: Matius 6:25-34

Kehidupan manusia pada umumnya tidak pernah lepas dari yang namanya kekuatiran. Kekuatiran adalah bagian yang integral di dalam kehidupan. Artinya bahwa setiap manusia di dunia ini pasti punya rasa kuatir di dalam kehidupannya. Terlepas dari berbagai hal yang membuat dirinya aman, selalu ada hal yang membuat dia kuatir.

Kenapa sih sebenarnya kita kuatir? Karena memang ada hal-hal yang nggak sesuai dengan ekspektasi kita. Kita sudah merencanakan misalnya akan menikah di usia 28 tahun, tetapi ternyata di usia ke-27 tahun kita belum mendapatkan seorang calon pendamping hidup. Misalkan lagi ketika kita memutuskan untuk keluar dari pekerjaan kita yang sekarang, kita kuatir akan susah mendapatkan pekerjaan lagi. Ketika kita tidur pun terkadang kita juga kuatir.

Bahkan kalau kita lihat kehidupan orang-orang yang ada di alkitabpun, ternyata tidak sedikit orang yang kuatir atas kehidupannya. Abraham, yang disebut sebagai “bapa orang beriman” pun sempat mengalami kekuatiran di dalam kehidupannya. Kuatir bahwa ia tidak akan memiliki keturunan, kemudian pada saat tanah tempat tinggalnya kering dan ia harus pergi ke Mesir, ia pun kuatir bahwa istrinya akan direbut orang. Beralih ke Perjanjian Baru, ternyata kisahnya pun tidak jauh berbeda dengan Abraham, yakni para rasul. Suatu kali Petrus bertanya kepada Yesus:

"Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?" (Matius 19:27)

Bukankah ini adalah suatu pertanyaan yang begitu umum kita ajukan? Sangat mudah bagi kita untuk terjebak bahwa ternyata di dalam kita mengikut Tuhan pun, kita berharap akan imbalan yang akan kita terima.

Mengapa kita merasa seperti ini? Tuhan Yesus pun mengingatkan kepada kita sebelum nas ini.

Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon." (Mat 6:24)

Kita tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. Maksudnya? Kita selalu punya pilihan untuk kehidupan kita. Kekuatiran pada dasarnya adalah karena kita sama sekali tidak berpegang kepada Allah. Kita berpegang pada sesuatu yang begitu liquid (uang adalah sesuatu yang liquid bukan?). Mamon sendiri berarti uang. Artinya apa? Kita hanya bisa memilih – apakah Allah yang akan kita sembah ataukah kita menjadi hamba dari sesuatu yang liquid?

Okey, kembali pada hal kekuatiran. Kalau kita menyadari bahwa hidup kita ternyata tidak dapat didasarkan pada uang dan harta itu berarti bahwa kehidupan kita harus didasarkan pada pilihan yang satunya.

Mari kita coba lihat Matius 6:26
Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? (Mat 6:26)

Pernahkah kita kemudian menjadi seseorang yang membayangkan: “Enak banget ya jadi seekor burung. Sehari-hari sudah dikasih makan terus sama Tuhan.” Itu sama halnya mungkin kita bayangkan: “Enak banget yak kalau kita nggak usah kuliah, nggak usah kerja, tapi kebutuhan sehari-hari kita terpenuhi semua.”

Pandangan seperti ini bisa menyesatkan kita. Memang benar bahwa burung sama sekali tidak menabur dan menuai tetapi bukan berarti mereka sama sekali tidak berusaha. Artinya bahwa di dunia ini Allah sudah memberikan potensi dimana kita dapat bekerja dan dapat memanfaatkan segala sumber daya. Allah meminta kita untuk berusaha melakukan eksplorasi terhadap dunia yang Ia ciptakan.

Pertanyaan Yesus selanjutnya adalah “Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” Jawabannya sekali lagi: “absolutely YES”. Artinya bahwa memang di dalam kehidupan kita, kita sudah diberikan anugrah yang terindah. Bukan masalah materi, bahkan terkadang kita perlu lihat lagi kehidupan kita, bagaimana kalau sampai saat ini kita masih hidup, kita masih bernafas, kita masih dapat pekerjaan, kita masih bisa kuliah – bukankah semuanya adalah anugrah Allah?

Burung-burung yang ada di udara itu ketika liat kita stress mungkin mereka kaget yah. Mengapa? Tuhan sudah janjikan bahwa kita adalah manusia yang begitu berharga. “Enak bener lho jadi manusia, bahwa mereka punya privilege untuk memanggil Allah itu dengan panggilan Bapa.”

Kita lanjutkan ke ayat-ayat selanjutnya. Matius 6:27 dengan keras Tuhan bertanya:

Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? (Mat 6:27)

Siapa? Tidak seorang pun. Sebentar. Bukankah itu berarti kita tidak boleh kuatir? Bukan. Bukan itu maksud Yesus. Yesus berkata bahwa boleh kita kuatir, tetapi jangan sampai kekuatiran itu akhirnya menguasai hidup kita. Bukankah ada suatu kekuatiran yang positif? Apakah tanpa kekuatiran kita berarti tidak boleh berjaga-jaga? Bukankah Yesus juga berkata bahwa kita harus berjaga-jaga? Betul sekali kalau kita harus berjaga-jaga, tetapi bukan berarti bahwa akhirnya kita menjadi begitu kuatir dan menjadi seseorang yang paranoid. Sepertinya bukan malah menambahkan jalan hidup, kekuatiran yang berlebihan justru akan menjadi sesuatu yang memperpendek usia kita. 

92% orang di Amerika berkata bahwa sebenarnya kekuatiran yang mereka rasakan adalah kekuatiran yang fiktif. Selain itu kalau memang kekuatiran yang kita alami itu terjadi, kita tidak akan bisa melakukan apa-apa bukan? Saya ingat betul pengalaman saya pertama kali menginjakkan kaki saya di pesawat untuk pergi ke Bandung, saya kuatir sekali. Kemudian saat saya akan pergi ke Bogor dari Bandung, saya naik taksi bandara tanpa kenal siapa-siapa dan di mobil itu saya sama sekali tidak bisa tidur. Sebenarnya saya saat itu sudah menjadi Kristen tetapi tanpa sadar ternyata kekuatiran begitu menguasai saya.

Saya membayangkan kalau misalnya pesawat tersebut jatuh, apa yang bisa saya perbuat? Tidak ada. Semua akan terjadi. Bagaimana jika seandainya ternyata sopir taksi itu menculik saya kemudian merampok saya? Apakah kekuatiran saya menyelamatkan saya? Tidak juga bukan?

Karena itulah kemudian ketika saya membaca kembali ayat-ayat ini saya sadar betul bahwa ternyata hidup kita ini dijaga oleh Tuhan. Bukan berarti bahwa ketika kita percaya kepada Tuhan, hidup kita akan menjadi berkelimpahan. Rumusnya tidak begitu. Apakah berarti dengan kita ikut Tuhan maka segala urusan lancar, semua masalah hilang? Tidak juga bukan? Tetapi apakah hidup kita selalu dijaga? Iya betul.

Mungkin ketika kekuatiran itu mulai muncul, kita perlu belajar untuk menyerahkan kekuatiran itu kepada Bapa. Setelah kejadian saya naik pesawat untuk pertama kalinya itu, kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya, di setiap saya naik pesawat, saya selalu tertidur selama perjalanan. Intinya apa? Berdoa dulu deh sebelum naik pesawat, “Tuhan hantarkan saya selamat sampai ke tujuan. Aku tahu bahwa Tuhan adalah Allah yang Mahakuasa dan Engkau yang berkuasa atas pesawat ini, atas pilot, atas cuaca, atas penerbangan ini. Tetapi BIARLAH KEHENDAK-MU YANG JADI DAN BUKAN KEHENDAKKU. Kalau memang Allah berencana bahwasanya ketika pesawat ini jatuh, maka aku tahu bahwa waktuku sudah habis, dan sudah saatnya aku kembali ke pangkuanMu.”

Doa tersebut membuat saya bisa tidur nyenyak ataupun dengan tenang membaca buku di pesawat. Itu semua karena ada satu perasaan tenang dan dijaga oleh Bapa. Bukankah itu keistimewaan kita sebagai orang Kristen, bahwa kita tidak perlu terlalu kuatir atas hidup kita? Bahwa segalanya sudah diatur oleh Bapa, bahwa segalanya sudah diberikan kepada orang yang mengasihiNya, yang terpanggil sesuai dengan rencanaNya? Bukankah itu artinya berserah?

Kalau kita sudah menyadari bahwa segenap kehidupan kita sudah ada yang memegang, kini apa tugas kita?
Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. (Mat 6:33)

Sangat jelas bukan? Carilah dahulu Kerajaan Allah artinya bahwa kalau kita menyibukkan diri kita untuk berpikir tentang uang dan uang, maka kehidupan kita akan dipenuhi oleh kekuatiran. Mau berdiri di fondasi yang liquid atau kita mau bersandar kepada sesuatu dasar yang teguh? Yesus adalah dasar yang teguh itu. Allah menuntut kehidupan total yang dipersembahkan kepadaNya. Ia meminta kita untuk percaya dan terus menerus menyadari akan kebenaranNya. Ia ingin kita untuk percaya sepenuhnya kepadaNya.

Sekali lagi, semuanya itu bukan berarti bahwa hidup kita akan berkelimpahan harta. Allah tidak pernah meminta kita untuk terus menerus memikirkan harta. Perintah di ayat ini jelas bukan? Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya, maka SEMUANYA itu akan ditambahkan kepadamu. Semuanya disini mencakup apa sih? Bahwa penyertaan Tuhan akan selalu menyertai kehidupan kita hari lepas hari. Bahwa segala hal yang Tuhan kerjakan di dalam kehidupan kita akan membuat kita cukup dan mampu untuk hidup untuk memuliakanNya.

Apakah itu berarti kehidupan kita tanpa pergumulan? Justru pergumulan akan semakin besar, tetapi di dalamnya ada rencana Tuhan, dan pergumulan itulah yang akhirnya membuat kita dewasa di dalam Dia hari lepas hari. Jadi pertanyaannya adalah, kepada siapa kita menyerahkan kehidupan kita? Apakah ada suatu hal yang membuat kita kuatir setelah begitu banyak hal yang sudah Allah kerjakan atas kehidupan kita? Ia telah menyerahkan hal yang paling berharga – AnakNya yang tunggal – untuk kita dapat menerima keselamatan. Ia telah menyediakan begitu banyak berkat atas kehidupan kita. Kasih, sukacita, damai sejahtera… kurang apalagi? Lepaskan pengaruh mamon itu dari dalam kehidupan kita – dan rasakan kasihNya yang diberikan atas hidup kita sampai selama-lamanya.


Soli Deo Gloria

Keberhargaan Hidup Manusia

“Aku mah apa atuh?” kata-kata ini seringkali menjadi sebuah ungkapan manakala seseorang merasa nggak pede atas hal yang ia perbuat. Ataupun kata-kata ini seringkali terlontar oleh seorang bawahan yang merasa bahwa dia tidak punya kuasa sebesar bosnya. Hummm…

Tunggu sebentar, kalimat itupun ternyata juga menjadi sebuah kalimat dimana seseorang tidak yakin bahwa dia berharga. Contohnya saja seorang pengemis (bukan pengemis cinta yah…) yang merasa pasrah atas kehidupannya. Ia bertanya kepada dirinya sendiri sebenarnya siapa dia di hadapan orang-orang sekitarnya yang mungkin lebih kaya atau lebih mampu dari dia.

Jauh sebelum kalimat ini terlontar, lebih dari 2000 tahun lalu kalimat ini juga diucapkan oleh beberapa orang. Bahkan yang mengucapkan kalimat ini adalah seorang pemimpin yang membawa bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan Mesir. Ya, dia adalah Musa. Allah memanggil Musa untuk membebaskan Israel, dan di hadapan Allah, Musa bertanya kalimat berikut:

Keluaran 3:10
Tetapi Musa berkata kepada Allah: "Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?"

Siapakah aku ini, adalah sebuah pertanyaan Musa kepada Allah manakala ia tidak siap untuk menerima sebuah tugas yang begitu besar. Ketidakyakinan Musa kemudian diubahkan Allah sampai akhirnya ia mau diutus dan kemudian akhirnya ia berhasil membebaskan bangsa Israel dari Mesir. Sekalipun pada akhirnya ia tidak sampai pada tanah perjanjian, tetapi ia membawa bangsa yang tegar tengkuk itu ke dalam tanah perjanjian Allah.

Ada satu lagi orang yang menanyakan hal yang sama di hadapan Allah. Kali ini menanyakan hal tersebut karena suatu janji yang begitu indah yang sudah dijanjikan oleh Allah. Dia adalah raja Israel, yaitu Daud.

2Samuel 7:18
Lalu masuklah raja Daud ke dalam, kemudian duduklah ia di hadapan TUHAN sambil berkata: "Siapakah aku ini, ya Tuhan ALLAH, dan siapakah keluargaku, sehingga Engkau membawa aku sampai sedemikian ini?

Nada yang diutarakan Daud jauh lebih positif, di dalam konteks bahwa melalui Daud maka kerajaan Israel akan berdiri kokoh. Sekalipun kita akan mengingat terus peristiwa perselingkuhannya dengan Betsyeba, tetapi kita melihat tangan penyertaan Allah menaungi keluarga Daud dan kerajaan Israel, sampai kepada karya Yesus di kayu salib yang kalau kita lihat, Yesus pun berasal dari garis keturunan Daud.

Pernyataan “Siapakah aku ini” sebenarnya mengandung makna yang begitu mendalam. Pernyataan ini merupakan suatu pernyataan bahwa ketika kita berbicara dengan orang / pihak di hadapan kita, kita tidak mampu ataupun sebenarnya kita tidak layak untuk berbicara atau menerima sesuatu dari pihak / orang tersebut. Realitasnya? Ya memang sebenarnya kalau kita berdiri di hadapan Tuhan yang maha besar kita tidak akan punya kekuatan tersebut. Di hadapan Allah semesta langit itu adalah sebuah pernyataan yang begitu jujur.

Tetapi segalanya berubah saat ini. Kita menjadi pribadi yang minder manakala kita tidak memiliki sesuatu yang menurut ukuran dunia merupakan suatu hal yang wajib dimiliki. Ketika orang lain punya gadget terbaru, maka kitapun ingin memilikinya. Kalau tidak maka kita merasa lebih tidak berharga dibandingkan dia. Kalau orang lain sudah punya pacar yang cantik dan kita belum punya, maka kita bisa merasa lebih jelek dibandingkan dia. Sampai mungkin kita sampai pada suatu kesimpulan: betapa tidak adilnya Tuhan ketika menciptakan kita menjadi pribadi yang kurang ganteng.

Namun ketidakberhargaan manusia ternyata bukanlah sebuah alasan untuk Allah berhenti berkarya melalui kehidupan kita. Buktinya adalah salib, dimana seluruh ketidakbermaknaan kehidupan kita dihancurkan. Dignity kita mulai dibangun melalui karyaNya. Status kita sebagai manusia akhirnya dikembalikan menjadi ciptaan baru melalui salib itu. Saat kita menyadari karya Yesus di kayu salib seharusnya kalimat “Siapakah aku ini?” menjadi sebuah kalimat yang wajib kita tanyakan.

Ketika Allah memandang kita dengan begitu berharga, mengapa akhirnya kita menyia-nyiakan hidup kita dengan memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita? Mengapa akhirnya kita mencari nama baik namun mengabaikan karya Yesus di dalam kehidupan kita? Kita lebih senang bermain aman agar status kita tidak terancam, namun lupa bahwa sebagai orang Kristen tidak ada yang namanya main aman. Semuanya didasarkan pada anugrahNya dan anugrah itulah seharusnya yang memampukan kita melihat diri kita sebagaimana kita ada.

Kalau begitu, keberhargaan hidup kita sebenarnya bukan ditentukan melalui hal-hal yang fana. Tiada yang baka di dalam dunia, semua yang indah pun akan lenyap – demikian bunyi sebuah lagu hymn. Artinya bahwa keberhargaan hidup kita ditentukan bukan oleh hal-hal yang kita miliki di dunia ini. Keberhargaan hidup adalah mengenai relasi dan kesadaran akan anugrah Tuhan atas kehidupan kita. Menyadari hal ini membuat kita menjadi pribadi yang percaya diri, dan membawa kita kepada satu kesadaran akan iman kita kepada Dia.

Adakah kita merasa bahwa hidup kita dipenuhi oleh kesia-siaan? Adakah kita merasa bahwa kita tidak berharga karena kita nggak punya banyak hal yang dapat kita banggakan? Adakah kita bertanya “siapakah aku ini?” padahal status kita sudah diubahkan olehNya?

Karena Kristuslah kita berharga. Karena anugrahNya yang begitu besar atas kehidupan kitalah maka kita dapat memberikan yang terbaik untuk kemuliaanNya. Karena anugrah itulah kita sadar bahwa kita manusia lemah, namun Ia menjadikan kita berharga untuk kemuliaanNya


Soli Deo Gloria