Total Pageviews

Sunday, December 8, 2013

"You Are The Apple of My Eye" ~ God

Kata-kata yang begitu indah bukan waktu kita mendengar seseorang yang mengucapkan hal itu kepada kita? Ya tentu saja! Bayangkan seseorang yang menjadi sahabat kita kemudian datang dan memeluk kita kemudian berkata seperti itu! Bukankah hati kita akan langsung ‘melambung tinggi’? Ah sungguh indahnya manakala kita boleh mendengar kata-kata itu dari orang yang kita sayangi.

Persoalannya ternyata kita jarang mendapatkan kata-kata itu bukan? Boro-boro kita mendengar kata-kata itu, dalam hidup kita tidak jarang malah kita mendapatkan makian bahkan dari orang-orang terdekat kita. Bahkan kita juga mendapatkan omelan-omelan dari orang tua kita, kita mengeluh dan sampai akhirnya tidak jarang kita mengumpat kepada orang tua ataupun teman kita. Di sinilah natur kita sebagai manusia berdosa ternyata benar-benar diuji bukan?

Lebih jauh lagi kalau kita melihat hidup kita, sama juga ternyata di dalam hidup kita ada banyak sekali pergumulan dan tantangan di dalam hidup kita. Banyak kekecewaan yang terjadi dalam hidup kita yang membuat kita stress, yang pada akhirnya berakhir pada hal-hal yang jauh lebih mengerikan – minuman keras, game online, rokok, kopi, narkoba, dan sampai kepada bunuh diri. Ya, itulah kekosongan hidup.

Realitas ini membuat kita seharusnya menyadari bahwa kita butuh ‘sesuatu’ yang melebihi semuanya itu. Adakah? Ya tentu saja ada. Ada pribadi yang begitu mengasihi kita – sadar atau tidak sadar. Pribadi itu adalah pribadi yang dengan kedua tangan yang terbuka menyambut kita yang mau datang kepadaNya. Seperti dalam perumpamaan tentang anak yang hilang di Lukas 15, Sang Bapa menanti sang anak bungsu untuk kembali. Ia menunggu tanpa lelah dan ketika anak itu datang kembali kepadanya, sang bapa menyambut dia. Siapakah pribadi itu? Pribadi itu ialah Allah sendiri.

Mari membuka alkitab kita dan mulai membaca sebuah kitab yang menyatakan betapa besar kasih Allah kepada bangsa Israel, yakni kitab Hosea. Kitab Hosea menunjukkan dengan kita betapa luar biasanya kasih Allah di dalam kehidupan orang Israel. Orang Israel digambarkan sebagai Gomer, seorang pelacur, dan Allah memberikan ilustrasi kasihNya melalui Hosea. Seperti apa kasihNya? Hosea akhirnya mengawini Israel, dan kalau kita membaca selanjutnya, di Hosea 1:10-11 dan Hosea 2:17-22 itu janji Tuhan yang mana Israel akan dipulihkan.

Ini gambaran kasih Allah yang begitu besar bagi bangsa Israel. Tetapi bukan hanya itu. Selanjutnya kita bisa melihat Hosea menunjukkan benar-benar bagaimana kasih Allah. Gambaran kasih itu dapat dilihat di Hosea 3. Gomer yang sudah diambil menjadi seorang istri bagi Hosea, kemudian kembali kepada persundalan. Ini menggambarkan sebenarnya bagaimana hidup manusia yang masih dikuasai dosa. Tetapi apa yang dilakukan Hosea?

Hosea 3:2  Lalu aku membeli dia bagiku dengan bayaran lima belas syikal perak dan satu setengah homer jelai.

Tidak pernah kita bayangkan bukan? Ini suatu gambaran bahwa Allah selalu mengejar dan terus mengejar kita. Ia berlari kepada kita saat kita bahkan menjauh dari Dia. Pertanyaannya adalah maukah kita datang kepadaNya? Itu pertanyaan yang harus kita renungkan di dalam kehidupan kita. Kasih itulah yang dinyatakan Allah di dalam hidup kita, dan hanya ada satu kata yang menggambarkan kasih itu: “PENGAMPUNAN”. TIada pernah sedetikpun Allah membiarkan hidup kita. Kita hanya perlu belajar untuk memaknai kata-kata “You are the apple of My eye” dan itu dikatakan oleh Sang Pencipta kita.
Pernah membayangkan hal itu? Kita manusia yang sangat tidak sebanding dengan Allah namun disebut sebagai “biji mata Allah”? Pernahkah kita membayangkan bahwa saat kita menyakiti hati Allah, Dia tetap membuka kedua lenganNya? Kita sering bertanya seberapa besar kasih Allah bagi kita? Jawabannya ada di Salib. Ya, itulah kasih Allah. Kasih yang begitu besar. Allah yang selalu mengejar kita dan terus mengejar kita, hingga kita tertangkap oleh kasih itu.

Heran dengan kasih Allah itu? Saya heran, bahwa di tengah banyak orang yang seharusnya lebih baik dari pribadi saya, tapi Ia memilih saya untuk menjadi anakNya. Hati Allah yang tidak pernah berhenti untuk mencari jiwa yang terhilang. Hati yang tidak pernah tahan saat melihat kita terhilang, bukan karena Dia kehilangan sesuatu, tetapi karena kita kehilangan segalanya di dalam hidup kita – yakni pribadi Allah itu sendiri.

Refleksi ini mengingatkan kita untuk terus bersandar kepadaNya. Mengakui Dia sebagai juruselamat dan hidup. Menikmati anugrah yang sudah Ia berikan sambil terus mensyukuri hidup kita. Siapa kita sehingga kita dikasihi? Kita ini cuman ciptaan kok. Ciptaan yang super terbatas, ciptaan yang harusnya nggak layak untuk Ia kasihi, tetapi Ia mengambil kita! Ia memberikan hidup baru – melalui lahir baru kita. Ciptaan baru, itulah yang disebut oleh Paulus.

Mari belajar menikmati kasihNya, melalui ucapan syukur sambil terus mengingat “You are the apple of My eye”… itulah yang Tuhan katakan di dalam kasihNya… Itulah janji Tuhan bagi setiap kita.


Soli Deo Gloria

Thursday, November 28, 2013

Menjadi MilikNya!

… Mereka itu milik-Mu dan Engkau telah memberikan mereka kepada-Ku dan mereka telah menuruti firman-Mu.
(Yohanes 17:6B)

Pernahkah kita membayangkan saat kita membeli sebuah barang yang sangat berharga? Misalnya kita membeli jam tangan atau gadget baru yang sangat kita impikan. Apa yang akan kita lakukan terhadap jam tangan atau gadget baru itu? Kalau itu memang barang yang sangat ingin kita miliki maka kita akan menjaganya dengan sepenuh hati kita. Kita akan sangat berhati-hati dan bahkan kalau boleh bilang – kita akan menjaganya dengan segenap hati kita. Ah kelihatannya sangat berlebihan bukan? Tetapi itu realitas hidup!

Saat kita membeli suatu hal yang menurut kita baru dan itu menjadi impian kita, maka kita akan menjaganya dengan segenap hati kita. Bahkan kita tidak rela kalau sesuatu itu kadang dipinjamkan. Kita akan merawatnya, akan membersihkannya setiap hari, bahkan kita tidak akan berhenti untuk mengutik-utik barang tersebut. Kita ingin agar “barang tersebut merasa nyaman”. Atau biasanya kalau kita memiliki hewan peliharaan, kita akan merawat dia sebaik mungkin.

Nah, sekilas ketika kita merasa ada barang yang berharga, kita akan menjaganya seperti itu. Coba bayangkan apa yang Tuhan kerjakan di dalam hidup kita saat kita menjadi milikNya! Tunggu dulu! Apakah benar kita adalah milik Tuhan? Eitz, bukankah tubuh kita yang memiliki adalah diri kita sendiri? Itu berarti dengan semena-mena kita bia mengerjakan apapun yang kita suka donk? Boleh lah!

Namun apakah benar bahwa kita adalah milik Tuhan? Itu adalah sesuatu yang perlu kita pergumulkan setiap hari. Ketika kita menjadi milik Kristus, bukan dengan harga yang murah Tuhan sudah menebus kita. Penebusan semata-mata hanyalah anugrah yang sebenarnya tidak layak untuk kita terima. Sama juga dengan ketika kita melihat seorang yang sudah mengkhianati kita, kemudian menjadi seorang budak belian, dan akhirnya kita membeli budak itu dan akhirnya kita diberikan suatu hidup baru. Seperti itulah apa yang terjadi di dalam hidup kita!

Nah, kalau kita adalah milik Tuhan, pasti ada konsekuensinya. Yap, mau tidak mau, seperti kita memiliki suatu barang, Tuhan pun juga dengan sangat bebas memperlakukan kita. Nah, ini tentu menarik bukan? Waktu kita bilang bahwa “aku menentukan tujuan hidupku sendiri” atau “aku pasti bisa tanpa orang lain”, sadarkah kita bahwa ternyata pandangan-pandangan tersebut terasa aneh? Mengapa aneh? Coba bayangkan kalau kita punya ponsel yang tiba-tiba bisa bergerak sendiri. Ataupun ternyata anjing atau hewan peliharaan kita tiba-tiba menggigit kita, menyakiti kita. Apa artinya? Bahwa ternyata kita SAMA SEKALI TIDAK PUNYA HAK ATAS HIDUP KITA SENDIRI!

Menjadi milik Kristus bukanlah suatu hal yang menyenangkan – paling tidak itulah anggapan sebagian besar orang. Mengapa? Karena kita menjadi seorang manusia yang sangat terbatas! Apa-apa harus diatur, dan inilah natur dosa. Kita ingin bebas dari suatu otoritas yang mengekang kita untuk melakukan sesuatu. Pandangan sebagian orang adalah: “Kristus yang membatasi aku”. Padahal kalau kita mulai membuka alkitab kita, apa yang dilakukan oleh Kristus adalah Ia membeli kita dan harganya sudah lunas. (1 Korintus 6:19). Pemahaman tentang hal ini tentunya membantu kita untuk sadar, siapa kita di hadapan Allah.

Konsekuensi dari penebusan Allah atas hidup kita – atas jiwa kita menjadi suatu dasar bahwa kita tidak boleh main-main di dalam hidup ini. Harus diingat bahwa apabila Kristus menguasai hidup kita, itu berarti bahwa kita memberikan SEGALANYA buat Tuhan. Apa makna dari kata SEGALANYA disini? Tentu saja: SEGALANYA YANG KITA MILIKI. Aplikasinya? Bahwa ternyata tiada waktu sedetik pun bagi kita untuk berpikir tentang hidup kita – bahwa ternyata seluruh tingkah langkah kita adalah untuk Tuhan.

Kita ini berharga! Sadarkah setiap kita akan hal itu. Kita ini adalah harta yang terpendam dan mutiara yang berharga bagi Allah. Kita ini adalah kepunyaanNya. Betapa indah realitas tersebut bukan? Tetapi apa yang mengerikan adalah di tengah keberhargaan kita ternyata seringkali kita menjadi ciptaan yang brengsek. Kita menjadi manusia yang ‘menolak’ untuk menjadi milikNya. Kita lupa akan anugrah yang sudah Tuhan berikan.

Anugrah seperti apa yang sudah diberikan Tuhan saat kita diambil menjadi milikNya? Yang pasti adalah kita bebas dari ikatan dosa. Kita sudah diselamatkan oleh anugrah. Menyadari hal ini seharusnya kita sadar bahwa kita adalah orang yang brengsek, yang tidak memiliki apapun apabila Tuhan tidak memberikannya. Hidup kita semuanya adalah di tanganNya.

Kedua pastinya kita sadar akan rencana Allah di dalam hidup kita. Hal ini dimulai dari pengenalan diri sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengenalan kita akan Tuhan Sang Empunya hidup kita yang semakin bertumbuh, akan membuat kita semakin mengenal pribadi kita sendiri. Pengenalan kita akan Tuhan akan berbanding lurus dengan pengenalan akan kita – akan visi hidup yang ditetapkan Tuhan di dalam hidup kita. Contohnya dapat kita lihat di dalam pengenalan Paulus akan dirinya. Sampai suatu momen dimana ia menyadari bahwa Tuhan tidak mencabut “duri dalam daging” dari dalam dirinya, dia tidak tahu sampai Allah memberitahukan alasannya: “cukuplah kasih karunia-Ku” (2 Korintus 12:9)

Nah, hidup kita sebenarnya adalah milik Tuhan, dan di dalam rangka kita mengenal Sang Pemilik Hidup kita, Tuhan akan menyayangi kita, yang mana seringkali kita tidak menyadarinya. Hal itu terjadi karena kita tidak mengetahui apa sebenarnya rencana Tuhan di dalam hidup kita. Kita jadi seringkali protes atas hal-hal buruk yang menimpa hidup kita. Harus diakui bahwa ternyata hidup kita adalah hidup yang bermakna, dan kebermaknaan itu hanyalah karena ANUGRAH ALLAH! Itulah yang Allah sendiri minta pada kita: “TAAT dan SETIA”. Hanya 2 kata, tapi bayangkan betapa susahnya hal tersebut untuk dapat kita lakukan.

Fanny Crosby mencoba menuliskan sebuah lagu yang sangat indah:

I am Thine, O Lord, I have heard Thy voice,
And it told Thy love to me;
But I long to rise in the arms of faith
And be closer drawn to Thee.

Reff:
Draw me nearer, nearer blessèd Lord,
To the cross where Thou hast died.
Draw me nearer, nearer, nearer blessèd Lord,
To Thy precious, bleeding side.

Consecrate me now to Thy service, Lord,
By the power of grace divine;
Let my soul look up with a steadfast hope,
And my will be lost in Thine.

O the pure delight of a single hour
That before Thy throne I spend,
When I kneel in prayer, and with Thee, my God
I commune as friend with friend!

There are depths of love that I cannot know
Till I cross the narrow sea;
There are heights of joy that I may not reach
Till I rest in peace with Thee.

Indah sekali lagu ini. Kerinduan dari Fanny Crosby adalah dia ingin menjadi milik Tuhan Yesus sendiri.

Allah yang mengasihi kita melalui PutraNya. Allah yang memberikan hidup kekal melalui salib – yang mana Ia telah membeli kita melewati lembah kekelaman dosa. Allah yang memiliki kita, yang menuntun tiap langkah kehidupan kita. Allah yang membenci dosa kita, namun tetap ingin sekali memeluk kita dengan kasihNya… Itulah pribadi Allah Tritunggal – sang pemilik hidup kita. Dialah yang layak untuk menerima hormat dan kemuliaan. Ia yang sering kita sakiti namun dengan salib itu dan dengan kata “SUDAH SELESAI”, seluruh orang yang percaya diselamatkan. Itulah Allah yang sejati – Raja di atas segala raja, yang menguasai hidup kita.

Apa yang mau kita perbuat setelah kita mengetahui bahwa realitas hidup kita semuanya adalah milik Tuhan? Tidak mudah untuk menyadari hal ini. Pengenalan akan Allah yang benar akan terus berlangsung selama proses hidup kita. Kita hanya perlu belajar untuk TAAT dan SETIA, menikmati setiap proses yang Tuhan berikan sambil memaknai bahwa tidak ada satu hal pun di dalam hidup kita yang lepas dari kontrolNya. Menanggapi hal tersebut berarti kita tidak perlu kuatir akan apapun yang terjadi dalam hidup kita. Allah yang memiliki, dan Allah yang mengatur, tinggal kita mau turut kehendakNya atau tidak.


Soli Deo Gloria!

Sunday, November 24, 2013

Kenosis - Panggilan Hidup Orang Percaya

Background
Sebuah refleksi kehidupan orang percaya adalah bagaimana kita menjadi seperti Allah, seperti seorang percaya yang selalu mau berbuah dan berubah. Sebelumnya, kita harus memahami karakter Allah. Di dalam diri Yesus Kristus, dapat dilihat bahwa Dia sendiri adalah 100% Allah, dan 100% manusia. Tuhan Yesus masih mampu mengalami kesakitan pada saat Dia disalib.

Fakta bahwa Tuhan Yesus merasakan kesakitan, ia merasa haus, dan ia pernah merasa lapar, itu menunjukkan bahwa Yesus adalah 100% manusia. Tetapi di tengah kesakitan itu, Ia memperlihatkan keilahian yang luar biasa. Yohanes 1:1 menunjukkan keilahian-Nya, Yohanes 14:6 menunjukkan kuasa memberikan hidup, Matius 28:18 menunjukkan Ke-Mahakuasaan-Nya, Markus 2:5 menunjukkan Ia memiliki kuasa pengampunan, Matius 25:31-46 menunjukkan bahwa Ia juga diperbolehkan untuk menghakimi manusia. Hal itulah yang menunjukkan bahwa Ia juga 100% Allah.

Tuhan Yesus Sebagai Raja, Nabi, dan Imam
Ada perbedaan antara Tuhan Yesus dengan manusia biasa. Tuhan Yesus sebagai raja, Ia adalah raja yang paling unik. Ia tidak dipilih oleh manusia, Ia dipilih oleh Allah, dan Ia diperkenankan oleh Allah.

Sebagai nabi, manusia tidak luput dari dosa. Sebagai nabi, seseorang dapat menyatakan Firman yang BENAR, tapi tindakan yang ia lakukan dalam kehidupan kesehariannya bisa saja tidak sesuai dengan apa yang Ia firmankan. Sebagai Nabi, Tuhan Yesus adalah firman itu sendiri. Firman yang hidup dan seluruh tindakan yang Ia lakukan adalah kehendak Allah.

Sebagai Imam, manusia bertugas untuk menjadi penghubung antara Tuhan dan manusia. Dalam artian bahwa ketika seseorang berdosa, seorang imam akan mendaftar apa saja yang harus orang berdosa tersebut lakukan. Ia akan melihat di kitab taurat apa saja yang harus orang tersebut persembahkan. Berbeda dengan Tuhan Yesus, Ia menjadikan diriNya sendiri sebagai korban persembahan tersebut.

Kenosis (Filipi 2:6-7)
Kata kenosis disebutkan 24 kali. Beberapa arti dari kenosis:
1.     Menjadikan dirinya menjadi sia-sia
2.     Menjadi tidak mempunyai pegangan apapun, atau tidak ada apapun yang bisa diandalkannya
3.     Menjadi tidak berguna atau tidak ada gunanya sama sekali.
4.     Menjadikan diri di dalam mengusahakan sesuatu menjadi tidak mencapai suatu hasil
5.     Menjadi bebal, atau sebaiknya dibuang saja.

Filipi 2:6-7  yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

Ayat ini menunjukkan apa yang dilakukan Yesus. Ia tidak memilih untuk meninggikan kita menjadi Allah, melainkan Ia mengosongkan diri, menjadi mirip seperti kita. Merasakan berbagai kesakitan dan kehancuran yang ada di dunia ini. Allah bisa saja membuat kita menjadi orang-orang yang tidak berdosa, tetapi itu tidak Ia lakukan. Sebaliknya Ia menggunakan cara yang sungguh menyakitkan Dia sendiri, memberikan Yesus Kristus sebagai penebus dosa-dosa yang telah kita perbuat.

Dosa dan Penebusan Yesus Kristus
Hal yang harus kita ingat adalah karya keselamatan di dalam diri Tuhan Yesus. Dapat dilihat pada Filipi 2:8 “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Apa yang menyebabkan salib itu? Itu adalah konsekuensi dari dosa manusia. Seluruh dosa manusia ditanggung dan keselamatan digenapi dalam diri Yesus Kristus.

Poin penting dari penebusan Yesus Kristus adalah KETAATAN-Nya pada kehendak Bapa. Kenosis disini lebih mengarah kepada ketaatan-Nya sampai Ia mati di kayu salib. Salib bukanlah tanda dari kenosis, keseluruhan kehidupan Tuhan Yesus menunjukkan Allah yang sudah merendahkan diriNya.

Kasih tidak dapat dipisahkan dengan keadilan. Dosa begitu merusak kehidupan manusia, sehingga bahkan Allah sendiri yang turun. Mana ada agama di dunia yang memperlihatkan Allahnya sebagai sampah, sebagai seorang yang harus menebus, Ia menjemput umat manusia. Ia mengejar umat manusia, seperti yang dinyatakan oleh Francis Thompson dalam puisinya: The Hound of Heaven, yang mana Tuhan digambarkan sebagai pribadi yang tanpa lelah mengejar mangsaNya.

Kenosis dalam Konteks Misi
Kalau kita sudah memahami dalam diri Tuhan Yesus, Ia merendahkan diriNya sebegitu rendah seperti manusia berdosa, begitu pula yang seharusnya kita sebagai orang Kristen lakukan. Aplikasinya adalah kita belajar untuk taat pada kehendak Bapa di dalam misi kita untuk menyebarkan injil, menjadi firman yang hidup. Apa artinya? Di tengah dunia yang jatuh dalam dosa, kita harus belajar untuk merendahkan diri kita, menjadi serupa dengan orang-orang luar sana.

Ketika kita bertemu dengan orang-orang yang kelihatannya lebih berdosa daripada kita (seringkali kita berpikir lebih bejat), kita cenderung memisahkan diri dengan mereka. Kita cenderung menghindari konfrontasi dengan orang-orang yang “hina”, dalam artian kita hanya mau melihat orang-orang sepelayanan kita. Kita melupakan apa yang telah dilakukan Tuhan Yesus.

Siapa kumpulan Tuhan Yesus? Selama hidupnya, Tuhan Yesus tidak merasa nyaman dengan orang-orang yang dianggap suci di tengah masyarakat (orang farisi dan ahli taurat), melainkan ia berkumpul dengan pemungut cukai, orang-orang yang dipandang rendah di dalam masyarakat Yahudi saat itu.

Tidak mudah untuk kita memiliki pemikiran seperti Yesus. Sangat sering kita menghindar dari komunitas orang yang sudah “hancur” tetapi kita terlalu nyaman dengan komunitas kita. Kita lupa bahwa Tuhan Yesus, di dalam pelayananNya tidak melihat itu semua. Tuhan melihat iman seseorang, bukan apa yang ia lakukan selama kehidupannya. Akhirnya peran kita sebagai garam, kita malah mengasini lautan yang sudah sangat asin, ataupun kita bersinar di tempat yang sudah penuh dengan penerangan.

Orang Kristen yang menolak sistem kasta, malah sebenarnya kita sendiri sudah membentuk kasta-kasta dalam kehidupan kita. Kita melupakan apa yang sudah dilakukan Tuhan Yesus di dalam kehidupan kita. Terlalu nyaman dalam komunitas kita sampai kita lupa peran kita sebagai orang Kristen. Akhirnya kita membentuk sebuah komunitas yang “super eksklusif”. Apa maksudnya? Kita melihat orang-orang yang masuk ke sana adalah orang-orang yang suci. Kita mendefinisikan kesucian, membentuk taurat-taurat yang baru, menjadi orang farisi modern, lupa apa yang sudah Tuhan Yesus lakukan buat kehidupan kita.

Kenosis : Panggilan Orang Percaya
Memaknai panggilan kita sebagai orang-orang yang sudah terlebih dahulu dilayani oleh Allah, jelas bahwa kita pun dipanggil untuk melakukan pelayanan seperti Yesus. Tuhan Yesus menunjukkan dengan jelas bahwa di tengah radikalnya ajarannya, ia tetap dapat membaur. Ia dapat membedakan toleransi dan kompromi. Ia dapat masuk ke masyarakat pada konteks jaman Yahudi pada waktu itu. Ia dapat merendahkan diriNya sebagai manusia, dihina, disakiti, bahkan mati di kayu salib.

Kita sebagai orang percaya tentunya memiliki kewajiban yang sama dengan apa yang sudah dilakukan Yesus. Melebur ke masyarakat, tetapi tidak larut dalam kehidupan mereka. Cara yang terbaik untuk dapat masuk ke masyarakat adalah dengan memasuki kehidupan mereka, bukan menghilangkan identitas kita sebagai orang percaya, tetapi menampilkan gaya hidup yang sama sekali berbeda meski kita menjadi seperti mereka. Merendahkan diri, menjadikan diri “kita” sama dengan “mereka”, dan tentunya menyamakan “bahasa” yang mereka pakai.

Sebuah ilustrasi yang menarik:
Seorang penginjil memiliki tugas untuk membuat anak-anak kecil yang tertangkap karena mencuri untuk sekolah. Bagaimana caranya memberikan tawaran tersebut kepada mereka?
Penginjil: saya bisa memberikan kamu kekayaan, pendapatanmu bisa sampai 30x – 50x daripada sekarang. Bagaimana? Tertarik?
Anak-anak itupun tercengang, dan mereka bertanya kepada penginjil itu: bagaimana bisa pak? Kami penasaran caranya!
Penginjil itupun mengatakan: pencurian yang kalian lakukan adalah tindakan bodoh, ada cara yang lebih smart! Kalian lihat pencuri-pencuri yang berdasi, yang ada di pemerintahan sekarang?
Anak-anak itu terbengong-bengong. Penginjil itu melanjutkan: mereka itu bisa punya penghasilan 30-50 kali lipat daripada yang kalian lakukan. Sudah begitu mereka bisa jadi tokoh masyarakat loh! Gimana? Perbedaannya sama kalian adalah: mereka SEKOLAH, mereka PINTAR, berbeda dengan kalian.

Menarik sekali ilustrasi ini. Ketika kita berbicara dengan kumpulan pencuri, maka kita juga harus berbicara dengan “bahasa” mereka. Pointnya bukan berarti kita setuju koruptor, tapi bagaimana cara kita untuk dapat mendekati orang-orang yang akan kita ajak untuk lebih mengenal Tuhan Yesus. Butuh latihan untuk hal ini, tidak semua orang pintar dapat melakukannya. Tuhan tidak mencari orang dengan kemampuan teologi yang tinggi, tapi hatinya tidak mau merendahkan diri, yang dapat berkumpul dengan pendosa-pendosa. Kita pun adalah pendosa, yang mana Kristus sudah hadir untuk kita, menjalankan misinya, Ia taat menjalankan rencana Bapa dalam kehidupan-Nya. Bagaimana dengan kita?


Soli Deo Gloria

Sunday, November 3, 2013

Belajar dari Panggilan Musa

Pada waktu itu, ketika Musa telah dewasa, ia keluar mendapatkan saudara-saudaranya untuk melihat kerja paksa mereka; lalu dilihatnyalah seorang Mesir memukul seorang Ibrani, seorang dari saudara-saudaranya itu.
(Keluaran 2:11)

Itu adalah suatu indikasi dari visi yang ditetapkan Tuhan bagi Musa – yakni pembebasan bangsa Israel dari tanah Mesir. Itu adalah suatu momen yang indah dalam kehidupan seseorang saat ia menyadari bahwa dia harus menentukan suatu jalan hidupnya. Musa “dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya” (Kisah Para Rasul 7:22, seseorang dengan latar belakang kerajaan melalui penyertaan Allah, dan ia melihat penderitaan dari umat Allah dan seluruh hati dan pikirannya terbakar dengan visi yang mana dia akan menjadi seseorang yang membebaskan mereka.

Tetapi sebelum hal tersebut terjadi, ada suatu halangan di jalannya, dan Allah mengirim Musa ke padang gurun, dan tebak apa pekerjaannya? Dia menggembelakan domba selama 40 tahun. Coba bayangkan kita ada di posisi Musa saat itu, kita tahu bahwa kita akan menjadi seseorang yang rindu untuk menghantarkan bangsa Israel menuju suatu kebbeasan; yang mana itu menjadi keyakinan kita bahwa itu adalah visi kita, dan coba bayangkan saat itu Musa pasti memikirkan apa yang sebenarnya Tuhan mau kerjakan dalam 40 tahun hidupnya menggembalakan domba.

Kemudian kita kembali membaca bahwa Allah muncul di hadapan Musa dan berkata, “Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir." (Keluaran 3:10) Empat puluh tahun telah lewat sejak dia mendapatkan visi itu dan kita melihat suatu perbedaan yang sangat besar dari diri Musa. Bukan lagi “SAYA yang besar”, tetapi “saya yang kecil”. Ketika Allah datang dengan suatu panggilan yang diperbaharui, Musa bergetar di dalam kelemahannya “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (ayat 11). “saya yang kecil” selalu merajuk saat Allah berkata “Lakukan”. Allah yang Mahakuasa itu kemudian menjawab Musa dengan penuh kemarahan: “"AKU ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu." (ayat 14). “Saya yang besar” dan “saya yang kecil” harus segera meninggalkan saya sampai tidak ada lagi “saya” tetapi Allah; Dia haruslah menguasai hidup kita.

Biarlah “saya yang kecil” semakin diciutkan, semakin dikecilkan lagi dalam kemarahan Allah. Bukankah ini hal yang menarik, yang mana Allah mengetahui setiap langkah kita, dimana kita merangkak masuk ke dalam tempat tinggal kita, tidak peduli dimana pun kita bersembunyi. Dia akan menunjukkan diriNya kepada kita seperti sebuah kilatan petir. Tiada orang lain yang mengetahui manusia seperti yang Allah tahu atas diri kita.

"Ada suatu tempat dekat-Ku, di mana engkau dapat berdiri di atas gunung batu” (Keluaran 33:21). Musa datang pada suatu realitas, yakni dimana Ia tahu bahwa Ia dikenal oleh Allah. Tempat untuk Musa dalam pikiran Allah adalah di gunung batu, dimana ia dikenal oleh Allah sebagai rekan sekerjaNya. Tiada tempat yang dapat membelokkan hidup yang ditempatkan Allah pada suatu gunung batu. Setelah dipermalukan selama 40 tahun Musa akhirnya mencapai suatu kondisi dimana ia diterima oleh Allah tanpa terlalu ditinggikan.

Tiada orang yang pernah berdiri di sebelah Allah yang mana dia tidak pernah berdiri di sebelah dirinya sendiri, dan dijatuhkan dari akal pikirannya dengan kekuatiran dan kebingungan tentang kekacauan yang mereka buat tentang banyak hal yang mereka lakukan. Itulah arti dari keyakinan atas dosa, tentang kesadaran, “Betapa aku adalah orang yang bodoh! Betapa aku adalah orang yang jahat dan kejam! Dan aku seharusnya menjadi seperti ini dan seperti itu!”

Pengalaman Musa adalah suatu pengalaman yang mana adalah suatu kepastian bahwa Allah akan membawa kita pilang dan Allah telah mempersiapkan kita untuk melakukan sesuatu, dan kita menyadari bahwa kita memiliki suatu potensi untuk melakukan apa yang Dia mau untuk kita lakukan. Kita dapat mengingat kembai suatu realita yang sempurna tentang visi, suatu pemahaman yang jelas bahwa Allah memanggil kita. Kita berkata “aku tahu bahwa Ia mengatakan hal itu, aku hampir saja melihatNya, hal itu sangat nyata. Aku tahu bahwa Allah memanggilku untuk menjadi seorang misionaris. Tetapi itu terjadi di masa laluku, dan aku kira aku salah, karena, lihat padaku sekarang, bahwa aku telah bekerja di tempat lain.” Kita harus menyadari bahwa kita tidak sedang salah. Panggilan itu adalah sesuatu yang benar, tetapi kamu belum siap untuk hal itu. Allah harus memberikan proses terlebih dahulu bagi kita. Ada suatu waktu dimana kita akan mengalami keterpurukan sebelum visi menjadi suatu realitas hidup kita. Kita harus belajar bahwa tidak hanya “betapa kita tidak berguna”, tetapi “betapa luar biasanya Allah yang mahakuasa itu”.

Pikirkan tentang betapa besar sukacita yang berasal dari Allah! Dia tidak pernah terlalu terburu-buru. Kita yang biasanya ada di dalam keterburu-buruan. Kita jatuh tersungkur di hadapan Allah dan berdoa, kemudian kita bangun dan berkata: “Semuanya ini selesai sekarang,” dan pada kemuliaan visi yang Allah berikan kita berangkat dan mengerjakan visi itu. Tetapi hal itu tidak nyata, dan Allah haeus membawa kita sampai ke lembah dan meletakkan kita pada api dan suatu kondisi yang begitu berat untuk membentuk kita, sampai kita mencapai sebuah kondisi dimana Dia dapat mempercayakan kita sebuah realitas dari pengakuanNya atas kita.


Soli Deo Gloria!

Monday, October 28, 2013

Esensi dari “Memuliakan Tuhan dan Menikmati Dia Sepanjang Waktu”

Sangat sering kita mendengar tentang kalimat di atas, yakni tujuan hidup manusia adalah Memuliakan Tuhan dan menikmati Dia sepanjang waktu. Tepat sekali, kalimat itu adalah pertanyaan pertama serta jawabannya dari Katekismus Singkat Westminster. Sebelum saya mengetahui kalimat ini, saya mengetahui bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah. Artinya bahwa Allah sangat gembira melihat kita menjadi pribadi yang sengsara.

Mungkin itulah yang dirasakan oleh sahabat-sahabat kita dari keyakinan seberang. Menyiksa diri demi memuaskan Allah dan tidak pernah yakin akan nasib mereka di hari depan. Manakala ditanya, kemana tujuan mereka setelah mereka mati, jawabannya adalah “SEMOGA”. Bukankah kita sebagai orang Kristen perlu menangis ketika melihat realitas ini? Apakah kita sebagai orang Kristen – yang sudah mendapatkan jaminan keselamatan – tidak memiliki kerinduan tertentu terhadap sahabat-sahabat kita ini?

Bahwasanya ketika memuliakan Tuhan, kita juga menikmati Dia. Poin “menikmati Dia” mungkin merupakan salah satu hal yang sering kita sangsikan. Hal ini tak lain disebabkan karena terkadang kita berpikiran bahwa ketika ada hal buruk menimpa kita, dan Allah berdaulat, bagaimana mungkin kita bisa menikmati Dia? Seperti apa sih sebenarnya menikmati Dia? Justru di dalam banyak hal, kita seringkali gagal menikmati Allah – apalagi kalau kondisinya adalah kita mengalami hal-hal buruk. Kita gagal layaknya Ayub ketika ia menyatakan bahwa ketika hal buruk terjadi dalam hidupnya, ia justru menunjukkan imannya – dengan mengatakan bahwa setiap kita harus mau menerima hal yang buruk dalam relasi kita dengan Allah.

Memuliakan Tuhan – apa yang kita bayangkan pertama kali saat mendengar frase ini? Memuliakan Tuhan bisa saja kita artikan bahwa kita melayani Tuhan melalui talenta yang kita miliki. Contoh: ketika kita bisa menyanyi, kita menyanyi di gereja. Ketika kita bisa memainkan alat musik, kita menunjukkan kebolehan kita. Apakah sesempit itu? Tentu tidak. Bahkan kalau kita membaca di Roma 12:1 maka sebenarnya seluruh aspek kehidupan kita seharusnya akan mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan. Jadi waktu kita tidur pun, kita memuliakan Tuhan. Waktu kita makan, kita memuliakan Tuhan.

Menikmati Dia – bahkan dalam rangka kita memuliakan Tuhan kita bisa menikmati Dia sepanjang waktu. Artinya? Kita benar-benar menikmati anugrah Allah. Melalui apa? Melalui segalanya yang sudah Tuhan sediakan bagi kita. Apabila kita berbicara “SEGALANYA” berarti bahkan sesuatu hal buruk pun, kita harus belajar untuk menikmati itu dalam kehidupan kita. Susah ya? Iya kelihatannya. Di dalam pemaknaan kita sebagai seorang manusia, maka sangat susah. Tetapi ketika kita kembali lagi bahwa kehidupan kita sebenarnya adalah di tanganNya, maka sebenarnya tidak ada hal detail sekecil apapun yang terlewat dari Allah. Ia mengatur segala hal termasuk rencana hidup kita, apa yang kita makan, Tuhan sudah mengetahuinya sejak kekekalan.

Kedua sisi ini harus kita maksimalkan. Ada kalanya kita hanya ingin memuliakan Tuhan – membiarkan diri kita disiksa. Artinya bahwa kita sama sekali tidak menikmati pelayanan ataupun hidup yang sudah Tuhan berikan. Kita cenderung memiliki kerohanian yang terus menerus tertekan. Kita menganggap bahwa apa yang kita lakukan, Tuhan tidak menyukainya. Kesenangan kita berbeda dengan kesenangan Tuhan. Apa yang membuat kita bersukacita, Tuhan pasti tidak bersukacita. Seringkali kita terjebak di dalam anggapan seperti itu. Hal itu terjadi saat kita belum mengerti bahwa kita adalah orang-orang yang sudah diberikan sebuah privilege untuk membenci dosa. Ia sudah membeli kita menjadi hambaNya, bukan lagi hamba dosa. Oleh karena itu kita perlu terus menerus bersyukur dan kita perlu sadar bahwa dosa sama sekali tidak memiliki kuasa atas kehidupan kita. (1 Korintus 7:22-23)

Di satu sisi lain, kita terjebak di dalam ekstrim yang satunya, yakni menikmati anugrah Tuhan saja tanpa mau memuliakan Dia. Kita menjadi sebuah pribadi yang egois dan meninggikan diri kita. Bahasanya adalah “aji mumpung”. Mumpung saya memiliki kemampuan yang luar biasa, maka saya pastilah Tuhan berkenan atas apapun yang saya lakukan. Itulah bahasanya. Nah ekstrim ini juga berbahaya, karena akan menjadikan kita seorang pribadi yang meninggikan diri sendiri. Motivasi utama kita saat kita pelayanan akhirnya bukanlah demi kemuliaan Tuhan, tetapi bagaimana kita bisa memamerkan kehebatan kita yang sebenarnya itu semua berasal dari Allah.

Kedua sisi ini perlu untuk kita jagai sepenuhnya. Sebagai gambar dan rupa Allah, kita memiliki tanggung jawab untuk menampilkan kemuliaanNya dan sebagai orang-orang yang sudah menerima anugrah keselamatan, kita perlu sadar bahwa kita perlu menikmati suatu relasi yang intim dengan Dia. Melalui apa? Tentu saja melalui saat teduh dan doa-doa kita kepadaNya. Bukan hanya itu, bahkan di dalam keseharian kita pun – dalam setiap detail yang kita lakukan, kita perlu melihat bahwa ada anugrah yang sudah Tuhan berikan di dalam kehidupan kita. Tujuan hidup kita, cita-cita kita, segala detailnya, semuanya sebenarnya adalah anugrah, dan kita sebagai orang percaya perlu untuk terus bergumul. Pergumulan dimana kita perlu untuk merenungkan apa yang Tuhan mau untuk kita lakukan – yang mana namaNya semakin dimuliakan – sembari kita menikmati proses yang daripada Tuhan.

Soli Deo Gloria

Sunday, September 15, 2013

Belajar Dari Yeremia: Panggilan Nabi Yeremia

Di dalam alkitab, ada banyak pribadi yang menarik dan perlu untuk kita pelajari, dan salah satunya adalah seorang nabi yang dikenal sebagai nabi yang melankolis yakni Yeremia. kalau kita baca dari kitab Yeremia, Ia adalah seorang yang sangat melankolis dan ekspresif. Selain itu ada banyak hal yang menarik kalau kita membaca kitab ini dari awal hingga akhir. Kali ini saya mencoba untuk melihat sedikit momen saat Ia dipanggil untuk pelayanan. Kita jugaakan melihat seperti apa implikasinya.

Yeremia dipanggil langsung oleh Allah di dalam masa mudanya. Di masa mudanya Ia mendapatkan panggilan Tuhan secara langsung dan ini bisa kita lihat di Yeremia 1:4-5

Firman TUHAN datang kepadaku, bunyinya: "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa." 

Mungkin tak seorang pun dari kita mendapatkan privilege seperti yg didapatkan Yeremia dari panggilan itu. Tapi poin yang menarik adalah apa yang Allah katakan kepada Yeremia bahwa semenjak di kandungan pun Allah telah memilih Yeremia. Saya sendiri yakin bahwa bukan hanya Yeremia sebenarnya yang Ia pilih, tetapi juga setiap kita. Allah memanggil kita untuk memiliki suatu relasi di dalam Dia. Ia telah menguduskan kita. Menguduskan dalam hal ini merujuk kepada "dipisahkan" dari yang lain.

Kita perlu belajar menerima hal ini sebagai suatu realitas hidup. Allah memanggil kita dan kita mendapatkan suatu privilege luar biasa. Kalau kita melihat sekitar kita dan juga diri kita sendiri, kita pun sebenarnya juga perlu untuk evaluasi diri kita. Apakah selama ini kita sudah memaknai panggilan tersebut di dalam hidup kita? Kita dipanggil bukan hanya untuk menikmati berkat dari Tuhan. Kita dipanggil juga untuk melayani Dia dengan tidak gentar.

Yeremia 1:6 Maka aku menjawab: "Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda."

Inilah yang juga menjadi suatu alasan bagi kebanyakan orang. Hal ini juga saya pribadi alami di gereja tempat saya beribadah. Ada banyak orang muda enggan untuk memulai suatu pelayanan. Ada yang merasa tidak mampu untuk melayani, ada yang merasa minder, ada pula yang memang telah mengalami kepaitan. Yeremia juga pernah mengalami kepaitan, tetapi hal itu akan kita bahas nanti di tulisan berikutnya.

Kita mengakui bahwa hidup kita adalah milik Tuhan, bukankah begitu? Anehnya ketika kita diminta untuk pelayanan buat Tuhan, kenapa sih kita merasa tidak mampu? Sama sih, semua juga sebenarnya tidak ada yang mampu, karena memang semuanya dari Tuhan. Kalau hari ini pun saya bisa mempublish tulisan ini, bukankah itu juga dialaskan pada ketidakmampuan saya, tetapi bagaimana Tuhan bekerja melalui talenta saya, melalui bakat saya, dan kemampuan saya.

Jadi mengapa kita merasa minder atas setiap hal yang Ia percayakan atas kehidupan kita? Layakkah kita minder dan kita merasa tidak mampu? Ketika kita minder dan kita merasa bahwa kita tidak bisa melakukan suatu hal yang Allah percayakan, maka kita sebenarnya juga secara tidak langsung tidak memiliki pemahaman yang benar tentang Allah. Sikap kebalikannya pun juga tidak benar. Waspadalah terhadap overconfidence - suatu sikap dimana kita merasa diri kita mampu melakukan apapun tanopa melibatkan Allah di dalam setiap hidup kita. Saya pernah merasakan ini dan percayalah rekan2, hal ini sangat tidak nyaman. Ketika kita mampu melakukan apapun dan melupakan Allah, kita perlu segera berbalik kepadaNya, mohon ampun atas kelancangan kita.

Yeremia 1:7-8 Tetapi TUHAN berfirman kepadaku: "Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apa pun yang Kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan. Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau, demikianlah firman TUHAN." 

Jaminan penyertaan Tuhan itu nyata! Ayat ini menunjukkan pada kita bahwa kita hanya perlu percaya kepadaNya. Panggilan Allah atas hidup kita itu mutlak. Mau tidak mau kita harus melakukannya. Ayat ke 8 menyatakan hal tersebut. Jadi sebenarnya ketika kita akan memulai suatu pelayanan apapun, apa yang kita takutkan? Terkait dengan skill, Tuhan yang akan menyediakannya.

Kita hanya perlu terus belajar sambil memaksimalkan kehidupan kita di dalam Dia. Apa yang menjadi ketakutan kita di dalam kita akan memulai suatu pelayanan? Masuk akalkah ketakutan kita? Mari belajar dalam hidup ini untuk kita melihat bahwa Ia yang memimpin setiap aspek hidup kita. Ia yang menyertai setiap langkah kehidupan kita. Ia yang akan menuntun kita untuk setia sampai akhir. Yang perlu kita lakukan adalah menjaga intimasi denganNya.

Soli Deo Gloria

Friday, August 23, 2013

Pergumulan yang Christ-Centered

Tidak pernah terbayangkan bahwa suatu pergumulan itu adalah sesuatu yang berat. Apalagi ditambah dengan suatu kondisi dimana kita terpisah jauh dengan partner pergumulan kita. Sungguh suatu hal yang makin buat “nyesek ati” kalau orang bilang. Selain itu ditambah dengan kesibukan masing-masing, membuat hati semakin tak tenang. Tetapi benarkah bahwa ketika kita dipisahkan jarak oleh orang yang kita pergumulkan, maka hidup akan menjadi sesuatu yang berat? Seberat itukah hidup jauh dari rekan kita, sahabat kita, seorang yang nantinya akan mengikat janji pernikahan dengan kita sampai “sehidup semati”?

Jawabannya YA, dan AMIN. Memang berat ketika kita harus meninggalkan seseorang yang kita cintai, seseorang yang mungkin kita perlu untuk sharing hidup dengan dia. Selain itu juga kita bisa saling mengenal satu dengan yang lain saat kita dekat. Pasti tak mudah pada awalnya. Tetapi ketika kembali kepada esensi tentang relasi dan pernikahan, tentu kita kenal bahwa relasi tersebut dibangun bukan hanya dengan kita memiliki suatu pengalaman romantis. Pergumulan bukanlah suatu masalah kita harus “kopi darat” (Sekalipun ketika kita langsung kopi darat, kita pasti dapat dengan lebih efektif dalam menjalani relasi kita)

Makna pergumulan itu sebenarnya apa sih? Pergumulan untuk menikah atau tidak, tentang tujuan hidup, apapun itu, selalu membuat kita berpikir keras sambil terus berdoa dan berdoa. Kita jadi lebih giat untuk berdoa, saat teduh, mengucap syukur atas hal yang Tuhan berikan, dan sebagainya. Pergumulan tentang Pasangan Hidup pun apabila dilakukan dalam Long Distance, perlu suatu pergumulan juga untuk memulainya.

Pada saat saya mulai mengatakan bahwa “aku ingin mempergumulkan kamu sebagai seorang pasangan hidupku nanti” itu bukan hal yang mudah apalagi kita tahu bahwa pergumulan itu akan dilakukan secara long distance. Jarak yang terpisah jauh tentu jadi hambatan utama, kemudian komunikasi yang tak lancar, ditambah dengan kesibukan masing-masing. Tetapi apakah memang seperti itu? Apakah lantas ketika kita ambil keputusan seperti itu kita mengeluh dan kita akhirnya mohon-mohon agar Tuhan cepat menjawab pergumulan kita berdua? Actually, itu aneh!

Ketika Tuhan memberikan suatu waktu untuk kita bergumul apalagi secara long distance, saya percaya bahwa itu adalah suatu cara Tuhan untuk kita dapat semakin dapat menajamkan diri satu dengan yang lain. Saya rasa juga ini yang saya alami selama ini. Maybe kita bisa benar-benar merindukannya, tapi waktu Allah balik bertanya: “seberapa kamu merindukan Aku?” kepada kita, apa jawab kita? Apakah posisi kita bergumul itu akhirnya membuat kita melupakan Allah, menganggap Dia tidak ada, dan akhirnya kita menjadi acuh tak acuh terhadap Allah?

Fasa pergumulan long distance memang menuntut suatu komitmen yang lebih dan keseriusan di dalam diri masing-masing pasangan. Coba bayangkan saja kalau suatu saat memang saat menikah kita masing-masing punya tugas jauh (siapa tahu salah satu dari kita dipanggil Tuhan untuk misi ke daerah terpencil) Allah sedang mencoba untuk menguji kita, apakah hati kita masih setia kepada Allah dan kepada pasangan kita, atau justru kita beralih kepada hal-hal yang tidak seharusnya?

Kita berdua (saya dan seorang yang saya pergumulkan) pun merasa bahwa justru di dalam pergumulan kita yang long distance ini kita makin dekat dengan Tuhan. Kita berdua semakin hari semakin bertumbuh dan dibukakan banyak hal, tentang visi, pelayanan, kehidupan Kristen, tentang banyak sekali hal baru yang selama ini belum pernah kami pikirkan. Pertemuan kita setelah sekitar 5 bulan tak jumpa pun, ditebus dengan 2 jam ngobrol, dan itu pun saya pribadi merupakan suatu kesempatan dimana kami bisa share tentang kehidupan kami masing-masing, dengan cerita seru kami masing-masing, dan merupakan suatu quality time yang harus diakui merupakan momen yang paling kami rindukan. Itulah kesempatan di mana kami bisa melepas kangen sambil terus mengingat komitmen kami.

Indahnya suatu relasi di dalam Kristus adalah bahwa kita dapat menjadi orang-orang yang semakin hari semakin dewasa di dalam Dia, memiliki suatu keserupaan dengan Kristus dan kita berdua, sekalipun jauh, belajar untuk menjadi “serupa dengan Dia”. Saya cukup senang dengan suatu proses di mana kami berdua juga semakin hari semakin dewasa satu sama lain. Sekalipun jarang bertemu, namun ketika ada suatu waktu yang berkualitas, kami belajar untuk memanfaatkan itu sebaik-baiknya. Sharing visi, sharing tentang kehidupan, sharing tentang banyak hal di dalam kehidupan, bukankah itu yang sebenarnya penting bagi satu sama lain untuk saling mengenal satu dengan yang lain?

Ada banyak pasangan yang sekalipun mereka dekat, mereka hanya tidak jelas pacaran di dalam konteks romantis belaka, tanpa adanya suatu kerinduan untuk saling bertumbuh satu dengan yang lain. Paling tidak kami tidak mau menjadi pasangan seperti itu. Kami ingin belajar untuk mengembangkan diri satu sama lain di dalam Kristus, mendasari relasi kami berdua dengan suatu komitmen bahwa kami ingin belajar untuk menghormati komitmen satu dengan yang lain.

Percayalah, kami ini bukan orang-orang yang sempurna. Bahkan di dalam pergumulan kami pun terkadang muncul suatu konflik, rasa kangen, dan sebagainya. Emosi-emosi seperti itu kadang membuat kami sadar bahwa kami ini manusia yang lemah. Bahkan ketika sebuah kalimat “aku bersedia” itu masih aku nantikan, tapi ketika bahkan belum ada suatu jawaban yang pasti, aku tetap belajar untuk menghargai janjiku di awal, bahwa aku akan menghormati dia dan waktunya, aku akan menghormati setiap keputusan yang kami ambil.

Ada banyak hal yang perlu dipikirkan ketika kita mengambil keputusan untuk mulai berpacaran. Ditambah lagi jarak kami berdua jauh, dan itu kadang membuat kami sadar bahwa relasi kami ini mungkin tidak dapat dilanjutkan. Ya satu satunya jalan yaitu maintain komunikasi kami berdua. Semakin banyak komunikasi, semakin banyak potensi konflik, dan saya sendiri sadar kadang-kadang dari suatu pembicaraan, kami berdua sudah banyak berubah. Pembicaraan yang saling mengasah dan saling menajamkan satu dengan yang lain, serta kami belajar untuk jujur di hadapan satu dengan yang lain, dan saling berbagi beban dan mendukung di dalam doa.

Relasi yang berdasarkan atas kasih Kristus adalah suatu relasi yang mana kita belajar menikmati anugrah yang Allah berikan di dalam hidup kita. Pergumulan merupakan suatu proses, suatu anugrah yang Allah juga berikan di dalam hidup kita, tinggal bagaimana sekarang kita mencoba untuk menanggapi apa maunya Tuhan. Siap sedia terhadap setiap jawaban, dan terus belajar di dalam relasi kita mengutamakan Tuhan. Itu adalah suatu momen di mana kita belajar untuk memuliakan Tuhan dan menikmati Dia sepanjang waktu.

Sebuah lagu yang menarik yaitu soundtrack dari film Fireproof: “While I’m Waiting”. Dengar saja lagunya dan perhatikan setiap kata dalam lagu itu, itulah cinta yang sejati, yaitu cinta kita kepada Kristus dan cinta Kristus kepada kita, menunjukkan suatu komitmen penuh kepada Kristus dan semuanya adalah untuk kemuliaanNya.

Pergumulan memang butuh suatu penantian, tetapi justru di tengah penantian itulah kita perlu belajar untuk fokus penuh kepada Kristus dan belajar untuk melihat bahwa apapun keputusan yang kita ambil, semuanya melibatkan Tangan Tuhan yang menuntun untuk mengabdi dan memuliakanNya.


Selamat bergumul J SOLI DEO GLORIA! 

Monday, August 5, 2013

Yerusalem! Let’s Go There! Sebuah Perenungan Tentang Visi dan Tujuan Hidup

Seringkali orang bertanya: apa sih tujuan hidupmu? Ini suatu pertanyaan yang mungkin sangat susah dijawab. Bagi orang Kristen, jawabannya sangat sederhana: “Memuliakan Tuhan dan menikmati Dia sepanjang waktu” seperti yang tertulis di Katekismus Singkat Westminster pertanyaan pertama. Sesederhana itu? Ternyata tidak juga. Sangat global bahkan. Memuliakan Tuhan? Seperti apa sih memuliakan Tuhan itu? Menikmati Tuhan?

Satu hal yang perlu kita pegang adalah: Mau atau tidak mau, suka atau nggak suka, Allah sudah merencanakan sesuatu di dalam hidup kita. Setiap detailnya sudah Tuhan atur sedemikian rupa. Ingat, Ia adalah Allah dengan kedaulatan yang penuh.

Sebuah refleksi dari Lukas 18:31 dan 34

Yesus memanggil kedua belas murid-Nya, lalu berkata kepada mereka: "Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan segala sesuatu yang ditulis oleh para nabi mengenai Anak Manusia akan digenapi.
(Luk 18:31)

Akan tetapi mereka sama sekali tidak mengerti semuanya itu; arti perkataan itu tersembunyi bagi mereka dan mereka tidak tahu apa yang dimaksudkan.
(Luk 18:34)

Di dalam konteks visi dan tujuan hidup, ada beberapa prinsip yang kita bisa dapatkan dari ayat ini. Saya mencoba merefleksikannya:
1.       “Yesus memanggil kedua belas murid-Nya” lihat siapa yang Yesus ambil sebagai murid. Apakah mereka adalah orang-orang yang hebat? Secara manusiawi, mereka bukanlah orang-orang yang terpelajar. Mereka bukan orang-orang yang punya skill tinggi. Barangkali kalau diumpamakan sekarang, mereka bukanlah orang-orang seperti Bill Gates yang jenius, ataupun seperti Steve Jobs. Mereka bukan orang-orang yang bisa diandalkan. Bahkan mereka adalah orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki apa-apa (dalam pengertian tertentu).
Namun orang-orang seperti inilah yang dipilih Tuhan menjadi orang-orang yang paling dekat dengan Dia. Orang-orang seperti Petrus yang sangat ceplas-ceplos, Thomas sang peragu, Matius yang merupakan pemungut cukai – apa hebatnya?
Tetapi nyatanya orang-orang seperti ini yang dipakai Tuhan bukan? Petrus yang berkotbah hingga menghasilkan 3000 orang bertobat. Thomas yang pada akhirnya mati martir di India. Ada banyak kisah, namun prinsip di sini adalah:

“Allah tidak memilih orang yang mampu melayani Dia dengan kekuatannya sendiri, tetapi Ia memilih orang-orang yang sadar betul bahwa tanpa Dia, ia tak bisa hidup dan ia bukanlah apa-apa”

2.       “Sekarang kita pergi ke Yerusalem…” Panggilan Allah itu terjadi secara real time di dalam hidup kita. Itu berarti bahwa di dalam kita menjalani hidup kita, panggilan Allah itu selalu nyata. Pertanyaannya adalah: kita peka atau tidak terhadap panggilan itu? Yerusalem adalah tempat di mana Tuhan Yesus akan menjalani rencana Allah yang ada di dalam diriNya. Itu adalah visi yang ditetapkan Allah dan Ia pergi ke sana untuk menjalaninya. Seutuhnya Dia patuh atas kehendak Bapa, sekalipun Ia tahu bahwa pada saat itu pula Ia akan dihujat, dicela, dan pada akhirnya disalib.
Bagaimana dengan hidup kita? Apakah kita sudah belajar untuk mengarah ke Yerusalem kita? Suatu tempat yang mana Allah memerintahkan kita untuk taat kepada panggilanNya. Tidak enak memang, apalagi kita tahu bahwa mungkin Yerusalem itu adalah tempat yang sangat jauh dari zona nyaman kita, tetapi Allah mengutus kita kesana. Bukankah itu suatu privilege yang luar biasa yang sudah disediakan Allah? Inilah prinsip berikutnya:

“Mau tidak mau, suka tidak suka, Allah sedang menuntun kita ke Yerusalem. Perlahan namun pasti Ia akan membawa kita menuju ke sana, dan Ia tidak main-main atas panggilan itu”

3.       “..dan segala sesuatu yang ditulis oleh para nabi mengenai Anak Manusia akan digenapi”. Tuhan Yesus tahu dengan segala resiko yang akan Ia alami saat Ia taat kepada Bapa, dan Ia taat! Di sinilah terlihat bagaimana kehendak Bapa ada di atas kehendak kita. Suka atau tidak, kita pasti akan mengalaminya juga. Tinggal tunggu waktu kapan Allah menggerakkan hati kita untuk melakukan sesuatu dalam hidup kita. Ia sedang melakukan sesuatu dan itu berarti kita tidak bisa menolaknya. Mungkin ada kalanya kita melihat bahwa rencana Allah itu merupakan suatu kegagalan di dalam hidup kita. Salib pada zaman itu identik dengan suatu kegagalan yang luar biasa. Salib adalah lambang kehinaan pada waktu itu. Namun demi menjalankan rencana Bapa, Tuhan Yesus melihat itu sebagai suatu keberhasilan.

“Apa yang dipandang orang sebagai suatu kegagalan, itu merupakan suatu keberhasilan di hadapan Tuhan. Kesuksesan kita sebagai orang beriman diukur dari rencana Tuhan apa yang sudah kita lakukan untuk kemuliaanNya.”

4.       “.. mereka sama sekali tidak mengerti..” Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhan Yesus, bukan? Ya. Mereka yang dimaksud di sini adalah para rasul, orang-orang yang mendampingi Tuhan Yesus kemanapun Ia pergi. Bahkan orang-orang terdekatnya pun tidak mengerti apa yang Yesus maksud saat itu.
Sama juga mungkin dengan hidup kita. Kita merasa kehidupan kerohanian kita sudah dekat dengan Tuhan, tetapi sebenarnya kita tidak tahu apa yang Tuhan mau di dalam hidup kita. Bukankah ini sesuatu yang mengerikan? Ya betul! Kita terlalu sibuk untuk pelayanan mungkin, tetapi di dalam pelayanan itu, kita lupa menjaga relasi kita dengan Tuhan. Akhirnya pelayanan itu bukan merupakan sarana untuk memuliakan Tuhan, namun sebagai suatu sarana lain.
Prinsip yang berikutnya yang penting adalah:

“Hal yang paling indah dalam hidup kita adalah mengetahui apa yang Tuhan mau di dalam hidup kita, sehingga apapun yang kita kerjakan adalah untuk kemuliaan Tuhan. Semuanya itu dimulai dari relasi yang semakin dekat dengan Dia”

Jadi, siapkah kita melangkah menuju Yerusalem? Apakah kita mau mulai merenungkan kembali apa yang jadi tujuan hidup kita sebenarnya? Mungkin panggilan kita adalah peran yang kita lakukan saat ini di tempat kerja kita. Mungkin kita dipanggil ke daerah terpencil dan mengabarkan injil di sana. Mungkin pula kita diutus ke ranah politik. Apapun itu, mari kita belajar untuk terus menikmati proses yang dari Tuhan.


Soli Deo Gloria