Pernahkah kita
dengar slogan: “SUCCESS IS MY RIGHT”? Tentu saja setiap kita yang pernah
bekerja ataupun mengikuti seminar-seminar motivasi sangat asyik sekali manakala
pembicara mengajak kita untuk berteriak bersama-sama slogan tersebut. Bukan hanya
di seminar motivasi, bahkan di gereja pun terkadang mengajarkan seminar semacam
ini, tapi tetap saja sebenarnya pembicara yang diundang merupakan seorang
motivator.
Sepintas
anggapan tersebut memang sangat benar. Kesuksesan itu semulanya berawal dari
diri sendiri juga. Menjadi seorang yang sukses adalah hak kita! Ya benar! Manakala
kehidupan kita dipenuhi oleh harta dan tahta, tentu seseorang merasa bahwa
dirinya sudah sukses. Orang menjadi puas dan kemudian dari pertanyaan “hari ini
makan apa?” menjadi pertanyaan “hari ini makan SIAPA”.
Inilah realita
hidup di dalam dunia yang jatuh di dalam dosa. Apabila kita belajar untuk
mengamati bahwa kecenderungan perkembangan teknologi dan masyarakat saat ini
mengarah kepada teknologi yang ‘personalized’, dan mengakibatkan perasaan bahwa
manusia adalah center of attention. Lihat saja berbagai social media yang saat
ini lebih digunakan untuk memamerkan sesuatu, seolah-olah seluruh dunia harus
tahu apa yang sedang kita rasakan dan kita lakukan. Aktivitas sehari-hari
menjadi suatu aktivitas yang harus dipublikasikan.
Realita ini
menunjukkan bahwa ternyata hidup itu adalah tentang “aku” dan “diriku”. Kalau
bisa ya juaranya AKU, dan akhirnya menimbulkan suatu budaya narsisistik. Budaya
yang mana mengutamakan diri sendiri dan menganggap bahwa yang paling
membanggakan bagi seseorang adalah manakala ia dipuji dan eksistensi dirinya
diakui oleh orang lain, tanpa peduli apapun cara yang ia lakukan untuk
mencapainya.
Namun apakah
kehidupan ini hanya untuk diri sendiri saja? Saya rasa tidak. Mau tidak mau,
kita selalu berinteraksi dengan orang lain di sekitar kita. Dulu saya ingat
jaman saya sekolah ketika ditanya: “kalau besar, kamu mau jadi apa?” jawaban
yang sangat umum kita dengar adalah “dokter”. Namun sekarang saya membayangkan,
apabila semua orang berprofesi menjadi seorang dokter, dan dokter dianggap
sebagai pekerjaan yang paling top, maka tidak akan ada produk-produk teknologi
tinggi yang mulai marak saat ini.
Saya teringat
suatu kisah dari rekan saya, yang mana ia adalah seorang yang sangat kaya dan
punya posisi penting di dalam pekerjaannya. Selain itu dia adalah seorang yang
sangat pandai dan cerdik, sehingga disukai semua orang disekitarnya. Suatu
hari, dia sharing kepada saya tentang bagaimana ternyata hidupnya sangat berat
dan dia hampir saja memutuskan untuk bunuh diri. Ironis bukan? Seorang kaya dan
pintar, dia punya segalanya, namun hampir memutuskan untuk bunuh diri? Ternyata
dia masih saja tidak puas dan tidak puas akan apapun yang ia miliki.
Kesuksesannya adalah mengumpulkan sebanyak mungkin uang dan harta, namun satu
poin yang ia tidak punya adalah bagaimana ia struggle untuk menghadapi masalah.
Hal yang ia lakukan kemudian adalah ia mulai mencoba untuk ke gereja dan
mendekatkan diri kepada Tuhan. Saat itu pula ia sadar bahwa kita punya
kepintaran dan kekayaan sebanyak apapun, ternyata di hadapan Tuhan, kita ini
nggak lebih dari butiran debu.
Kisah ini
mengingatkan kita bahwa kalau tujuan kita di dunia ini hanya berjuang dan
berjuang sambil terus mengagung-agungkan diri kita sebagai center of the world,
sebagai pusat dunia, maka bisa-bisa kita “hilang”. Mengutip perkataan Max
Lucado “Ketika Tuhan memandang kepada pusat alam semesta, Dia tidak memandang
kamu”[1].
Bukankah ini menarik? Kita ini sebenarnya bukan siapa-siapa, namun kita sibuk
mendapatkan pengakuan dari orang-orang di sekitar kita. Kita jadi iri hati
kalau kita tidak diakui sedangkan orang lain diakui. Kita selalu ingin jadi
orang yang nomor satu dalam segala hal, namun kita lupa betapa menjadi nomor
satu itu sebenarnya bukan tujuan hidup kita!
Pola pikir
itulah yang menjadi masalah: kita ingin selalu menjadi nomor satu, dan tidak
heran tingginya angka stress dan kematian di Jepang menjadi akibatnya. Sebenarnya
ketika kita sudah menjadi nomor satu, mau apa sih? Sistem ranking kemudian
dibuat, dan pada akhirnya sistem tersebut malah menghancurkan mentalitas manusia.
Sistem ini akhirnya membentuk suatu budaya “SEGALANYA BOLEH”.
Memang tidak
salah untuk kita punya pola pikir bahwa kita ingin menjadi yang terbaik, tetapi
di hadapan siapa kita ingin menjadi yang terbaik? Apakah di hadapan Tuhan?
Ataukah di hadapan manusia? Kalau kehidupan kita sekadar menjadi yang terbaik
di hadapan manusia, kita akan terjebak pada satu posisi dimana kita akan terus
menerus tidak puas. Tetapi ketika kita belajar untuk berfokus dengan apa yang Tuhan
kerjakan di dalam kehidupan kita, kita dapat melihat bahwa ternyata penyertaan
kedaulatan Tuhan itu bukan hal yang omong kosong. Ketika Tuhan menyatakan
diriNya dan kemudian melihat kita sebagai mutiara, maka sebenarnya yang terjadi
adalah kita ini berharga. Mau sebrengsek apapun kehidupan kita, ketika kita
mulai datang dan berlutut di hadapannya, mengakui bahwa Ia adalah Tuhan kita
dan Juruselamat kita, maka Ia akan membebaskan kita. Bukankah alkitab juga
menyatakan demikian?
Jika
kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan
mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.
(1Yohanes 1:9)
Berfokus
kepada Allah adalah suatu langkah iman, itu berarti bahwa dalam kesuksesan kita
pun, kita percaya bahwa yang memberikan semuanya itu adalah Tuhan. Apabila kita
sampai memiliki pemahaman bahwa segalanya adalah karena Tuhan, kita pada
akhirnya akan dapat berkata seperti Ayub:
“Dengan
telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan
kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama
TUHAN!"
(Ayub 1:21)
Apakah kita
bisa mengatakan seperti itu manakala hidup kita mengalami hal-hal yang tidak
nyaman? Kalau kita sukses, apakah kita masih bisa menyatakan bahwa Tuhan adalah
Raja atas kehidupan kita? Bukankah ini suatu tantangan?
Kesuksesan
bukanlah apa yang dapat kita capai sendiri. Kesuksesan itu bukan masalah hak
kita. Allah yang mengaturnya dan kalau kita belajar melihat itu dari sudut
pandang Allah, maka sukses adalah ketika kita bisa berjalan sesuai dengan track yang telah disediakan Allah di
dalam kehidupan kita, menyadari providensi nya setiap waktu dan terus bergumul
untuk memuliakan Dia sepanjang waktu kehidupan kita. Setiap orang punya jalan
kehidupan yang sudah ditentukan oleh Tuhan, tetapi pertanyaannya adalah berapa
banyak orang yang menyadari hal tersebut? Setiap kita punya peran, apapun itu,
tetapi intinya sama, bahwa kita diciptakan untuk memuliakan Allah dan menikmati
Dia sepanjang waktu.
Soli Deo
Gloria!