Total Pageviews

Sunday, May 26, 2013

Sukses Adalah Mengerjakan Rencana Allah Dalam Kehidupan Kita


Pernahkah kita dengar slogan: “SUCCESS IS MY RIGHT”? Tentu saja setiap kita yang pernah bekerja ataupun mengikuti seminar-seminar motivasi sangat asyik sekali manakala pembicara mengajak kita untuk berteriak bersama-sama slogan tersebut. Bukan hanya di seminar motivasi, bahkan di gereja pun terkadang mengajarkan seminar semacam ini, tapi tetap saja sebenarnya pembicara yang diundang merupakan seorang motivator.

Sepintas anggapan tersebut memang sangat benar. Kesuksesan itu semulanya berawal dari diri sendiri juga. Menjadi seorang yang sukses adalah hak kita! Ya benar! Manakala kehidupan kita dipenuhi oleh harta dan tahta, tentu seseorang merasa bahwa dirinya sudah sukses. Orang menjadi puas dan kemudian dari pertanyaan “hari ini makan apa?” menjadi pertanyaan “hari ini makan SIAPA”.

Inilah realita hidup di dalam dunia yang jatuh di dalam dosa. Apabila kita belajar untuk mengamati bahwa kecenderungan perkembangan teknologi dan masyarakat saat ini mengarah kepada teknologi yang ‘personalized’, dan mengakibatkan perasaan bahwa manusia adalah center of attention. Lihat saja berbagai social media yang saat ini lebih digunakan untuk memamerkan sesuatu, seolah-olah seluruh dunia harus tahu apa yang sedang kita rasakan dan kita lakukan. Aktivitas sehari-hari menjadi suatu aktivitas yang harus dipublikasikan.

Realita ini menunjukkan bahwa ternyata hidup itu adalah tentang “aku” dan “diriku”. Kalau bisa ya juaranya AKU, dan akhirnya menimbulkan suatu budaya narsisistik. Budaya yang mana mengutamakan diri sendiri dan menganggap bahwa yang paling membanggakan bagi seseorang adalah manakala ia dipuji dan eksistensi dirinya diakui oleh orang lain, tanpa peduli apapun cara yang ia lakukan untuk mencapainya.

Namun apakah kehidupan ini hanya untuk diri sendiri saja? Saya rasa tidak. Mau tidak mau, kita selalu berinteraksi dengan orang lain di sekitar kita. Dulu saya ingat jaman saya sekolah ketika ditanya: “kalau besar, kamu mau jadi apa?” jawaban yang sangat umum kita dengar adalah “dokter”. Namun sekarang saya membayangkan, apabila semua orang berprofesi menjadi seorang dokter, dan dokter dianggap sebagai pekerjaan yang paling top, maka tidak akan ada produk-produk teknologi tinggi yang mulai marak saat ini.

Saya teringat suatu kisah dari rekan saya, yang mana ia adalah seorang yang sangat kaya dan punya posisi penting di dalam pekerjaannya. Selain itu dia adalah seorang yang sangat pandai dan cerdik, sehingga disukai semua orang disekitarnya. Suatu hari, dia sharing kepada saya tentang bagaimana ternyata hidupnya sangat berat dan dia hampir saja memutuskan untuk bunuh diri. Ironis bukan? Seorang kaya dan pintar, dia punya segalanya, namun hampir memutuskan untuk bunuh diri? Ternyata dia masih saja tidak puas dan tidak puas akan apapun yang ia miliki. Kesuksesannya adalah mengumpulkan sebanyak mungkin uang dan harta, namun satu poin yang ia tidak punya adalah bagaimana ia struggle untuk menghadapi masalah. Hal yang ia lakukan kemudian adalah ia mulai mencoba untuk ke gereja dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Saat itu pula ia sadar bahwa kita punya kepintaran dan kekayaan sebanyak apapun, ternyata di hadapan Tuhan, kita ini nggak lebih dari butiran debu.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa kalau tujuan kita di dunia ini hanya berjuang dan berjuang sambil terus mengagung-agungkan diri kita sebagai center of the world, sebagai pusat dunia, maka bisa-bisa kita “hilang”. Mengutip perkataan Max Lucado “Ketika Tuhan memandang kepada pusat alam semesta, Dia tidak memandang kamu”[1]. Bukankah ini menarik? Kita ini sebenarnya bukan siapa-siapa, namun kita sibuk mendapatkan pengakuan dari orang-orang di sekitar kita. Kita jadi iri hati kalau kita tidak diakui sedangkan orang lain diakui. Kita selalu ingin jadi orang yang nomor satu dalam segala hal, namun kita lupa betapa menjadi nomor satu itu sebenarnya bukan tujuan hidup kita!

Pola pikir itulah yang menjadi masalah: kita ingin selalu menjadi nomor satu, dan tidak heran tingginya angka stress dan kematian di Jepang menjadi akibatnya. Sebenarnya ketika kita sudah menjadi nomor satu, mau apa sih? Sistem ranking kemudian dibuat, dan pada akhirnya sistem tersebut malah menghancurkan mentalitas manusia. Sistem ini akhirnya membentuk suatu budaya “SEGALANYA BOLEH”.

Memang tidak salah untuk kita punya pola pikir bahwa kita ingin menjadi yang terbaik, tetapi di hadapan siapa kita ingin menjadi yang terbaik? Apakah di hadapan Tuhan? Ataukah di hadapan manusia? Kalau kehidupan kita sekadar menjadi yang terbaik di hadapan manusia, kita akan terjebak pada satu posisi dimana kita akan terus menerus tidak puas. Tetapi ketika kita belajar untuk berfokus dengan apa yang Tuhan kerjakan di dalam kehidupan kita, kita dapat melihat bahwa ternyata penyertaan kedaulatan Tuhan itu bukan hal yang omong kosong. Ketika Tuhan menyatakan diriNya dan kemudian melihat kita sebagai mutiara, maka sebenarnya yang terjadi adalah kita ini berharga. Mau sebrengsek apapun kehidupan kita, ketika kita mulai datang dan berlutut di hadapannya, mengakui bahwa Ia adalah Tuhan kita dan Juruselamat kita, maka Ia akan membebaskan kita. Bukankah alkitab juga menyatakan demikian?

Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.
(1Yohanes 1:9)

Berfokus kepada Allah adalah suatu langkah iman, itu berarti bahwa dalam kesuksesan kita pun, kita percaya bahwa yang memberikan semuanya itu adalah Tuhan. Apabila kita sampai memiliki pemahaman bahwa segalanya adalah karena Tuhan, kita pada akhirnya akan dapat berkata seperti Ayub:

“Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"
(Ayub 1:21)

Apakah kita bisa mengatakan seperti itu manakala hidup kita mengalami hal-hal yang tidak nyaman? Kalau kita sukses, apakah kita masih bisa menyatakan bahwa Tuhan adalah Raja atas kehidupan kita? Bukankah ini suatu tantangan?

Kesuksesan bukanlah apa yang dapat kita capai sendiri. Kesuksesan itu bukan masalah hak kita. Allah yang mengaturnya dan kalau kita belajar melihat itu dari sudut pandang Allah, maka sukses adalah ketika kita bisa berjalan sesuai dengan track yang telah disediakan Allah di dalam kehidupan kita, menyadari providensi nya setiap waktu dan terus bergumul untuk memuliakan Dia sepanjang waktu kehidupan kita. Setiap orang punya jalan kehidupan yang sudah ditentukan oleh Tuhan, tetapi pertanyaannya adalah berapa banyak orang yang menyadari hal tersebut? Setiap kita punya peran, apapun itu, tetapi intinya sama, bahwa kita diciptakan untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia sepanjang waktu.

Soli Deo Gloria!




[1] Max Lucado di dalam bukunya It’s Not About Me (2012)

Thursday, May 9, 2013

Hectic Christianity - Sebuah Refleksi tentang Gaya Hidup Kekristenan


Kehidupan orang Kristen seringkali di dalam suatu kondisi yang sangat hectic. Maksudnya adalah di dalam kehidupan yang begitu cepat bergulir, tanpa adanya suatu kesempatan untuk kita bisa duduk tenang dan terus bekerja bahkan di dalam pelayanan kita sekalipun, baik di gereja maupun di tempat kerja, dan dimanapun, kita bisa kehilangan ketenangan hati kita. Inilah bahayanya ketika kita mulai menjadi orang Kristen yang sudah mulai terlibat pelayanan ataupun kegiatan yang membuat kita tidak bisa lagi menikmati Tuhan di dalam kesendirian kita. Mengapa? Karena hampir tidak mungkin kita punya suatu relasi, suatu waktu yang benar-benar personal dengan Allah.

Inti kehidupan Kristen, yang menjiwainya sebenarnya adalah personal relationship with God. Itu berarti memang kehidupan Kristen adalah kehidupan yang luar biasa, yang mana Tuhan yang imanen, Tuhan yang dekat dengan kita, adalah Tuhan yang ingin bergaul dekat dengan kita. Inilah yang terkadang setiap kita lupa, bahwa di dalam kehidupan kita, suatu saat kita perlu duduk diam sambil merenungkan betapa besarnya karya Tuhan di dalam nafas kita, di dalam kehidupan kita, di dalam hati kita, di dalam setiap hal yang kita lakukan. Suatu waktu yang menjadi sangat indah pada saat kita belajar untuk duduk diam, sambil merefleksikan betapa agung karyaNya di dalam kehidupan kita.

Masa penantian merupakan suatu masa yang membosankan, yang mana kita bisa saja berputar-putar di dalam kita menantikan sesuatu, dan kalau kita tidak sabar, maka kehidupan ini bisa “memakan” kita. Maksudnya? Ya kehidupan akan terus menggerogoti kita dengan berbagai hal yang menarik, yang membuat kita melupakan tujuan utama kita diciptakan sebenarnya untuk apa dan untuk siapa? Apabila kita tidak punya suatu pegangan di dalam menjalani kehidupan ini kita bisa terperangkap.

Ini menjadi suatu peringatan bagi kita. Penantian adalah suatu proses seumur hidup yang mana kita tentu saja melewati berbagai fasa kehidupan di dalam penantian itu. Maka dari itu, apabila kita tidak berhati-hati di dalam proses itu, kita menjadi orang yang tidak sabaran, yang mana pada akhirnya kita menjadi terburu-buru, kita akan missing berbagai poin yang harus kita jalani, akhirnya kita memilih untuk segera menyelesaikannya dengan cara yang tidak benar. Akhirnya kehidupan ini menjadi kehidupan yang sangat melelahkan. Kehidupan menjadi suatu waktu dimana penuh dengan tuntutan dan kita tidak mampu untuk menerima tuntutan itu karena berbagai sebab.

Nah di sinilah kita perlu merenungkan perkataan Tuhan Yesus di dalam injil Matius, di Matius 11:28-30, berbunyi demikian:

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan
(Matius 11:28-30)

Lalu mengapa sebagai orang Kristen kita bisa lelah? Mengapa rasanya menjadi orang Kristen menjadi suatu kehidupan yang penuh tuntutan dan kita tidak bisa merasakan damai sejahtera dari Allah? Mengapa kita melakukan sesuatu namun kita tidak dapat hidup dengan tenang dan dipenuhi aturan-aturan yang mengikat kita? Sebagai orang Kristen, secara komplit alkitab memberikan berbagai aturan dan ketetapan yang sangat mengikat kita, namun juga membebaskan kita. Rasul Paulus menuliskannya di dalam suratnya kepada jemaat di Korintus:

Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.
(2Korintus 5:17)

Ciptaan baru, kehidupan baru yang diberikan oleh Kristus melalui pengorbananNya di kayu salib membuat kita sadar bahwa kehidupan kekristenan adalah kehidupan yang mengikat, dalam artian kehidupan sebelumnya pun kita juga diikat oleh dosa. Setelah kita percaya akan karya Kristus di kayu salib, itulah momen di mana kita dilepaskan dari kehidupan lama kita dan mengenakan status baru yaitu orang yang sudah ditebus oleh Allah. Dari hamba dosa, menjadi hamba kebenaran. Bukankah ini suatu janji di dalam kehidupan yang tentunya menguatkan kita? Sama-sama menjadi hamba, tapi yang satu adalah menjadi hamba atas feeling guilty kita, atas dosa-dosa kita, dan sebagainya. Setelah menjadi seorang Kristen, kita menjadi hamba kebenaran, yang mana kita mendapatkan suatu anugrah yang luar biasa di dalam kehidupan keseharian kita.

Menjadi seorang hamba tentu saja akan melelahkan, namun menjadi hamba kebenaran jauh lebih menyenangkan! Di dalam kesadaran bahwa Allah yang memegang kendali atas APAPUN yang kita kerjakan, maka sebenarnya kehidupan kita menjadi sesuatu yang menyenangkan. Kita selalu bisa bersyukur atas apapun yang kita alami, termasuk di dalam hal-hal di dalam kehidupan kita yang mana kita punya suatu kerinduan tertentu. Pasangan hidup misalnya, ataupun pekerjaan, berbagai hal lain yang kita nantikan. Kita bisa saja lelah di dalam penantian itu, sungguh! Karena kita berpikir bahwa “Tuhan, ini sudah waktunya! Saya sudah tidak sabar!” dan kita merasa bahwa kita siap mendapatkan sesuatu namun belum mendapatkan jawaban dari Tuhan, akhirnya kita lelah.

Itulah momen di mana kita perlu duduk diam dan tenang dan mulai merenungkan apa yang sudah dikerjakan Tuhan di dalam hidup kita. Tidak perlu jauh-jauh, kalau tidak ada satu hal pun yang terasa baik di dalam kehidupan kita, bukankah kita dapat bersyukur kalau hari ini kita masih bisa hidup? Bukankah kalau hari ini kita masih bisa bernafas dengan gratis, tidak seperti orang-orang yang harus mengenakan tabung oksigen untuk bernafas? Selalu ada ruang untuk kita bersyukur, yang perlu kita lakukan adalah duduk diam dan mulai merenungkan apa yang sudah Allah lakukan dalam kehidupan kita, sampai akhirnya kita bukan hanya bisa mengatakan bahwa Tuhan itu baik, tapi benar-benar menghidupi kalimat itu.

Saya menutup artikel ini dengan sebuah kalimat dari Dr. Ravi Zacharias, sebagai berikut:

"As we move along in our busy life as a businessperson, moving on a hectic pace, pausing to learn the true value of nothing, but moving on and on and on, will you take time enough today to pause and ask yourself, how much God loves you? That He cares for you. Of for those of you who live in insecurities and does not have much more to offer, isn’t it wonderful to know, that He’s given Himself for you. If God could say through Isaiah “what more have I done to you that I’m not already done”, how much more could He said after the cross, where He sends His son to lay down His life for you and for me. God’s love: undeserving, grows on relationship, desperately needed."

(Selama kita menjalani kehidupan kita sebagai seorang bisnisman, yang mana kita hidup di dalam kelelahan dan berhenti sejenak untuk mempelajari hal-hal yang sebenarnya tidak bernilai, dan kita terus bergerak, apakah hari ini kita sudah duduk diam sejenak dan bertanya kepada diri kita sendiri, seberapa besar Allah mengasihi kita dan bahwa Ia memperhatikan kita. Bagi setiap kita yang hidup di dalam ketidakmampuan dan tidak memiliki hal apapun yang kita dapat berikan, bukankah ada satu kabar baik bagi kita, bahwa Dia telah memberikan diriNya bagi kita. Apabila Tuhan dapat berkata melalui nabi Yesaya “Apatah lagi yang harus diperbuat  yang belum Kuperbuat kepadanya?” (kutipan dari Yesaya 5:4), maka seberapa besar yang dapat Ia berikan setelah Ia disalib, yang mana Dia mengirimkan PutraNya yang tunggal untuk menyerahkan nyawaNya bagi anda dan bagi saya. Kasih Allah: tidak layak untuk kita terima, bertumbuh di dalam relasi, dan sangat amat dibutuhkan.)

Semoga tulisan ini bisa mengingatkan kita bahwa di tengah kesesakan kita hidup di dunia ini sebagai orang Kristen, ada banyak hal yang dapat kita lakukan, namun jangan lupakan untuk kita tetap sediakan waktu untuk duduk sejenak saja dan merenungkan karya Tuhan dan apa mau Tuhan di dalam kehidupan kita.

Soli DEO Gloria!