Total Pageviews

Sunday, December 27, 2015

Christmas Reflection

Pendahuluan

Selamat Natal! Ucapan selamat itu menjadi sesuatu yang tidak asing lagi bagi telinga, khususnya ketika berkunjung ke sebuah gereja. Umat Kristiani merayakan Natal ini dengan penuh sukacita dan pengharapan akan kedatangan Juruselamat. Setidaknya Natal memiliki suatu makna yang begitu dalam yakni kelahiran Sang Juruselamat dalam rupa seorang hamba.

Ditengah hiruk pikuk persiapan Natal, setiap gereja mempersiapkan berbagai acara demi memaknai Natal ini dengan versi mereka. Ada yang berlomba-lomba untuk menampilkan acara yang keren, acara yang spektakuler dan megah dengan dana yang begitu besar, ada pula yang mencoba untuk menampilkan kesederhanaan dengan berbagai dekorasi dan acara yang difokuskan pada pihak lain di luar gereja.

Namun apa sebenarnya makna Natal sendiri bagi dunia ini?

Allah yang Mengambil Rupa Seorang Hamba

Berita Natal tidak dapat dipisahkan dari peristiwa kelahiran Yesus Kristus. Momen dimana Allah yang Mahakuasa merendahkan diriNya menjadi seorang manusia yang lemah – seorang bayi dan dilahirkan bukan dari keluarga raja, tetapi dari seorang tukang kayu dan seorang anak dara yang begitu muda. Pengharapan seperti apa yang ditawarkan dari Allah semacam ini?

Rupanya Allah ingin menunjukkan satu poin yang menjadi kunci selama Ia melayani di dunia ini: Kesederhanaan. Poin ini begitu mendarat di dalam diri Yesus. Kehidupan Yesus menunjukkan bahwa Ia adalah pribadi yang begitu sederhana. Ia tidak memilih untuk bergaul dengan kaum elite di dalam pelayananNya. Justru sebagian besar pelayanan Yesus adalah ditujukan bagi orang-orang yang tertindas.

Penebusan Bagi Dunia yang Rusak

Menarik untuk kita dapat pahami bersama bahwa Allah kita adalah Allah yang menebus keseluruhan hidup kita di dalam pribadi Yesus Kristus. Pesan Natal ini mengingatkan kita bahwa Yesus telah datang ke dunia ini dengan satu misi: penebusan bagi umat manusia yang percaya kepadaNya. Ini unik, karena hanya dalam Kekristenan (yang diberitakan melalui alkitab) Allah yang mengambil inisiatif penebusan dan jaminan keselamatan bagi kehidupan umat manusia.

Penebusan itu menjadi sebuah titik balik di dalam kehidupan manusia. Manusia berdosa yang pada awalnya bahkan tidak dapat menyadari bahwa dirinya berdosa, namun melalui penebusan itulah kehidupan seseorang diubahkan. Yang dulunya tidak pernah memaknai hidupnya, menjadi seseorang yang menyadari keberhargaan hidup yang diberikan Allah.

Berjaga-Jaga Menanti Kedatangan Sang Raja

Jam kehidupan, hanya diputar sekali. Demikianlah kehidupan manusia di dunia ini. Perlu disadari bahwa kehidupan manusia hanya sekali. Kesadaran bahwa kita hanya punya satu kesempatan untuk hidup dapat membawa kita ke dalam dua sikap: menyia-nyiakannya dengan bersenang-senang karena hidup cuman sekali, atau yang kedua adalah sikap dimana kita memanfaatkan setiap talenta dan anugrah yang Tuhan berikan.

Kesadaran bahwa setiap kesempatan, hari demi hari yang Tuhan sediakan, adalah kesempatan untuk memuliakan Tuhan adalah suatu sikap hidup yang bertanggung jawab. Fokus hidup untuk kita dapat mempersiapkan diri dalam rangka menyambut Sang Raja semesta alam adalah dengan belajar untuk setia atas kehendakNya di dalam hidup kita. Natal berarti kita mempersiapkan kedatangan Kristus yang kedua dengan memiliki kerinduan untuk memuliakan namaNya hari lepas hari.

Perubahan Besar

Perubahan besar di kehidupanku, sejak Yesus di hatiku… Demikianlah lirik sebuah lagu yang begitu sering kita dengar. Terlepas dimainkan saat momen Natal ataupun saat berbagai momen. Lirik lagu yang menuntut suatu komitmen dari kita untuk dapat berubah semenjak kita mengenal Tuhan Yesus sebagai Juruselamat.

Pengenalan akan Allah membuat kita menyadari bahwa pesan Natal tidak hanya berhenti pada sukacita ketika Allah sudah melaksanakan karya besarNya atas kehidupan kita. Justru makna Natal adalah manakala Allah yang turun ke dunia itu menjadi sebuah teladan bagi kita untuk merendahkan hati kita di hadapanNya. Menyadari bahwa setiap kesempatan, setiap hal yang ada di dalam diri kita tidaklah lebih dari karya Allah atas dunia ini. Kehidupan manusia sepenuhnya hanya bergantung pada anugrah itu.

Kesadaran Hati akan Pimpinan Allah

Apa yang mau dikejar manakala kita merayakan Natal di gereja dengan acara yang begitu spektakuler namun melupakan esensi Natal seperti yang disebutkan di atas? Acara yang penuh dengan ‘emptiness’ yang hanya menjadi ajang untuk show off kepada jemaat, sebagai bukti dari profesionalitas. Tetapi Allah juga mengijinkan acara-acara seperti itu mewarnai Natal di berbagai gereja.

Menyadari bahwa pelayanan sesungguhnya didasari atas sebuah kesadaran bahwa kita bukanlah orang-orang professional tetapi hamba akan membuat kita memiliki motivasi pelayanan yang jelas. Bukan berarti bahwa pelayanan kita tidak maksimal. Tetapi dengan kesadaran yang jelas akan hal tersebut maka kita bisa all out dan bebas mengekspresikan anugrah Allah dalam kehidupan kita. Tidak ada rasa malu ataupun takut salah, dengan kesadaran bahwa segala pujian yang mau kita sampaikan, semuanya akan kita kembalikan bagi kemuliaanNya.

Memaknai Natal seharusnya menjadi agenda kita setiap hari, dimana kita belajar untuk terus berjaga-jaga sembari menantikan kedatanganNya yang kedua, menyadari akan penebusan Allah yang mengubahkan kehidupan kita menjadi hidup yang bermakna.

Menikmati Hari-Hari BersamaNya

Akhir kata, Natal juga bicara mengenai bagaimana relasi kita dengan Kristus sendiri. Seberapa jauh kita menyadari akan penyertaan Allah atas hidup kita selama kita hidup? Kelahiran Kristus akan membuat kita memiliki komitmen untuk terus hidup seturut dengan kehendakNya, dengan kesadaran penuh bahwa kita ini adalah umat kepunyaanNya, dan Ia tidak akan pernah meninggalkan kita.

Sangat naïf ketika kita berkata bahwa “acara ini berhasil dan spektakuler karena saya”, karena kita ini hanya hamba yang tidak berguna – demikian kata Paulus. Mengakui bahwa kita adalah hamba-hamba yang tidak berguna membuat kita dapat bergantung sepenuhnya kepada Allah. Berjalan bersamaNya di dalam keseharian hidup kita, menikmati FirmanNya di dalam alkitab dan terus belajar untuk mengetahui rencanaNya atas kehidupan kita. Itulah kehidupan yang bermakna yang Tuhan janjikan bagi setiap kita yang mau belajar memuji dan memuliakan Dia.

Penutup

Natal berbicara mengenai penyerahan hidup. Pdt. Benny Solihin dengan begitu tegas memberikan sebuah kalimat yang begitu dalam: “Natal adalah pertukaran hadiah antara Allah dan manusia: Allah memberikan anakNya yang tunggal kepada kita; kita memberikan dosa kita kepadaNya.”

Kiranya refleksi ini terus mengingatkan kita bahwa kita yang sudah menerima anugrah terbesar itu di dalam hidup kita, sebagai hamba yang tidak berguna kita diminta untuk belajar memberikan yang terbaik sesuai dengan kemampuan yang sudah Allah berikan. Belajar untuk mengingat terus konsep anugrah Allah atas kehidupan kita. Kurang lebih 2000 tahun yang lalu Allah sudah melakukan karya itu, dan hari ini pun penyertaanNya akan selalu ada atas hidup kita. Pertanyaannya: maukah kita terus belajar hidup di dalam konteks anugrah itu, berjaga dan melakukan yang terbaik sampai kedatanganNya yang kedua sebagai Raja?


Soli Deo Gloria!

Monday, December 7, 2015

Pudarnya Kebenaran -- Sebuah Refleksi

Pendahuluan
Menarik untuk membaca headline akhir-akhir ini, dimana ada satu nama yang mencuat di permukaan publik. Seorang pribadi yang penuh kontroversi, dengan berbagai keunikan yang ada di dalam dirinya. Tak ayal media mulai mengejar dia, menjadikan dia sebagai pusat perhatian. Tak sedikit pula orang-orang disekitarnya mulai “panas”. Siapakah dia? Dia adalah Setya Novanto, ketua DPR Republik Indonesia.

Menarik kalau diperhatikan bahwa ditengah polemik dan kontroversi, muncul pula orang-orang yang mau berjuang mempertahankan kebenaran di negeri ini. Setidaknya saat ini kita bisa melihat perjuangan orang-orang yang anti korupsi, orang-orang yang mau belajar untuk hidup di dalam suatu integritas. Apakah berarti orang-orang tersebut sempurna? Ternyata tidak juga. Tetapi mereka menyadari bahwa kebenaran selalu menemukan jalannya, dan tak lupa pula: ada risiko yang harus diambil manakala sedang memperjuangkan kebenaran.

Siapakah orang-orang dari paragraf kedua ini? Sebut saja (sampai saat ini) Sudirman Said, menteri ESDM RI, kemudian kita bisa melihat orang-orang yang berani untuk menyuarakan kebenaran di tengah ancaman dan berbagai problematika yang membuat mereka bisa saja kehilangan nyawanya untuk membela kepentingan orang banyak. Ada pula orang-orang yang disebut “orang gila” seperti Basuki T.P yang lebih terkenal dengan nama Ahok, yang mau mengubah wajah Indonesia, khususnya Jakarta, menjadi sebuah kota yang jauh lebih baik. Tidak lupa pula ada walikota-walikota yang kita tahu seperti Tri Rismaharini, dan juga Ridwan Kamil yang menjadi orang-orang yang sedang naik daun karena mereka belajar untuk mempertahankan integritas mereka

Money Talks!
Tak bisa dipungkiri bahwa kondisi negeri yang sedang hancur ini (setidaknya menurut sebagian besar orang) membuat kita menjadi pribadi-pribadi yang berpikir praktis. Boro-boro kita berbuat sesuatu yang benar, yang penting aman lah. Pokoknya sudah dapat bagian ya sudah, diam saja. Daripada keamanan keluarga jadi taruhan, nyawa sendiri terancam, lebih baik tetap diam dan menutup mulut.

Kondisi ini pula yang dialami oleh banyak tokoh yang ada di dalam alkitab. Sebut saja nabi-nabi seperti Yeremia, Yesaya, Yohanes Pembaptis, mereka hidup di dalam kondisi seperti ini. Hidup diantara bangsa yang tegar tengkuk. Hidup di antara penguasa yang kuat, yang memiliki kuasa yang jauh lebih besar dibandingkan dengan mereka. Menariknya kabar yang mereka bawa adalah suatu kebenaran yang justru tidak nyaman untuk didengar.

Jaman ini dikuasai oleh segelintir penguasa. Siapa yang punya uang, ialah yang berkuasa. Uang menjadi suatu hal yang bahkan dapat membeli kebenaran itu sendiri. Pokoknya kalau ada duit, semua urusan beres! Akhirnya orang-orang berlomba-lomba untuk mencari kuasa itu.

Expensive Truth
Kebenaran menjadi sesuatu yang begitu mahal pada jaman ini. Kebenaran itu bisa diputarbalikkan dengan berbagai cara. Hari ini menjadi seorang tersangka, karena punya duit bisa saja besok sudah bebas. Begitu pula sebaliknya, yang tidak punya duit akan menjadi orang-orang yang menjadi bulan-bulanan penguasa.

Yohanes Pembaptis mengalami hal ini. Bermaksud baik untuk menasihati Herodes karena merebut istri saudaranya, eh dia harus membayarnya dengan kehilangan kepalanya di tangan Herodes. Kebenaran menjadi sesuatu yang begitu bernilai.

Inilah realitas yang kita hadapi. Hidup di jaman dimana segala sesuatunya bisa dibeli. Orangpun bisa dibeli untuk bersaksi dusta. Kita pun bisa terjebak di dalam satu kondisi dimana kita menjadi orang-orang yang pada akhirnya melakukan hal tersebut. Hal yang paling sederhana adalah kita ‘nembak SIM’, ataupun ketika di tengah jalan kita ditangkap dan menyuap polisi. Ada banyak sekali cara untuk kita dapat ‘menutupi’ kesalahan kita.

A Hope?
Kalau ditengah realitas seperti ini, apa yang harus kita perbuat? Masih relevankah tugas kenabian kita? Peran kita sebagai orang-orang yang takut akan Tuhan seperti apa? Akankah kita larut di dalam kondisi jaman seperti ini, ataukah kita belajar punya suatu pegangan lain?

Bukan suatu hal yang mudah ketika kita ada di dalam posisi Sudirman Said misalkan. Kita akan diperhadapkan pada berbagai tantangan dan ancaman yang akan mengancam keberlangsungan hidup kita. Mungkin bukan hanya kita, tetapi juga orang-orang di sekitar kita. Orang-orang yang kita sayangi, yang mengenal kita. Sangat sulit bagi kita untuk mengambil suatu pilihan yang nantinya akan sangat merugikan kita.

Tetapi menarik disini bahwa kita perlu yakin dan percaya atas kedaulatan dan kebenaran Allah. Ketika Allah memberikan anugrah atas kehidupan kita, tugas kita tidak lain tidak bukan adalah bersaksi.  Bersaksi dan bersaksi, bukan hal yang mudah di tengah realitas dunia seperti ini. Ketika dunia berteriak untuk menenggelamkan kebenaran, kita sebagai orang percaya diberikan tanggung jawab untuk mengungkapkan kebenaran itu.

Ada pengharapan, setidaknya kita bisa memulai dari hal yang terkecil, tanpa melupakan hal-hal besar yang Allah percayakan di dalam kehidupan kita. Tidak perlu menjadi Yohanes Pembaptis, ataupun menjadi seperti Sudirman Said. Cukup menjadi pribadi anda yang mau belajar untuk memuliakan Allah. Maka Allah akan memberikan kekuatan dan berbagai tantangan untuk kita hadapi, tetapi di dalam tantangan itu ada damai sejahtera kepada orang-orang yang mau bersandar teguh pada kasih setiaNya.

Mari belajar menjadi agen perubahan bagi dunia sekitar kita!

Soli Deo Gloria

Sunday, November 1, 2015

Menapaki Hari Bersama Kristus

Pendahuluan

Sebagai orang Kristen ada satu pertanyaan yang harus kita jawab manakala kita mengakui bahwa Kristus sudah menyelamatkan kita. Apakah itu? Pertanyaan itu adalah “so what?”. Maksudnya adalah ketika kita sudah mengakui bahwa Kristus adalah satu-satunya juruselamat, lalu apa? Hal ini menjadi terus relevan manakala kita melihat bahwa di tengah realitas dunia ini, kita tidak jarang untuk lost contact dengan Allah. Relasi kita dengan Allah menjadi sebuah relasi yang jauh, sama sekali tidak terkoneksi

Keagungan Karya Salib

Perenungan ini juga relevan ketika kita mencoba mencari jawaban atas pertanyaan “mengapa aku diselamatkan oleh darah Kristus”. Ada begitu banyak hal yang bisa menjadi jawaban atas pertanyaan ini. Misalkan: kita diselamatkan agar kita dapat melayani Allah. Benarkah? Kalau kita renungkan, siapa sih diri kita ketika kita berani mengatakan bahwa kita adalah pelayanNya? Bandingkan hidup kita dengan Paulus, Daud, Musa, Yeremia dan lain-lain. Refleksikan saja bagaimana hidup kita dibandingkan dengan hidup mereka. Masihkah kita berani menyatakan bahwa kita diselamatkan untuk melayani Dia?

Ada juga yang mengatakan agar kita bisa menjadi orang-orang yang terlibat penginjilan yang efektif. Kita punya tugas penginjilan. Tetapi kalau kita lihat realitasnya, kurang efektif apa sih Allah ketika Dia mengerjakan penginjilan? Bukankah lebih mudah bagi Allah untuk kemudian menampakkan diriNya di depan orang-orang yang tidak percaya dan kemudian mereka bertobat?

Kekristenan Adalah Relasi

Pemulihan relasi kita dengan Allah adalah satu-satunya alasan utama manakala kita menyadari bahwa hidup kita adalah hidup yang kotor. Kita perlu sadar bahwa tidak ada hal yang mungkin kita kerjakan tanpa keagungan karya salib atas kehidupan kita. Kita perlu sadar bahwa tanpa adanya pendamaian dengan Allah melalui Kristus, kita akan terjebak pada hidup keagamaan yang penuh dengan ritual-ritual.

Kalau kita lihat sepanjang kitab Imamat, kita bisa melihat betapa rumitnya saat seseorang ingin bertemu dengan Allah. Ada berbagai macam korban yang intinya satu: untuk menebus sesuatu. Ketika seseorang penuh dengan dosa, Ia tidak boleh / tidak memiliki akses untuk dapat datang berdoa dan memohon kepada Allah. Bukankah ini adalah satu hal yang begitu mengerikan? Ada banyak hal yang harus dilakukan untuk kita dapat punya akses kepadaNya.

Ironisnya hal ini membuat kita menjadi pribadi yang sama sekali berbeda dengan kemauan orang-orang jaman dahulu. Kalau kita bandingkan bagaimana niatan orang-orang jaman Perjanjian Lama, untuk mereka dapat datang ke Yerusalem pun adalah sesuatu yang begitu berat. Saat itu belum ada Go-Jek, belum ada taksi. Kalau seseorang cukup kaya, dia akan naik unta. Kalau tidak? Ya tentu saja dia harus berjalan kaki. Apalagi mereka harus membawa korban persembahan. Korban persembahan itupun juga tidak boleh cacat, artinya ini adalah suatu aturan yang sangat berat.

Menarik bahwa kalau kita melihat realitas jaman ini. Kalau acara di gereja tidak menarik ya tidak akan datang. “Eh, yang kotbah Pdt. X, pasti bikin ngantuk, kita ke gereja lain deh.” “kalau ke gereja itu ada makanannya lho!”,”nanti aja kalau mau nikah, aku akan rajin ke gereja”. Kalimat-kalimat inilah yang mewarnai kehidupan jaman ini. Jaman dimana anak-anak muda punya kehidupan yang jauh lebih mudah dibandingkan dengan masa lalu. Jaman dimana semua hal tersedia untuk kita dapat datang beribadah kepadaNya, tetapi ironisnya justru ada satu hal yang tidak dipunyai. Apa itu? Relasi yang intim dengan Allah.

Pemulihan relasi itulah yang dikerjakan oleh Kristus di atas kayu salib. Relasi dimana sebelum korban Kristus, manusia memiliki jarak yang begitu jauh dengan Allah, berbeda dengan ketika karya penebusan itu sudah dilakukan oleh Kristus. Kita tidak perlu lagi mempersiapkan korban pengganti bagi dosa-dosa kita. Kristus telah membayar segalanya.

Sikap Hidup Orang Percaya

Kesadaran kita akan keintiman relasi dengan Allah membuat kita menjadi pribadi yang berbeda. Analoginya adalah ketika kita memiliki seorang kekasih. Bisa dibayangkan ketika kita berjalan dengan kekasih kita, mungkin sikap kita akan begitu berbeda dibandingkan kita berjalan bersama anggota geng kita. Sikap kita akan menjadi pribadi yang lebih “manis”. Kalau kita menyadari bahwa Allah itu selalu ada bersama kita, dan kita adalah kekasih hatiNya, bukankah kita juga akan selalu memiliki perbedaan sikap dan pandangan?

Kesadaran inilah yang perlu dimiliki oleh orang percaya. Kesadaran bahwa kita tidak ditebus dengan darah yang murahan. Kesadaran bahwa kita sudah ditebus. Ini seharusnya menjadi suatu titik balik dimana kita akan punya sebuah kerinduan untuk dapat memiliki suatu relasi vertikal dan horizontal yang baik. Itulah yang dinyatakan Yesus manakala diberikan pertanyaan mengenai hukum terutama: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."

Arti dari hukum ini begitu clear, bahwa perubahan yang paling nyata adalah masalah bagaimana kita bisa memaknai kehidupan yang sudah Allah berikan. Ayat ini mengajak kita untuk punya sebuah persekutuan yang erat dengan Allah sekaligus juga persekutuan dengan sesama kita.

Implikasinya adalah ketika kita akan ke gereja, motivasi utama kita apa sih? Apakah karena di gereja ada cowok yang cakep, atau cewek yang cantik? Ataukah kita punya sebuah kerinduan untuk datang kepada Kristus, mengakui dan mensyukuri setiap anugrahNya atas kehidupan kita? Perubahan hidup inilah yang seharusnya membuat kita menjadi seseorang yang tidak perlu dipaksa untuk kita bisa pergi ke gereja. Kita tidak perlu dipaksa untuk melayani, karena kita tahu bahwa segala yang kita punya adalah milik Allah.

Kesimpulan

Ketika Allah sudah memberikan segalanya atas kehidupan kita, pertanyaannya adalah bagaimana kita menyikapi pemberian Allah itu? Apakah kita punya satu kerinduan kepada Allah sama seperti kerinduanNya untuk kita dapat datang kepadaNya? Apakah kita sudah mencintai Allah sama seperti Allah sudah mencintai kita?

Biarlah kita belajar dari hari ke hari punya relasi yang semakin intim kepadaNya, sehingga kita tahu bahwa ada satu tujuan yang Tuhan ingin kita kerjakan untuk kemuliaanNya.


Soli Deo Gloria

Sunday, September 13, 2015

Kaya Dalam Kasih Karunia

Apa bayangan saudara ketika mendengar mengenai kekayaan? Seperti apa sih sebenarnya kaya itu? Apakah ketika kita bisa memiliki segalanya di dalam hidup ini? Kita punya banyak simpanan deposito, simpanan rumah, simpanan istri (uuppss), dan berbagai simpanan, begitukah yang disebut kaya? Ataukah mungkin bukan berlimpah harta, tapi berlimpah kedudukan. Misalkan kita menjadi presiden dari sebuah negara yang adikuasa, maka kita adalah orang yang kaya?

Redefinisi Kekayaan
Perenungan ini coba kita mulai dengan membaca surat dari Paulus kepada jemaat Korintus, di dalam 2 Korintus 8:1-9. Selagi kita membukanya, mari kita tahu dulu latar belakang jemaat Korintus. Korintus adalah sebuah kota metropolitan di jaman itu, dan kita bisa membayangkan betapa jemaat di dalamnya bukanlah jemaat yang bermasalah tentang keuangan.

Saudara-saudara, kami hendak memberitahukan kepada kamu tentang kasih karunia yang dianugerahkan kepada jemaat-jemaat di Makedonia. Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan.
(2Korintus 8:1-2)

Secara jelas Paulus mencoba memberitahu jemaat Korintus mengenai keadaan jemaat Makedonia pada saat itu. Jemaat Makedonia “dicobai dalam pelbagai penderitaan”. Artinya bahwa mereka bukanlah sebuah jemaat yang kaya secara dunia. Kalau menurut definisi di awal artikel ini, jelaslah bahwa jemaat Makedonia bukanlah jemaat yang seperti itu.

Tetapi menarik apa yang dikatakan Paulus kalau kita renungkan. Kita melihat Paulus berkata: “mereka kaya dalam kemurahan”. Apa maksudnya? Bahwasanya kekayaan yang disebutkan Paulus adalah kekayaan dimana justru di dalam kekurangan kita, kita bisa memberikan yang terbaik. Mereka memberi di dalam kemurahan mereka, dan itulah yang Tuhan kehendaki untuk kita kerjakan. Itulah mengapa ketika di dalam perumpamaan tentang janda miskin yang memberikan sepeser uang persembahan, itulah yang berkenan di hadapan Allah.

Bagaimana kita menanggapi hal ini? Kita kembali merenungkan seperti apa sikap kita ketika kita menghadapi berbagai pergumulan di dalam hidup kita. Bukan melulu masalah uang, tetapi ketika kita sedang galau, pertanda yang sering menjadi perhatian adalah kita menjadi orang yang berfokus pada diri sendiri. Sedangkan kita melihat jemaat Makedonia, kita bisa melihat apa yang menjadi fokus hidup mereka bukanlah diri mereka, tetapi kepada orang lain.

Beroleh Kasih Karunia dalam Pelayanan

Aku bersaksi, bahwa mereka telah memberikan menurut kemampuan mereka, bahkan melampaui kemampuan mereka. Dengan kerelaan sendiri mereka meminta dan mendesak kepada kami, supaya mereka juga beroleh kasih karunia untuk mengambil bagian dalam pelayanan kepada orang-orang kudus. Mereka memberikan lebih banyak dari pada yang kami harapkan. Mereka memberikan diri mereka, pertama-tama kepada Allah, kemudian oleh karena kehendak Allah juga kepada kami.
(2Korintus 8:3-5)

Paulus melanjutkan suratnya dengan sebuah kesaksian yang begitu menarik. Dikatakan disini bahwa jemaat Makedonia meminta dan mendesak kami (Paulus dan rekan-rekannya) untuk jemaat tersebut dapat melibatkan diri di dalam pelayanan. Bayangkan ketika anda berniat meminta proposal kepada seseorang yang kaya, tetapi ditolak, dan kemudian anda melihat seorang yang biasa-biasa saja tiba-tiba menghampiri anda dan memberikan anda sejumlah uang untuk membantu anda. Demikianlah kehidupan jemaat Makedonia yang diberikan berkat. Mereka memaknai bahwa setiap hal yang sudah Allah sediakan bukanlah untuk mereka nikmati sendiri tetapi dapat menjadi suatu berkat bagi kemuliaanNya.

Manakala merenungkan hal ini, kita diajak untuk memaknai kembali berbagai berkat yang sudah Tuhan berikan di dalm kehidupan kita. Begini lho, rumusNya itu bukan hanya berhenti bahwa ketika kita diberikan sesuatu maka sesuatu itu akan menjadi milik kita. Eits tunggu dulu! Ketika Allah memberikan sesuatu berkat, Allah meminta kita untuk dapat melakukan yang terbaik dari pemberianNya itu.

Bukankah itu yang sering kita lupakan? Kita memohon dan berdoa agar kita diberikan banyak uang tetapi ternyata uang itu kita nikmati sendiri. Kita berdoa agar mendapatkan seorang pacar yang cantik tetapi jadi malas untuk melayani. Kita diberikan berbagai fasilitas oleh Allah di dalam gereja kita tetapi kita tidak mau belajar untuk memaksimalkan setiap pemberian itu. Bukankah hal itu sesuatu yang manusiawi? Benar sih manusiawi, tetapi bukankah itu menjadikan kita sama seperti dunia?

Jemaat Makedonia tahu betul bahwa mereka punya sebuah misi untuk mereka jalani. Disebutkan bahwa mereka “memberikan diri pertama kepada Allah, kemudian kepada kami (Paulus dan rombongannya)”. Dasar dari pelayanan mereka adalah “memberikan diri pertama kepada Allah”, artinya bahwa mereka menyadari bahwa inti dari pelayanan yang mereka kerjakan adalah agar nama Tuhan yang dimuliakan. Tidak berhenti sampai disitu, ada tindakan konkrit yang mereka kerjakan untuk memuliakan Tuhan.

Pelayanan Penuh

Sebab itu kami mendesak kepada Titus, supaya ia mengunjungi kamu dan menyelesaikan pelayanan kasih itu sebagaimana ia telah memulainya. Maka sekarang, sama seperti kamu kaya dalam segala sesuatu, --dalam iman, dalam perkataan, dalam pengetahuan, dalam kesungguhan untuk membantu, dan dalam kasihmu terhadap kami--demikianlah juga hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini.
(2Korintus 8:6-7)

Kalau kita baca ayat ini, sebenarnya ini adalah penegasan kembali bagaimana peran jemaat di Makedonia. Kemudian juga disini Paulus menyebutkan bahwa kekayaan kasih itu berasal dari pelayanan yang dikerjakan oleh mereka. Apakah berhenti sampai janji semata? Ternyata tidak. Kita sering sekali membayangkan kalau kita punya banyak uang baru kita mau menyumbang. Kita menunggu punya pekerjaan yang mapan dulu baru kita akan mentraktir. Kita menunggu dapat rejeki dalam jumlah besar baru kita mau memberikan sesuatu.

Apakah itu yang dilakukan jemaat Makedonia? Kita perlu mengingat kembali bahwa kekayaan  itu bukanlah masalah berapa banyak yang kita dapatkan, melainkan kekayaan itu kita rasakan manakala kita merasa cukup atas segala hal yang kita miliki dan kita kerjakan. Tidak berhenti sampai disana. Ketika kita bisa memberikan segala sesuatu, dan kita mengusahakan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain, disitulah kita menjadi seseorang yang benar-benar kaya.

Dasar Kekayaan Adalah Teladan Kristus

Aku mengatakan hal itu bukan sebagai perintah, melainkan, dengan menunjukkan usaha orang-orang lain untuk membantu, aku mau menguji keikhlasan kasih kamu. Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.
(2Korintus 8:8-9)

Salah satu hal yang paling menarik di dalam pemahaman iman Kristen adalah kita memiliki Allah yang memberikan segalanya sekaligus juga memberikan teladan atas kehidupan kita. Ia tidak sekedar memerintahkan kita melakukan segala sesuatu, tetapi Ia adalah Allah yang solider, yang merasakan juga bagaimana kehidupan sebagai seorang manusia melalui Yesus Kristus.

Menarik disebutkan Paulus disini bahwa jemaat bukan diminta untuk “tahu” mengenai Tuhan Yesus, tetapi kata yang digunakan disini adalah “MENGENAL”. Ilustrasinya seperti ini. Ketika anda memiliki seorang kekasih, anda bukan hanya tahu bahwa dia adalah seseorang yang cantik. Tentu saja anda harus mengenalnya bukan? Hal-hal apa yang ia suka, hal yang tidak ia suka, karakternya seperti apa, dan seterusnya.

Sama juga dengan iman Kristen. Kita tidak sekadar di indoktrinasi di dalam iman kita. Kita bukan hanya membaca alkitab dan tahu isi alkitab tetapi tidak melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Iman Kristen adalah iman yang hidup, yang seharusnya melalui teladan Yesus Kristus kita bisa melakukan tindakan kita sehari-hari seperti yang Ia kerjakan selama ada di dunia.

Ayat ini menyebutkan, bahwa Yesus yang kaya telah menjadi miskin. Paulus mengacu kepada pemahaman bahwa Allah yang mahabesar justru rela turun ke dunia untuk menjadi sama seperti manusia. Allah yang maha tinggi justru menjadi pribadi yang begitu hina sampai kematianNya pun merupakan salah satu penghinaan terbesar. Tetapi justru melalui kematian Kristus itulah keunikan iman Kristen dinyatakan. KebangkitanNya membawa suatu pengharapan, dan dari kehidupanNya selama 3 tahun pelayananNya kita boleh belajar banyak hal bahwa melayani Tuhan itu tidak berhenti di dalam pemahaman saja, tetapi pengenalan pribadi, keintiman pribadi denganNya.

Oleh karena kemiskinanNya, di dalam anugrah terbesar yang sudah Ia kerjakan di dalam kehidupan kita, kita menjadi pribadi yang mampu mengerjakan yang terbaik bagi orang di sekitar kita. Kasih Karunia Tuhan adalah sesuatu yang jauh lebih cukup yang menjadi dasar kita untuk melayani orang lain di sekitar kita. Ketika tindakan kita sehari-hari memaknai karya Kristus, maka orang lain akan merasakan sebuah dampak, sebuah perbedaan bahwa kita telah menjadi anggur yang tercurah bagi kemuliaanNya. Siapkah kita memancarkan manisnya kasih Kristus, anugrah yang tidak terbatas itu?


Soli Deo Gloria!

Sunday, September 6, 2015

Allah Yang Setia

Duduk diam dan merenungkan betapa indahnya kasih Allah merupakan satu hal yang begitu sulit aku lakukan saat aku berada di bangku SMA. Betapa tidak, ada begitu banyak alasan untuk aku mengeluh atas hidupku. Begitu banyak hal yang aku rasakan merupakan “penghukuman Allah” di tengah-tengah kehidupan ini. Sekalipun aku lahir di dalam keluarga Kristen, tetapi tetap saja ada perasaan dimana aku adalah pribadi yang “terbuang”.

Ketika aku mengingat masa-masa itu, aku menjadi sedih, sekaligus bersyukur atas setiap proses yang aku alami. Proses hidup itulah yang saat ini aku renungkan merupakan suatu proses yang penuh dengan pertanyaan sekaligus tuntunan Tuhan yang begitu luar biasa. Betapa tidak, kalau saat ini aku boleh ikut melayani Tuhan, aku boleh tergabung di dalam vocal group, aku boleh punya pekerjaan, aku bisa makan setiap hari, aku bisa mentraktir teman-temanku, bukankah itu merupakan anugrah yang harus syukuri di dalam hidup ini? Aku merenungkan itu merupakan hal yang begitu indah yang Tuhan berikan. Tetapi satu hal yang terutama! Apa itu? Melalui perjalanan hidupku aku memiliki satu kesimpulan yang jelas mengenai Allah.

“Allah itu adalah Allah yang setia”

Betapa ketika menyimpulkan kalimat itu untuk pertama kalinya, aku tercengang dan takjub betapa keindahan kasih karunia Allah dalam hidupku adalah hal terindah yang Tuhan berikan. Apakah itu? Pengenalanku akan pribadiNya. Bagaimana Ia menunjukkan kepadaku betapa besarnya kasihNya, betapa dalamnya anugrahNya, betapa indah jalan hidup yang Ia berikan, semuanya terangkai indah di dalam kehidupanku.

Kesetiaan Yang Teruji Kondisi
Kalau anda sudah punya seorang pacar atau kekasih, apalagi yang sedang LDR-an (seperti saya.. hehehe) pasti pernah merasakan betapa kita ingin bertemu sang kekasih, sekedar untuk menyapa, melihat wajahnya, bertatapan mata ke mata, merasakan dan menikmati kisah cinta setelah sekian lama tak jumpa. Bukannya curcol nih, tapi memang begitulah keadaan ketika kita sedang menjalani hubungan LDR.

Orang bilang ketika menjalani LDR, hubungan akan menjadi rawan sekali. Ada satu komitmen yang tegas dan jelas yang harus dipegang antara kedua belah pihak. Menariknya lagi ketika LDR, mau berapapun duit yang kita keluarkan untuk ketemu, kita selalu mengusahakannya. Kita selalu berusaha untuk bertemu dan saling bercengkerama, saling bercerita, saling berbagi, dan saling berkomunikasi.

Nah begitu pula ketika kita berhubungan dengan Allah kita. Hubungan dengan Allah nggak perlu duit, cuman punya lutut pun kita bisa bertemu. Uniknya lagi kalau pacar kita terkadang lagi nggak mood saat diajak bicara, dia bisa malah ngambek. Berbeda dengan Allah kita. Ketika kita banyak curcol, banyak protes, dan kita belajar untuk jujur terhadap perasaan kita kepada Allah, maka Ia akan dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan kita. Ia selalu siap sedia di dalam kondisi apapun.

Bener juga sih. Pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: ketika Allah sudah setia di dalam Dia menyediakan begitu banyak tuntunan dan berkat di dalam kehidupan kita, bisa nggak kita belajar untuk menyediakan diri kita di hadapanNya? Maukah kita datang saat ini dengan sebuah ungkapan syukur bahwa Ia adalah pribadi yang begitu setia dan adil, pribadi yang menyambut kita dengan sabar, pribadi yang mendengarkan setiap keluhan kita, Dia tidak pernah bosan untuk itu.

Kesetiaan Yang Tak Pernah Lupa
“Janji yang manis, kau tak kulupakan, tak terombang ambing lagi jiwaku…” sebuah lagu hymn yang sering banget dinyanyikan, berjudul Janji Yang Manis. Saya merenungkan kalimat-kalimat di dalam lagu itu.

Pernahkah kita berhutang sesuatu kepada seseorang? Ketika kita berhutang, kita punya dua sikap, apakah kita akan bersikeras melunasinya, atau berharap bahwa orang tersebut akan melupakan bahwa kita pernah berhutang kepadanya. Itu kalau hutang, kalau kita yang ternyata memberikan pinjaman sesuatu kepada orang lain? Kita selalu berharap bahwa orang tersebut tanpa ditagihpun akhirnya akan mengembalikannya (apalagi kalau ada bunganya! J)

Contoh lain: buat teman-teman nih, kira-kira pasti ingat donk ulang tahun dari pacarnya. Bagaimana kalau kita sampai melupakan tanggal tersebut? Wah bahaya! Begitu juga kalau misalnya pacar kita melupakan tanggal ulang tahun kita. Kira-kira gimana perasaan temen-temen?

Kalau kekasih kita saja begitu punya hasrat dan ingatan untuk terus mengingat kita, bahkan sesuatu yang kadang kurang bermakna, bagaimana dengan Allah yang menciptakan kita, yang janjiNya sudah begitu teruji? Ia tidak pernah melupakan setiap detil yang kita kerjakan di dalam hidup kita. KesetiaanNya adalah kesetiaan yang kekal, yang tak pernah sekalipun Ia melupakan setiap hal yang kita kerjakan.

Menarik untuk kita renungkan, kapan terakhir kali kita mengingat Allah? Apakah itu saat kita mendapatkan begitu banyak berkat? Ataukah justru saat kita merasa begitu banyak hal yang tidak dapat kita tangani sendiri sebagai manusia barulah kita menghadap kepadaNya? Yuk kita jujur mengintrospeksi pribadi kita masing-masing, apakah dalam hidup kita justru kita lupa untuk bersyukur tetapi selalu ingat kalau kita protes kepadaNya? Seberapa tingkat syukur kita manakala kita masih diijinkan untuk datang kepadaNya secara langsung di dalam doa-doa kita?

KisahNya Atas Hidup Kita
Saat ini saya mengajak setiap kita untuk dapat merenungkan betapa Allah kita adalah Allah yang menyusun kisah hidup kita. Renungkan bahwasanya ketika sampai saat ini kita bisa hidup, bukankah semuanya itu hanyalah karena kemurahan kasih Allah?

Aku merenungkan di dalam kisah hidupku. Lahir di keluarga yang sederhana, dengan tingkat kedisiplinan orang tua yang begitu tinggi. Aku lahir dengan kondisi tidak sempurna di dalam kehidupanku. Aku punya kecacatan di tanganku yang membuat aku minder sampai aku SMA, bahkan sampai kuliahpun aku takut ketika aku harus bertemu dengan seorang wanita. Aku tidak punya prestasi yang begitu “wah”, dan aku bukanlah pribadi yang berani untuk ngomong di depan umum.

Sampai suatu kali aku diperkenalkan kepada Pribadi yang agung itu. Pribadi yang menebus dosaku, Pribadi yang tidak pernah meninggalkan aku, yang selalu menuntun aku dalam menjalani kehidupan ini. Pribadi itulah yang membuat aku sadar betapa kehidupan ini kalau aku jalani sendiri maka aku bisa kelelahan di dalam menjalaninya.

Kisah itu berlanjut dengan aku berhasil menyelesaikan studi S1ku dengan begitu banyak hal di dalamnya. Sahabat-sahabat yang baru, pelayanan di gereja, dan begitu banyak tanggung jawab yang Tuhan mulai berikan. Bagaimana dengan pasangan hidup? Oh Tuhan memberikan sepaket, dan itu yang Tuhan berikan ketika aku studi S2. Namanya adalah Jessica, seseorang yang Tuhan ijinkan untuk hadir di dalam kehidupanku, yang mana aku bergumul bersamanya tentang hubungan kami selama 14 bulan hingga akhirnya kami menjalani relasi LDR.
Apakah hanya sampai disitu?

Kalau selama aku hidup, ketika aku belum mengenal Dia, Ia sudah memberikan begitu banyak tuntunan, Ia begitu setia menantikan kehadiranku, bukankah Ia adalah Allah yang setia. Ia adalah Allah dari teman-teman juga. Allah yang juga menantikan teman-teman untuk mau belajar menyerahkan segalanya kepadaNya. Kekecewaan, beban hidup, pengalaman tersakiti, kekurangan, ataupun sebaliknya. Sukacita, damai sejahtera, itulah yang mau Tuhan sediakan di dalam kehidupan kita.

Kalau selama 25 tahun ini Tuhan sudah memberikan tuntunanNya, maka sampai kapanpun Ia akan menyusun dan menuliskan kisah itu. Andreas yang saat ini sedang bekerja di Bogor, yang sedang menjalani relasinya dengan Jessica, dan seterusnya. Ia terus menerus menuliskan kisah kesetiaanNya di dalam hidup kita. Kita mau tidak untuk melangkah bersamaNya? Ketenangan hidup yang Ia janjikan bukan hanya untuk 25 tahun. Sampai seterusnya mari kita belajar untuk tenang, menikmati kesetiaan kuasa kasihNya, dan terus belajar untuk berjalan di dalam trackNya.

Satu lagu untuk menutup perenungan ini. Sebuah lagu yang menyatakan betapa agungnya kasih Kristus, betapa Ia adalah pribadi yang setia, dan kita pun ingin belajar memaknainya atas hidup kita.

TENANGLAH KINI HATIKU

TENANGLAH KINI HATIKU
TUHAN MEMIMPIN LANGKAHKU
DI TIAP SAAT DAN KERJA
TETAP ‘KU RASA TANGAN-NYA

REFF:
TUHANLAH YANG MEMBIMBINGKU
TANGANKU DIPEGANG TEGUH
HATIKU BERSERAH PENUH
TANGANKU DIPEGANG TEGUH

TAK KUSESALKAN HIDUPKU
BETAPA JUGA NASIBKU
SEBAB ENGKAU TETAP DEKAT
TANGAN-MU ‘KU PEGANG ERAT

‘PABILA TAMAT TUGASKU
KAU B’RIKAN KEMENANGAN-MU
TAK KUTAKUTI MAUT SERAM
SEBAB TANGANKU KAU GENGGAM


Sunday, August 30, 2015

Menantikan Janji Tuhan

Percakapan ini adalah percakapan Jessica, keluar dari mulutnya manakala kami berdua bercakap-cakap sembari menanti keberangkatanku ke Jakarta hari ini.

“Nggak sedih kan ko, nggak sesedih biasanya kan?” tanya dia
“hmmm.. gimana ya… “ jawabku
“Ya kan pasti balik, pasti ketemu lagi…” kata Jessica.

Kami menjalani hubungan LDR ini selama 2 tahun – setidaknya semenjak aku mengajak dia untuk bergumul mengenai hubungan kami. Tetapi menarik bahwa ketika kami berdua bertemu, selalu ada hal yang “harus” kami pelajari, sekalipun itu berasal dari kalimat-kalimat yang kami ucapkan. Ataupun juga tindakan-tindakan yang kami berdua lakukan bersama.

Siang itu, kami berdua duduk di ruang tamu. Seperti biasa sepulang dari gereja sembari menanti jam keberangkatanku kembali ke Surabaya, kami berdua bercakap-cakap. Menarik untuk direnungkan saat ini adalah ada suatu keyakinan di dalam diri Jessica bahwa aku akan kembali lagi. Jadi dia menganggap bahwa sebenarnya kita berdua nggak perlu terlalu sedih, karena masing-masing kami tahu toh kami juga akan ketemu lagi suatu saat.

Awalnya aku merasa agak aneh juga sih. Tetapi ketika aku renungkan saat terbang, aku menemukan ada sesuatu yang unik di dalam pernyataan itu. Apakah itu? Bukankah itu juga yang dikatakan Tuhan di dalam kehidupan kita? Bahwa ada janji Tuhan manakala Ia akan datang kembali untuk kedua kalinya?

Tertegun juga sebenarnya. Dalam rangka merayakan wisuda kemarin, aku tidak pernah berharap bahwa akan belajar mengenai hal ini dari ucapannya. Menarik bahwa sama sekali tidak tersurat rasa sedih, ataupun rasa penantian manakala aku akan meninggalkannya. Justru yang ada adalah senyuman penuh sukacita dan memberi semangat, di dalam perkataan-perkataan yang kelihatannya memojokkan tetapi ternyata kalau direnungkan dari sisi yang lain sangat indah.

Allah akan datang kembali. Paling tidak itulah yang kita yakini sebagai janji Tuhan manakala Ia datang ke dunia ini, di dalam diri Yesus Kristus. Murid-murid pun bukanlah pribadi yang meyakinkan manakala mereka bersekutu bersama guru mereka sebelum perjamuan malam terakhir diadakan. Artinya bahwa mereka sangat jauh dari harapan. Lihat saja bahwa apa yang mereka lakukan adalah mereka mementingkan diri sendiri.

Begitu pula dengan kita bukan? Alih-alih kita inget untuk datang kepada Tuhan di dalam setiap tindak-tanduk kita sebagai orang percaya, kita justru “menikmati” hal-hal lain yang membuat kita makin jauh dengan Dia. Baru kita datang kepadaNya manakala ada berbagai masalah yang menimpa hidup kita, serasa tidak ada jawaban, dan akhirnya juga kita ngambek ketika Tuhan juga pada akhirnya tidak memberikan sebuah jawaban yang jelas.

Kerinduan kepada Tuhan, kerinduan untuk datang kepada Dia. Mengingat kembali karya salib yang sudah Ia kerjakan 2000 tahun yang lalu, seharusnya membuat kita terkagum-kagum atas kuasa kasihNya. Tetapi apa yang kita lakukan manakala berbagai masalah hidup menghimpit kehidupan kita? Seringkali kita mengeluh dan mengeluh, melupakan berbagai karya yang indah yang sudah Ia kerjakan. Seakan-akan ketika kita hidup, kita tidak pernah menerima berkat dariNya.

Ketika begitu banyak proses hidup yang kita alami menghimpit kita, itu merupakan sarana yang Tuhan gunakan agar kita semakin lama semakin belajar untuk tidak mengandalkan diri kita sendiri. Ia ingin kita rindu untuk terus-menerus menikmati Dia. Ia rindu untuk kita datang kepadaNya, sampai-sampai kita harus merendahkan diri kita di hadapanNya. Mengapa? Ya karena kita ini memang lemah kok. Kita ini bukanlah pribadi yang bisa berjalan sendiri.

Akhirnya ketika kita mengalami berbagai proses hidup, ada kalanya kita perlu punya kerinduan kepadaNya, sekaligus suatu keyakinan seperti Jessica yang merindukan seseorang yang ia sayangi untuk kembali. Ia yakin bahwa suatu saat aku akan kembali dan belajar lagi bersamanya, belajar hidup di step yang lebih lanjut. Bagaimana kita rindu untuk menghadap Tuhan? Bagaimana kita rindu untuk bertemu kembali dengan Kristus – berusaha untuk mewujudkan kerajaan Allah di dunia ini – di dalam anugrahNya yang sudah memampukan kita untuk melakukan kehendakNya?

Soli Deo Gloria J

Sunday, August 23, 2015

Kita Harus Membawa Berita

Apakah Allah Mengasihi?

Pertanyaan bodoh bukan? Kita tidak perlu mempertanyakan hal itu bukan?

Sangat mudah menjawab YA ketika kehidupan kita “baik-baik” saja di dalam perjalanannya, tetapi akan sangat sukar dan perlu perenungan yang begitu mendalam manakala ternyata begitu banyak hal yang kita kerjakan menemui berbagai hambatan. Ketika hidup di dalam segala kebaikan Tuhan, kita bisa saja berkata Tuhan itu baik. Tetapi ketika kita mendapati bahwa kehidupan itu sangat bertentangan dengan sifat Allah, apakah kita masih bisa memuji Dia?

Temuilah sahabat saya, seorang pria yang akan segera menikah di dalam usianya 26 tahun. Pasangan hidupnya juga merupakan seorang Kristen yang begitu taat. Mereka berdua melayani, 1 orang sebagai pemandu pujian, dan satu lagi sebagai seorang pianis gereja yang begitu menawan. Karier mereka pun begitu luar biasa, dimana sang pria ini adalah seorang manager di salah satu perusahaan swasta (bayangkan, di usia 26 tahun sudah menjadi manager!). Pasangannya? Dia adalah seorang wanita karier dengan karir yang begitu mengesankan. Bekerja di sebuah consulting company, dia meraih berbagai penghargaan di usianya yang ke-24 tahun.

Sepertinya kehidupan begitu tenang, dan menyenangkan bagi kedua pasangan ini. Persiapan pernikahan mereka pun dimulai di dalam waktu 1 tahun lebih. Mereka mempersiapkan segalanya. Mereka sudah memesan tempat, mereka sudah memesan catering. Bahkan cincin yang mereka gunakan nantinya sudah mereka pesan dari Jerman. Mereka berdua sungguh merupakan calon keluarga Kristen yang begitu indah.

Semuanya tampak begitu indah bagi kedua pasangan ini, sampai satu kali si pria mendapatkan suatu kabar yang membuat dia shock. Seminggu sebelum mereka menikah, sang wanita mengalami kecelakaan. Kecelakaan yang begitu hebat, yang membuat wanita ini koma. Kejadian ini membuat sang pria ini terpukul. Uang memang bisa dicari, tetapi momen berharga bersama kekasihnya? Wow itu sungguh merupakan malapetaka yang begitu mengguncang hatinya.

Setelah seminggu, bukannya membaik, ternyata kondisi sang wanita semakin parah. Ada pembekuan darah di otaknya, dan dokter memvonis bahwa waktu hidup sang wanita ini tidak lebih dari 10 hari…

Hancur hati, itulah perasaan sang pria. Dia pun mencoba untuk berusaha tabah. Tiap hari dia berdoa bagi calon istrinya ini, berharap bahwa Allah turut bekerja di dalam tubuh istrinya. Bahkan ia pun sampai memohon kalau boleh nyawanya saja yang dicabut, dan sang istri diselamatkan dari penyakitnya. Ironisnya hal tersebut tidak terjadi.

Dua hari menjelang waktu yang sudah ditetapkan oleh dokter, sang wanita terbangun dari komanya. Sang pria langsung bergegas ke rumah sakit saat itu, dan dokter mengijinkan sang wanita ini untuk pulang. Bukan karena dia mendapatkan kesembuhan, tetapi mengijinkan dua hari yang tersisa ini setidaknya menjadi hari terindah yang dimiliki oleh sepasang kekasih ini.

Tidak menyia-nyiakan waktu, mereka berdua pergi ke rumah mereka, dan kedua pasang kekasih ini kemudian berbagi kisah, dan mulai berbagi kisah hidup. Mereka berdua kemudian berdoa bersama, dengan sebuah pengharapan bahwa Tuhan akan menyembuhkan sang wanita. Tetapi hasilnya masih nihil. Sampai di hari terakhirnya pun doa itu tidak terjawab. Akhirnya sang wanita pun meninggal di pelukan sang pria, dengan sebuah surat yang ia tuliskan kepadanya “Tuhan itu baik…”

Sahabat, mari kita coba melihat kisah tersebut. Coba bayangkan anda berada di posisi sang pria. Apa yang akan anda lakukan setelah anda mendapatkan realitas seperti itu? Apakah anda masih bisa berkata bahwa Tuhan itu baik ketika segala hal yang Ia rencanakan ternyata sama sekali berbeda dengan apa yang kita bayangkan?

Sang pria pun menjalani kehidupannya selanjutnya dengan suatu kesedihan yang begitu mendalam. Terlarut dalam kesedihan itu, ia memutuskan untuk mencari ketenangan. Ia mengambil cuti yang cukup panjang untuk mencoba merenungkan kehidupannya selama ini. Ia ingin menenangkan dirinya, tetapi manakala ia mencoba melihat smartphone nya, ia kemudian membuka album foto dan ia melihat senyuman calon istri, tangisan langsung keluar dari matanya. Air mata itu menetes tanpa henti, dan ia hanya membayangkan bagaimana kalau ternyata pada saat itu, sang wanita tidak mengalami kecelakaan.

Pergumulan yang begitu dahsyat ditemui oleh pria ini. Kecewa, marah, dan merasa bahwa dirinya paling mengetahui segalanya pun akhirnya mencuat. Ia kemudian mencoba mengambil sebuah catatannya, sebuah buku harian, yang mana di sana ada tulisan

Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.
Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah.
Pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku; gunung batu kekuatanku, tempat perlindunganku ialah Allah.

(Mazmur 62:6-8)

Benarkah? Keraguan mulai menyelimuti hatinya. Berhari-hari ia belum bisa melupakan sang wanita. Berhari-hari ia menutup diri. Ia hanyut di dalam kesedihannya. Ia tetap melayani di gereja dan kualitas suaranya pun tidak berubah. Ia tetaplah melayani Tuhan dan terus belajar untuk berkarya di tengah keraguannya. Ayat-ayat di dalam Mzm 62 itu terus membayangi dirinya. Di dalam hati kecilnya mulai mempertanyakan kebenaran dari ayat-ayat itu.

Kemudian di dalam sebuah persekutuan, setahun setelah kematian calon istrinya, ia diminta untuk menceritakan bagaimana perasaannya. Teman-teman sekitarnya menghibur dia. Mereka bersama pergi ke tempat pemakaman istrinya. Setidaknya ada 40 orang bersamanya, dan pemakaman itu menjadi begitu ramai. Sekali lagi ia membuka buku hariannya, dan mencoba membacakan ayat-ayat di Mazmur 62:6-8.

Saat itulah dia mulai menyadari betapa kemuliaan Allah ada di dalam kehidupannya. Ia kemudian mendapatkan suatu insight yang berbeda. Ia pun pulang ke rumah, mengambil alkitabnya dan mencoba membaca kitab Wahyu, tentang gambaran pernikahan Anak Domba. Saat itulah ia menyadari bahwa calon istrinya sudah sampai di tempat baru. Sebuah tempat yang begitu indah, tempat yang penuh dengan sukacita bersama Kristus.

Hal itu tidak akan terjadi padaku. Mungkin itulah yang rekan-rekan pikirkan manakala membaca kisah ini. Apakah begitu tragisnya kehidupan seseorang? Mungkinkah hal itu terjadi? Kisah yang lebih menyedihkan mungkin berada di sekitar kita, yang mana kita tidak pernah mengetahui bagaimana akhirnya. Tengok saja prostitusi anak-anak di Kamboja. Tengoklah orang-orang kelaparan di Ethiopia. Tengoklah sahabat-sahabat di NTT yang kekurangan air. Begitu banyak orang yang di dalam hidupnya mungkin bertanya-tanya, benarkah Tuhan itu ada? Kalau Dia ada, mengapa begitu banyak hal yang menyedihkan terjadi dalam kehidupan kita?

Seakan Tuhan tidak mahakuasa, ataukah ada alasan lain?

Mungkin itulah yang perlu kita renungkan bersama. Manakala gereja Tuhan, atau bisa dikatakan tubuh Kristus ada di dalam dunia ini, ada tanggung jawab yang kita emban sebagai bagian tubuh Kristus. Ketika Allah sudah mempercayakan begitu banyak hal di dalam kehidupan kita, maka kita dituntut untuk menghadirkan kuasa dan kasihNya di dunia ini.

Menarik untuk kita renungkan sebagai orang-orang yang aktif ataupun orang-orang Kristen, kita perlu menyadari bahwa kita punya peran di dalam hidup kita sebagai orang percaya. Kita perlu terus-menerus belajar memancarkan kasih Kristus di dunia ini. Bukannya nyaman di menara gading, tetapi kita perlu “kenosis”. Kita perlu belajar untuk “keluar”, belajar untuk melakukan karya nyata di dalam kehidupan keseharian kita. Bukan hanya nyaman berada di dalam tembok gereja, sementara gereja terus-menerus memperlebar gedung tetapi tidak memperlebar karya nyata di masyarakat.

Apakah itu berarti pelebaran gedung gereja, renovasi, dan sebagainya tidak penting? Bukan begitu juga. Tetapi sebagai jemaat Tuhan, sebagai gereja Tuhan mari kita lihat seberapa banyak di alkitab dimana Tuhan Yesus berada di sinagoga? Bandingkan dengan pelayanan yang Ia kerjakan. Alkitab mencatat bahwa Yesus mengerjakan pelayanan jauh lebih banyak daripada Ia berada di dalam gedung ibadah. Ia memperlihatkan sosok manusia yang lebih tertarik untuk mengerjakan segala sesuatu yang Allah kerjakan di dunia ini.

Kita mengaku bahwa kita adalah orang Kristen bukan? Kalau begitu kita kembali lagi, apa sih arti “Kristen”? Kekristenan berasal dari kata “Christ” dan “Ian”, dimana tanpa Kristus, kita bukanlah apa-apa.

Kalau dari kisah tadi kita melihat karya Allah, salah satunya adalah bagaimana cara Dia mengejar sang pria. Di tengah putusnya pengharapannya untuk meneruskan hidupnya tanpa sang kekasih, bukan kebetulan bahwa ia menemukan ayat di Mazmur 62. Bukan sebuah kebetulan bahwa dia punya keinginan untuk membuka alkitabnya, membuka kitab Wahyu. Bukan sebuah kebetulan bahkan, bahwa sang calon istri akhirnya meninggal sambil meninggalkan sebuah pesan “Tuhan itu baik”

Allah yang tidak pernah lelah mengejar “yang terhilang” menjadi sebuah gambaran Allah yang begitu menginginkan kita untuk menjadi umatNya. Ketika kita mengaku sebagai orang Kristen bahwa kita adalah murid Kristus, itu berarti kita perlu belajar untuk meneladani karyaNya. Apa itu? sama! Mengejar yang terhilang. Memberitakan kebaikan Tuhan, memberitakan kasihNya. Ketika kita berdoa “datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di surga” adalah suatu pernyataan iman dan pengharapan, sekaligus juga sebuah janji – sebuah komitmen bagi kita untuk kita dapat mengerjakan tanggung jawab penatalayanan kita bagi dunia ini.

Dunia ini membutuhkan orang-orang yang mau belajar merendahkan diri di hadapan salib, menyerahkan hidupnya di hadapan kebesaran namaNya. Dunia ini membutuhkan orang-orang yang mau mengerjakan yang terbaik bagi Allah untuk kemuliaanNya. Sebagaimana sang pria di dalam kisah itu menemukan sebuah catatan dari Mazmur 62, adakah pribadi kita menjadi orang-orang yang dapat menjadi sumber penghiburan bagi dunia ini? Tidak perlu muluk-muluk harus keluar negeri, harus menjadi misionaris, dan sebagainya. Mulai dari orang-orang sekitar kita, apakah mereka merasakan kehadiran Kristus melalui kehidupan kita? Apakah mereka merasakan kasih Kristus di dalam pribadi setiap kita?


Selamat berkarya, Soli Deo Gloria!

Saturday, August 8, 2015

Allah yang Tidak Pernah Meninggalkan Kita

Pernahkah saudara berpikir mengenai jalannya hidup ini? Sebagian besar dari kita berpikir mengenai hidup yang benar-benar ruwet. Di satu sisi ada begitu banyak hal baik terjadi atas kehidupan kita, tetapi tidak melulu hal baik bukan? Bahwasanya dalam menjalani hidup ini ternyata ada banyak hal yang buruk yang menimpa hidup kita sampai kita mungkin bertanya “mengapa hal ini terjadi di dalam kehidupanku?”

Cerita 1
Ada sebuah keluarga kecil, mereka adalah orang-orang yang begitu rajin di dalam melakukan suatu pelayanan bagi Tuhan. Keluarga ini dikaruniai oleh 3 orang anak, dan pada saat anak keempat akan lahir, sang ibu menderita penyakit di rahimnya. Diantara 2 pilihan, apakah anak keempat atau sang ibu yang selamat, ibu ini akhirnya pasrah terhadap nasibnya. Sedangkan sang ayah pun akhirnya give up. Akhirnya mereka memutuskan untuk menyelamatkan si anak. Konsekuensinya adalah sang ibu akan meninggal. Tetapi cerita ini berakhir tidak seperti yang anda bayangkan.

Si ibu akhirnya menyelamatkan sang anak. Tetapi karena ada abnormalitas di dalam tubuh si anak, si anak diberikan lifetime oleh dokter selama 10 tahun. 10 tahun kemudian, kejadian itu benar-benar terjadi. Sang anak akhirnya meninggal.

Sang bapak dengan segala daya upayanya berusaha untuk menyelamatkan anak ini. Segala cara pengobatan dicoba, tetapi tidak berhasil. Sang ayah yang mulai kehabisan tabungannya mendapatkan pertanyaan dari ketiga anaknya yang masih hidup

“Ayah, selama ini ayah rajin pelayanan di gereja, tapi kenapa ya kok Tuhan mengijinkan mama dan si Jemmy meninggal?”

Cerita 2
Cerita kedua datang dari seorang wanita berusia 20 tahun yang berkuliah di Jakarta. Selama 20 tahun ia hidup, ia adalah orang yang begitu rajin. Ia memiliki 3 orang saudara pria yang berbeda agama dengan dia. Begitu pula ibunya juga berbeda agama dengan dia. Memasuki tahun akhirnya di perkuliahan, wanita ini (sebut saja namanya Mawar) mengalami penyakit yang menyerang tulang belakangnya. Ketakutan menaungi si Mawar dan akhirnya dokter memvonis kalau ia harus dioperasi.

Mawar di dalam kesehariannya berdoa dan berdoa, dan akhirnya doanya itu terkabul. Dia akhirnya sembuh dari penyakit itu. Ia menjadi seseorang Kristen yang begitu tangguh, orang Kristen yang begitu berapi-api di dalam pelayanannya. Ketika saudaranya melihat dia, 2 orang dari mereka memutuskan untuk bergabung. Akhirnya 1 orang mengikuti katekisasi, 1 orang lagi dibaptis dewasa.

Waktu berlalu sampai akhirnya seseorang dari 2 orang saudaranya ini memilih jalan lain. Sang adik pertama, yang mengikuti katekisasi, akhirnya memutuskan untuk memilih agama lain. Ia tidak tahan melihat sang ibu yang selalu berharap kepadanya untuk mengikuti ibunya. Berbeda lagi dengan kakaknya. Kakaknya yang sudah menjadi Kristen sejak lama, memutuskan untuk menikah dengan seorang yang berbeda agama dari dia.

Mawar pun terguncang. Ia merasa perlu belajar untuk menceritakan hal ini kepada Tuhan. Ia berharap bahwa ada hal-hal luar biasa yang terjadi tetapi ternyata semuanya berbeda daripada ia bayangkan. Ditengah pergumulan seperti inilah kemudian Mawar berpikir, sembari dengan jujur menghadap Tuhan sambil bertanya:

“Dimanakah Tuhan saat semua hal ini terjadi? Mengapa hal ini harus terjadi, Tuhan?”

Tiga Jenis Penderitaan
Mari kita coba simpulkan, dari dua kisah di atas ada beberapa jenis penderitaan yang dialami oleh manusia. Jenis pertama adalah penderitaan fisik, kedua adalah penderitaan emosi, dan yang ketiga adalah penderitaan spiritual.

Saya tidak memberikan contoh penderitaan fisik dari kisah di atas, tetapi saya akan coba berikan saat ini. Penderitaan fisik adalah penderitaan seperti sakit penyakit, mungkin dari kisah di atas adalah penderitaan sang ibu yang sakit saat melahirkan anak. Ia mengalami kesakitan yang begitu luar biasa.

Kedua adalah penderitaan emosi, adalah penderitaan yang terkait dengan emosi kita. Contohnya adalah ketika kita dipermalukan di depan publik mungkin karena kita salah bicara, atau kita dihina-hina.

Penderitaan jenis ketiga adalah penderitaan yang saya bisa sebut sebagai puncak dari keduanya. Penderitaan spiritual adalah sebuah momen dimana seseorang merasakan kesakitan yang begitu luar biasa sampai pada satu pertanyaan: “dimanakah Tuhan” dan “kalau ada Tuhan, mengapa semua ini bisa terjadi?”.

Charles Templeton mengalami penderitaan jenis ketiga ini ketika ia melihat di televisi mengenai kehidupan orang-orang Afrika yang hidup di dalam kemiskinan. Hal ini membuat Templeton menanyakan sebuah pertanyaan yang akhirnya membuat imannya rontok. Seorang partner dari Billy Graham di dalam penginjilan yang akhirnya meninggalkan imannya karena bergumul dalam memahami apa rencana Allah di balik penderitaan dan kemiskinan.

Allah Yang Solider Melalui Yesus Kristus
Mari kita melihat bagaimana ketiga penderitaan itu ternyata bukanlah suatu hal yang baru. 2000 tahun yang lalu di bukit Golgota, Allah merasakan ketiga penderitaan itu secara langsung di atas salib. Anda bisa menebak bukan?

Penderitaan fisik yang dialami oleh Yesus terjadi saat Ia harus dipaku di atas kayu salib. Lee Strobel di dalam bukunya Case for Christ menggambarkan bagaimana penderitaan yang dialami Yesus ini begitu mengerikan, dan bahwasanya tidak akan ada seorang pun yang akan tahan di dalam menghadapi siksaan salib. Bahkan untuk bernafas, karena sebelumnya punggungNya sudah sobek akibat dari penyesahan yang dialamiNya, maka ketika bernafas akan timbul rasa sakit yang begitu mendalam.

Penderitaan emosi dialami Yesus saat dengan telanjang, di depan banyak orang, Ia disalib dalam kondisi telanjang. Saya tidak bisa membayangkan apakah anda mau ditelanjangi di depan umum, dan kemudian orang-orang yang melihat anda menghina anda, mencerca anda, dan menusukkan luka hati yang begitu dalam di dalam hati anda. Apalagi seorang murid anda mengkhianati anda, secara riil, maupun secara perkataan menyangkal anda.

Penderitaan spiritual pun dialami Yesus, sampai ultimatnya dia berteriak “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Yesus mengutip dari Mazmur 22, dan menunjukkan bahwa inilah puncak pergumulanNya.

Ketiga penderitaan itu sudah dialami Yesus juga di kayu salib. Ia terlebih dahulu memberikan sebuah teladan bagi kita, sebuah kisah yang menunjukkan bahwa memang hidup kita sebagai orang Kristen (Christian – murid Kristus) bukanlah sebuah kehidupan yang mudah. Seluruh pergumulan yang kita alami dalam hidup adalah sesuatu yang natural, sesuatu yang terjadi karena memang dampak dari dosa awal yang begitu mengerikan itu.

Jadi kalau kita melihat, Allah kita bisa disebut sebagai Allah yang solider. Ketika kita saat ini mengalami ketiga jenis penderitaan itu maka kita dapat memakluminya. Mengapa? Ya karena Allah pun sudah merasakannya, dan di saat akhir itulah saat / momen puncak dimana Dia menjadi sempurna.

Masa Depan Yang Tak Pernah Kita Mengerti
Nah kalau kita melihat masa lalu kita, atau hal yang saat ini kita alami, kita perlu belajar memaknai sebenarnya apa yang dipersiapkan Allah di dalam kehidupan kita. Kita bisa saja terjebak di dalam pola pikir masa kini, bahwa hidupku susah dan tidak ada gunanya lagi aku percaya kepada Allah. Itu pilihan pertama. Nah tapi ada satu penawaran yang Tuhan berikan mengenai masa depan.

Ams 23:18
Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.

Yesaya 41:10
janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.

Ayat-ayat ini terasa begitu menyenangkan. Tetapi mengapa realitas hidup kita sama sekali tidak mencerminkan itu? Mungkin kita perlu mengevaluasi secara lebih jauh dan lebih mendalam lagi, sebenarnya bagaimana kita harus memandang hidup kita menurut kacamataNya. Nah inilah yang sebenarnya jauh lebih penting, jauh lebih esensial.

Masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang, demikian pesan yang dituliskan oleh penulis Amsal. Artinya apa? Kalau kita baca ayat-ayat sebelumnya, penulis ingin mengajak pembacanya bahwa segala kejadian yang terjadi dalam kehidupan kita ada di dalam grand design yang sedang Allah persiapkan. Boleh saja kita menjadi “sok bijak” dan mengatakan bahwa kita tahu yang terbaik dalam hidup kita, tetapi kita tidak akan pernah dapat menyelami apa yang mau Allah kerjakan di dalam kehidupan kita.

Demikian juga dengan tulisan nabi Yesaya. Yesaya di dalam keadaannya sebagai nabi yang melihat bagaimana kota-kota di Kerajaan Utara (Israel) masih bisa menuliskan janji Tuhan kepada bangsa itu. Ada satu pengharapan yang pasti di dalam Dia. Ada satu pengharapan mengenai bagaimana Allah akan menuntun kita.

Kita tidak pernah akan dapat mengerti masa depan kita seperti apa. Tetapi kalau kita belajar untuk memahami lebih jauh, maka kita menyadari bahwa kehidupan di dunia ini jauh lebih temporer dibandingkan dengan kehidupan kita nanti di surga. Kemuliaan surga perlu kita maknai sebagai sebuah janji, bahwa itulah yang seharusnya menjadi fokus hidup kita.

Memandang ke Arah Kekekalan
Kehidupan di dunia artinya hanya akan berlangsung dengan begitu singkat, dan justru kehidupan yang sebenarnya baru dimulai di dalam terang kekekalan Allah di surga mulia. Ketika kita menyadari bahwa fokus hidup kita ada di dalam kerangka kekekalan dan rencana Allah, kita akan dapat menjadi pribadi-pribadi yang berani berkata “Suka-SukaMu Tuhan”. Artinya apa? Kita berserah penuh kepada Allah yang sudah mengatur hidup kita.
Okey sekarang akan saya tampilkan jawaban dari si bapak dari cerita pertama:

“Dik, pasti kamu pernah dijelaskan bukan di sekolah minggu mengenai kemuliaan surga? Mamamu pergi kesana, begitu juga adikmu. Allah itu baik, mungkin itu yang bisa papa katakan buat kamu. Mungkin kamu nggak bisa sepenuhnya paham, dik. Tetapi kalau di sekolah minggu, kamu pernah diajarkan tentang bagaimana Yesus sudah memberikan jaminan itu, mengapa papa harus kecewa? Mengapa papa nggak mau belajar untuk terus menjalani hidup ini di dalam terang kasihNya?”

Dan hasil perenungan dari Mawar, wanita yang tangguh itu dari cerita kedua:

“Aku percaya bahwa Allah telah mempersiapkan segala sesuatunya. Mungkin inilah hal yang mau Tuhan ajarkan: bahwa aku belum mampu menjadi terang bagi orang di sekitarku. Itu berarti aku harus terus belajar untuk memahami segala hal yang Ia kerjakan. Tetapi semakin aku ingin tahu, aku semakin sadar bahwa aku harus menjadi semakin bodoh di hadapanNya, sehingga melalui kekuatan yang Ia berikan itulah aku dapat memaknai kemahakuasaanNya dan kasih setiaNya.”

Bagaimana kedua orang ini bisa memiliki pemahaman seperti itu? Tidak yakin tidak bukan karena mereka punya fokus yang berbeda. Mereka berdua punya keyakinan:

Roma 8:28
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.

Kesimpulan
Dunia menawarkan begitu banyak hal mengenai penderitaan, kematian, kepedihan, dan sebagainya. Namun sebagai seorang percaya yang memiliki paradigma kekekalan, kita diajak untuk belajar di dalam iman percaya kita. Kesulitan yang kita hadapi, problematika yang begitu luar biasa, semuanya disediakan Tuhan untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Ia tidak pernah meninggalkan kita. Setiap langkah kita sudah dipersiapkan oleh Tuhan. Sebagai penutup, yuk bersama kita menyanyikan sebuah lagu, lagu yang menyatakan langkah iman kita bahwa setiap langkah hidup kita ada di dalam pimpinan dan penyertaan Tuhan.

Tiap Langkahku
By: W. Elmo Mercer

1.  Tiap langkahku diatur oleh Tuhan
dan tangan kasihNya memimpinku.
Di tengah badai dunia menakutkan,
hatiku tetap tenang teduh.

Reff:
Tiap langkahku ‘ku tahu yang Tuhan pimpin
ke tempat tinggi ‘ku dihantarnNya,
hingga sekali nanti aku tiba
di rumah Bapa sorga yang baka.

2.  Di waktu imanku mulai goyah
dan bila jalanku hampir sesat,
‘ku pandang Tuhanku, Penebus dosa,
‘ku teguh sebab Dia dekat.

Reff:
Tiap langkahku ‘ku tahu yang Tuhan pimpin
ke tempat tinggi ‘ku dihantarnNya,
hingga sekali nanti aku tiba
di rumah Bapa sorga yang baka.

3.  Di dalam Tuhan saja harapanku,
sebab di tanganNya sejahtera;
DibukaNya Yerusalem yang baru,
kota Allah suci mulia.

Reff:
Tiap langkahku ‘ku tahu yang Tuhan pimpin
ke tempat tinggi ‘ku dihantarnNya,
hingga sekali nanti aku tiba

di rumah Bapa sorga yang baka.